Jenis dan Tipe Otoritas
Tiga tipe otoritas
Ada tiga tipe otoritas. Yang pertama ialah ‘otoritas karismatik’, “yaitu suatu kepatuhan yang dibenarkan karena orang yang memberikan tatanan memiliki beberapa kesucian atau semua karakteristik yang dikenal.”[2] Di sini, pemimpin menggerakkan yang dipimpin atas dasar kharisma atau wibawa yang dimilikinya, dan wibawa atau kharisma ini merupakan sebuah kualitas diri yang batiniah yang tak bisa diberikan atau dibagikan kepada pihak yang lain. Kharisma atau wibawa merupakan sebuah kualitas diri yang tak kasat mata, namun auranya terasakan oleh mereka yang dipimpin dan aura kharisma atau wibawa inilah yang sanggup menggerakkan mereka yang dipimpin. Dalam kehidupan kita sehari-hari, tipe otoritas yang demikian barangkali terepresentasikan dalam kepemimpinan sebagian tokoh agama.
Tipe otoritas yang kedua ialah ‘otoritas tradisional’. Dalam otoritas yang sedemikian ini, ‘semua perintah mungkin dipatuhi karena adanya rasa hormat terhadap pola-pola tatanan lama yang telah mapan.’[3] Tipe otoritas ini barangkali tak sulit untuk kita temukan dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita bisa lihat tipe otoritas ini semisal dalam bagaimana masih kuatnya tradisi pernikahan yang mengikuti adat tradisional.
Tipe otoritas yang ketiga ialah ‘otoritas legal’ dimana ‘manusia mungkin percaya bahwa seseorang yang memberikan tatanan adalah berbuat sesuai dengan tugas-tugasnya sebagaimana yang di dalam suatu kitab undang-undang dan peraturan.”“Kategori ketiga ini berciri rasional, dan merupakan tipe otoritas yang menandai organisasi modern, yang berkaitan dengan membesarnya staf administrasi birokratis.”
Sekarang, kita akan berusaha memahami makna penting dari birokrasi meski ada banyak keluhan terhadapnya dengan mengkaitkan masing-masing tipe otoritas tersebut dengan konteks masanya.
1. Tipe otoritas karismatik
Dalam tipe ini, orang-orang bersedia untuk menaati atau mematuhi sebuah kepemimpinan tertentu atas dasar keyakinan mereka akan kharisma atau wibawa yang dimiliki oleh sang pemimpin. Karena kharisma atau wibawa itu diyakini bersumber dari kekuatan yang sakral, maka tidak sembarang orang yang bisa mendapatkannya. Jadi, seorang yang memilikinya akan dianggap sebagai pertanda bahwa dia telah memiliki kualifikasi untuk menjadi pemimpin mereka. Kepemimpinan di sini dibangun di atas landasan keyakinan orang-orang akan kesakralan sang pemimpin yang tak boleh dipertanyakan.
Termasuk yang diyakini dalam kesakralan itu ialah kemampuan sang pemimpin untuk mengetahui segala-galanya atas perkehidupan dari mereka yang dipimpin, dan karena maha tahu, maka sang pemimpin bagi orang-orang yang dipimpinnya merupakan pembimbing mereka menuju ke surga bersama. Jadi, menjadi tugas sang pemimpin untuk memberikan kompas panduan ke arah mana masyarakat itu akan melangkah dan bergerak sekaligus bagaimana cara menuju ke sana. Tugas dari orang-orang yang dipimpin ialah tinggal menunggu titah dari sang pemimpin. “Sabda sang raja adalah sabda Tuhan,” menjadi kesadaran kolektif masyarakat tersebut.
Konsekuensi dari tipe otoritas yang demikian ialah bahwa mereka yang dipimpin akan mudah sekali kehilangan arah tujuan hidupnya manakala sang pemimpin tak lagi berada di antara mereka. Kematian sang pemimpin identik dengan matinya kompas pemandu tujuan hidup mereka. Masyarakat akan kehilangan pegangan hidup sehingga biasanya kemudian terjadi disintegrasi atau perpecahan dalam masyarakat tersebut karena tak ada sosok yang bisa menyatukan kemauan dan gerak langkah masyarakat tersebut. Di sisi lain, ketergantungan terhadap sosok sang pemimpin juga menjadikan kemampuan-kemampuan menentukan arah tujuan hidupnya tak berkembang dalam diri yang dipimpin. Mereka yang dipimpin tak terlatih untuk mengembangkan kemampuan memilih tujuan hidupnya sendiri maupun cara bagaimana mencapai tujuan tersebut.
