Pemikiran Etika Politik Dalam Islam

Pemikiran Etika Politik Dalam Islam
Dunia ilmu pengetahuan, pada masa pemerintahan Abbasiyah, mengalami zaman keemasannya, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun kekuasaan dinasti ini. Khalifah ke tujuh, Makmun, sangat besar perhatiannya kepada pengembangan ilmu pengetahuan, yang yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan social maupun ilmu pasti dan ilmu alam. Dia juga dikenal pengagum ilmu-ilmu Yunani, termasuk filsafat. Untuk melengkapi dan mendukung kebutuhan keilmuan, ia mendirikan perpustakaan Bait al-Hikmah, dengan buku-buku asing juga buku-buku Islam. Dari sinilah, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani semakin meluas dan mendalam, yang pada saatnya nanti akan menimbulkan hasrat sarjana-sarjana Islam untuk mempelajari msalah-msalah kenegaraan secara rasional. Maka lahirlah pemikir-pemikir muslim yang mengemukakan konsepsi politiknya melalui karya-karyanya.[25] Dalam pembahasan pemikiran etika politik ini, penulis batasi hanya pada pemikiran politik pada masa klasik dan pertengahan awal.[26]
a. Pemikiran Ibn Abi Rabi’
Nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abi Rabi’. Pemikirin politiknya terlihat dalam karyanya yang berjudul suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik (perilaku raja dalam pengelolaan kerajaan-kerajaan), yang ditulis untuk memenuhi permintaan khalifah al-Mu‘tashim, khalifah ke delapan dinasti Abbasiyyah, yang memerintah abad IX Masehi.[27]

Menurut Ibn Abi Rabi’, asal mula tumbuhnya kota atau terbentuknya negara, berasal dari ketidak berdayaan manusia untuk hidup sendiri dalam mencukupi segala kebutuhan hidupnya, tanpa bantuan orang lain. Ketergantungan kepada orang lain inilah, mendorong manusia untuk saling membantu dan berkumpul, serta menetap di satu tempat. Dari sinilah, tumbuh sebuah komunitas kota, yang akhirnya berkembang menjadi sebuah negara.[28]

Kekuasaan kepala negara, bagi Ibn Abi Rabi’, adalah bersumber dari Tuhan. Hal ini dapat dipahami dari statemennya, bahwa Allah mengangkat penguasa-penguasa bagi masyarakat. Penguasa-penguasa ini mendapat pancaran Ilahi dan dikukuhkan dengan karamah-Nya. Hanya saja, dia tidak menjelaskan, dikukuhkan melalui pemilihan atau penunjukan. Sehingga sumber kekuasaan kepala negara adalah bukan berasal dari rakyat, tetapi dari Allah yang diberikan kepada orang pilihan-Nya. Dan tugas pemimpin negara itu adalah mengelola urusan rakyatnya dan bertindak sebagai hakim untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka.[29]

Lebih lanjut Ibn Abi Rabi’ menjelakan, bahwa Allah telah memberi keistimewaan kepada para penguasa, dengan memuliakannya, memberi kedudukan penting di negaranya, dan disegani hamba-hamba Allah. Allah pun juga mewajibkan kepada para ulama untuk mengagungkan, memuliakan dan menghormati raja, sebagaimana Allah mewajibkan orang-orang yang beriman untuk mentaati para penguasa.[30]

