PENDIDIKAN KARAKTER PERSPEKTIF ISLAM (Konsep dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar (PAI-28)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai pendidikan memang tidak pernah ada habisnya. Berbagai persoalan pendidikan pun muncul seiring dengan perkembangan zaman. Begitu juga solusinya yang kian hari kian banyak opini, pendapat, jurnal, artikel bahkan penelitian khusus tentang pendidikan, baik kajian teoritik mauupun empirik.
Kebutuhan manusia akan pendidikan merupakan suatu yang sangat mutlak dalam hidup ini, dan manusia tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pendidikan. Fatah Yasin mengutip perkataan John Dewey yang juga dikutip dalam bukunya Zakiyah Daradjat menyatakan bahwa “Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia guna membentuk dan mempersiapkan pribadinya agar hidup dengan disiplin”.[1]
Pernyataan Dewey tersebut mengisyaratkan bahwa sejatinya suatu komunitas kehidupan manusia di dalamnya telah terjadi dan selalu memerlukan pendidikan, mulai dari model kehidupan masyarakat primitif sampai pada model kehidupan masyarakat modern. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan secara alami merupakan kebutuhan manusia, upaya melestarikan kehidupan manusia, dan telah berlangsung sepanjang peradaban manusia itu ada. Dan hal ini sesuai dengan kodrat manusia yang memiliki peran rangkap dalam hidupnya, yaitu sebagai makhluk individu yang perlu berkembang dan sebagai anggota masyarakat dimana mereka hidup. Untuk itu pendidikan mempunyai tugas ganda, yakni disamping mengembangkan kepribadian manusia secara individual, juga mempersiapkan manusia sebagai anggota penuh dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan lingkungan dunianya.[2]
Manusia dilahirkan ke dunia ini bagaikan kertas putih tanpa ada coretan sedikitpun. Pengalaman dan lingkunganlah yang akan memberikan coretan-coretan tersebut, sehingga akan terbentuk perilaku terhadap manusia. Pendidikan bisa dilaksanakan di mana saja dan kapan saja waktunya. Islam mengajarkan bahwa pendidikan pertama dan utama yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik adalah orang tua.[3]Islam memerintahkan kepada orang tua untuk mendidik diri dan keluarganya, terutama anak-anaknya agar terhindar dari siksaan. Orang tua memegang peranan penting dalam pendidikan anaknya.
Makna yang terkandung dalam pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian manusia. Keberhasilan pendidikan pada masa kanak-kanak pada akhirnya dimunculkan pada perbuatan dan perilaku. Islam datang untuk mengantarkan manusia kejenjang kehidupan yang gemilang dan bahagia sejahtera melalui berbagai segi. Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami sekarang ini tidak sedikit dampak negatifnya terhadap kehidupan atas kemajuan yang dialaminya, sehingga pada saat ini manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlak.
Lembaga pendidikan yang bertugas mendidik anak didik harus bisa berperan untuk melaksanakan tujuan dan fungsi pendidikan. Dimana tujuan dan fungsi pendidikan nasional itu telah diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3, yang berbunyi :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[4]
Integritas pendidikan dalam pembentukan kepribadian bukan merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin, akan tetapi di dalamnya juga terkandung maksud bahwa integritas pendidikan Islam dalam pembentukan kepribadian memiliki tantangan yang harus dihadapi, khususnya dalam berbagai perkembangan yang terjadi pada masa sekarang ini. Dalam pembentukan kepribadian tidak terpisah dari 3 unsur pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dari ketiga unsur tersebut harus ada kesadaran masing-masing pihak untuk saling melengkapi dalam mewujudkan pendidikan yang dapat mencetak insan yang memiliki kepribadian luhur.