Maka, tipe otoritas yang demikian berfungsi ideal pada situasi-situasi dimana kehidupan yang melingkupi sebuah masyarakat masih begitu sederhana dan problem-problem yang muncul bisa diselesaikan dengan cara-cara yang sederhana. Dengan kesederhanaan situasi dan problem itu, maka sosok pemimpin akan bisa menjalankan fungsinya sebagai yang maha tahu. Sang pemimpin-lah yang bertugas memberikan jawaban atas banyak persoalan yang dialami oleh mereka yang dipimpin.
Tipe ini akan menjadi problematik manakala kehidupan telah menjadi sedemikian kompleks, ruang kehidupan semakin saling terkait secara luas dan dinamika kehidupan semakin cepat. Jika semua problem lantas harus menunggu jawaban dari sang pemimpin, maka akan ada banyak energi dan waktu yang terbuang percuma hanya untuk menunggu. Organisasi pemerintahan yang ada pun lantas menjadi lamban dan tak responsif terhadap tantangan-tantangan yang terus muncul. Secara keseluruhan, bangunan sosial politik yang didasarkan pada tipe otoritas semacam ini akan menjadi rapuh justru karena ketergantungannya kepada satu figur karismatik.
2. Tipe otoritas tradisional
Dalam tipe otoritas yang kedua ini, ketaatan dan kepatuhan orang-orang didasarkan pada adat kebiasaan yang telah dijalankan secara generasi bergenerasi. Kesetiaan pada adat kebiasaan menjadi nilai yang diutamakan. Di sini, sang pemimpin mendapatkan legitimasinya sebagai seorang pemimpin karena perannya sebagai penjaga dan penerus tradisi.
Jika dalam tipe pertama, sang pemimpin masih berkewajiban untuk mengembangkan kualitas dirinya karena keharusan untuk maha bisa memberikan arah dan jawaban bagi persoalan-persoalan yang dialami oleh mereka yang dipimpin, dalam tipe kedua ini sang pemimpin tak harus menjadi maha tahu karena telah ada adat tradisi yang menjadi landasan bagi arah gerak aktivitas yang harus dijalankan. Tatanan lama yang telah mapan menjadi dasar patokan penilaian bagi tepat atau tidak tepatnya sebuah tindakan. Sebagai konsekuensinya, tak mudah untuk melakukan sebuah perubahan sosial dalam tatanan yang sedemikian karena kesetiaan pada tradisi menjadi keutamaan. Setiap usaha untuk melakukan perubahan pada adat kebiasaan maupun struktur yang telah ada, akan selalu berhadapan dengan resistensi yang kuat. Baik sang pemimpin maupun aparatur yang menjalankan roda pemerintahannya akan menjalankan peran-perannya atas dasar adat kebiasaan yang telah berlangsung selama generasi bergenerasi. Tentu saja, hal ini menjadikan baik sang pemimpin maupun aparaturnya rendah motivasinya untuk mengembangkan kualitas-kualitas terbaik dalam dirinya karena toh adat kebiasaan pada akhirnya yang menentukan. Apa gunanya mengembangkan kecerdasan dan kreativitas jika pada akhirnya yang dihargai ialah senioritas dan kepatuhan pada tradisi? Apa gunanya berinovasi jika pada akhirnya yang dihargai ialah apa yang selaras dengan adat tradisi? Insentif bagi munculnya inovasi-inovasi dalam menjalankan kewenangannya lemah.
Seperti halnya tipe otoritas yang pertama, tipe otoritas yang kedua ini juga hanya akan berfungsi dengan baik dalam situasi-situasi dimana cara-cara tradisional bisa menjawab problem-problem yang muncul. Dengan kata lain, ini berarti bahwa problem-problem yang muncul haruslah juga merupakan problem-problem yang memiliki karakteristik yang sama atau serupa dengan problem-problem yang dulu pernah berhasil dengan cara-cara tradisional. Persoalannya ialah apakah kita masih berada dalam sebuah dunia dimana problem-problem yang muncul tak lain dari pengulangan problem-problem yang pernah ada.
Jika kita menyaksikan betapa begitu cepatnya semua berubah, kita akan paham betapa kita tengah hidup dalam dunia dimana inovasi demi inovasi terus-menerus membayangi kehidupan kita setiap hari. Selalu ada barang baru, model baru, jenis baru yang ditawarkan ke hadapan kita, dan ini berarti bahwa ada cara-cara baru dan pengalaman-pengalaman baru yang ditawarkan kepada kita. Ini berarti juga problem-problem baru. Apakah cara-cara dan kebiasaan lama bisa menghadapi semua itu? Dalam kasus birokrasi, cara-cara dan kebiasaan lama malah menjadikan kita tertinggal. Kerja birokrasi yang didasarkan cara-cara dan adat kebiasaan yang lama seringkali malah lebih suka mempermasalahkan bagaimana melestarikan cara dan kebiasaan lama ketimbang pada bagaimana menghadapi problem-problem baru. Sebagai akibatnya, setiap kali berhadapan dengan problem-problem yang memiliki karakteristik yang berbeda dari yang dulu pernah dihadapi dengan cara-cara lama, birokrasi mengalami kegagapan. Secara luas, perilaku ini malah akan menghancurkan daya cipta masyarakat. Lemah motivasi dan miskin inovasi menjadi potret umum dari birokrasi maupun masyarakat yang masih mendasarkan diri pada tipe otoritas kedua ini.
3. Tipe otoritas legal
Pada tipe otoritas yang ketiga ini, kepatuhan dan kesediaan orang-orang lebih didasarkan pada aturan-aturan yang disusun berdasarkan pada prinsip-prinsip dan cara-cara rasional. Di sini, bukan karisma pemimpin atau adat kebiasaan yang menjadi dasar ketaatan, namun hukum-hukum yang dibentuk secara tertulis dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Yang mungkin menarik untuk dipertanyakan ialah: “Mengapa orang-orang bersedia untuk patuh pada aturan-aturan dan hukum-hukum yang tertulis yang mungkin sama sekali tak pernah dia ketahui bagaimana dan darimana bisa terbentuk?”
Kepatuhan ini sesungguhnya berkaitan dengan perkembangan rasionalitas masyarakat itu sendiri. Ketika pemimpin yang ada maupun struktur dan kultur tradisi yang ada dianggap tak lagi memadai untuk bisa mewadahi dan mewujudkan aspirasi-aspirasi masyarakat, maka pada saat itulah muncul pertanyaan: “Jika kharisma pemimpin atau tradisi yang ada tak lagi bisa diandalkan sebagai jawaban untuk mencapai tujuan hidup bersama, namun malah digunakan sebagai dalih untuk melanggengkan ketidakadilan dan diskriminasi sosial politik yang ada, maka apalagi yang bisa dijadikan sebagai dasar landasan bagi suatu otoritas?”
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan berbagai penemuan yang luar biasa dan berhasil memecahkan berbagai kebutuhan manusia telah memperkuat keyakinan manusia Barat akan kemampuan rasio atau akal budi manusia untuk membantu manusia mencapai tujuan kehidupan bersamanya. Dengan rasio, manusia bisa membaca realitas empiris, mendeskripsikan pola yang ada di balik pengalaman empirisnya, dan untuk kemudian menemukan cara untuk memodifikasi realitas empiris tersebut. Termasuk realitas empiris yang bisa dimodifikasi itu ialah realitas sosio-politik dan ekonomi. Realitas empiris sosio-politik maupun ekonomi bukanlah suatu tatanan yang tinggal diterima begitu saja tanpa ada kemampuan manusia untuk mengintervensi ataupun memodifikasinya. Kesadaran akan kemampuan rasionalitas manusia menumbuhkan kesadaran historis bahwa manusia bisa mengintervensi dan memodifikasi realitas sesuai dengan citanya. Kesadaran fatalisme yang menopang peradaban feodalisme pun runtuh secara perlahan namun pasti. Kepercayaan terhadap kharisma maupun terhadap tatanan dan adat kebiasaan yang lama, yang tumbuh dari alam kesadaran yang fatalis, surut secara pasti. Usaha membangun kehidupan bersama tak lagi bisa diserahkan kepada kharisma atau cara-cara lama. Usaha itu harus didasarkan pada pembacaan dan analisis empiris atas keseluruhan situasi yang ada, dan kemudian merumuskan, merencanakan serta menjalankan cara-cara yang dinilai paling efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan, yang untuk kemudian dievaluasi apakah cara tersebut telah menghasilkan realitas empiris yang diinginkan. Siklusnya lalu kembali ke pembacaan realitas empiris yang baru dimodifikasi tersebut.
Agar usaha membangun tujuan bersama itu berhasil, maka dibutuhkan kerjasama kolektif dari seluruh anggota kehidupan bersama. Harus ada gerak langkah yang serempak dan harmonis satu sama lain. Kalau sebelumnya, penyelarasan gerak langkah dari seluruh elemen masyarakat itu dilakukan oleh seorang pemimpin atau oleh penjaga adat kebiasaan yang lama, maka dalam dunia yang rasional, penyelarasan itu dilakukan oleh aturan-aturan yang ditetapkan secara eksplisit dalam artian tertulis dan disebarluaskan ke seluruh masyarakat. Dengan kata lain, hukum-lah yang menjadi alat penyelaras dari seluruh gerak langkah guna mencapai tujuan bersama. Ini berarti bahwa masyarakat pun harus dididik untuk menjadi masyarakat yang rasional agar bisa menginternalisasi hukum tersebut dan membentuk perilaku dan karakternya sesuai dengan hukum tersebut sehingga keselarasan antar gerak langkah seluruh elemen masyarakat tercapai dan tujuan bersama pun tercipta. Inilah yang dimaksud dengan otoritas yang didasarkan atas aturan-aturan hukum atau otoritas legal.
Salah satu instrumen penting untuk menjalankan dan menegakkan aturan-aturan hukum demi penyelarasan gerak langkah seluruh elemen masyarakat itu ialah birokrasi. Birokrasi, seperti yang telah kita definisikan pada bab pertama, merupakan tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasi secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang, Sebagai sebuah instrumen atau alat, maka birokrasi tak lebih dari aparatur pelaksana dari kebiajkan-kebijakan yang diputuskan dan ditetapkan oleh badan-badan di luar dirinya. Seperti kata John Kilcullen,
But formally and in theory the bureaucracy is merely a means, and this is largely true also in practice: someone must provide policy direction and back the bureaucrat up (if necessary) with force. 'At the top of a bureaucratic organization, there is necessarily an element which is at least not purely bureaucratic', SEO, p. 335, to give policy direction.
(Namun secara formal dan secara teori, birokrasi hanyalah alat, dan hal ini juga sangat berlaku dalam kenyataan: ada pihak lain yang berkewajiban menyediakan arahan kebijakan dan mendukung birokrat (jika perlu) dengan kekuasaan. ‘Di puncak organisasi birokratik, selalu ada sebuah elemen yang setidaknya tidak sepenuhnya bersifat birokratik’, yang memberikan arahan kebijakan.)
Max Weber sendiri menganggap birokrasi secara teknis merupakan organisasi yang paling efisien bagi kehidupan bersama manusia. Mengapa? Karena birokrasi bekerja atas dasar sistem aturan secara impersonal dimana birokrasi sendiri tidak turut terlibat dalam penyusunan sistem aturan tersebut, sehingga analogi yang tepat untuk birokrasi ialah seperti halnya mesin dalam dunia produksi, sementara organisasi-organisasi lain analog dengan alat-alat produksi selain mesin. Analog dengan mesin, keunggulan birokrasi ialah dalam hal kemampuannya untuk menghasilkan sekian banyak jasa layanan secara lebih cepat dan efisien ketimbang dengan menggunakan tipe-tipe pengorganisasian yang lain. Di sini, birokrasi menjadi bernilai penting karena kemampuannya untuk mengorganisir sekian banyak pekerjaan orang sehingga bisa dihasilkan semakin banyak jasa layanan politik secara lebih cepat dan efisien.
Namun, selain karena kemampuannya, ada alasan lain dari keberadaan birokrasi yang menarik menurut pandangan Max Weber. “Di Jaman Kuno, kebebasan kota-kota dihapuskan oleh suatu kekaisaran dunia yang diorganisir secara birokratis yang tidak lagi memberi tempat bagi kapitalisme politik. Pada permulaannya, para kaisar terpaksa bersandar pada kekuatan-kekuatan keuangan para kapitalis, tetapi lambat laun mereka membebaskan diri dari ketergantungan itu dan melarang kelas ini memborong pajak yang merupakan sumber keuangan yang paling subur – seperti juga para raja Mesir dapat menyediakan sendiri keperluan-keperluan politik dan militer dalam kerajaan mereka tanpa tergantung pada kelas kapitalis, dan menurunkan pemborong-pemborong pajak ke posisi pejabat-pejabat pajak.”[7] Meski yang ditulis oleh Max Weber itu adalah sebuah analisis historis atas mengapa kapitalisme tak berkembang pesat di Jaman kuno, namun apa yang menarik untuk disimak dari kutipan tersebut ialah bahwa birokrasi menjadi antitesis dari kapitalisme. Dalam artian bagaimana birokrasi menjadi antitesis dari kapitalisme?
Max Weber menulis: “Kita juga akan menikmati keuntungan-keuntungan ‘tatanan’ birokrasi bukannya ‘anarki’ perekonomian bebas..” “Kapitalisme rasional, sebaliknya, diorganisir dengan tujuan mendapat kesempatan-kesempatan pasar, yaitu dengan pandangan tujuan-tujuan ekonomik dalam pengertian sesungguhnya, dan makin rasional makin dekat hubungannya dengan permintaan massa dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan massa. Adalah perkembangan Barat yang mengangkat kapitalisme ini ke dalam suatu sistem...”Dalam paham perekonomian bebas, setiap pasar dianggap sebagai potensi keuntungan, dan bukankah sangat berbahaya jika kemudian jasa-jasa layanan publik yang vital bagi hajat hidup orang banyak, seperti kesehatan, pendidikan, listrik dan sebagainya diserahkan sepenuhnya kebijakannya kepada logika pasar bebas? Logika pasar bebas ialah akumulasi laba dan perebutan pasar. Sebagai konsekuensi dari logika ini, dunia ekonomi fluktuasi harga dan suplai barang dan jasa menjadi bergantung pada kemauan sewenang-wenang dari pihak pelaku pasar bebas, dan inilah yang disebut sebagai anarki perekonomian bebas oleh Max Weber. Seberapa besar beban harga-harga barang dan jasa seluruh anggota masyarakat bergantung pada belas kasih para pelaku perekonomian bebas.
Nah, keberadaan birokrasi persis kontras dengan logika pasar bebas yang mengutamakan akumulasi laba dan eksploitasi pasar. Jika logika perekonomian bebas ialah logika ekonomi yang secara ekspansif berusaha turut mengontrol dan mengarahkan logika politik, maka sebaliknya birokrasi berlandaskan pada logika politik yang berusaha mengatur seluruh perikehidupan sebuah masyarakat, termasuk logika dan gerak langkah ekonomi masyarakat tersebut agar selaras dengan tujuan politik yang telah ditetapkan. Apakah logika dan tujuan politik itu? Hal ini tentu saja bergantung pada siapa pemegang kekuasaan penentuan dan perumusan logika dan tujuan politik tersebut. Ideologi dan karakter pemegang kekuasaan di sini sangat menentukan. Sebagai sebuah alat atau instrumen kebijakan politik, maka jelas bahwa birokrasi tidak boleh memiliki logika lain selain dari logika yang telah diputuskan oleh kekuasaan politik, dan agar birokrasi kemudian tidak bergeser kepada menganut logika ekonomi, maka sumber penting bagi pembiayaan aktivitas birokrasi, yaitu pajak, tidak boleh diserahkan kepada pihak pelaku ekonomi pasar bebas. Dengan kata lain, harus ada kemandirian pembiayaan bagi birokrasi. Jika tidak, maka apa yang pernah diceritakan Max Weber akan terulang. Max Weber menulis: “Para pejabat dibiayai seperti juga Caesar dibiayai oleh Crassus dan berusaha mengembalikan biaya itu dengan menyalahgunakan posisi resmi mereka.”
0 Response to "Jenis dan Tipe Otoritas"
Post a Comment