Stereotip Suku Mandar Di Kota Makassar ( Studi Komunikasi Antarbudaya Suku Bugis Dan Suku Mandar (KM-16)
Keanekaragaman suku bangsa merupakan masalah global, hampir seluruh negara di dunia memiliki keanekaragaman suku, etnis dan agama. Keanekaragaman tersebut tentunya ditandai dengan keberagaman kebubudyaan antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan tatanan pengetahuan, bahasa, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, dan konsep tentang alam semesta.
Kebudayaan yang dimiliki oleh suku, etnis, dan agama turut mempengaruhi gaya komunikasi sehingga perbedaan budaya dapat menjadi sebuah rintangan dalam berinteraksi satu sama lain. Sebagaimana dikemukakan Cangara (2008:156) bahwa terdapat rintangan budaya yang menjadi gangguan dalam berkomunikasi dimana rintangan budaya yang dimaksud adalah rintangan yang terjadi disebabkan adanya perbedaan norma, kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam berkomunikasi.
Keanekaragaman masyarakat (masyarakat majemuk) adalah hal yang dihargai pada masyarakat Indonesia karena masyarakat Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama.Wilodati (2012) secara rinci menggambarkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari berbagai sisi: Pertama, hubungan kekerabatan, hubungan kekerabatan ini merujuk pada pada ikatan dasar hubungan darah (keturunan) yang dapat ditelusuri berdasarkan garis keturunan ayah, ibu atau keduanya. Kedua, ras dapat dibedakan dengan ciri-ciri fisik orang lain (rambut, kulit dan bentuk muka). Ketiga, daerah asal merupakan tempat asal orang lahir yang akan memberikan ciri tertentu apabila yang bersangkutan berada di tempat lain seperti dialek yang digunakan, anggota organisasi yang bersifat kedaerahan serta prilaku. Keempat, menggunakan bahasa sukunya masing-masing. Kelima, agama yang dianut Indonesia yang berbeda-beda.
Masyarakat majemuk yang hidup bersama dalam satu wilayah terdiri dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda tentunya sangat rentan dengan konflik antar kelompok. Konflik kelompok di Indonesia, seperti konflik SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) sudah menjadi konsekuensi dalam hidup bermasyarakat majemuk, karena hal tersebut bisa terjadi kapan saja dengan membawa identitas kelompok. Konflik SARA biasanya terjadi ketika antar kelompok tidak dapat saling memahami budaya masing-masing dan merasa budayanyalah yang lebih unggul dibanding yang lain (etnosentrisme).
Konflik kelompok dalam masyarakat majemuk mengindikasikan bahwa terdapat kegagalan dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi yang dimaksud menurut Stewart dalam Djuarsa dan Sunarwinardi (2008:277) adalah komunikasi yang terjadi dalam satu kondisi yang menunjukan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai, adat dan kebiasaan. Keberhasilan komunikasi antarbudaya dapat dijelaskan dalam prespektif The 5 Invetable Laws of Effective Communication (Lima Hukum Komunikasi Efektif) meliputi: Respect, Empathy, Audible, Clarity, dan Humbledisingkat REACH. Hal ini relevan dengan prinsip komunikasi sosial budaya yaitu sebagai upaya meraih perhatian, minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain (Suranto, 2010:194).
Stereotip-stereotip terhadap suku, etnis dan agama tertentu merupakan hambatan dalam membangun sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif. Lippman dalam Mariah (2007:62) menggambarkan stereotip sebagai “Pictures in our heads” bahwa tidak melihat dulu lalu mendefinisikan, mendefinisikan dulu kemudian melihat, kita diberitahu dunia sebelum melihatnya dan membayangkan kebanyakan hal sebelum mengalaminya. Dari penjelasan ini kita dapat mengetahui bahwa stereotip dapat menjadi penghambat dalam proses komunikasi karena stereotip dapat menimbulkan penilaian negatif antar suku dan etnis.
Stereotip itu sendiri terbentuk oleh kategori sosial yang merupakan upaya individu untuk memahami lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, ketika individu menghadapi sekian banyak orang di sekitarnya, individu akan mencari persamaan-persamaan antara sejumlah orang tertentu dan mengelompokkan mereka kedalam satu kategori. Namun pada gilirannya kategori sosial ini justru mempengaruhi cara pandang seseorang yang sudah dimasukkan kedalam kelompok tersebut. Akibatnya timbul kesalahan-kesalahan dalam melakukan persepsi sosial karena seluruh individu dalam kategori sosial tertentu mempunyai sifat-sifat dari kelompoknya.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa multikultur terdiri dari banyak suku dan etnik tentunya akan mudah menimbulkan stereotip antaretnik dan suku. Stereotip ini dapat menjadi pemicu konflik jika stereotip tidak sesuai dengan kebenaran yang ada atau salah dalam mempersepsi terhadap kelompok lain. Oleh karena itu kesalapahaman yang ditimbulkan oleh stereotip harus senantiasa dihilangkan dalam aktifitas komunikasi antarbudaya.
Keberhasilan komunikasi antarbudaya juga sangat diperlukan bagi masyarakat yang mendiami kota-kota besar di Indonesia. Tingginya tingkat perpindahan penduduk dari desa ke kota, ketergantungan ekonomi dan mobilitas antar negara menjadikan kota sebagai tempat yang didiami berbagai latarbelakang budaya yang berbeda. Kesalapahaman antarbudaya yang ditimbulkan oleh stereotip bisa saja terjadi dalam hidup bermasyarakat di kota-kota besar jika anggota masyarakat tidak dapat memahami satu sama lain mengenai budaya kelompok lain.
Salah satu kota besar yang terdapat di Indonesia yang saat ini mengalami perkembangan pesat adalah kota Makassar, terletak dibagian timur Indonesia yang sekaligus merupakan Ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Kota Makassar sejak abad XV sudah menjadi kota Niaga yang memiliki peranan penting di Asia Tenggara adanya hubungan dangan kota-kota dagang lainnya seperti Siam, Pegu, Malaka, Aceh, Cina dan Arab sebagai bukti bahwa kota Makassar adalah sebuah kota yang besar sekaligus menandakan bahwa kota Makassar sudah menjadi kota multikultur.
Sampai saat ini pun kota Makassar masih menjadi primadona bagi masyarakat lokal maupun mancanegara. Sebagai pusat ekonomi, hiburan dan pendidikan, tentunya hal tersebut menjadi daya tarik kelompok masyarakat tersebut untuk menetap di kota Makassar. Tak heran jika kota Makassar didiami bebagai macam etnis, suku dan agama yang berbeda dan ini dapat dilihat dengan adanya perkempungan etnis atau suku tertentu yang ada di kota Makassar seperti kampung Cina, kampung Toraja, kampung Mandar.
Adanya pemikiran etnosentrisme, stereotip dan prasangka negatif yang masih berkembang sampai saat ini dapat menjadi potensi pemicu terjadinya konflik antar kelompok etnis dan suku di kota Makassar. Seperti halnya rentetan konflik yang pernah terjadi contohnya konflik pada tahun 1997 melibatkan etnik Bugis-Makassar dan Cina, kemudian tawuran antar mahasiswa berbeda suku yang kerap terjadi dan terakhir konflik mahasiswa Bone dan Palopo pada tanggal 29 oktober 2011 adalah gambaran nyata bahwa konflik antar kelompok suku dan etnis sangat rentan di kota Makassar sebagai kota yang bermasyarakat majemuk.
Di Sulawesi Selatan terdapat beberapa etnis dan suku, tetapi ada empat suku besar yang sekaligus mendiami kota Makassar yakni Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar. Dari literatur-literatur sejarah Sulawesi Selatan bahwa sejak zaman kerajaan, keempat suku tersebut sudah memiliki hubungan satu sama lain baik dari aspek perdagangan, politik, dan budaya. Oleh karena itu keempat suku tersebut memiliki beberapa persamaan dari aspek budaya dan sampai saat ini keempat suku tersebut memilik ikatan persaudaraan yang kuat sebagai suku besar yang mendiami Sulawesi Selatan.
Suku Mandar sendiri dulunya menjadi bagian dari Sulawesi Selatan, tetapi pada tahun 2006 daerah suku Mandar terpisah dari Sulawesi Selatan menjadi sebuah provinsi tersendiri dibagian barat Sulawesi, tetapi suku Mandar yang sudah bermukim di kota Makassar masih tetap menjadi bagian dari masyarakat kota Makassar. Ini terbukti dengan adanya sebuah perkampungan Mandar yang bagi masyarakat kota Makassar mengenalnya “Kampung Mandar” daerah ini berada di Jalan Rajawali kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar, penghuni daerah ini adalah mayoritas suku Mandar.
Salah satu contoh stereotip yang berkembang bagi suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan adalah stereotip terhadap suku Mandar. Selain suku Mandar diakaui sebagai pelaut ulung yang hanya dengan perahu “Sandeq” dapat mengarungi lautan luas, diketahui juga bahwa suku Mandar adalah suku yang banyak memiliki “Ilmu sihir” atau bagi masyarakat Sulawesi Selatan mengenalnya dengan istilah “Doti”. “Pelembekan kepala” terhadap lawan yang ingin disengsarakan adalah jenis doti yang dimiliki suku Mandar dan menjadi cerita yang lazim terdengar dan di takuti di Sulawesi Selatan (Ngeljaratan dalam http:/sebuah-refleksi-kritis-tentang-mandar).
Berkembangnya stereotip tersebut bisa menjadi potensi yang menghambat dalam komunikasi antarbudaya Suku Mandar dengan suku Bugis maupun dengan suku lainnya khususnya ketika mereka berada dalam linkungan masyarakat Kota Makassar. Stereotip tersebut bisa saja menjadi penilaian negatif terhadap suku Mandar sehingga dikawatirkan akan mengarah pada sikap dan perilaku negatif terhadap suku mandar. Selain itu apabila kebenaran akan stereotip tersebut benar-benar terjadi tentunya tuduhan akan secara langsung tertuju pada suku Mandar yang belum tentu suku Mandar yang melakukan sehingga menimbulkan kesalahpahaman.
Berdasarkan asumsi tersebut maka penulis ingin meneliti mengenai stereotip tersebut dengan judul penelitian:
“Stereotip Suku Mandar di Kota Makassar (Studi Komunikasi Antarbudaya suku Bugis dan suku Mandar)”
0 Response to "Stereotip Suku Mandar Di Kota Makassar ( Studi Komunikasi Antarbudaya Suku Bugis Dan Suku Mandar (KM-16)"
Post a Comment