Kemampuan belajar yang dimiliki manusia merupakan bekal yang sangat pokok. Berdasarkan kemampuan itu umat manusia telah berkembang selama berabad-abad yang lalu. Masing-masing manusia pun mengalami banyak perkembangan diberbagai bidang kehidupan. Perkembangan ini dimungkinkan karena adanya kemampuan untuk belajar, yaitu mengalami perubahan-perubahan, mulai saat lahir sampai mencapai umur tua. Sudah barang tentu perubahan-perubahan yang diharapkan akan terjadi adalah perubahan yang bercorak positif, yaitu perubahan yang mengarah ketaraf kedewasaan. Hal ini kelihatannya sudah jelas dengan sendirinya, namun ternyata perlu dikaji lebih lanjut. Suatu proses belajar juga dapat menghasilkan suatu perubahan dalam sikap dan tingkah laku yang dapat dipandang bercorak negatif.[5]
Di era yang semakin global ini tuntutan adanya sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan luas tidak hanya dalam bidang ilmu pengetahuan umum saja, namun juga harus didasari dengan akhlak yang karimah, sehingga mampu mengendalikan diri dari pengaruh budaya yang serba membolehkan yang mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Krisis yang melanda Indonesia dewasa ini diindikasikan bukan hanya berdimensi material, akan tetapi juga telah memasuki kawasan moral agama. Hal ini dipicu oleh tidak adanya pengetahuan agama yang kuat.
Kalau kita mengamati kenyataan hidup umat Islam pada masa kini, maka tidaklah sedikit diantara mereka yang berkepribadian buruk. Banyak umat islam yang selalu aktif menunaikan ibadah shalat, puasa, zakat, dan bahkan sudah menunaikan haji, tapi dalam kehidupan mereka masih suka berbuat hal-hal yang kurang baik atau bahkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Mereka suka memeras orang lain untuk dapat mencapai tujuan yang mereka inginkan. Adapun dalam kehidupan sosial, mereka bersikap ala liberalis, demikian pula dalam segi kehidupan lainnya. Misalnya dalam bidang politik, budaya, seni, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lepas dari nilai-nilai moral yang telah digariskan oleh ajaran agama Islam. Selain itu juga masih banyak kasus-kasus yang di luar norma-norma agama. Misalnya kondisi moral/akhlak generasi muda yang rusak/hancur. Hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja, peredaran narkoba di kalangan remaja, peredaran foto dan video porno pada kalangan pelajar, dan sebagainya.[6]
Apabila sikap-sikap di atas semakin membudaya, maka jelaslah akan berdampak negatif pada anak-anak yang masih berada dalam proses pembinaan moral agama. Karena pertumbuhan dan perkembangan moral agama pada anak-anak lebih banyak diperoleh melalui hasil pengamatan terhadap suasana lingkungan di sekitarnya atau melalui peniruan dan keteladanan. Anak-anak adalah generasi penerus yang akan menggantikan dan memegang tongkat estafet generasi tua. Agar mereka menjadi generasi penerus yang bermoral religius, maka mereka harus dibina, dibimbing, dan dilatih dengan baik dan benar melalui proses pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
Tujuan utama pendidikan Islam ialah membentuk akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, jiwa bersih, kemauan keras, cita-cita yang besar serta akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan baik dan buruk, menghindari perbuatan tercela, dan senantiasa mengingat Allah SWT dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan.[7]Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dan juga kita harus berpandangan luas mengenai bagaimana kita sebagai orang dewasa untuk mendidik dalam bersikap dan bertingkah laku kepada anak, karena bahwasanya anak-anak adalah kuncup-kuncup yang akan berkembang dalam kehidupan kita, janji gemilang bagi masa depan, dan penghibur hati kita.
Anak-anak dan para pemuda mempunyai tanggung jawab ganda yang penting untuk mereka laksanakan dalam masa hidup mereka. Pertama, mereka dipercayai untuk melindungi hasil-hasil penting yang telah dicapai oleh bangsa mereka. Kedua, mereka harus berperan serta dengan kapasitas sendiri untuk menggunakan semua potensi yang ada pada mereka untuk memperbaiki mutu kehidupan bangsa mereka. Karena itulah islam sangat menekankan pentingnya pendidikan anak. Al-qur’an banyak berisi tentang aturan-aturan yang melindungi kehidupan anak-anak, dan juga membimbing dan mengatur jalan hidup mereka. Selain mengatur kehidupan anak-anak, keluarga dan masyarakat, Islam juga memperhitungkan adanya hubungan di antara mereka semua, dan ini berarti jika perubahan atau kerusakan pada salah satu baginya, maka akan mempengaruhi semuanya.
Melihat fenomena di atas, maka pendidikan karakter sangat dibutuhkan agar anak-anak didik mempunyai kepribadian yang luhur. Wacana tentang pendidikan karakter, pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagogik Jerman, FW. Foerster tahun 1869-1966.[8]Namun menurut penulis, penggagas pembangunan karakter pertama kali adalah Rasulullah SAW. Pembentukan watak yang secara langsung dicontohkan Nabi Muhammad SAW merupakan wujud esensial dari aplikasi karakter yang diinginkan oleh setiap generasi. Secara asumtif, bahwa keteladanan yang ada pada diri Nabi menjadi acuan perilaku bagi para sahabat, tabi’in dan umatnya. Namun sampai abad 15 sejak Islam menjadi agama yang diakui universal ajarannya, pendidikan karakter justru dipelopori oleh negara-negara yang penduduknya minoritas muslim.
Dalam Al-Qur’an, teks yang membicarakan tentang keteladanan telah mengingatkan kita yang mengakui diri sebagai muslim dan memiliki akal untuk berpikir sejak 15 abad silam, yaitu QS. Al-Baqarah ayat 44:
اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلَوْنَ اْلكِتَابَ قلى اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ ﴿ ٤٤﴾
Artinya :
“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?”[9]
Untuk dapat mewujudkan generasi Qur’ani sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia harus diusahakan secara teratur dan berkelanjutan baik melalui pendidikan informal seperti keluarga, pendidikan formal, atau melalui pendidikan non formal. Generasi Qur’ani tidak lahir dengan sendirinya, tetapi ia dimulai dari pembiasaan dan pendidikan dalam keluarga, misalnya menanamkan pendidikan agama yang sesuai dengan perkembangannya, sebagaimana hadits Nabi “Perintahlah anak-anakmu mengerjakan shalat, lantaran ia sudah berumur 7 tahun, pukullah mereka setelah berumur 10 tahun, dan pisahkan tempat tidurmu dan tempat tidur mereka”.[10]
Dalam kaitan ini, maka nilai-nilai akhlak yang mulia hendaknya ditanamkan sejak dini melalui pendidikan agama dan diawali dalam lingkungan keluarga melalui pembudayaan dan pembiasaan. Kebiasaan ini kemudian dikembangkan dan diaplikasikan dalam pergaulan hidup kemasyarakatan. Disini diperlukan kepeloporan para pemuka agama serta lembaga-lembaga keagamaan yang dapat mengambil peran terdepan dalam membina akhlak mulia di kalangan umat.[11]Oleh karena itu, terlepas dari perbedaan makna karakter, moral, dan akhlak, ketiganya memiliki kesamaan tujuan dalam pencapaian keberhasilan dunia pendidikan.
Dengan fenomena pendidikan karakter diatas, membuat penulis merasa tergugah untuk meneliti lebih lanjut tentang bagaimana perspektif islam tentang pendidikan karakter dan juga bagaimana implementasinya dalam proses belajar mengajar.
[1]A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 15
[3]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 42
[4]Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (Bandung: Citra Umbara, 2003), hal. 76
[5]W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran. (Jakarta: Grasindo, 1996), hal 1-2
[6]Dharma Kesuma, et. all., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 2-4
[7]M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 3
[8]Abdul Majid, dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal.8
[9]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Diponegoro, 2010), hal. 7
[10]Said Aqil Husain Al-Munawar, Al-Qur’an: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 353
[11]Said Aqil Husain Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 27
0 Response to "PENDIDIKAN KARAKTER PERSPEKTIF ISLAM (Konsep dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar (PAI-28)"
Post a Comment