Kemungkinan Bentuk Penyesuaian Dalam Suatu Proses Adaptasi Lingkungan
Kemungkinan Bentuk Penyesuaian Dalam Suatu Proses Adaptasi Lingkungan
1. Pendahuluan
Perubahan fisik lingkungan dapat dipandang sebagai suatu tekanan bagi keluarga atau masyarakat untuk melakukan penyesuaian sehingga kebutuhan keluarga/masyarakatdapat secara layak terpenuhi. Umumnya penyesuaian ini dinyatakan dalam bentuk penyesuaian yang dilakukan di tempat dan penyesuaian dengan berpindah tempat tinggal. Tingkat pertambahan penduduk kota yang tinggi memerlukan penanganan yang memadai sehingga kota dapat hidup dan berkembang secara berkelanjutan. Khususnya di Indonesia, petambahan penduduk dan tekanan peningkatan aktivitas kota cenderung mengarah ke perkembangan yang tidak berlanjut sehingga banyak kota Indonesia mulai menurun kualitas dan kuantitas pelayanannya. Umumnya setiap kota mempunyai permasalahan dalam penyediaan tempat tinggal. Beberapa bagian kota menyediakan tempat tinggal dibawah standard layak dan belum dapat ditangani oleh pemerintahan kota. Kebanyakan tempat tinggal ini masih belum mempunyai sarana dan prasarana kesehatan lingkungan yang layak, serta secara fisik bangunan rumahnya juga dibawah standard.
Kualitas lingkungan lokal kawasan tempat tinggal kebanyakan dipelihara dan ditangani langsung oleh penduduk kota semakin dan lama semakin menurun kualitasnya karena adanya:
- Pembangunan kawasan baru biasanya akan menggangu keadaan fisik dan sosial setempat
- Penyediaan fasilitas dan utilitas kota tidak setara dengan kebutuhannya akibat perkembangan pembangunan yang tidak terkontrol dengan baik
Pertumbuhan kota yang tidak dapat dikendalikan dengan baik menyebabkan adanya pelebaran wilayah kota sehingga kadang-kadang kota tidak mampu untuk mengelolanya. Pertumbuhan kelompok-kelompok permukiman yang terlepas satu dengan lainnya menyebabkan kemampuan kota untuk melayani wialyahnya menjadi menurun. Sedangkan di dalam kawasan dalam kota masih banyak permasalahan yang belum tertangani. Rencana kota seharusnya dapat dijadikan sebagai alat pengendali pembangunan kota, akan tetapi saat ini dokumen rencana kota belum digunakan secara efektif.
Dengan target tingkat pertumbuhan kota yang tinggi, maka pendekatan pembangunan ekonomi kota biasanya cenderung menciptakan kawasan-kawasan pabrik dan pembangunan pusat-pusat perdagangan. Tempat-tempat ini menjadi daya tarik yang kuat bagi masyarakat untuk berpindah mendekati lokasi-lokasi tersebut. Untuk masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah, keputusan untuk mencari tempat tinggal di dekat pusat ekonomi kota sudah menjadi suatu keputusan yang wajar. Adanya kelemahan dalam pengelolaan kawasan kota, maka di berbagai tempat terbentuk kawasan-kawasan kumuh yang mempunyai kualitas lingkungan tempat tinggal yang rendah. Akibatnya, kemampuan daya tahan kota untuk menangani perubahan-perubahan fisik, sosial dan ekonomi menjadi rendah. Kota menjadi rentan terhadap perubahan-perubahan yang dapat diperkirakan ataupun yang tidak diperkirakan (bencana).
Kemampuan menanggapi perubahan konstelasi fisik kota akan sangat berkurang jika kemampuan pengelolaan kota rendah. Disisi lain, masyarakat/penduduk kota mempunyai kecenderungan untuk menangani perubahan kota dengan mengorganisasikan perubahan ini tanpa melibatkan pemerintahan kota. Sebagi contoh, di berbagai kawasan, pembangunan jalan lingkungan harus dilakukan oleh penduduk setempat. Untuk kasus di kawasan kumuh, penanganan genangan air dan banjir dilakukan oleh penduduk setempat. Untuk menaggulangi kekurangan air keperluan rumah tangga yang layak, banyak masyarakat menggunkan air sungai langsung tanpa ada perlakuan khusus.
Kemampuan beradaptasi terhadap tantangan alam ini sebenarnya sudah inheren ada pada masyarakat penduduk kota, terutama dalam keadaan pelayanan kota sangat minim, sedangkan tekanan kebutuhan cenderung mendesak. Setiap keluarga secara terus menerus akan mengevaluasi keadaan tempat tinggalnya untuk menentukan apakah tempat tinggalnya masih sesuai dengan norma keluarganya atau norma kulturalnya. Jika keadaan tempat tinggalnya tidak sesuai dengan norma keluarga dan kulturalnya, maka ada tiga kemungkinan jawaban dari keluarga tersebut[1]), yaitu:
- berpindah (residential mobility)
- merubah tempat tinggalnya (residential adaptasi)
- merubah kebutuhan dan keperluan keluarga (family adaptation)
2. Dampak Kenaikan Permukaan Laut
Hampir di seluruh dunia, penduduk dan kegiatannya terkonsentrasi di kawasan pantai dan dataran rendah. Permukiman di pantai lebih berkembang dari permukiman di pedalaman. Di Indonesia, permukiman perkotaan tumbuh dan berkembang di tempat yang termasuk dalam jalur pelayaran tradisional. Kawasan-kawasan yang mengarah ke Laut Jawa banyak yang berkembang. Masalah linkungan tempat tinggal di kawasan kota pantai tidak berbeda jauh dengan kota lainnya. Hampir seluruh aspek lingkungan belum tertangani dengan baik sehingga permasalahan lingkungan terlihat lebih menonjol.
Di beberapa Permukiman nelayan masih terlihat sebagai kawasan yang kurang layak huni dan cenderung memberikan citra kemiskinan. Di kota pantai permasalahan banjir sampai saat ini masih sulit untuk ditangani. Akan tetapi, masyarakat setempat mempunyai cara-cara tertentu untuk menjawab permasalahan banjir ini dengan keterbatasannya sendiri.
Dengan memperhatikan skenario kenaikan muka air laut akibat pemanasan global (global warming), maka dampak terhadap kawasan permukiman kota tidak hanya terjadi di kota-kota yang langsung berhadapan dengan pantai, akan tetapi kota-kota yang di pedalaman tetapi masih terpengaruh oleh sifat-sifat laut. Dampak yang dapat diperkirakan adalah[2] :
- Genangan di lahan rendah dan rawa
- Erosi Pantai
- Gelombang besar dan banjir
- Kenaikan muka air sungai
- Intrusi air garam sungai dan air tanah
- Kenaikan muka air sungai
- Perubahan deposit sendimen
- Perubahan pasang dan ombak
Secara umum dampak ini dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
3. Proses Adaptasi terhadap lingkungan
Tanggapan terhadap adanya tekanan-tekanan fisik, sosial dan ekonomi terhadap suatu kelompok/individu dapat diuraikan dengan memperhatikan dua norma yang saling mempengaruhi yaitu[3] :.
- norma keluarga dan
- norma kultural
Norma kultural (cultural norm) dapat diartikan sebagai norma yang terbentuk dalam kehidupan sehari-hari secara spontan dan nyata. Norma ini dapat diukur dari:
- tolok ukur yang terhipotesakan dalam bentuk-bentuk pernyataan-pernyataan yang diakui kebenarannya
- dokument tertulis dan
- pengaruh-pengaruh sikap atau sepak terjang (behavior)
Perlu diperhatikan bahwa norma kultural ini tidak selalu memperlihatkan keinginan sesungguhnya dari suatu masyarakat. Masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh tidak selalu mempunyai sikap-sikap yang tersesuiakan dengan keadaan fisik kawasan. Mereka kadang-kadang tidak ingin tinggal di tempat tersebut. Akan tetapi karena tekanan external, maka keputusan yang diambil adalah tinggal di tempat kumuh.
Norma kultural ini dapat juga dipakai sebagai dasar untuk mengukur kebutuhan standard lingkungan permukiman. Suatu contoh yang terlihat dengan jelas bahwa untuk kawasan permukiman kelas menengah mempunyai norma kultural untuk berbelanja di suatu bentuk pasar yang dikemas dengan nama “super market”. Kebutuhan atas supermarket ini yang awalnya merupakan norma kultural penduduk kelas menegah keatas, dapat dijadikan sebagai suatu standard kelayakan bagi permukiman yang diperuntukan untuk kelas menengah.
Norma keluarga adalah suatu norma internal dalam aturan-aturan dan cara pandang keluarga. Norma ini hanya efektif kedalam keluarga keluarga inti maupun dalam arti luas. Unit keluarga inti yang dikenal dengan “bapak-ibu-anak” dapat diperluas dengan ukuran lebih lebar ialah tetangga terdekat. Kemudian berurutan hingga keluarga dalam ukuran kota negara dan dunia. Batas-batas ini dapat diartikan sebagai suatu batas lingkungan kekeluargaan yang dapat digabarkan sebagai berikut[4]):
Secara menerus evaluasi yang dilakukan oleh keluarga akan selalu disesuaikan dengan norma-norma keluarga yang dipakai. Keputusan yang mungkin dilakukan untuk penyesuaian norma ini ialah dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dalam bentuk berpindah atau tetap ditempat di tempat tinggal semula. Keputusan ini akan bergantung juga kepada kemampuan keluarga/masyarakat untuk beradaptasi dengan keadaan setempat.
Penyelidikan yang dinilai klasik dari Rossi[5] (1955) yang menyelidiki alasan-alasan penduduk kota berpindah tempat tinggal dengan dasar karakteristik tempat tinggal dan lingkungan sosial ekonomi terdekat menyatakan bahwa perpindahan disebabkan oleh adanya
- alasan dari luar keluarga (pindah kerja, kawin atau diusir)
- tidak puas dengan keadaan tempat tinggal lama
- mencari tempat tinggal yang sesuai dengan keinginan
- keamanan
- tempat lain lebih menarik
- lebih murah.
Selanjutnya Golledge and Stimson (1987) menyimpulkan dari berbagai penyelidikan terhadap pola perpindahan tempat tinggal yang mengungkapkan tempat-tempat diharapkan oleh penduduk kota yang diuraikan sebagai berikut:
- tempat-tempat fungsional yang sangat diperlukan oleh masyarakat
- kualitas lingkungan fisik dan kualitas estetik dari lingkungan tetangga
- fasilitas sosial dan fasilitas umum yang tersedia
- faktor lingkungan sosial (prestige, socio-economic status, ethnicity dll)
- tahapan dalam siklus kehidupan/keluarga yang berhubungan dengan kebutuhan tempat tinggal
- pengenalan akan lokasi tempat tinggal, dan karakrakteristiknya.
Suatu proses pengambilan keputusan berpindah tempat atau tetap tinggal di kawasan yang lama akan bergantung apakah keinginan dan harapan yang ada dapat terlayani oleh kawasan tersebut atau tidak. Tekanan-tekanan yang ada selama tinggal di kawasan tersebut sebagai dasar acuan suatu keputusan tinggal atau pindah. Ada 4 bentuk umum dari tekanan (stressor) lingkungan yang dinyatakan oleh Pacione[6] (1990)
- kejadian bencana
- kejadian tekanan hidup
- gangguan sehari hari
- gangguan atau tekanan yang terjadi terus menerus (ambient stressor)
Kepuasan terhadap kualitas lingkungan tempat tinggal dapat diukur dengan :
- alat ukur objective seperti jumlah pelayanan, tingkat kejahatan, jumlah polusi suara dll
- perbedaan antara komposisi keluarga dengan karakteristik tempat tinggal.
Alat ukur yang pertama biasanya dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dengan mengukur berbagai variabel yang akan menggangu dan akan memberikan kenyamanan pada penduduk. Alat ukur kedua melihat kebutuhan keluarga dalam suatu komposisi keluarga tertentu baik secara kuantitatif (jumlah anak, jumlah keluarga, jumlah tanggungan pendapatan keluarga dll) dengan karakteristik (kualitatif maupun kuantitatif) dari tempat tinggal. Pengukuran kedua akan melibatkan ukuran-ukuran yang nyata dan abstrak (persepsi, keinginan, harapan, kepercayaan, mistis dll).
Kemampuan untuk beradaptasi berbeda dari tiap individu/kelompok dalam suatu kawasan tertentu. Batas ambang toleransi terhadap tekanan lingkungan (kemudian disebut stressor) memperlihatkan kemampuan untuk beradaptasi dan menangani stressor. Setiap individu/masyarakat mempunyai tingkat vulnerable yang berbeda dari berjenis stressor.
Suatu kelompok masyarakat dengan berbagai tingkat sosial, teknologi, lingkungan geografi, dan ketersediaan sumberdaya alam mempunyai kemampuan tersendiri dalam mendapatkan tempat tinggal yang sesuai. Hal-hak ini menjadi dasar masyarakat dalam mengartikan dan menentukan kebutuhan tempat tinggal yang dimiliki dan yang akan diusahakan. Kebutuhan tempat tinggal yang wajar akan setara dengan norma kultural tempat tinggal yang dipakai. Kebutuhan tempat tinggal tidak hanya bergantung kepada kebutuhan minimum rumah sebagai tempat beteduh atau minimum kesehatan atau keamanan dalam arti yang absolut, tetapi didasari pengertian standard kultural terhadap tempat tinggal yang sekarang ditempati. Tekanan untuk melakukan perubahan kualitas dan kuantitas tempat tinggal dapat dilihat dari penilaian ketidak sesuaian dan kesesuaian terhadap tempat tinggal yang ada sekarang. Secara skematis[7] dapat ditunjukan sebagai mana terlihat pada diagram dibawah ini.
Dimensi dari ukuran pesesuaian tempat tinggal tidak hanya terlihat dari kondisi fisik lingkungan saja akan tetapi akan berhubungan dengan kondisi sosial kemasyarakatan setempat. Adalah suatu kenyataan di berbagai kota di Indonesia terdapat kawasan kota yang termasuk dalam katagori permukiman kumuh. Secara pandangan fisik kawasan ini tidak layak untuk ditinggali. Beberapa kasus kesehatan fisik dan kesehatan jiwa terjadi di kawasan ini yang dianggap dapat memperlihatkan tingkat kualitas hunian yang rendah. Ukuran lainnya yang biasa dipakai ialah ukuran tingkat pelayanan kota yang tidak memadai . Di berbagai kawasan kota sering terdengar adanya kekurangan air bersih, pelayanan pembuangan sampah yang tidak memadai, kemudahan mendapatkan listrik atau saluran telepon yang tidak jelas, jalan untuk trasportasi tidak ada yang memadai dan seterusnya.
Akan tetapi, berbagai penyelidikan di kawasan tersebut selalu memperlihatkan adanya dorongan untuk tinggal lebih lama di kawasan kumuh tersebut dan mereka sudah juga melakukan modifikasi-modifikasi lingkungan sehingga dapat mempertinggi tingkat kesesuaian kebutuhan dan keinginannya (satisfaction level).
Kasus permukiman di beberapa kawasan yang terpengaruh oleh air (antara lain Palembang, Ujung Pandang, Semarang) memperlihatkan bahwa kawasan yang selalu tergenang sudah tidak menjadi masalah bagi kebanyakan penduduk yang sudah lama tinggal di tempat tersebut. Beberapa tempat genangan ini membawa dan mengendapkan berbagai bentuk sampah padat sehingga diperkirakan akan menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Di kawasan yang mempunyai kontak langsung dengan sungai, air sungai digunakan untuk keperluan domestik, walupun secara kasat mata air tersebut tidak layak untuk digunakan langsung. Berbagai polutan (bau, udara, dll) akan kontak langsung dengan penduuk yang diperkirakan akan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Untuk melihat tingkat keseuaian dengan lingkungan tempat tinggal Pacone[8] (1990) juga menyimpulkan berbagai dimensi kesesuaian tempat, sebagai berikut:
- Visual dan kenyamanan terhadap suar
- Jenis penguasaan lahan
- Keadaan fisik alam sekitar
- Kemudahan ke pelayangan umum dan sosial
- Factor pribadi penhuni (pengalaman bertempat tinggal, acuan pribadi, sikap terhadap lingkungan dan tradisi/budaya)
- Karakteristik dari rumah, tetangga, kawasan permukiman
Dasar-dasar perencanaan dan perancangan fisik kawasan kota ialah mengidentifikasikan keadaan fisik kawasan/kota yang mempunyai kemungkinan besar dapat memuaskan penduduknya. Tujuan utama dari perancang dan perencana kawasan ialah mengorganisasikan ruang fisik untuk melayani bentuk-bentuk tertentu dari sifat dan perilaku pengguna serta menciptakan keadaan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia. Menurut Pacione[9] (1990) yang menyarikan dari pendapat Zeisel (1975, 1981) menyatakan bahwa pendekatan behavioral untuk perancangan kota mengelompokan kebutuhan penduduk kota menjadi enam (6) kelompok, sebagai berikut:
- Keamanan (secrurity), suatu perasaan aman dalam lingkungan permukiman
- Kejelasan (clarity), mudah untuk bergerak dan lingkungan tersebut mudah dimengerti
- Interaksi sosial (social interaction), lingkungan yang dapat menampung kegiatan sosial yang melayani kebutuhan interaksi antar penduduk
- Kenyamanan (convenience), kemudahan untuk melaksanakan kegiatan dalam skala domestik (keluarga) teangga dan skala kota
- Jatidiri (identity) hubungan antara pribadi dan lingkungan yang terbungkus dalan bentuk kesadaran akan lokasi.
4. Adaptasi lingkungan
Adaptasi lingkungan dapat dikelompokan menurut unit besaran keterlibatan masyarakat/individu dalam suatu kawasan atau wilayah. Pengelompokan secara sederhana adalah sebagai berikut:
- Kawasan setingkat kota
- Kawasan setingkat lingkungan
- Kawasan setingkat keluarga
Secara umum dalam lingkup kota adaptasi lingkungan selalu dapat dilakukan oleh penduduk kota. Beberapa kota pantai memperlihatkan pertambahan kawasan secara menerus dari tahun ketahun, walupun adanya tekanan-tekanan fisik alam, sosial maupun ekonomi. Sebagai contoh kota Jakarta dan Kota Tokio yang tumbuh seperti amuba walaupun berbagai permasalahan fisik terjadi dari tahun ke tahun.
Kota Semarang yang mempunyai lahan tumbuh kearah pantai, sampai saat ini lahan t\umbuh tersebut digunakan untuk permukiman dengan beragam kegiatan, walaupun diawal pembangunan permukiman sudah dikenal adanya genangan-genangan air yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Daerah-daerah genangan di Jakarta dapat ditangani dengan pembuatan kana-kanal untuk mengalirkan air. Pertumbuhan kota Jakarta dari tahun-ketahun bergerak mengarah ke daratan. Keadaan ini juga terjadi pada kota-kota pantai di dunia
Sebagai penyesuaian terhadap lingkungan sekiranya, beberapa kawasan melakukan penimbunan lahan-lahan yang basah dan tergenang. Contoh kasus kota Palembang yang menimbun beberapa kawasan yang tergenang dan rawa dengan bahan-bahan dari Sungai Musi sewaktu pengerukan. Beberapa kawasan yang tadinya tergenang air saat ini sudah kering dan terbangun berbagai prasarana lingkungan.
Kasus kota Semarang dengan pembangunan kolam penampungan air untuk menghindari tergenangnya sarana umum (Stasiun Tawang Semarang) dengan menggunakan sistem pompa. Dengan teknologi pompa, diharapkan beberapa genangan yang terjadi dapat tertangani, walaupun ada berbagai persoalan atas kesinambungan penggunaan pompa tersebut.
Dalam lingkup rumah tangga, adaptasi lingkungan dilakukan dengan keterbatasan setempat. Pola permukiman tradisional dengan bentuk rumah panggung merupakan salah satu cara untuk mengatasi genangan air. Sejalan dengan perkembangan kawasan, maka ruang dibawah panggung digunakan untuk kegiatan domestik terbatas contonya gudang, garasi dan lainnya. Beberapa bangunan panggung sudah dirubah menjadi bangunan tidak panggung karena kolong panggung sudah digunakan untuk kkegiatan domestik secara penuh. Beberapa kasus rumah tinggal tidak panggung membangun tanggul-tanggul tetap dan atau sementara untuk menghindari genangan air masuk ke dalam rumah.
Bentuk adaptasi sosial, masyarakat setempat memperlihatkan sudah dapat menerima bentukan-bentukan interaksi sosial yang dibatasi oleh genangan air. Genangan air dapat dijadikan sebagai tempat bermain anak-anak-anak. Beberpa lantai panggung dibangun bersama untuk tempat pertemuan sosial diluar rumah. Sampah yang terbawa oleh aliran air dan mengendap di sekitar rumah sudah tidak menjadi gangguan terhadap kualitas visual dan fisik. Adaptasi sosial ini terjadi hampir di berbagai tempat di perkotaan yang kawasannya dipengaruhi oleh air.
5. Penutup
Manusia mempunyai kemampuan adaptasi dengan alam. Teknologi yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia diharapkan dapat memanfaatkan alam sebaik mungkin. Pemanfaat alam untuk kehidupan manusia bergantung dari kemapuan manusia tersebut menanggapi alam.
Perubahan alam akan mempengaruhi cara hidup dan cara pandang manusia terhadap alam. Pengelolaan pembangunan kota yang tidak mempertimbangkan sistem lingkungan alam yang ada akan menimbulkan bebagai persoalan-persoalan baru. Cara pandang pesimistik menganggap bahwa kerusakan alam akan lebih menyengsarakan manusia karena adanya keterbatasan dari manusia itu sendiri. Akan tetapi pandangan optimistik memberikan gambaran yang berbeda. Karena manusia bagian dari alam, maka perubahan alam akan juga merubah manusia. Dengan kemampuan adaptasi yang dimiliki oleh manusia, maka permasalahan-permasalahan alam akan dapat ditangani oleh manusia.
Teknologi memberi peran yang signifilan dalam pengelolaan alam. Peradaban manusia berjalan dengan perkembangan teknologi yang dapat ditangani oleh manusia itu sendiri. Kesulitan akan timbul jika terjadi perbedaan jenjang antara kemampuan menangani teknologi dengan kebutuhan akan tenologi untuk mengahadapi alam. Akan tetapi teknologi yang tercipta oleh manusia masih dapat dipelajari dan dipergunakan oleh manusia, sehingga yang diperlukan adalah suatu teknologi yang tepat sesuai dengan keadaan lingkungan alam dan kemampuan manusia.
Pendekatan optimis, manusia merupakan bagian dari alam yang paling dapat beradaptasi terhadap alam, merubah alam dan memanfaatkan alam.
SUMBER ARTIKEL;
[1] Morris, Earl W., (1975), A Theory of Family Housing Adjustment”, Journal of Marriage and the Family, February: 79-88
[2] ………………., (2000) , Data Book of Sea Level Rise 2000, Center for Global Environment Research, NIES, Environment Agency of Japan, hal:28-29
[3] Morris, Earl W., (1975),
[4] Samyahardja, Puthut (1994), Residential Attitudes and Gradual Residential Improvement: A case Study in Bandung, Indonesia, Unpublished Thesis, School of Town Planning, UNSW, Sydney, Australia.
[5] Tercantum dalam Golledge, R.G. dan Stimson R.J. (1987), Analytical Behavioural Geography, Croom Helm, London, 1987, hal 285-286
[6] Pacione, Michael, (1990), Urban Liveability: A Review, Urban Geography, Vol. 11,1: 1-30
[7] Golledge, R.G. dan Stimson R.J.(1987), Analytical Behavioural Geography, Croom Helm, London, 1987, hal:276
[8] Pacione, Michael, (1990
[9] Pacione, Michael, (1990)
0 Response to "Kemungkinan Bentuk Penyesuaian Dalam Suatu Proses Adaptasi Lingkungan"
Post a Comment