MAKALAH PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

1.      PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu, secara subyektif harus dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya.
Jadi tidak hanya mengetahui bahwa seseorang telah melakukan perbuatan pidana kepada orang lain, melainkan apakah orang tersebut tercela atau tidak karena melakukan perbuatan pidana tersebut, maka orang tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu, sedangkan dasar dari dipidana atau pertanggungjawaban seseorang adalah “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”. Memanglah benar mana mungkin orang yang tidak melakukan kesalahan dapat dipidana, tapi kapankah seseorang itu dikatakan mempunyai kesalahan.
Pompe menyingkat bahwa kesalahan itu dengan dapatnya dicela dan dapat dihindari perbuatan yang dilakukan, menurutnya akibat dari hal ini adalah dapat dicela, pada hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakuan yang melawan hukum itu, karena kehendak si pembuat terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka kesalahan menyebabkan atau mempunyai akibat dapt dicela.
Kemudian pompe mendefinisikan arti dari kelakuan yakni suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seorang yang manpak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi obyek hukum.
Simons berpendapat mengenai kesalahan adalah keadaan psikis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatannya. Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan :                                                                                       
1.      Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan. 
2.       Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Sebagai kesimpulan mengenai hal diatas bahwa yang pertama mengatakan mengenai keadaan bathin dari orang yang melakukan pidana, dalam ilmu hukum pidana merupakan hal yang biasa dikatakan dalam pertanggungjawaban hukum, mengenai hal yang kedua yaitu hubungan antara bathin itu dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah kesengajaan, kealpaan, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan.
Kenyataan bahwa tidak mungkin dipikirkan tentang adanya kesenjangan maupun kealpaan apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab, begitu halnya dengan tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bertanggungjawab.
Kemudian karena tidak ada gunanya mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatan itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana dan kemudian semua unsur tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan.[1]
Untuk adanya kesalahan terdakwa harus:
a)      Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hokum)
b)      Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab
c)      Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan
d)     Tidak adanya alasan pemaaf[2]
2. KESALAHAN YANG MENGAKIBATKAN SESEORANG TERPIDANA
a.       Kemampuan bertanggungjawab
Dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan bathin orang yang normal, yang sehat. Dalam KUHP yang berhubungan dengan kemampuan bertanggungjawab adalah pasal 44. Menurut pasal 44, orang yang tidak dapat dihukum adalah orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena ; kurang sempurna akalnya, yang dimaksud dengan perkataan akal ialah kekuatan pikiran, daya pikiran dan kecerdasan pikiran. Orang yang dapat dianggap kurang sempurna akalnya ialah idiot,buta,tuli, dan bisu mulai lahir. Sakit berubah akalnya, yang dimaksud ialah sakit gila, epilepsy, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.
Demikian ketentuan dari hukum positif kita yang mana sesuai dengan yang dikatakan dari segi teori bahwa “ dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dia mampu berbuat. Berbeda dengan system hukum adat, bahwasannya disuatu daerah pedalaman yang masih berlaku hukum adat, yang mana di daerah tersebut mengupayakan pertahanan dari masyarakat terhadap orang gila yang membunuh orang sama dengan upaya pertahanan dari orang yang melakukan perbuatan serupa, di daerah bali berlaku hukum bahwa orang gila dan anak yang berumur dibawah delapan tahun tidak dipidana, kecuali melakukan perbuatan pidana yang tergolong sadtata ji. di batak seorang bapak harus mempertanggungjawabkan perbuatan melawan hukum anaknya yang belum cukup umur.
Lain halnya dengan hukum positif kita yang masih membedakan orang yang mampu bertanggungjawab dan tidak, maka penulis mengatakan bahwa seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
(1)   Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;
(2)   Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;
(3)   Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Contoh kasus model majalah dewasa Novi Amalia kembali menjadi sorotan setelah mengamuk ingin telanjang di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, tadi pagi. Tahun lalu, Novi pernah kedapatan mengemudi setengah telanjang di Taman Sari, Jakarta Barat.                                                               
Kepala Sub Bagian Psikolog Sumber Daya Manusia Polda Metro Jaya, AKBP Arief Nurcahyo mengindikasi perilaku yang kerap ingin melepaskan pakaiannya ketika 'kumat' merupakan cerminan depresi Novi                                                                                
"Sebenarnya indikasinya sudah jelas, mesti direhabilitasi dan pendampingan seorang psikiater. Ketika menghadapi tekanan, ada dua tipe orang. Yang ingin lari dan menghadapi kenyataan. Novi mungkin termasuk yang pertama.                                                             
            Novi mesti direhabilitasi dengan didampingi psikiater. Dia menuturkan, kejadian tersebut akan terulang jika tidak ditempuh jalur tersebut  .                                                                                    
"Orang lain bisa menjadi korban, tetapi pelaku (Novi) juga seorang korban. Novi korban dari narkoba, lingkungan yang negatif dan dari keluarga yang berantakan                                             .
Novi memang pernah menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur. Pengacara Novi Chris Sam Sewu menjelaskan kliennya menjalani detoksifikasi.
Untuk menentukan seseorang mampu bertanggungjawab ada dua faktor, yakni faktor akal dan faktor hendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan. Kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama diperbolehkan dan mana yang tidak, menurut penulis lain bahwa kehendak bukanlah merupakan factor dalam menentukan mampu tidaknya orang bertanggungjawab, dikarenakan bahwa kehendak itu bergantung dan lanjutan saja dari pada akal.
Dalam hal ini tidak mampu bertanggungjawab karena keadaan batinnya tidak normal, sedangkan dalam hal ada alasan pemaaf, karena fungsi batinnya yang tidak normal, dan ini disebabkan karena keadaan dari luar, kalau organ batinnya sendiri normal.
Orang yang tidak sehat akalnya, tidak dapat menentukan kehendaknya sesuai dengna yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, kemampuan bertanggungjawab dalam merumuskan perundang-undangn ada beberapa jalan menurut KUHP kita, apabila seseorang tidak mampu melakukan bertanggungjawab karena sebab-sebab tertentu, sehingga dipandang dan dinilai sebagai tidak mampu bertanggungjawab, merumuskannya dengan cara deskriptif normative jadi, maksudnya menentuakan dalam merumuskan demikian dinyatakan oleh psychiater bahwa terdakwa memang gila, secara normative jika dipandang memang tidak mampu bertanggungjawab.
Anak yang belum cukup umur, dimaksudkan karena mereka belum bisa menginsyafi perbuatannya disebabkan pertumbuhan jiwannya belum cukup penuh atau karena hipnotis dikarenakan mabuk,tidur, maka disitu tidak ada kesengajaan.
Pemisahan anatara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana mempunyai akibat-akibat yang lain dri pada kesimpulan, bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah unsur darin perbuatan pidana, namum simon berkata lain mengenai hal ini dia memandang bahwa kemampuan bertanggungjawab bukanlah merupakan unsur dari perbuatan pidana melainkan sebagai keadaan person yang menghapuskan perbuatan pidana.[3]
Contoh Kasus kecelakaan maut di tol jagorawi dengan tersangka putra musisi ahmad dani, Abdul qadir jailani atau dul (13) ,kalo belum 17 tahun jangan mengendarai sepeda motor atau mobil tanpa SIM.kalo terjadi seperti yang di alami dul (putra bungsu ahmad dani). Orang tua juga ikut bertanggungjawab. Selaku pemerintah,kami berkewajiban menyadarkan orang tua dan memberi pemahaman kepada anak agar jangan melanggar aturan bangsa ini.

a.       Kesengajaan (Dolus) dan Kelalaian (Culpa)
Dolus dapat dikaitkan pada tindakan/perbuatan, akibatnya dan unsur-unsur lain dari delik, dolus tersebut tidak perlu ditujukan pada sifat terlarang dari perbuatan. Lagi pula undang-undang tidak menuntut adanya kesengajaan dengan niat jahat (boss opzet/dolus malus). Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.
Dalam  ilmu pidana sengaja itu dibedakan atas tiga gradasi:
a)      Sengaja sebagai tujuan/arahan hasil perbuatan sesuai dengan maksud (opzet als oogmerk)
b)      Sengaja dengan kesadaran yang pasti mengenai tujuan atau akibat perbuatannya (opzet bij zekerheibewustzjin)
c)      Sengaja dengan kesadaran akan kemungkinan tercapainya tujuan atau akibat perbuatan (opzet bij mogelijkheidsbewustzjin)[4]
Kesengajaan dan kelalaian merupakan unsur kesalahan, jika tidak ada salah satunya maka terdakwa tidak dipidana apabila seseorang sudah dituduh melakukan perbuatan pidana, maka harus diselidiki apakah ada atau tidak dari kedua unsur tersebut, menurut simons tentang kesenjangan dan kealpaan ini mempunyai arti dalam lapangan saja, maka kedua hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam tuduhan dan karenanya pula tidak perlu dibuktikan, apabila seseorang sudah dibuktikan bahwa dia telah melanggar peraturan hukum pidana langsung saja diberi sanksi.
Kedua teori diatas dipengaruhi oleh teori pengetahuan dan kehendak, yang mana dalam praktek teori pengetahuan adalah apakah yang dibayangkan atau diketahui oleh pembuatnya ketika melakukan perbuatan itu, menurut teori kehendak yang dapat diliputi oleh kesengajaan itu hanyalah apa yang dikehendaki oleh pembuatnya, bahwa kehendak adalah merupakan arah yang berhubungan dengan motif dan tujuan.
Pembuktian tentang kesengajaan dapat menempuh dua jalan:
1.      Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan.
2.      Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.[5]
Contoh:
Budi memecahkan kaca jendela etalase sebuah toko emas untuk mengambil emas yang dipamerkan dibelakang kaca terasebut. Dapat dikatakan bahwa memecahkan kaca itu dilakukan dengan sengaja sebagai maksud, hal ini disebabkan karena pecahnya kaca tersebut memang dikehendaki oleh budi untuk mengambil emas tersebut. Budi juga tahu perbuatan memukul kaca itu mengakibatkan kaca tersebut akan pecah. Selanjutnya mengambil emas yang ada di dalamnya menjadi bayangan yang ditimbulkan setelah kaca dipukul pecah, yaitu setelah terjadinya akibat yang dimaksud dengan perbuatan memukul kaca tersebut. Motif budi ialah mengambil emas dan bukan pecahnya kaca. Jadi pecahnya kaca merupakan akibat perbuatan




b.      Kesalahan (schuld)
Kesalahan dalam makna ketercelaan (verwijtbaatheid) yang sebenarnya bukan unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam perauran perundang-undangan. Namun, tatkala pembuat undang-undang berupaya menangkap momen kesalahan melalui penerimaan istilah psikologis dolus dan culpa, khususnya dalam kejahatan, kesalahan menjadi unsur yang tidak bias diabaikan.[6]
Dalam hokum pidana inggris dikenal suatu asas yang disebut asas “Actus non facit reum, nisi mens sit rea”, maksud dari kalimat tersebut adalah bahwa “sesuatu perbuatan tidak dapat membuat orang bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat”. Actus reus harus dilengkapi dengan “mens rea” dan harus dibuktikan dalam penuntutan bahwa tersangka telah melakukan niat jahat atau suatu kesengajaan untuk menimbulkan perkara yang ditiduhkan kepadanya.
Dua unsur dari actus reus dan mens rea adalah:
a.       Adanya perbuatan lahiriah sebagai penjelmaan dari kehendak, misalnya perbuatan mengambil dalam perkara pencurian.
b.      Kondisi jiwa, iktikad baik yang melandasi perbuatan tadi.[7]
Contoh:
Mengendarai sepeda motor, sedangkan dia belum paham akan tekniknya, sewaktu dikejar anjing lalu menjadi  bingung dan karena itu menabrak orang, padahal seharusnya kemungkinan itu diketahui, sehingga naik sepeda motor dengan orang yang sudah pandai mengendarainya.
c.       Percobaan (poging) dan penyertaan (deelneming)
Yang dimaksud dengan poging adalah pelaksanaan awal suatu kejahatan yang tidak diselesaikan. Dalam hukum pidana, “percobaan” merupakan suatu teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Pasal 53 KUHP (1) percobaan akan melakukan suatu tindak kejahatan, dikenakan hukuman pidana, apabila kehendak si pelaku sudah nampak dengan permulaan pelaksanaan, dan pelaksanaan ini tidak selesai hanya sebagai akibat dari hal-hal yang tidak tergantung dari kemauan si pelaku. (2) maksimum hukuman pokok (hoofdstraffen) pada kejahatan yang bersangkutan dikurangi dengan sepertiga. (3) apabila suatu kejahatan dapat dikarenakan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka maksimum menjadi hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. (4) hukuman-hukuman tambahan (bijkomende straffen) bagi “ percobaan kejahatan” adalah sama dengan kejahatan yang selesai diperbuat. Percobaan untuk melakukan suatu ”pelanggaran” tidak dikenakan hukuman pidana.














KESIMPULAN
Ø  Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu, secara subyektif harus dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya.

Ø  Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan: :                                                                                    
a.       Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan.  
b.      Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.

Ø  seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
a.       Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;
b.      Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;
c.       Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Ø  Kesengajaan dan kelalaian merupakan unsur kesalahan, jika tidak ada salah satunya maka terdakwa tidak dipidana apabila seseorang sudah dituduh melakukan perbuatan pidana, maka harus diselidiki apakah ada atau tidak dari kedua unsur tersebut
Ø  Pembuktian tentang kesengajaan dapat menempuh dua jalan:
a.       Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan.
b.      Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Ø  Yang dimaksud dengan poging adalah pelaksanaan awal suatu kejahatan yang tidak diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Saifullah. 2004. Buku Ajar Konsep Hukum Pidana.
Moeljanto. 2000. Asas-Asas Hokum Pidana. Jakarta: Rieneka Cipta
Poernomo, Bambang. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia
Kasil, C.S.T dan Christine S.T kansil. 2007. Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita





[1] Saifullah, Buku Ajar Konsep Hukum Pidana, 2004, hlm 27-28
[2] Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2000) hlm 164
[3] Saifullah, Buku Ajar Konsep Hukum Pidana, 2004, hlm 28-31
[4] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm 156
[5] Ibid, hlm 33
[6] Ibid, hlm 33
[7] C.S.T kasil, Christine S.T kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta:Pradnya Paramita, 2007) hlm. 51

0 Response to "MAKALAH PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel