Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat (Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif) (AK-57)



Indonesia adalah negara yang beragam budaya dan agama, sehingga kata zakat dan pajak adalah dua kata yang tidak lepas di negara kita, yang mana negara kita ini mayoritas penduduk Islam. Tetapi, kedua kata ini memiliki makna dan perlakuan yang berbeda. Di satu sisi zakat hanya dikenakan kepada orang-orang Muslim yang memiliki harta dengan persyaratan tertentu. Dan bagi yang tidak mempunyai maka dia akan menjadi orang yang berhak menerimanya. Dan dalam hal pajak semua warga Negara Indonesia yang sudah dewasa dan mempunyai penghasilan pada umumnya sudah dikenakan pajak kecil dan besar tanpa memandang apakah penghasilan itu cukup untuk kebutuhannya atau tidak. Pajak diwajibkan pada siapapun. Sunggguh perlakuan yang tidak adil, karena pengemis pun bisa terkena pajak.
Beberapa ahli ekonomi Islam menganggap zakat merupakan sejenis pajak karena zakat memenuhi beberapa persyaratan perpajakan (Rahman, 1996: 242), diantaranya:
a.      Pembayaran yang diwajibkan;
b.      Tidak ada balasan atau imbalan;
c.      Diwajibkan kepada seluruh masyarakat suatu negara.
Zakat memenuhi persyaratan pertama dan kedua sedangkan persyaratan ketiga tidak. Zakat adalah pembayaran yang diwajibkan dan tidak ada balasan atau imbalan atas pembayaran tersebut, akan tetapi hanya dikenakan kepada orang Muslim di negara itu sedangkan orang-orang nonmuslim terbebas dari kewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, zakat bukanlah suatu pajak dalam arti yang sebenarnya. Sebenarnya zakat, seperti halnya menunaikan shalat atau mengerjakan haji, merupakan suatu bentuk ibadah atau tugas agama yang mempunyai perbedaan psikologis sangat berbeda dengan pajak biasa.
Zakat dianggap sebagai salah satu dari lima tiang agama Islam dan sudah barang tentu, posisi yang penting semacam ini tidak dapat diberikan kepada suatu jenis pajak betapapun pentingnya pajak tersebut. Selanjutnya, pendapatan yang diperoleh dari pajak oleh pemerintah dapat digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan tanpa mempertimbangkan besar kecilnya masing-masing pajak. Sedangkan dalam hal zakat, pemerintah dalam negara Islam diberikan petunjuk khusus dalam kitab suci Al-Qur’an tentang bagaimana dan di mana membelanjakan hasil yang diperoleh melalui pengumpulan zakat. Pemerintah tidak mempunyai pilihan tapi harus membelanjakan hasil pengumpulan zakat itu sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an.

Persoalan di atas salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi Islam yaitu persoalan dualisme zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Ironisnya, pajak sebagai sumber penerimaan negara mengalami penguatan, sementara zakat mengalami kemunduran dan dianggap menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing individu Muslim.
Di Indonesia, seorang wajib zakat (muzakki), juga sebagai wajib pajak (taxs payers). Hal ini terlihat jelas dengan adanya dua kewajiban dalam dua undang-undang yang berbeda, yaitu kewajiban zakat dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan kewajiban pajak dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Kedua undang-undang ini menyatakan bahwa zakat dan pajak adalah kewajiban. Hal inilah yang dirasakan oleh kaum Muslim sebagai suatu beban yang berat (Gusfahmi, 2007: 7).
Hal ini pula telah mengundang perdebabatan yang berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar ulama fiqih memandang bahwa zakat dan pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan. Menurut mereka, zakat adalah kewajiban spiritual seorang Muslim terhadap Tuhannya, sedangkan pajak adalah kewajibannya terhadap negara.
Dari segi pengelolaan, zakat dan pajak mempunyai pengelolaan yang berbeda. Akan tetapi yang menjadi catatan penting dalam hal ini setidaknya pengelolaan zakat ini mengikuti keberhasilan pengelolaan pajak. Pengelolaan pajak di Indonesia terbilang sukses, adapun faktor yang menunjang keberhasilan tersebut, yakni administrasi pajak yang tentunya harus efisien dan efektif. Menurut Ciptoherijanto dan Abidin dalam Abdalla (2010: 8-9) administrasi pajak yang baik harus meliputi tiga aspek, yaitu:
1.       Fungsi, administrasi pajak sebagai fungsi meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan.
2.       Sistem, administrasi pajak sebagai suatu sistem adalah merupakan seperangkat unsur yang saling berkaitan, yang berfungsi bersama-sama untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan suatu proses tertentu.
3.       Lembaga, sebagai suatu lembaga administrasi pajak meliputi badan-badan yang secara khusus menangani masalah perpajakan.

Berbeda halnya dengan pengelolaan zakat di Indonesia yang terbilang masih rendah kinerjanya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor (Anida, 2010: 2-3), yaitu:
1.       Rendahnya penghimpunan dana zakat melalui Lembaga Amil Zakat, karena perilaku wajib zakat (muzakki) yang masih karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek.
2.       Masih rendahnya efesien dan efektivitas tasharuf  (pendayagunaan) dana zakat terkait masih besarnya jumlah Organisasi Pengelola Zakat dengan skala usaha yang kecil.
3.       Lemahnya zakat karena ketiadaan lembaga regulator pengawas dan tidak jelasnya relasi zakat.
4.       Lemahnya kapasitas kelembagaan dan Sumber Daya Manusia bidang zakat.

Sedangkan menurut Nuruddin (2010: 133) rendahnya kinerja pengelolaan zakat disebabkan pengelolaan zakat belum digarap secara serius dan profesional oleh pemerintah dengan perangkat aturan sesuai kecenderungan dan tuntutan daerah.
            Pengumpulan zakat hendaknya atau seharusnya merupakan sesuatu yang terprogram dan terencana, termasuk ditentukan jadwalnya dengan jelas, dan tetap berlandasan untuk beribadah kepada Allah SWT dengan ikhlas. Dalam penanganan zakat ini, perlu dicamkan bahwa para pembayar zakat hendaknya mengetahui ke mana harta zakatnya itu dibagikan dan dimanfaatkan. Badan Amil Zakat (BAZ) harus mempunyai dokumen dan data atau pembukuan yang rinci mengenai jumlah uang zakat yang diterima, orang yang membayarnya, kemana digunakan dan semacamnya. Sehingga sewaktu-waktu salah satu pembayar zakat ingin tahu data rinci mengenai zakatnya, BAZ bisa memberi jawaban dengan memuaskan.
            Zakat hendaknya tidak sekedar konsumtif, maka otomatis idealnya dijadikan sumber Dana Umat. Penggunaan zakat untuk konsumtif hanyalah untuk hal-hal yang bersifat darurat. Artinya, ketika ada mustahiq(orang yang berhak menerima zakat) yang tidak mungkin untuk dibimbing untuk mempunyai usaha mandiri atau memang untuk kepentingan mendesak, maka penggunaan konsumtif dapat dilakukan. Dana zakat akan lebih cepat digunakan untuk mengentaskan umat dari kemiskinan jika dikelola untuk menjadi sumber dana yang penggunannya sejak dari awal, seperti pelatihan, sampai dengan modal usaha. Bahkan mestinya perlu ada dana riset atau survey dan pengembangan serta dana administrasi (Azizy, 2004: 148-149).
            Pada survey di atas menunjukkan salah satu faktor yang menyebabkan pengelolaan dana zakat yang kurang efektif adalah tidak terprogram dan terencana dengan baiknya dana zakat, kemudian dari segi pengelolaan dana zakat yang terbilang masih rendah bila dibandingkan dari pengelolaan pajak karena pengelolaan pajak telah mempunyai fungsi, sistem dan lembaga yang benar-benar telah terstruktur dan dilaksanakan dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif.”

0 Response to "Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat (Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif) (AK-57)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel