POLITIK ISLAM DAN HAM
POLITIK ISLAM DAN HAM
1. Konsep Politik Islam
Politik adalah pembentukan kekuasaan untuk mengatur kegiatan sosial dan ekonomi sebaik mungkin, yaitu menurut ideologi atau anggapan politisi yang memegang kendali pemerintahan. Dalam hubungan dengan luar negeri, politik melakukan diplomasi untuk mewujudkan keinginan-keinginannya dalam rangka anggapan atau ideologinya yang efeknya nanti bertujuan kepada sosial dan ekonomi dalam negerti. Politik luar negeri ditentukan oleh politik dalam negeri. Politik dalam negeri memperhitungkan politik luar negeri. Apabila politik luar negeri dengan diplomasi macet, maka ia dilanjutkan dengan permainan senjata. Perang adalah alat politik untuk mewujudkan tujuannya. Diplomasi adalah alat politik yang beralatkan lidah. Perang adalah politik yang beralatkan senjata.
Politik Islam adalah pembentukan kekuasaan untuk mengatur sosial, ekonomi, hukum dan kebudayaan menurut keyakinan (keimanan), jadi bukan menurut ideologi. Keyakinan tersebut adalah al-Qur’an dan sunnah rasul. Apabila keyakinan itu tidak memberikan jawaban langsung atas masalah-masalah baru dalam kehiaupan. Islam mempergunakan kepercayaan dalam menyelesaikan masalah. Kepercayaan itu adalah hasil ijtihad.
Nilai ijtihad sebagai kepercayaan masih lebih tinggi dari pada ideologi. Ideologi berpijak atas pemikiran, ia adalah produk pemikiran manusia semata. Ijtihad berpijak atas keyakinan (al-Qur’an atau Sunnah rasul). Jadi bukan produk pikiran manusia semata, ia adalah hasil pikiran yang berlandaskan wahyu dan ilham dari firman Allah SWT. QS: al-Nisâ’ (4):59: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam ayat ini dapat dipahami, bahwa politik Islam itu dimulai dengan memilih pemimpin dari golongan umat Islam sendiri, setiap umat Islam wajib mematuhi pemimpin yang yang telah dipilihnya, yaitu pemimpin yang beriman, sebagaimana dalam firman Allah SWT. QS:al-Tauibah (9):23: Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Politik Islam berawal pada masa Rasulullah SAW. Setelah hijrah ke Madinah, yang bertujuan untuk mengatur sosial ekonomi masyarakat Muslim yang makin meluas. Di samping itu ia menghancurkan lawan yang menyerang. Selanjutnya politik Islam itu di samping mengatur ke dalam, juga menundukkan tantangan dari luar. Dimana terjadi kemacetan dalam menjalankan politik tersebut lahirlah jihad, menembus kemacetan untuk mencapai tujuan politik.
Para penulis orientalis barat pada umumnya mengidentikkan jihad dengan perang. Hal itu keliru. Perang adalah jihad, tapi jihad bukanlah perang saja. Jihad lebih luas dari perang. Contoh, sapi adalah hewan, tapi tidak sebaliknya dapat dipakai kembali di sini. Imam Ibnu Qasim al-Husain menerangkan bahwa arti kata jihad dijabarkan dari kata jahd atau juhd. Jihad daya sungguh-sungguh atau tenaga, dan jihad mujahid berarti memusatkan tenaga sendiri dalam menampik musuh. Selanjutnya ia membagi tiga macam jihad, yaitu melakukan perjuangan terhadap musuh yang tampak, melakukan perjuangan terhadap setan, dan melakukan perjuangan terhadap diri sendiri (nafsu). (QS:8:72-75, 22:78).
Bahwa jihad tidak hanya berarti perang (dengan senjata). Bandingkanlah ayat-ayat al-Qaur’an yang berisikan kata jihad dalam surah Makiyah dan surat Madaniyah dan hubungkan sikap dan laku perbuatan nabi sebagai pelaksana dari surah-surat itu. Perang dalam Islam adalah untuk membela diri, bukan untuk memaksa orang supaya masuk Islam. Umat Islam dibolehkan berjihad dengan mengangkat senjata karena terpaksa untuk membela diri karena diserang musuh. Perhatikan Q.S. 2:190-195, 2:256)
Ayat-ayat tersebut terang menyatakan bahwa jihad dalam pengertian perang dengan senjata terhadap musuh yang kelihatan, hanya karena terpaksa. Umat Islam dilarang agresif, sebaliknya diwajibkan berbuat baik kepada orang lain. Orang lain berarti semua manusia, bukan muslim saja bahkan temasuk berbuat baik kepada orang yang nyata bermusuhan. Tetapi apabila orang yang bersikap bermusuhan itu menyerang barulah umat Islam mengangkat senjata. Kecuali terhadap orang zalim, umat Islam selalu berada dalam status bermusuhan. Mempertahankan hidup Islam dengan berperang diizinkan oleh Allah swt. (Q.S. 22:39, 9:41). Pada prinsipnya Islam mencintai damai, dengan membudayakan musyawarah di meja perundingan dalam segala urusan, apalagi dalam bidang politik. Baca Q.S. 3:159, 42:38! Sehinga dicapai kesepakatan yang terbaik. Inilah asas demokrasi dalam membangun masyarakat madani dengan prinsip persamaan di hadapan Allah SWT. (Baca Q.S. 49:13!).
2. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM )
Syari’at Islam menempatkan HAM sesuai dengan filosofi teosentris dan etiko religius, sebagaimana yang dirumuskan oleh DR. Ahmad Zaki Yamani, bahwa HAM menurut Syari’at Islam adalah:
2.1. Persamaan Warga Negara
Persamaan warga negara itu adalah adanya perbedaan antara masing-masing orang seorang dalam hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, atau seperti sabda Rasulullah SAW. Yang artinya: orang itu sama rata seperti gerigi sisir. Persamaan dalam Islam adalah persamaan dalam perlakuan hukum yang memperbolehkan semua orang dengan wewenang hukum untuk memiliki dan membentuk kekayaan, dan lingkungan hukum bagi mereka diwujudkan dan merekapun tunduk kepada kewajiban yang ditentukan oleh hukum.
Islam telah memberi contoh praktis yang mengagumkan tentang persamaan kedudukan dihadapan hukum. Rasulullah SWT. selalu mengajar para sahabat beliau bagaimana menghormati hak penggugat dalam menuntut haknya, walaupun penggugat bersikap keterlaluan. Pernah seorang Yahudi mendatangi Rasul untuk menagih hutang yang belum tiba waktunya; sambil berkeras dalam cara menagih, ia berkata kepada rasul “memang kalian ini, hai abu Muthalib, suka bertangguh-tanguh saja”. Dan para sahabat Rasul naik darah mendengar ucapan yang tidak sopan ini. Rasul bersabda kepada mereka, “Biarkanlah dia bicara, karena ia berhak untuk itu”.
2.2. Jaminan Atas Kebebasan Pribadi
Hak-hak perseorangan dengan segala macamnya merupakan suatu di antara hal-hal yang sangat diperhatikan oleh Islam, yaitu: agama, kemerdekaan dan persamaan. Kebebasan adalah suatu lambang yang suci, karenanya baik rakyat maupun penguasa sangat mementingkan masalah pelaksanaan kebebasan bagi setiap orang-seorang dalam masyarakat.
Para Khalifah rasul mengajarkan rakyat agar mereka gigih memelihara anugerah Ilahi yang suci ini. Ali bin Abi Thalib berkata: “janganlah engkau menjadi hamba dari orang lain, padahal Allah swt. telah menjadikanmu orang merdeka”. Ketika Sayidina Umar menetahui bahwa seorang dari Gubenurnya telah memukul seorang warga negara golongan kopti Mesir, beliau marah dengan penuh perasaan dan mengucapkan kata-kata yang terkenal, “Sejak kapan kamu diperbudak manusia, padahal ibu mereka telah melahirkan mereka sebagai orang bebas”. Dalam Islam, kebebasan dimulai dengan kebebasan seorang dari hawa nafsunya, dan kemampuan untuk mengendalikan kemauannya. Rasulullah saw. memperbandingkan antara perjuangan membebaskan diri dari hawa nafsu sebagai “jihad Akbar” dan menggambarkan orang yang mampu menguasai dirinya disaat marah sebagai orang kuat. Sabda rasulullah saw.: ”Orang kuat itu bukan orang yang mampu mengalahkan lawannya dalam pergulatan. Tapi orang kuat ialah yang mampu menguasai dirinya di saat ia marah”. (H.R. Imam Ahmad dan Ibnu Majah). (Baca Q.S. 9:19, 39:53, 2:186).
2.3. Kebebasan Berhak Milik
Kebebasan berhak milik adalah suatuhak yang amat terkenal dalam Islam. Islam melindunginya sama dengan melindungi seorang muslim. Islam mengatakan bahwa seluruh harta benda itu adalah milik Allah swt. (Baca Q.S. 10:55, 24:33, 2:29!)
Maksud ayat-ayat tersebut adalah bahwa semua yang ada dalam perut bumi atau di atas muka bumi telah dijadikan untuk kegunaan bagi umat manusia seluruhnya, masing-masing orang mempunyai hak yang cukup guna memenuhi kebutuhannya dan menyejahterakan hidunya dalam batas-batas yang dihalalkan oleh syari’at Islam.
2.4. Kebebasan Tempat tinggal
Kebebasan tempat tinggal termasuk di antara hal yang oleh al-Qur’an disebutkan secara tegas. Pernah Umar bin Khattab memasuki suatu rumah dengan memanjat tembok dan menggerebek beberapa orang di dalamnya yang sedang minum arak. Orang tadi mendebat Khalifah bahwa beliau telah berlaku salah dalam tindakannya dan menyalahi firman Allah swt. yang artinya: “Dan masukilah rumah itu dari pintunya”, Umar menerima pembelaan mereka dan tidak menjatuhkan hukuman kepada mereka.
2.5. Kebebasan Berusaha
Kebebasan berusaha dan berniaga merupakan di antara hal-hal yang oleh Islam dibebaskannya dan dilepaskannya dari segala ikatan, kecuali jika merupakan yang merugikan kepentingan umum, seperti halnya monopoli. Berusaha di samping halal juga wajib bagi semua orang yang berdaya, dan malahan merupakan suatu ibadah untuk mendekatkan diri kepada tuhan, sebagaimana Umar bin Khathab berkata: “bahwa berusaha dan berniaga adalah lebih dari shalat sunnat di mesjid-mesjid”. (Baca Q.S. 62:10, 30:23).
2.6. Kebebasan Berpendapat
Islam melindungi kebebasan berpendapat bahkan menggalakannya. Syari’ah Islam menyifatkan orang yang tidak mempunyaipendapat sebagai orang yang lemah. Sejarah Islam penuh dengan perisiwa-peristiwa abadi; di saat para Muslim perseorangan menjalankan kebebasan berpendapat dengan segala keyakinan dan kepercayaan serta keberaniannya. Khalifah Umar bin Khathab pernah menyampaikan pidatonya di hadapan umat Islam, beliau mengecam sikap mempermahal emas kawin yang dibayarkan oleh para suami kepada istri-istri mereka. Seorang wanita di antara hadirin tampil dan berkata: “Engkau tidak kuasa berbuat demikian, hak Umar! Lalu ia bacakan firman Allah swt. yang artinya: “Dan kamu semua telah memberikan kepada tiap-tiap orang di antara istri masing-masing harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun (Q.S. 4:20) Umar pun tunduk kepada teguran wanita dan berkata: “Aku telah keliru dan anda benar. Dengan demikian dilaksanakanlah untuk pertama kalinya dalam sejarah prinsip kedaulatan hukum.
2.7. Kebebasan Akidah
Hak kebebasan akidah (beragama) merupakan salah satu pokok-pokok Islam yang mendasarkan kepercayaan itu atas dasar penelitian pandangan dan akal. Ia memerintahkan manusia untuk berpikir dan menelaah serta mencela orang-orang yang tidak menggunakan pikiran mereka dengan menyifatkan mereka seperti ternak (Q.S. 7:179) “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan yang salah”. (Q.S. 2:256, 16:125)
2.8. Kebebasan Belajar
Kebebasan belajar, menurut Islam belajar adalah suatu kewajiban agama yang telah ditetapkan oleh rasul dalam hadis beliau: “Sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. (HR. Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan ali bin Abi Thalib). Beliau menganjurkan para sahabat untuk menuntut ilmu walaupun ke negeri Cina”. (HR. Baihaqi), yang waktu itu negeri Cina merupakan negeri terjauh dari negeri Arab. Beberapa abad yang lalu Imam Syathibi menegaskan bahwa pendidikan sekurang-kurangnnya tingkat dasar merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan segala sarananya bagi semua anggota masyarakat: kemudian untuk lebih lanjut dari pelajaran itu tergantung atas bakat dan kemampuan otak masing-masing.
TUGAS/LATIHAN
1. Buatlah 15 buah pertanyaan dan jawaban dari bab ini?
2.Tulislah makalah dengan judul: PERANAN POLITIK DAN HAM DALAM MEMMABNGUN MASYRAKAT
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-karim
Al-Hufy, Ahmad Muhammad, DR., Akhlak Nabi Muhammad saw., Bulan Bintang, Jakarta, 1978
Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Intermasa, Jakarta, 1978
Gazalba, sidi, Drs. Asas Kebudayaan Islam, Bulang Bintang, Jakarta, 1978
______________, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Antara, Jakarta, 1975
Jatnika, Rahmat, DR., Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Pustaka Islam, Surabaya, 1985
Khaf, Monzer, DR., Deskripsi Ekonomi Islam, Minaret, Jakarta, 1987
Salim, Hadiyah, Mukhtar al-Hadis, PT. al-Ma’arif, Bandung, 1985
Tim Departemen Agama RI., Islam Untuk Disiplin Ilmu Ekonomi, Dir. Pemb. PTA., 1988
T.H. Muhammad, DR., Kedudukan Ilmu dalam Islam, Ikhlas, Surabaya, 1982
0 Response to "POLITIK ISLAM DAN HAM"
Post a Comment