Pemimpin masyarakat atau negara, demikian Ibn Abi Rabi’, haruslah seorang manusia utama. Baginya, manusia utama adalah mereka yang memenuhi criteria sebagai berikut :
  1. mempunyai kemampuan untuk mewujudkan kebahagiaan.
  2. sehat tubuhnya.
  3. mempunyai pemahaman dan penelaahan yang baik terhadap pendapat ulama yang mengetahui kandungan kitab suci.
  4. daya ingatnya baik (kuat) dan tidak melupakan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya.
  5. memiliki tingkat kecerdasan dan ketajaman berfikir yang baik, saat menghadapi suatu masalah.
  6. berkemampuan olah vokal dengan baik.
  7. mencintai ilmu dan suka belajar, serta mengambil pelajaran dari setiap kejadian.
  8. tidak mempunyai karakteristik yang buruk dan membenci sesuatu, yang dapat mengakibatkan buruk bagi dirinya.
  9. berjiwa besar, mencintai kemuliaan dan menjaga dirinya dari segala sesuatu yang membawa keburukan.
  10. mencintai keadilan, kejujuran, dan orang-orang yang adil dan jujur; serta benci kepalsuan dan kebohongan.
  11. percaya diri untuk merealisasikan cita-citanya, tidak takut mati, dan tidak punya jiwa yang lemah.
  12. memandang rendah dunia dan hal-hal yang membawa kepada nilai-nilai keduniaan yang fana.[31]
Bentuk pemerintahan yang terbaik, masih menurut Ibn Abi Rabi’, adalah bentuk pemerintahan monarkhi, yakni pemerintahan yang berpusat pada satu individu, yaitu seorang raja.[32] Hal ini didasarkan dengan pertimbangan, dengan banyaknya pemimpin, akan dapat melumpuhkan politik pemerintahan dan menimbulkan kekacauan. Karenanya, sebuah kota / negara atau masyarakat perlu dipimpin oleh seorang pemimpin yang kuat.[33] Selain itu, sebuah negara perlu dipimpin seorang pemimpin, juga didasarkan dengan beberapa pertimbangan lain, seperti agar penguasa mempunyai kesempatan yang besar untuk menegakkan keadilan di antara warga negara; dapat menolak kezhaliman terhadap orang-orang yang mungkin dianiaya; mendorong warga negara untuk mewujudkan tujuannya yang luhur, sehingga setiap orang dapat bekerja untuk kepentingan dirinya dan kepentingan masyarakat. Bagi Ibn Abi Rabi’, sebuah negara cukup dipimpin seorang penguasa yang mengelola dan merencanakan, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara warga masyarakat. Hal ini dimaksudkan, agar tiap-tiap anggota masyarakat dapat bekerja dan menghasilkan suatu produksi yang bermanfaat bagi kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain.[34]

Sebuah negara dapat tegak, tegas Ibn Abi Rabi’, jika komponen-komponen penting diperhatikan, yaitu : raja, rakyat, keadilan dan pengelolaan pemerintahan (administrasi negara).

Seorang raja setidaknya harus memenuhi 6 kriteria sebagai berikut : 
  1. dari segi keturunan, ia harus berasal dari keluarga raja dan dekat hubungan kekerabatannya dengan raja sebelumnya; 
  2. mempunyai cita-cita yang tinggi, yang dapat dibina melalui pendidikan akhlaq; 
  3. berpendirian tegas, yang bias dibina melalui penelaahan dan pembahasan tentang pola-pola pengelolaan negara yang dilakukan oleh para raja sebelumnya; 
  4. tegar saat menghadapi kesulitan; 
  5. memiliki sumber finansial yang cukup; 
  6. dan mempunyai pembantu-pembantu yang jujur.[35]
Berkaitan dengan keadilan, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : keadilan yang berhubungan dengan perbuatan seorang hamba yang berkenaan dengan hak Allah; keadilan yang berhubungan dengan perbuatan seseorang yang berkenaan dengan hak-hak terhadap sesamanya; dan keadilan yang berhubungan dengan perbuatan seseorang terhadapat hak-hak para pendahulu mereka.

Adapun indicator seseorang dapat dikatakan bersikap adil adalah  menepati janji dan amanah, serta dapat dipercaya; 
  1. bersifat penyayang dan terbebas dari sikap penipu; 
  2. memelihara dan memperhatika janji-janjinya kepada orang lain; 
  3. jujur dalam segala tindakannya; 
  4. tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku; 
  5. menempatkan segala seuatu pada tempatnya dan menyampaikan amanat pada yang berhak menerimanya.[36]
Selanjutnya, agar kekuasaan dan pengelolaan pemerintah berjalan secara efektif dan efesien, penyelenggara negara – masih menurut Ibn Abi Rabi’ – harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) tidak mengangkat pejabat negara yang tidak memiliki integritas kepribadian yang memadai dan membahayakan kerajaan; 2) tidak meminta fatwa atau saran kepada orang yang tidak dapat dipercaya, yang dapat membawa kehancuran negara; 3) tidak menyimpan atau menyampaikan rahasia kepada orang yang tidak dapat dipercaya; 4) tidak minta bantuan kepada orang yang tidak memiliki kemandirian, yan dapat merusak urusannya; 5) tidak meremehkan pejabat-pejabat negara, yang menunjukkan kelemahan pemikirannya; 6) tidak memberi tugas kepada orang-orang yang bodoh atau tidak mampu, yang dapat berakibat buruk.[37]

