Makalah Pengertian Gender Dalam Islam
1. Pengertian
Gender adalah kosakata yang berasal dari bahasa Inggris yang bermakan “jenis kelamin”, dalam glosarium disebut sebagai seks dan gender. Gender sendiri diartikan sebagai “suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara social. Kultural atau hubungan social yang terkontruksi antara perempuan dan laki-laki yang bervariasi dan sangat bergantung pada factor-faktor budaya, agama, sejarah dan ekonomi”.[1]
Kosakata gender bagi masyarakat Barat, khususnya Amerika sudah digunakan sejak era tahun 1960-an sebagai bentuk perjuangan secara radikal, koservatif, sekuler maupun agama. Dengan tujuan untuk menyuarakan eksistensi perempuan yang kemudian melahirkan kesadaran gender, pada era tersebut diwarnai dan ditandai dengan tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar perempuan dapat menyamai laki-laki dalam ranah social, ekonomi, politik dan bidang public yang lainnya.
Di Indonesia, kata gender bagi sebagian masyarakat masih diasumsikan sebagai segala yang identic dengan perempuan. Bahkan seringkali tidak adanya pembatasan istilah kata gender dengan seks. Kesalahan di dalam memahami kedua istilah tersebut dapat menimbulkan multi tafsir, sehingga pemahaman konsep gender menjadi bias.
Gender secara umum yang lazim dikenal masyarakat digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (perbedaan komposisi kimia, hormone, dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik lainnya). Atas dasar itulah maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas atau feminimitas seseorang. Dengan kata lain mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.
Sedangkan konsep lainnya terkait dengan gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikontruksi secara social maupun kultural. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.[2]
Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara itu juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lainnya. Segala sesuatu yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya adalah merupakan konsep gender.
Menurut pandangan kaum feminis bahwa gender adalah suatu gerakan yang memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan. Tujuan mereka adalh menuntut keadilan dan pembebasan perempuan dari kungkungan agama, budaya, dan struktur kehidupan lainnya.
2. Gender dalam Islam
Konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam sesungguhnya telah menjadi bagian substantive nilai-nilai universal Islam melalui pewahyuan (Al-Qur’an dan Al-Hadits) dari Allah Yang Maha Adil dan Maha Pengasih. Laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang setara untuk kepentingan dan kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. Karena itu, laki-laki dan permpuan mempunyai hak-hak dasar dan kewajiban yang sama sebagai hamba Allah, yang membedakan hanyalah ketaqwaan di hadapan-Nya.
Berbicara mengenai perempuan, mengantarkan kita agar terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-Qur’an. Dlam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat dalam firman Allah SWT yang berbunyi: “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa”.
Ayat tersebut menjelaskan tentang asal kejadian manusia dari seorang laki-laki dan perempuan sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia, baik sebagai laki-laki ataupu perempuan. Yang didasarkan kemuliaannya bukan keturunan, suku atau jenis kelamin, akan tetapi ketaqwaannya kepada Allah SWT. Hal ini senada dengan pernyataan mantan Syekh al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut di dalam bukunya “Min Tajwihad Al-Islam” tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama, Allah SWT telah menganugerahkannya kepada perempuan sebagaimana menganugerahkannya kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan menjadikan keduanya dapat melakukan kegiatan maupun aktivitas yang bersifat umum maupun khusus”.
Secara epistimologis, proses pembentukan kesetaraan gender yang dilakukan Rasulullah saw tidak hanya dalam wilayah domestic saja, akan tetapi hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Seluruh aspek itu meliputi perempuan sebagai ibu, istri, anak, nenek dan maupun sebagai anggota masyarakat, dan sekaligus juga untuk memberikan jaminan keamanan serta perlindungan hak-hak dasar yang telah dianugerahkan oleh Allah.
Dengan demikian maka Rasulullah saw telah memulai tradisi baru dalam pandangan perempuan, diantaranya adalah:
Pertama, beliau melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang (world view) masyarkat Arab yang pada waktu itu di dominasi oleh cara pandang masyarakat ear Fir’aun. Di mana latar historis yang menyertai konstruk masyarakat ketika itu adalah bernuansa misoginis. Salah satu contohnya adalah kebiasaan Rasulullah saw yang dipandang spektakuler pada waktu itu adalah seringnya Rasulullah saw menggendong puterinya (Fatimah az-Zahra) didepan umum. Kebiasaan Rasulullah pada waktu itu dinilai tabu oleh tradisi masyarakat Arab, apa yang telah dilakukan Rasulullah saw tersebut ini adalah merupakan proses pembentukan wacana bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh dibeda-bedakan (sama).
Kedua, Rasulullah saw memberikan teladan yang baik (Mu’asyarah bi al-Makruf) terhadap perempuan di sepanjang hidupnya, yakni beliau tidak pernah sedikitpun melakukan kekerasan terhadap istri-istrinya sekalipun satu sama lainnya berpeluang untuk cemburu. Di dalam menkonstruk masyarakat Islam, Rasulullah melakukan upaya-upaya yang mengangkat harkat dan martabat perempuan, melalui perbaikan (revisi) terhadap tradisi jahiliyah. Hal inilah adalah merupakan proses pembentukan konsep dan kesetaraan gender dalam hokum Islam.
Hal tersebut diantaranya adalah: perlindungan hak perempuan melalui hokum, perbaikan hokum keluarga (hak menentukan jodoh, mahar, waris, pengajuan talak, dsb.), diperbolehkannya mengakses peran-peran public, mempunyai hak mentasaruf-kan hartanya sebagai symbol kemerdekaan dan kehormatan bagi setiap orang, perombakan aturan tersebut menujukkan bahwa penghargaan Islam terhadap perempuan telah dilakukan pada masa Rasulullah SAW masih hidup, di saat citra Islam dalam tradisi Arab jahiliyah masih sangat rendah.
Di samping itu pula Islam juga mengatur tentang kesetaraan gender, bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk.
Oleh karena itu Al-Qur’an tidak mengenal pembedaan antara laki-laki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Demikian pandangan Islam menempatkan wanita pada posisi yang terhormat. Sehingga, apapun peranannya baik sebagai anak, remaja, dewasa, ibu rumah tangga, kaum profesional, dan lain-lain mereka itu terhormat sejak kecil hingga usia lanjut.
Dari sinilah dapat kita pahami bagaiman Islam muncul pada situasi seperti ini, di mana pribadi pembawa risalahnya pun hanya mempunyai satu anak perempuan (yang hidup), padahal kita ketahuimempunyai anak perempuan pada masa itu adalah keterhinaan, kalau kiat kaji lebih dalam lagi, pasti ada rahasia di balik semua itu, yakni untuk mengangkat derajat kaum perempuan dan merubah kultur, dari kultur jahiliyah menjadi kultur Islami. Islam menggabungkan antara teori dan praktek, sekaligus. Islam mengajarkan bagaimana memandang dan memperlakukan perempuan. Kemudian Rasulullah mempraktekkannya, sehingga terwujud keutuhan dan keselarasan di antara keduanya.
3. Perempuan Islam dan Politik
a. Kedudukan Hak-Hak Politik Perempuan
Yang dimaksud dengan hak-hak politik adalah hak-hak yang ditetapkan dan diakui undang undang atau konstitusi berdasarkan keanggotaan sebagai warga Negara. Pada umumnya, konstitusi mengaitkan antara pemenuhan hak-hak ini dan syarat kewarganegaraan. Artinya hak-hak ini tidak berlaku kecuali bagi warga Negara setempat, bukan warga Negara asing. Mislanya teks butir I dari undang-undang yang mengatur hak-hak politik di Mesir Nomor 73 Tahun 1957 yang berbunyi, “Setiap warga Negara Mesir, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah berusia sepuluh tahun masehi dengan sendirinya langsung mendapatkan hak-hak politik”. Hal senada juga tercantum pada butir 5 undang-undang Parlemen Nomor 38 tahun 1972 yang diperbarui dengan Undang Undang Nomor 109 tahun 1980 dan butir 75 undang undang hokum setempat nomor 43 tahun 1979 yang mensyratkan pencalonan atau penunjukkan anggota di majlis-majlis ini harus individu warga Negara asal Mesir. Sebagaimana tercantum dalam undang undang yang berlaku sekarang pada butir 75 bahw disyaratkan bagi orang yang dipilih menjadi presiden harus orang yang lahir dari kedua orang tua yang berkewarganegaraan Mesir.
Dalam hak-hak politik terhimpun antara konsep hak dan kewajiban sekaligus. Sebab hak-hak politik paada tingkat tertentu menjadi hak bagi individu karena hak-hak itu menjadi wajib bagi mereka. Hal itu disebabkan hak mutlak-sebagaimana yang diterima-membolehkan seseorang menggunakannya atau tidak menggunakannya tanpa ikatan apapun kecuali dalam menggunakannya menurut konstitusi.
Adapun jika hak-hak politik itu tidak digunakan- dalam banyak pembuatan unndang undang-, hal itu mengancam dijatuhkannya sanksi, terutama karena hak-hak politik itu tidak berlaku kecuali bagi orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu disamping syarat kewarganegaraan.
Hak-hak politik ini menyiratkan partisipasi individu dalam pembentukan pendapat umum, baik dalam pemilihan wakil-wakil mereka di majelis-majelis dan berbagai lembaga perwakilan atau pencalonan diri mereka untuk menjadi anggota majelis atau lembaga perwakilan tersebut.
Hak-hak politik ini mencakup:
1. Hak dalam mengungkapkan pendapat dalam pemilihan referendum dengan berbagai cara.
2. Hak dalam pencalonan menjadi anggota lembaga perwakilan dan lembaga setempat.
3. Hak dalam pencalonan menjadi presiden, dan hal-hal lain yang mengandung dan penyampaian pendapat yang berkaitan dengan politik.
Berkaitan dengan posisi perempuan dalam memperoleh hak-hak politik dalam system dan konsep Islam telah banyak pendapat diungkapkan. Ada yang berpendapat bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Ada yang memandang sama perempuan dan laki-laki dalam masalah ini. Ada pula yang berpendapat bahwa Islam menetapkan dan mengakui hak-hak politik bagi perempuan kecuali menjadi pemimpin Negara. Sementara ada pendapat lain yang mengatakan bahawa masalah ini bukan masalh agama, fikih, atau konstitusi, melainkan masalah social dan politik. Oleh karena itu, masalh ini diserahkan pada kondisi social, politik, dan ekonomi masing-masing Negara.
b. Tentang Hak-Hak Politik
Pendapat ini mengatakan bahwa Islam tidak menetapkan persamaan antara perempuan dan laki-laki khususnya dalam memperoleh hak-hak politik. Pendapat ini di sokong kuat dengan salh satu fatwa Lajnah Fatwaal-Azhar. Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali mengatakan bahwa kepemimpinan (imamah) tidak dipercayakan pada perempuan walaupun memiliki berbagai kesempurnaan dan kemandirian. Bagaimana perempuan tidak memiliki hak pengadilan dan kesaksian dalam banyak hokum. Sebagaimana hal ini dikemukakan al-Qalqasyandi, “Pemimpin (iman) memerlukan pergaulan dengan orang-orang bermusyawarah dengan berbagai urusan”. Perempuan dilarang dari hal tersebut. Sebab, perempuan memiliki hak menetapkan pernikahan dan tidak bisa menjadi pemimpin terhadap orang lain.
Maslah hak perempuan dalam pencalonan memiliki dua dimensi lain, yaitu
Pertama, perempuan menjadi anggota di parlemen.
Kedua, ikut serta dalam pemilihan anggota parlemen.
Untuk mengetahui ketentuan dalam kedua masalah ini, yang pertama mengandung kewenangan dalam urusan-urusan umum, maka harus dijelaskan bahwa kewenangan itu ada dua, yaitu kewenangan umum dan kewenangan khusus.
Kewenangan umum adalah kekuasaan dalam urusan-urusan masyarkat, seperti kewenangan pembuatan undang-undang, keputusan proses pengadilan, implementasi hokum, dan control terhadap para penegak hokum.
Kewenangan khusus adalah kekuasaan mengatur masalah tertentu, seperti wasiat kepada anak yang masih kecil, kewenangan terhadap harta, dan pengaturan wakaf.
Syariat memberikan kesempatan kepada perempuan dalam kewenangan kedua di atas. Dalam hal itu, ia mmiliki kekuasan seperti laki-laki, sebagaimana memiliki kekuasaan dalam memngatur kepentingan-kepentingan khusus dirinya. Ia pun memiliki hak dalam menggunakan hartanya dalam jual beli, hibah, gadai, persewaan, dan sebagainya. Suaminyan dan siapapun tidak mempunyai hak mencampuri urusan itu. Syariat menguasakan semua itu kepadanya dengan membimbingnya agar memelihara kehormatan dan kedudukannya.
c. Dalil tentang Wanita Berpolitik[3]
1) al-Quran
Allah telah berfirman di dalam al-Quran:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS al-Nisa’: 34)
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS al-Baqoroh: 228)
Maksud dari ayat-ayat ini adalah bahwasannya laki-laki memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari pada perempuan dalam hal tanggung jawab, dan sebagainya, termasuk dalam hal pemerintahan. Oleh karena itu, laki-laki memiliki kelebihan dari pada perempuan dalam mengatur kepentingan-kepentingan umum, termasuk berpolitik.
Para pihak yang berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh berpolitik menggunakan ayat ini sebagai penguat argumentasinya. Namun demikian, kelompok lain berpendapat bahwa ayat di atas bukan berkenaan tentang kepemimpinan wanita dalam pemerintahan. Menurut mereka, jika dirunut dari asbabu al-nuzulnya, ayat yang pertama adalah tentang tanggung jawab seorang suami untuk mendidik istrinya dalam kasus nusyuz. Jadi, pernyataan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan dalam ayat ini adalah kepemimpinan seorang laki-laki dalam hal mendidik istrinya dalam kasus nusyuz.
Sedangkan ayat kedua, yang menyatakan bahwa seorang suami memiliki satu derajad lebih dari pada seorang istri, adalah konteksnya dalam hal keluarga. Suami adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab lebih terhadap istri dan anaknya. Jadi ayat ini bukan dalam konteks politik atau pemerintahan, tetapi dalam hal tanggung jawab dalam keluarga.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS al-Ahzab: 33)
Ayat ini menjelaskan bahwa perempuan tidak boleh berkeliaran di luar rumah. Mereka harus selalu berada di dalam rumah. Seorang perempuan harus selalu berada di dalam rumah dan harus mendapatkan izin dari suaminya setiap akan keluar rumah. Selain itu, seorang wanita tidak boleh menghias diri kecuali jika ada di dalam rumah.
Ketentuan ini membuat wanita menjadi terbatas dalam bertindak. Jika seseorang berkecimpung di dalam politik, otomatis orang tersebut harus sering keluar rumah, dan ini bertentangan dengan ayat di atas, yang mangatakan bahwa seorang wanita tidak boleh keluar rumah.
Sedangkan menurut kelompok lain, yang mengatakan bahwa wanita boleh berkecimpung di dalam dunia politik berargumen bahwa ayat ini khusus diturunkan untuk istri-istri Nabi Muhammad. Terbukti jika dirunut berdasarkan segi munasabah ayatnya. Ayat-ayat sebelum ayat ini menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan bagi istri Nabi. Dengan kata lain, ayat ini tidak digunakan untuk membatasi wanita untuk berpolitik.
2) al-Sunnah
“Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan.”[4]
Hadis ini menunjukkan bahwa jika seorang mengurusi urusan suatu kaum atau golongan, maka kaum tersebut tidak dapat mendapatkan kejayaannya. Dalil inilah yang digunakan oleh kelompok yang mengatakan bahwa seorang perempuan tidak dapat menjadi pemimpin bagi kaumnya. Namun demikian, kelompok yang mengatakan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin berargumen bahwa hadis ini dikhususkan bagi kaum Persia. Selain itu, hadis ini juga termasuk hadis ahad, yang mana hadis ahad ini tidak mendatangkan keyakinan.
“Kaum perempuan itu memiliki kekurangan dalam akal (pengetahuan) dan agama.”[5]
Hadis ini mengindikasikan bahwa Nabi berpendapat bahwa perempuan itu memiliki sisi negative, yaitu mereka lemah dalam hal akal atau ilmu pengetahuan dan dalam hal agama. Oleh sebab itu, hadis ini dijadikan sebagai landasan untuk melarang wanita menjadi seorang pemimpin. Tetapi kelompok lain berpendapat bahwa hadis ini berdasarkan konteks keadaan perempuan di masa Nabi, yang mana perempuan di masa Nabi masih banyak yang terbelakang. Namun pada zaman ini, tidak sedikit wanita yang lebih luas keilmuannya dibadingkan laki-laki. Jadi, pada masa modern ini, yang mana banyak wanita yang lebih paham akan ilmu pengetahuan dan agama, maka seorang perempuan boleh menjadi pemimpin.
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa kini, seorang wanita dapat menjadi seorang pemimpin. Namun demikian, peraturan-peraturan yang syar’I harus tetap dijalankan. Kebebasan bagi seorang wanita bukanlah sebuah kebebasan absolut. Seorang wanita yang berkecimpung di dunia laki-laki harus tetap menjaga kehormatan dan tidak melanggar syari’at Islam.
2. Saran
Saran penulis bagi para wanita adalah agar mereka dapat mewujudkan cita-cita mereka dengan tanpa melanggar ketentuan-ketentuan syariat islam. Perempuan boleh saja melakukan apa yang mereka inginkan dan mereka cita-citakan. Tetapi seorang wanita yang bersuami harus mendapatkan izin dari suaminya, dan wanita yang berada di bawah pengampuan walinya, maka harus mendapatkan izin dari walinya.
DAFTAR PUSTAKA
___. Isu-isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga. 2010. UIN-Maliki Press: Malang
Fakih, Mansour dkk. Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam. 1996. Risalah Gusti: Surabaya.
Fauzi, Ikhwan. Perempuan dan Kekuasaan. 2002. Amzah: Jakarta.
al-Syaukani. Nail al-Author. 1963. Mathba’ah al-Babtal-Halabi.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender. 1999. Paramadina: Jakarta.
[1] Isu-isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga, UIN Press, Malang: 2010. Halaman 3.
[2]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, Paramadina, Jakarta: 1999. Halaman 35.
[3]Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Amzah, Jakarta: 2002. Halaman 40
[4]Al-Syaukani, Nail al-Authar, Mathba’ah al-Babtal-Halabi: 1963. Halaman 273
[5]Mukhtashar al-Bukhori. Halaman 327
0 Response to "Makalah Pengertian Gender Dalam Islam"
Post a Comment