b. Pemikiran al-Farabi 
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Uzalagh Ibn Tharkhan al-Farabi. Lahir di kota kecil bernama Wasij, wilayah Farab, termasuk kawasan Turkisan, tahun 257 H/870 M, dari pasangan ayah yang berkebangsaan Persia dan ibu berkebangsaan Turki. Wafat tahun 339 H/950 M. Pemikiran-pemikiran politiknya dapat dilihat dalam karya-karyanya, antara lain : Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fadlîlah (pandangan-pandangan para penghuni negara yang utama), Tahshil al-Sa‘adah (jalan mencapai kebahagiaan), dan al-Siyâsah al-Madaniyyah (politik kenegaraan).[38]

Sebagaimana Ibn Abi Rabi’, berkaitan dengan asal usul kota atau sebuah negara, al-Farabi juga berpendapat, bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang secara alami mempunyai kecenderungan untuk hidup bermasyarakat. Karena, untuk memenuhi kebutuhannya, ia membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan pihak lain. Dan tujuan bermasyarakat ini, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup ini saja, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup bagi kebahagiaan manusia.[39]

Dari kecenderungan alami manusia untuk bermasyarakat, lahirlah berbagai macam masyarakat; ada yang sempurna (al-kâmilah) dan ada yang tidak sempurna (ghayr al-kâmilah).

Masyarakat yang sempurna, menurut al-Farabi, terbagi menjadi tiga macam, yaitu : masyarakat sempurna besar, masyarakat sempurna sedang, dan masyarakat sempurna kecil. Adapun masyarakat sempurna besar adalah gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama; atau dapat diistilahkan dengan perserikatan bangsa-bangsa. Masyarakat sempurna sedang adalah masyarakat yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni satu wilayah di bumi ini; atau dapat disebut dengan negara nasional. sedangkan masyarakat sempurna kecil adalah masyarakat yang terdiri dari para penghuni satu kota; atau diistilahkan dengan negara-kota.[40]

Adapun masyarakat yang tidak sempurna adalah kehidupan social di tingkat desa, kampung lorong dan keluarga, dan di antara tiga pergaulan yang tidak atau belum sempurna itu. Karenanya, kehidupan social dalam rumah atau keluarga adalah masyarakat yang paling tidak sempurna. Keluarga merupakan bagian dari masyarakat lorong; masyarakat lorong merupakan bagian masyarakat kampung; dan masyarakat kampung merupakan bagian dari masyarakat negara-kota. Hanya bedanya, kampung merupakan bagian negara-kota, sedangkan desa hanya merupakan pelengkap untu melayani kebutuhan negara-kota.[41] Dari sini nampak, al-Farabi tidak menganggap tiga unit pergaulan social tersebut sebagai masyarakat yang sempurna, karena tidak cukup kuat untuk berswasembada dan mandiri dalam rangka memenuhi kebutuhan para warganya, baik berkaitan dengan masalah ekonomi, social, budaya maupun spiritual.[42]

Selanjutnya, kepala negara, lanjut al-Farabi, haruslah seorang pemimpin yang arif dan bijaksana, yang memiliki dua belas kualitas luhur, yang sebagian telah ada sewaktu lahir sebagai watak yang alami atau tabiat yang fitri, namun yang lain perlu dikembangkan melalui pengajaran yang terarah, pendidikan serta latihan yang menyeluruh. Baginya, pemimpin negara tidak harus seorang filsuf yang mendapat kemakrifatan atau kearifan melalui pikiran dan rasio, tetapi juga dapat seorang nabi yang mendapat kebenaran lewat wahyu. Adapun kedua belas syarat pemimpin itu antara lain : 
  1. lengkap anggota tubuhnya; 
  2. mempunyai kemampuan pemahaman yang baik; 
  3. kuat hafalannya dan tinggi intelegensianya; 
  4. pandai mengemukakan pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya; 
  5. mencinta pendidikan dan gemar mengajar; 
  6. tidak rakus terhadap makanan dan makanan serta wanita; 
  7. mencinta kejujuran dan membenci kebohongan; 
  8. berjiwa besar dan berbudi luhur; 
  9. tidak memandang penting terhadap kekayaan dan kesenangan-kesenangan dunia;
  10.  mencintai keadilan dan membenci kezhaliman; 
  11. tanggap dan tidak sukar, bila diajak menegakkan keadilan, dan sulit bila diajak untuk melakukan atau menyetujui tindakan keji dan kotor; 
  12. kuat pendiriannya terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, tidak penakut atau berjiwa lemah.[43]
Karena untuk mendapatkan orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut adalah sangat sulit dan jarang, maka – masih menurut al-Farabi – jika terdapat lebih dari satu, maka yang diangkat menjadi kepala negara adalah seorang saja. Tetapi jika tidak terdapat sama sekali yang memenuhi criteria di atas, maka pimpinan negara dapat dipikul secara kolektif antara sejulah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.[44]

c. Pemikiran al-Mawardi 
Nama lengakap al-Mawardi adalah Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Mawardi (364 H/975 M – 450 H/1059 M). Ia adalah seorang pemikir Islam terkenal, tokoh terkemuka madzhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada masa pemerintahan Abbasiyyah. Setelah menjalani hidup dengan cara berpindah-pindah, dari satu kota ke kota lainnya sebagai hakim, akhirnya dia kembali dan menetap di Baghdad, dan mendapat kedudukan terhormat pada pemerintahan khalifah Qadir.[45]

Diantara pemikiran politik al-Mawardi yang terkenal adalah tentang khilafah atau imâmah.[46] Baginya, imâmah diartikan sebagai pengganti kedudukan Nabi, yang melestarikan agama dan menyelenggarakan kepentingan duniawi.[47]

Dan eksistensi imâmah, bagi al-Mawardi, adalah penting dan wajib. Hanya saja, kewajiban itu, apakah berdasarkan akal atau syara’ masih dalam perdebatan di kalangan para ulama’. Ada yang mengatakan, imâmah wajib berdasarkan pertimbangan rasionalitas. Artinya, adanya imâmah adalah untuk menjaga ketertiban dan stabilitas keamanan, serta menghindarkan dari tindakan-tindakan anarkis dan pertentangan dan permusuhan. Namun ada juga yang berpendapat, kewajiban itu adalah ditetapkan oleh syara’, berdasarkan QS. al-Nisa’ ayat 59.[48]

Lembaga imâmah ini, menurut al-Mawardi, mempunyai tugas dan tujuan umum, yaitu : 
  1. memelihara dan mempertahankan syari’at berdasarkan prinsip-prinsip yang ditetapkan dan sesuatu yang menjadi ijma’ oleh generasi awal umat Islam; 
  2. melaksanakan ketentuan hokum di antara oknum-oknum yang sedang bersengketa atau berselisih, dan mewujudkan keadilan antara yang teraniaya maupun yang menganiaya; 
  3. melindungi wilayah Islam dan memelihara kehormatan rakyat, agar memiliki kemerdekaanjiwa dan harta mereka; 
  4. memelihara hak-hak rakyat dan hokum Tuhan; 
  5. mengkonsolidasikan kekuatan untuk melawan musuh; 
  6. berjihad terhadap orang-orang yang menentang Islam, setalah ada dakwah atau seruan, agar mereka mengakui eksistensi Islam; 
  7. memungut pajak dan sedekah menurut ketentuan syari’at, nash dan ijtihad; 
  8. mengatur pemanfaatan harta baitul mal secara efektif; 
  9. minta nasehat dan pandangan dari tokoh-tokoh masyarakat yang terpercaya; 
  10. dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah bersama kepala negara harus langsung menangani dan meneliti keadaan yang sesungguhnya.[49] Selain itu, lembaga ini juga bertugas mewujudkan kemaslahatan-kemaslahan dan sarana-sarana yang dapat mewujudkan kemaslahatan tersebut.[50]
Seorang imam dapat dipilih melalui dua cara, yaitu : melalui pemilihan sebuah badan yang disebut ahl al-‘aqd wa al-hal atau ahl al-ikhtiyâr dan melalui pilihan imam sebelumnya.[51]

Badan yang memilih imam di atas, setidaknya harus memenuhi tiga kriteria, yaitu : 
  1. berlaku adil (al-‘adâlah) dengan segala persyaratannya dalam segala sikap dan tingkah lakunya; 
  2. memiliki pengetahuan, yang dengannya dapat mengetahui siapa yang berhak menjadi kepala negara, berdasarkan kualifikasi yang ditentukan; 
  3. memiliki wawasan dan kearifan (al-ra’y wa al-hikmah), yang dapat digunakan untuk memilih imam yang mampu dan layak mengelola urusan negara dan rakyat. Dan anggota-anggotanya tidak harus terdiri dari mereka yang hanya berada dalam negara imam atau ibukota.[52]
Adapun calon imam yang layak dipilih, lanjut al-Mawardi, harus memenuhi syarat-syarat berikut ini: 
  • sikap adil (al-‘adâlah) dengan segala persyaratannya; 
  • memiliki pengetahuan yang dapat dipergunakan untuk mengambil ijtihad atau keputusan dalam mengahadapi problematika negara; 
  • sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; 
  • utuh anggota-anggota badannya; 
  • mempunyai kebijaksanaan (al-ra’y al-mufdli) dalam mengatur kehidupan rakyat dan kepentingan umum; 
  • mempunyai keberanian untuk memerangi musuh; 
  • berketurunan suku Quraisy.[53]
d. Pemikiran Ibn Taymiyyah 
Nama lengkapnya adalah Taqî al-Dîn Abû al-‘Abâs Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm Ibn ‘Abd al-Salâm Ibn ‘Abd Allah Ibn Taimiyyah al-Harânî al-Hanbalî. Lahir di kota Harran Mesopotamia Utara, pada hari Senin, tanggal 10 Rabî‘ul Awal tahun 661 H., bertepatan dengan 22 Januari 1263 M., dan meninggal di Damaskus pada tanggal 20 Dzulqa‘dah 728 H., bertepatan dengan 26 September 1328 M[54]. Ayahnya adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di masjid jami‘ Damascus. Ia bertindak sebagai khatib dan imam di masjid itu, sekaligus sebagai muallim pelajaran tafsir dan hadis. Disamping itu dia juga sebagai direktur Madrasah Dar al-Hadis al-Sukkariyyah, salah satu lembaga pendidikan mazhab Hanbali yang tergolong sangat maju dan bermutu pada waktu itu. Di sinilah Abdul Halim mendidik Ibn Taimiyyah.[55] Dan pemikiran politiknya terlihat dalam karyanya yang berjudul al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Râ‘i wa al-Ra‘iyyah (politik yang berdasarkan syari’ah bagi perbaikan penggembala dan gembala).

Orientasi pemikiran politik Ibn Taymiyyah adalah bersendikan agama. Hal ini terlihat dari judul buku di atas atau pun isi mukaddimahnya, yang mendasarkan teori etik politiknya dengan ayat al-Qur’an, surat al-Nisa’ ayat 58-59.[56] Dari dua ayat tersebut, setidaknya ada empat pesan yang terkandung di dalamnya : 
  1. perintah menunaikan amanat; 
  2. perintah berlaku adil dalam menetapkan hokum; 
  3. perintah taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri; dan 
  4. perintah menyelesaikan perselisihan dengan mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya.[57]
Namun di lain tempat, Ibn Taymiyyah menyatakan, bahwa perintah menunaikan amanat dan perintah berlaku adil merupakan dua prinsip etik utama dan paling dominan dalam al-siyâsah-nya.[58]

Tentang istilah amanat, menurut Ibn Taymiyyah, mencakup dua konsep, yaitu kekuasaan (politik) dan harta benda (ekonomi).[59] Kekuasaan merupakan amanat yang harus ditunaikan. Dan karenanya, seorang pemimpin juga harus mempunyai sifat amanah. Dia dituntut untuk berlaku amanah dalam melaksanakan tugas dan menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya.[60]

Berkaitan dengan kekuasaan politik, amanah menuntut keharusan menunaikan amanat sebagai bentuk tanggung jawabnya, baik amanat itu berasal dari Tuhan ataupun dari sesama manusia. Sedangkan amanah yang berhubungan dengan harta benda ekonomi, amanah berarti keharusan mengelola kekayaan negara secara proporsional dan bertanggung jawab untuk kemashlahatan rakyat.[61]

Dalam beberapa bagian tulisannya dalam al-Siyâsah, Ibn Taymiyyah mengungkapkan beberapa kezhaliman ekonomi yang secara substantif mengindikasikan persoalan etis.
  • Pertama, pemerintah dilarang merampas atau mengambil harta benda rakyat, yang bukan haknya. Namun bila ada harta benda rakyat yang diperoleh dengan cara yang tidak halal, maka harus dikembaikan oleh pemerintah kepada pemiliknya.[62]
  • Kedua, para pejabat hendaknya tidak menerima hadiah dari siapapun, saat melaksanakan tugas. Karena hadiah itu dapat menimbulkan dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan.[63]
  • Ketiga, harta benda yang sudah terlanjur disita oleh negara secara illegal, dan sudah diketahui, bahwa harta itu tidak ada pemiliknya, maka harta dimaksud harus digunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk sektor pertahanan keamanan dan pembayaran gaji tentara.[64]
  • Keempat, dalam pembangunan, yang harus diperhatikan adalah asas kemaslahatan secara sempurna dan menekan seminimal mungkin timbulnya kerusakan.[65]
Tentang prinsip keadilan, bagi Ibn Taymiyyah, merupakan prinsip fundamental sebuah pemerintahan. Karena pentingnya keadilan ini, Ibn Taymiyyah hingga berpendapat, bahwa pemerintah yang adil, walaupun dipimpin oleh seorang kafir adalah lebih baik daripada pemerintahan muslim tetapi berlaku zhalim. Karena, keadilan walaupun disertai dengan kekafiran, masih memungkin adanya kesinambungan kehidupan dunia, tetapi sebaliknya, kezhaliman meskipun dengan keislamannya, akan sulit mempertahankan kehidupan dunia.[66]

Etika Politik : Antara Normatifitas dan Realitas
Politik riil yang terjadi adalah pertarungan antar kekuatan masing-masing partai. Seringkali filsafat politik ataupun etika politik dianggap dunia ideal yang tidak mencerminkan realitas politik yang ada, atau pun sebaliknya.

Berbagai peristiwa kekerasan, politik uang dan korupsi, sangat mendominasi kehidupan politik di Indonesia. Peristiwa tragis juga pernah terjadi, kerusuhan disertai penjarahan, penganiayaan dan pemerkosaan (Mei 1998). Kekerasan yang lebih kejam berlangsung dalam konflik antar etnis dan antar agama (pontianak, Sampit, Ambon, Poso). Semua itu meninggalkan korban, trauma psikologis, pengungsian, dan penderitaan berkepanjangan. Serentetan kejadian itu, tidaklah terjadi secara spontan atau peristiwa insidental belaka. Namun di balik peristiwa itu, tidak lepas dari praktek politik kekuasaan kelompok tertentu.

Adalah sangat sulit, jika tragedi-tragedi itu tidak dikaitkan dengan pertarungan elit politik untuk memperebutkan kekuasaan. Meskipun demikian, rekayasa politik tidak akan memancing kekerasan dengan mudah, jika tidak ada masalah-masalah yang melilit mereka sebelumnya. Seperti masalah ketidak adilan dan kebencian korban ketidakadilan adalah konkrit adanya, yang membuat mereka semakin termarjinalkan. Kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin terlalu jauh; persoalan-persoalan sosial yang semakin komplek dan berimbas pada kebijakan yang tidak populis, seperti banyaknya anak putus sekolah, pengangguran, kemiskinan, dan penggusuran. Bentuk marginalisai ini, pada saatnya akan memancing radikalisme dalam menuntut keadilan. Dan radikalisasi menjadi kuat, karena kesadaran yang semakin kuat pada diri mereka sebagai korban. Identitas korban akan semakin mengkristal, ketika agama menawarkan pendasaran ideologis. Situasi frustasi semacam ini diperparah oleh kebencian antara pemeluk agama, yang sungguh ada dan dapat dirasakan. Prasangka buruk terhadap pemeluk agama lain sering kali muncul dan sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu yang akan memanfaatkan setiap ada chaos (kekacauan), walaupun tidak sedikit yang menjalin hubungan secara harmonis dan membangun dialog.[67]

Ketika berbagai bentuk peristiwa kekerasan itu mulai mereda, yang mencuat ke permukaan sekarang adalah politik uang dan korupsi. Adanya praktek politik uang, biasa digunakan untuk meraih kekuasaan, atau untuk melanggengkan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dalam proses pilkada di daerah-daerah, yang sarat dengan politik uang, walaupun sulit dibuktikan secara empiris. Meskipun akhir-akhir ini, KPK sering menangani kasus tangkap tangan saat terjadi penyuapan kepala daerah dan anggota dewan. Untuk melanggengkan kekuasaan itu, dibutuhkan berbagai fasilitas penopangnya, terutama ekonomi. Korupsi itu sendiri merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh oknumnya. 

Demikian halnya, saat para caleg atau calon kepala daerah berkampanye, tindak money politic pun terlihat di sana dengan berbagai bentuk yang beragam. Hal itu bisa dilihat, misalnya dari cara kampanye para caleg yang membagi-bagikan tas atau kaos bergambar caleg yang bersangkutan sebagai bentuk ‘hadiah’ atau ‘kenang-kenang’; atau membagi-bagi uang kepada para calon pemilih di daerah pemilihannya. Demikian halnya dengan para calon kepala daerah. Saat berkampanye, banyak di antara mereka yang mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan, baik pendidikan formal atau tradisional, yang nota bene banyak masanya. Saat berkunjung pun, tak segan-segan, mereka mengeluarkan banyak duit, untuk ‘menyumbang’ atau sekedar memberi ‘hadiah’ kepada sang kiai atau pimpinan lembaga tersebut. Lebih-lebih, jika kiai tersebut adalah pimpinan tarekat, yang mempunyai banyak masa, maka antusiasme para calon kepala daerah untuk mendekatinya sangat terlihat. Namun di balik pendekatan dan pemberian ‘bantuan’ tersebut, terselip pesan sponsor politis, “pilihlah saya…”. Begitulah kira-kira kondisi perpolitikan Indonesia dewasa ini.

Jika melihat realitas politik yang demikian memilukan ini, seolah-olah berbicara politik dalam tataran normatif, sebagaimana etika politik, memberi kesan naïf dan absurd. Karena kehidupan politik, pada dasarnya merupakan pertarungan kekuatan antar kelompok politik tertentu dan mempunyai kecenderungan untuk menghalalkan segala cara, asal tujuan tercapai. Dan sebagaimana kita ketahui, dalam kehidupan politik, kepentingan-kepentingan politik sesaat, yang menguntungkan kelompok tertentu (penguasa) – walaupun merugikan kepentingan rakyat – kerap kali terjadi, tanpa menghiraukan kritik dan koreksi orang lain.

Manuver-manuver politik yang dilakukan oleh para elit politik, sering tidak sejalan dengan etika politik yang telah dibangun oleh para pakarnya. Karena, politik sangat fleksibel sifatnya, sehingga seolah tidak ada tatanan normatif politik yang baku, kecuali hukum undang-undang yang kerapkali mengundang banyak kontroversi interpretasi. 

Namun tidak harus menyerah begitu saja. Adanya tindak kekerasan, politik uang dan korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan, yang sangat melekat dengan praktek kekuasaan, hendaknya justru semakin menyadarkan kita, betapa pentingnya penerapan etika politik secara teoritik ke dalam kehidupan politik secara riil, walaupun aplikasinya masih dalam proses, untuk tidak mengatakan tidak mungkin.

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa etika politik bukanlah akan mengkhutbahi para politikus secara langsung, namun setidaknya, adanya etika politik yang ada, sebagaimana pemikiran politik yang telah dibangun oleh para pemikir muslim klasik dan pertengahan di atas, dapat dijadikan sebagai bahan renungan untuk membangun iklim politik yang lebih etis dan mengevaluasi kinerja pemerintahan yang sedang berlangsung, yang akan dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk memilih pemimpin masa yang akan datang. Dengan pemahaman etika politik yang ada, diharapkan masyarakat akan menjadi lebih dewasa dalam hal politik.

0 Response to "Pemikiran Etika Politik Dalam Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel