Download Makalah Pelestarian lingkungan Dalam Islam

2.1 Konsep Pelestarian lingkungan dalam Islam
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan adalah untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah memberikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai teman hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya memberikan sebuah amanat kepada manusia untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
 وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين 
”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. 
Larangan pada ayat di atas adalah larangan untuk berbuat kerusakan di atas bumi. Kerusakan yang dimaksud adalah berhubungan dengan berbagai bentuk kerusakan, seperti pembunuhan, perusakan keturunan, akal, dan agama. Sedangkan yang dimaksud dengan kata ”Ba’da Islahiha” adalah setelah Allah memperbaiki penciptaannya sesuai dengan peruntukkannya bagi kemanfaatan makhluk dan kemaslahatan orang-orang mukallaf.
Hal di atas senada dengan penafsiran yang disampaikan oleh Syihabuddin, bahwa Allah melarang berbagai bentuk kerusakan seperti merusak jiwa (pembunuhan), harta, keturunan, akal dan agama setelah Allah memperbaiki semuanya dan menciptakannya untuk dimanfaatkan oleh makhluk serta untuk kemaslahatan orang-orang mukallaf dengan cara Allah mengutus seorang rasul di atas bumi dengan membawa syari’at dan hukum-hukum Allah.
Abu al-Fida yang ber’alam Kunyah ”Ibnu Katsir” mengatakan, firman Allah swt.
”.وَلاَ تُفْسِدُوا فِى اْلأَرْضِ إلخ” mengandung pengertian bahwa Allah swt. melarang kepada hambanya berbuat kerusakan di atas bumi dan berbuat apa yang dapat merugikannya setelah adanya perbaikan. Karena sesungguhnya jika segala sesuatu berjalan di atas kebaikan, kemudian terjadi sebuah kerusakan maka akan menjadikan sebuah kerugian bagi manusia.
Oleh karena itu, Allah melarang perbuatan tersebut dan memerintahkan hamba-Nya untuk menyembah, berdo’a, tawaddlu’ dan merendahkan diri kepada-Nya.Ketiga penafsir di atas memberikan interpretasi, bahwa kerusakan yang dikandung dalam ayat di atas adalah berbagai kerusakan lingkungan.
Menurut Fuad Amsyari, lingkungan dikelompokkan menjadi tiga.
1.      Lingkungan fisik, yakni segala ”benda mati” yang ada di sekitar kita, seperti rumah, kendaraan, gunung, udara, air, sinar matahari, dan lain-lain.
2.      Lingkungan biologis, yakni segala organisme yang hidup di sekitar manusia, baik berupa tumbuhan maupun binatang.
3.      Lingkungan sosial, yakni manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, tetangga, teman, atau orang lain yang belum dikenal.     
Ketiga kategori lingkungan di atas disebut sebagai lingkungan hidup, yakni segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati, dan mempengaruhi hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia. Dalam kenyataan abad sekarang ini, seluruh kategori lingkungan tersebut benar-benar mengalami gangguan pencemaran yang dahsyat. Seakan-akan pencemaran yang terjadi semakin kompleks.
Bukan saja kerusakan alam, tapi sudah menjalar pada kerusakan lingkungan sosial. Sebab, antara lingkungan fisik dan perilaku organisme saling mempengaruhi. Selain sebagai amanat, tindakan memelihara alam (tidak membuat kerusakan di bumi) merupakan manifestasi perintah syukur kepada Tuhan. Karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai syukur, maka dari awal kelahirannya, sudah mengajarkan pentingnya memelihara alam.
Bahkan, ketika perang pun Islam masih mengagungkan titah itu. Tersebut dalam sejarah, para khalifah Islam, seperti Abu Bakar dan Umar, setiap kali akan melepas laskar ke medan perang tak pernah lupa memperingatkan:     ”Jangan tebang pohon atau rambah tanaman, kecuali jika akan dipergunakan atau dimakan, dan janganlah membunuh binatang kecuali untuk dimakan, hormati dan lindungi semua rumah ibadah manapun, serta jangan sekali-kali mengusik mereka yang sedang beribadah menurut agama mereka masing-masing. Janganlah membunuh orang-orang yang tidak bersenjata (yang tidak terlibat langsung dalam peperangan).”
Terbukti, ketika haji, orang yang ihram dilarang membunuh binatang, dan mencabut pohon. Bahkan, jika melanggar akan dikenakan sangsi. Lebih lanjut, Islam juga memberikan kabar gembira bagi mereka yang mau melestarikan alam. Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits pernah besabada, ”Barangsiapa yang menanam sebuah pohon, dan pohon itu berbuah, Allah akan memberikan pahala kepada orang itu sebanyak buah yang tumbuh dari pohon tersebut”. 
Nabi juga pernah bersabda, ”Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram. Hadits ini oleh Fuqaha (para ahli fiqh) dijadikan dasar atas diharamkannya binatang yang bertaring dan bercakar, seperti harimau, serigala, beruang, kucing, gajah, badak, macan tutul dan rajawali. Memang, pada mulanya, pelarangan tersebut bersifat tekstual-normatif, karena diambil berdasarkan sabda Nabi semata. Namun, pada perkembangan berikutnya, setelah dikontekskan dengan realitas kekinian, pengharaman itu membawa hikmah yang begitu besar.
Binatang-binatang yang diharamkan tergolong spesies binatang yang langka yang dilindungi. Sebut saja misalnya rajawali. Semua jenis hewan ini, di belahan dunia manapun dilindungi. Bukti ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa Islam ternyata ikut andil dalam pelestarian hewan langka yang berperan aktif sebagai penjaga ekosistem alam. 
Karena pengharaman tersebut didasari teks keagamaan, maka melaksanakannya adalah sebuah kewajiban bagi setiap umatnya. Bahkan, bukan sekedar kewajiban, tapi kebutuhan manusiawi, sehingga ekosistem tetap terjaga. Pelestarian alam dalam Islam sifatnya konservatif, yang melindungi nilai-nilai yang telah ada. Baik kondisi alami, estetika maupun kekayaan alam yang telah terbentuk sejak awalnya.Alam, sebagaimana disinggung dalam QS. Al-A’raf : 56, mengalami perubahan menuju pada ekosistem yang seimbang setelah mencapai ratusan bahkan jutaan tahun. Maka, mempertahankan alam yang telah menjalani proses tersebut adalah sebuah keharusan dan kebutuhan manusia. 
Mengingat pentingya pelestarian alam itulah, Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw. telah memperkenalkan kawasan lindung (hima’), yakni suatu kawasan yang khusus dilindungi pemerintah atas dasar syari’at guna melestarikan kehidupan liar di hutan. Nabi pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungilembah,padang rumput dan tumbuhan yang ada di dalamnya.
Lahan yang beliau lindungi luasnya sekitar enam mil atau lebih dari 2049 hektar. Selain hima’, Islam juga memperkenalkan konsep ihya’ul mawat, yakni usaha mengelola lahan yang masih belum bermanfaat menjadi berguna bagi manusia. Dua konsep di atas, menunjukkan kepada kita bahwa Islam adalah telah sedini mungkin ikut melestarikan alam, sebagaimana juga telah ikut aktif dalam memelihara keberlangsungan hewan langka melalui pelarangan konsumsi.
Inilah makna konsep Rabbil ’alamin (pemelihara seluruh alam), yakni sifat Tuhan yang direalisasikan pada tugas kekhalifahan manusia. Artinya, segenap makna yang terkandung dalam kata itu harus tercermin dalam setiap tindakan dan perilaku manusia dengan alam, karena ia menempatinya dan bertanggung jawab terhadap eksistensinya.

2.2 Hubungan manusia dan lingkungan/alam dalam Islam
Mustofa Abu Sway memakai dua kategori untuk membahas hubungan antara manusia dan lingkungan, penguasa (khalifah) dan penundukan (taskhir). Kategori pertama memandang bahwa manusia adalah wakil Tuhan  di muka bumi. Kekhalifahannya telah dinyatakan  sebelum penciptaan manusia pertama. Dengan kedudukan ini, manusia dilimpahi tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga alam sekitarnya,
Yang juga diiringi dengan ganjaran dan hukuman. Pada posisi ini, kekhalifahan juga bisa menjadi ujian baginya bagaimana ia memerlakukan lingkungannya. Tugas lain manusia selaku khalifah adalah untuk mengamati alam semesta dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan untuk memelihara lingkungan.[1]
Hubungan manusia dengan alam dalam Al-Qur’an di mana manusia bekedudukan sebagai khalifah, harus juga dilihat dari segi penundukan dan kehambaan. Manusia selaku khalifah di bumi dilengkapi dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan ditundukkannya alam semesta dan seisinya untuk manusia, Allah lah yang menundukkan langit, bumi dan seisinya, bukan manusia.
Oleh karena itu, meskipun manusia sebagai khalifah diberi kuasa untuk  mengelola dan mmelihara alam, kedudukan manusia dengan alam semesta adalah setara dihadapan Allah.
Sesungguhnya, ketika membahas manusia dan alam (lingkungan), posisi Tuhan tidak mungkin diabaikan. Ketika membahas relasi manusia dan alam, peran dan keberadaan Tuhan juga harus disinggung. Oleh karena itu, di samping relasi antara manusia dan alam semesta, ada dua relasi yang lain, yaitu:relasi manusia dengan Tuhan dan relasi alam semestadengan Tuhan.
Masing-masing dari ketiga relasi di atas memiliki element penting yang membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan. Relasi antara alam semesta dan Tuhan dihubungkan dengan konsep penundukan, relasi antara manusia dan Tuhan dihubungkan dengan konsep kehambaan, relasi antara manusia dan alam semesta adalah relasi khalifah dan amanah.
Tiga relasi di atas, adalah sebuah sistem yang terstruktur, yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tiga relasi di atas menunjukkan betapa zat yang paling memiliki kekuasaan adalah Tuhan, sehingga semua ciptaannya akan tunduk terhadap-Nya, termasuk manusia. Inilah yang kemudian menjadi konsep kehambaan.
Apabila memakai konsep kehambaan (‘abd), maka hal itu bisa dijelaskan bahwa manusia dianugerahi potensi sebagai khalifah dan dibekali dengan penundukan alam semesta baginya. Akan tetapi kemampuan dan penundukan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab melalui elemen amanah dan ‘abd. Jika dilihat dalam kerangka pandangan agama dan lingkungan di atas, maka konsep ini akan lebih sesuai dengan konsep kekerabatan manusia dengan semua makhluk.
2.3 Hak-hak masyarakat atas lingkungan yang sehat
Hak lingkungan yang sehat secara harfiyah adalah keleluasaan masyarakat untuk memperoleh kenyamanan hidup di lingkungan sekitar dan mendapatkan pelayanan yang sehat, secara tidak langsung ketika kita membaca pengertian seperti ini terlintas akan alam sekitar dan keadaannya,tapi jika dikaji lebih dalam lagi lingkungan yang sehat juga meliputi kebijakan politik mengenai keleluasaan masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini termasuk eksploitasi hutan pada dasarnya hal tersebut berasal dari lingkungan politik yang kurang sehat, termasuk hak atas lingkungan yang sehat.       
Diperlukan penguat sebagai pendukung atau yang memfasilitasi terpenuhnya aspek secara output seperti halnya tersedianya sarana kesehatan peraturan dan hukum mengenahi lingkungan yang sehat dinormakan dalam UUD 1945 secara jelas dalam pasal 28 ayat (1) “ setiap orang berhak hidup sejahtera lahir, batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesejahteraan” pengendali semua kebijakan dan pengatur ketertiban tidak lain dan tidak bukan pemerintah juga sebagai salah satu bagian penting dalam terlaksanannya lingkungan sehat, setiap warga masyarakat selalu ingin mendapatkan pelayanan yang memuaskan dalam memperoleh kesehatan lingkungan.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah memang benar, namun untuk mengaplikasikannya kedalam suatu masalah masih belum maksimal, seharusnya pengintrolan dilapangan lebih diperketat.


2.4 Lingkungan dalam konstitusi negara-negara di dunia
Istilah Green Constitution atau Konstitusi Hijau belum banyak populer di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, akhirnya banyak pula pakar hukum Indonesia yang menuliskan tema tentang green constitution dalam jurnal-jurnal nasional atau artikel. Dalam bukunya, Prof Jimly asshidiqie pun menjelaskan bahwa sebenarnya, sebagai istilah, green constitution bukanlah suatu yang aneh.
Sejak tahun 1970-an, istilah tersebut sudah sering digunakan untuk menggambarkan keterkaitan sesuatu dengan ide perlindungan lingkungan hidup.[2]Dalam jurnal-jurnal atau artikel internasional di beberapa negara, istilah itu juga sudah digunakan sejak lama.
Negara-negara didunia menyadari bahwa lingkungan saling berkaitan dan dibutuhkan oleh seluruh umat manusia tanpa dibatasi oleh teritorial batas negara. Banyak perjanjian Internasioanl yang sudah dibuat bahkan sudah diratifikasi oleh negara-negara di Dunia.
Beberapa negara menunjukkan komitmennya dalam perlindungan lingkungan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Diantaranya adalah negara Portugal, Spanyol, Polandia, Prancis, Ekuador. Bahkan, dalam amanedemen konstitusinya, negara tersebut memasukkan pasal-pasal tentang perlindungan lingkungan dan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga dapat efektif untuk kebijakan-kebijakan pemerintah dibawahnya terkait pembangunan negaranya yang berkelanjutan dan pro-lingkungan.
Tidak terkecuali Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi alam yang sangat besar sebagai paru-paru dunia, maka Indonesia dalam Konstitusinya yaitu pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 sudah mencerminkan sebagai konstitusi hijau dengan memberikan jaminan hak warga negaranya berupa lingkungan yang bersih dan sehat dengan melakukan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Tuntutan reformasi pada tahun 1998 dengan salah satu agendanya yaitu amandemen sampai kepada perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, menghasilkan banyak rumusan pasal-pasal baru terutama terkait dengan Hak Asasai Manusia.
Isu lingkungan pun akhirnya menjadi salah satu Hak Asasai Manusia yang tercantum dalam pasal 28H ayat (1)  yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal tersebut tentu memberikan dampak positif yang secara tidak langsung negara berkewajiban untuk betul-betul melestarikan lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk memenuhi hak warga negaranya.[3]
Indonesia sebenarnya telah menerapkan konsep ecocracy yaitu kedaulatan lingkungan hidup atau ekosistem dimana suatu pemerintahan mendasarkan kepemerintahannya secara taat asas pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (ecologically sustainable development). Gagasan ecocracy ini merupakan upaya untuk mengutamakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam arus politik pembangunan nasional.
Namun, walaupun Indonesia dalam konstitusinya telah mengakui subjective right atau duty of the state tetapi pemuatan pola dan arah pembangunan berkelanjutan belum ditempatkan pada pasal-pasal khusus melainkan ditumpangkan atau dicampurkan dengan hak-hak fundamental lainnya.[4]
            Oleh karena itu, dengan teori hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan maka Pemerintah Indonesia wajib menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia agar menjadi peraturan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tata urutan Peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini yang diatur dalam pasal 7 adalah sebagai berikut:[5]
(1) Undang-undang Dasar 1945
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(3) Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(4) Peraturan Pemerintah
(5) Peraturan Presiden
(6) Peraturan Daerah Provinsi
(7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Tanggal 8 september 2009 DPR dan Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Terhadap Undang-Undang ini tentunya banyak perubahan. Dari segi judulnya, jelas sudah berubah dengan ditambahkannya kalusul kata perlindungan selain kata pengelolaan. Dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk mencegah kerusakan lahan perlu dilakukan penegakkan peraturan perundangan-undangan untuk melindungi lingkungan hidup itu sendiri.[6]
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan (UUPPLH) Hidup tentunya masih banyak penyesuaian yang harus dilakukan.
Dalam pelaksanaan teknis Undang-undang tersebut dalam Peraturan pemerintah dan Peraturan presiden hendaknya juga disesuaikan dengan UUPPLH yang baru  agar tidak terjadi benturan hukum karena masih mengacu pada UUPLH yang lama. Hal ini juga diatur pula dalam pasal 44 UUPPLH bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH.

2.5 Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat Dalam Islam, UUD 1945, dan HAM
a.      Dalam perspektif Islam
Dalam perspektif islam, HAM diletakkan sebagai hurumat (keilmuan, kelapangan, kehormatan). Dengan pengertian ini  pada hakikatnya manusia didudukkan sebagai makhluk yang dimuliakan tuhan. Manusia dalam kemuliannya ditandai dengan kewajiban untuk mengabdi kepada tuhan dan hubungan baik dengan sesamanya serta memelihara kewajiban tanggung  jawab secara vertikal dan horizontal. Manusia dalam Islam bukanlah pemilik hak asasi melainkan yang dititipi hak asasi untuk ditegakkan bersama-sama manusia lainnya.
Fundamental HAM dalam Islam telah dirumuskan Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah. Nilai yang hidup dalam HAM versi Islam sebagaimana ditegaskan dalam Piagam Madinah tersebut adalah: Pengakuan adanya hak hidup, hak kemerdekaan, hak persamaan, hak keadilan, hak perlindungan hukum, hak perlindungan dari kezaliman penguasa, hak perlindungan dari penyiksaan, hak untuk berlindung, hak untuk melaksanakan kerja sama dalam kehidupan sosial, hak minoritas, serta hak ekonomi.
Mayoritas negara-negara Islam adalah tergolong keadaan barisan negara-negara dunia ketiga yang banyak merasakan perlakuan ketidak adilan negara-negara barat atas nama HAM.  Dalam pandangan negara-negara Isalam, HAM Barat tidak sesuai dengan pandangan ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah SWT.
Maka negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of Islamic Comfrence (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluar deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syariat Islam. Konsep HAM hasil rumusan negara-negara OKI dikenal dengan sebutan DEKLARASI KAIRO ini berisi 24 pasal tentang HAM berdasarkan Al- Quran dan Sunnah yang dalam penerapannya dan relitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi manusia (the Universal Declaration of Human Rights) yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948.
b.      Dalam perspektif UUD 1945
Banyak terjadi kesenjangan sosial dan kasus-kasus sosial yang ada dirakyat Indonesia dimana kakayan alam dan sumber-sumber laianya serta keuntunganya yang didapat dari eksploitasi sumberdaya alam, yang hanya dinikmati oleh kelompok dan golongan tertentu saja sedangkan rakyat Indonesia selalu menuai dampak bencana dan bahkan nyawa menjadi taruhanya.
Bagi Indonesia pembangunan nasional yang diselenggarakan adalah mengikuti pola pembangunan berkelanjutan yang diakomodasi dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) ketentuan tersebut memberikan dasar hukum bagi peyelenggaraan pengelolan lingkungan hidup yang bertujuan melestarikan kemempuan lingkungan hidup agar dapat tetap menunjang kesejahteraan dan mutu hidup generasi mendatang.
Bagian ’hukum lingkungan’ ini akan menguraikan struktur hukum perlindungan lingkungan dan mendiskusikan peraturan-peraturan yang memberikan kesempatan pada pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan penguatan pada: 
1.      Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
2.      peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup 
3.      pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
4.      prosedur hukum peyelesaian sengketa lingkungan.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Untuk memungkinkan pembangunaan berkelanjutan ini diperlukan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai beerikut :
1.    pengelolan sumberdaya alam perlu direncanakaan sesuai dengan daya dukung lingkungan melalui rencana tata ruang wilayah
2.    proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melelui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
3.    pengembangaan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan
4.    pengendalian kerusakan lingkungan
5.    pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan.
6.    pengembangan peran-serta masyarakat kelembagaan dan ketenagaaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
7.    pengelolaan pencemaran air, udara dan tanah.
8.    pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk meyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan
9.    pengembangan kerjasama luar negeri.
Kontek hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat pada tingkat internasional, diatur secara ekspelisit dalam deklarasi Universal hak asasi manusia (DUHAM) ini sudah jelas bahwasanya lingkungan yang baik dan sehat yang merupakan hak asasi manusia, itu harus dijaga dan dipertahankan karena bersangkutan dengan perkembangan lingkungan tersebut agar tetap terjaga. Sehingga juga tergabung dalam rumpun hak ekonomi, sosial, dan budaya, (EKOSOBUD).
Justifikasi internasional menyangkut interaksi hak atas lingkungan sehingga ditafsirkan menjadi HAM dilihat antara lain ;
1.      African charter on human and peopple rights, pasal 21 ayat 1
2.      Kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, social, dan budaya (kovenan hak ekosob) , pasal 1 ayat 2
3.       Resolusi PBB 1803 (XVII) 12 Desember 1962
4.       Resolusi PBB 3281 (XXIX) 12 Desember 1974
5.      Agenda 21 KTT bumi Rio de Janeiro 1992.
Secara konsitusional, hak atas lingkungan dalam hukum nasional indonesia tercantum dalam beberapa aturan yaitu ;
1.      Alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan ”membentuk suatu pemerintah negara indonesia yang meindungi segenap bangsa indonesia ”.... serta dikaitkan pula dengan hak penguasaan kepada negara atas bumi, air dan kekayaan terkandung didalamya ntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. pasal 33 UUD 1945
2.       Amandemen UUD 1945 pasal 28H ayat 1 meyebutkan ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanaan kesehatan
3.      Piagam HAM dan merupakan bagian tak terpisahkan dari TAP MPR NO XVII/MPR/1998 yang ditetapkan oleh sidang istimewa MPR tahun 1998. diantaranya mayatakan ”bahwa manusia adalah mahluk tuhan yang maha esa, yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam bentuk ketaatan kepada NYA. 
4. UU No.23 tahun 1997 pasal 5 ayat (1), ”setiap orang mampunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, pasal 8 ayat (1), ”sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakn untuk sebesar-besarya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturanya ditentukan oleh pemerintah,”
4.      UU No.39 tahun 1999 tantang hak asasi manusia (UU No.39 1999) pasal 3 meyatakan ”masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 
Secara langsung atau pun tidak langsung. Sudah banyak terjadi perusakan lingkungan yang ada di propinsi kepulauan bangka belitung. Baik yang dilakukan pemerintah dengan melalui kebijakanya ataupun rakyat sendiri yang melakukan perusakan tersebut.
1.      baik dari pertambangan pertimahan yang legal, ilegel dan ilegal di legalkan, dan saat ini diperparahkan lagi adanya pertambangan biji emas yang tentunya oleh rakyat, sehingga dengan sendirinya menembah perparah lingkungan yang ada di BABEL ini. kalau pemerintah daerah tidak meyikapiya dengan serius.
2.      dari perkebunan, banyak pembukaan lahan besar-besaran saat ini di bangka belitung dalam upaya pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, yang sendiriya akan memperburuk lingkungan BEBEL. Kalau perkebunan itu debuka dengan cara besar-besaran sehingga terjadi penggundulan hutan dan pencemaran aliran sungai akibat perkebunaan tersebut, kita ketahui air merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
3.      diperparah lagi saat ini kerusakan lingkungan di bangka belitung bukan hanya didaerah daratan aja melaikan diperairan atau pesisir pantai yang diakibatkan banyakya pertambangan-pertambangan pertimahan baik kapal hisap maupun TI apung.
Secara hukum peran serta masyarakat tercantum didalam UUD 1945 pasal 1 (2) wujud kekuatan peran serta masyarakat, berupa kedaulatan rakyat, diakui secara penuh dan dilaksanakanmenurut UUD. Dalam kontek hukum lingkungan , hak dan kewajiban berperan serta diyatakan dalam UU No.23/1997 pasal 5 (3). Dan pasal 34 PP No.27/1999 tentang analisis dampak lingkungan (AMDAL) semangkin mempertegas posisi keikutsertaan masyarakat.
PBB meyelenggarakan konvensi internaional di Aarhus, denmark, berkenaan dengan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, pada tanggal 25 juni 1998 yang ditandatangani oleh 39 negara dan maeyarakat eropa (european community) dengan menghasilkan the aarhus convention yang berisikan 3 pilar yang menjamin hak-hak rakyat dalam kerangka pembangunaan berkelanjutaan yang berwawasaan ingkungan (to sustsinable and environmentally sound development) yakni :
1.      Pilar pertama akses terhadap informai (access to information) yang pada intinya adalah setiap orang berhak mendapatkan informasiyang utuh, akurat dan mutahir yuntuk berbagai tujuan 
2.      Pilar ke dua peran serta dalam pengambilan keputusan (public participation in decision making) yaitu pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu pembuatan informasi dan pula jaminan bahwa partisipasi tersebut benar-benar dijalankan dalam realitanya atrau praktekya dan tidak sekedar diatas kerta dengan melalui akses terhadap penegakan keadilan (access to justice).
3.      Pilar ke tiga akses terhadap penegak keadilaan (acces to justice) yaitu akses untuk memaksakan dan memperkuat, baik hak akses informai maupun hak partisipasi. 

c.       Dalam perspektif  HAM
Hak atas lingkungan hidupsalah satu dari sekian banyak hak asasi yang dimiliki oleh manusia saat pertama ia dilahirkan kemuka bumu ini. Bahkan, janin yang masih di dalam rahim ibunya secara yuridis sudah dianggap sebagai subjek hukum seperti yang terdapat dalam pasal 2 kitab undang-undanghukum perdata dan karena itu ia mempunyai hak asasi, yakni yaitu hak untuk hidup dan hak untuk dilahirkan.
Ketika janin itu keluar dari rahim ibunya. Maka bayi yang dilahirkan itu demi hukum merupakan bagian dari subjek hukum lingkungan yang mempunyai hak untuk hidup, tinggal dan menetap di muka bumi serta bahkan untuk memanfaatkan kekayaan sumber alam demi kelangsungan hidup dan kesejahteraannya sebagai umat manusia.
Sebagaimana hak asasi lainnya, konsep hak atas lingkungan juga mambutuhkan penalaran yang keritis, mendalam dan menyeluruh. Karena dalam pengaturan, penjabaran, dan aktualisasinya merujuk pada konsep hubungan (interaksi) antara manusia dan alam sekitarnya.
Bagaimana manusia melibat dirinya di tengah-tengah keberadaan alam dan dalam perjalanan kemanusiaan ratusan tahun ke masa depan, akan sangat menentukan definisi hak asasi atas lingkungan hidup tersebut. Oleh karena manusia adalah bagian dari lingkungan (alam). Maka keberadaan umat manusia kapan pun dan dimanapun pesti terkait  dan berinteraksi dengan lingkunganya.
Secara filosofis, perbedaan mengenai interaksi manusia dengan alam sekitarnya bermuara pada dua pendapat yang salaing berbeda kutubnya yaitu:
1.      Pendapat yang menempatkan manusia sebagai pemilik dan pengambil manfaat utama atas bumi dan segenap kehidupan dibawah dan di atas permukaannya. Termasuk udara dan laut. Pendapat yang bersifat utilitarian dan antroposentris ini oleh sebagian pakar di anggap mengundang perilaku manusia yang cenderung merusak (destruktif) terhadap lingkungan dan sewenang-wenang terhadap makjluk hidup lainnya.
2.      Pendapat yang menempatkan manusia sebagai bagian dari alam semesta atau bagian dari salah satu dari jutaan makhluk yang hidup di bumi ini.
Oleh karena itulah dalam memanfaatkan sumber daya alam  generasi sekarang mempunyai kewajiban moral kepada generasi mendatang untuk tidak mencemari lingkungan atau menghabiskan sumber daya alam tersebut, sehingga merugikan spesies manusia (termasuk hewan dan tumbuhan)  secara keseluruhan.
Karena pada hakikatnya semua itu. “ bumi tempat kita hidup dan mencari kehidupan ini sesungguhnya bukan merupakan warisan nenek moyang kita, melainkan titipan (amanat) dari anak cucu kita”



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Generasi sekarang di samping mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana ditentukan pada pasal 5 ayat 1 UU Nomer 23 Tahun 1997 tentang pengelilahan lingkungan hidup, mereka juga harus mengkui dan melindungi hak asasi generasi yang akan datang dengan kewajiban untuk melestarikan lingkungannya. Implementasi hak kegiatan dan memperkirakan dampak dari kegiatannya di masa depan. Semakin tinggi kemampuan manusia merencanakan masa depan akan semakin besar kemungkinan generasi yang akan datang dihormati dan dilindungi haknya.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan adalah untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah memberikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai teman hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya memberikan sebuah amanat kepada manusia untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
 وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين 
”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. 




























DAFTAR PUSTAKA

Ahmad kokasih . HAM dalam prespektif islam . menyingkap persamaan dan perbedaan antara islam dan barat . Jakarta : Salemba Diniyah, 2003 .
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press, 2003, hlm. 7-21 dan Maurice Cranston, What are Human Rights? New York: Taplinger, 1973 dalam Rhona K. M. Smith, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2008.
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Jakarta: Grafiti, 1994.
Syekh syaukat hussain . hak asasi manusia dalam islam . Jakarta : gema insani press, 1996 . 






[1] Mustofa Abu Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment (Fiqh al-Bi’ah fil Islam).http://homepages.iol.ie/%7Eafifi/ Articles/environment.htm, diakses pada 28 Desember 2005

[2]Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Pers.
[3]Pasal 28 H ayat (1) merupakan hasil Perubahan kedua UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 2000
[4]Jimly Asshidiqie,  Ibid,
[5]Lihat UU Nomor 12 Tahun 2011
[6]I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Penguatan Fungsi Lingkungan Hidup melalui Penegakan Hukum Lingkungan Sesuai Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Yustisia. Edisi Nomor 78 September-Desember 2009, Fakultas Hukum Universitas sebelas Maret Surakarta.BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hingga saat ini permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di dunia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm pada tanggal 5 Juni 1972. Konferensi ini kemudian dikenal dengan Konferensi Stokholm, dan pada hari dan tanggal itulah kemudian ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Namun sayangnya hingga saat ini -lepas dari tiga dekade kemudian-walaupun jumlah lembaga dan aktivis environmentalism semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun laju kerusakan lingkungan masih terus berlangsung. Kegagalan tersebut banyak diakui kalangan aktivis disebabkan karena kebijakan yang disusun tidak secara konsisten dilaksanakan
Di Indonesia, perhatian tentang lingkungan hidup telah muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Suatu tonggak sejarah tentang lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar pertama tentang lingkungan hidup yang diadakan di Indonesia.( Otto Soemarwoto, 2001: 1) Selain itu pada awal Juli 1973, Sumarlin dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Dunia menyatakan adanya tiga prioritas dalam menanggulangi problematika lingkungan di negeri ini, antara lain: di lautan (pertambangan minyak di lepas pantai) dan di perkotaan (urbanisasi liar dan industrialisasi yang pincang).(A. Sonny Keraf, Kompa: 1973)
Indonesia sendiri, dalam beberapa dasawarsa terakhir, tidak henti-hentinya dirundung berbagai bencana banjir, tanah longsor, maupun polusi. Laporan UNEP memperkirakan kerugian Indonesia akibat bencana tsunami saja mencapai 675 juta dollar AS, atau setara dengan 6 triliun rupiah. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan juga menjadi gejala umum hampir seluruh kawasan di Indonesia. Berbagai bencana yang terjadi di Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung kemudian mendorong keterlibatan aktif peran ulama dan pemikir Islam sejak satu tahun terakhir ini, dengan mengedepankan hikmah perenial Islam, dalam upaya mengatasi persoalan lingkungan yang selama ini didominasi oleh kalangan akademisi dan birokrat. Fiqh yang merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam, sebenarnya telah menawarkan suatu kerangka pendekatan terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi, wacana lingkungan hidup tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam bab tersendiri, melainkan tersebar di beberapa bagian dalam pokok-pokok bahasan ilmu fiqh itu. Secara substansi Fiqh lingkungan hidup (Fiqh Al-Biah) berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsyafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia yang beriman dan amanat yang diembannya.

1.2  Rumusan Masalah
a.      Apa saja Konsep Pelestarian lingkungan dalam Islam?
b.      Bagaimana Hubungan manusia dan lingkungan/alam dalam Islam?
c.       Apa saja Hak-hak masyarakat atas lingkungan yang sehat?
d.      Apa yang dimaksud dengan Lingkungan dalam konstitusi negara-negara di dunia?
e.       Apa yang dimaksud Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehatDalam Islam, UUD 1945, dan HAM?

1.3  Tujuan
a.      Mengetahui tentang konsep pelestarian hidup dan hubungan manusia dalam islam.
b.      Mengerti tentang pengertian lingkungan dan hak-hak atas masyarakat yang sehat dalam lingkungan.
c.       Memahami undang-undang yang melandasi adanya lingkungan yang baik dalam islam di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pelestarian lingkungan dalam Islam
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan adalah untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah memberikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai teman hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya memberikan sebuah amanat kepada manusia untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
 وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين 
”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. 
Larangan pada ayat di atas adalah larangan untuk berbuat kerusakan di atas bumi. Kerusakan yang dimaksud adalah berhubungan dengan berbagai bentuk kerusakan, seperti pembunuhan, perusakan keturunan, akal, dan agama. Sedangkan yang dimaksud dengan kata ”Ba’da Islahiha” adalah setelah Allah memperbaiki penciptaannya sesuai dengan peruntukkannya bagi kemanfaatan makhluk dan kemaslahatan orang-orang mukallaf.
Hal di atas senada dengan penafsiran yang disampaikan oleh Syihabuddin, bahwa Allah melarang berbagai bentuk kerusakan seperti merusak jiwa (pembunuhan), harta, keturunan, akal dan agama setelah Allah memperbaiki semuanya dan menciptakannya untuk dimanfaatkan oleh makhluk serta untuk kemaslahatan orang-orang mukallaf dengan cara Allah mengutus seorang rasul di atas bumi dengan membawa syari’at dan hukum-hukum Allah.
Abu al-Fida yang ber’alam Kunyah ”Ibnu Katsir” mengatakan, firman Allah swt.
”.وَلاَ تُفْسِدُوا فِى اْلأَرْضِ إلخ” mengandung pengertian bahwa Allah swt. melarang kepada hambanya berbuat kerusakan di atas bumi dan berbuat apa yang dapat merugikannya setelah adanya perbaikan. Karena sesungguhnya jika segala sesuatu berjalan di atas kebaikan, kemudian terjadi sebuah kerusakan maka akan menjadikan sebuah kerugian bagi manusia.
Oleh karena itu, Allah melarang perbuatan tersebut dan memerintahkan hamba-Nya untuk menyembah, berdo’a, tawaddlu’ dan merendahkan diri kepada-Nya.Ketiga penafsir di atas memberikan interpretasi, bahwa kerusakan yang dikandung dalam ayat di atas adalah berbagai kerusakan lingkungan.
Menurut Fuad Amsyari, lingkungan dikelompokkan menjadi tiga.
1.      Lingkungan fisik, yakni segala ”benda mati” yang ada di sekitar kita, seperti rumah, kendaraan, gunung, udara, air, sinar matahari, dan lain-lain.
2.      Lingkungan biologis, yakni segala organisme yang hidup di sekitar manusia, baik berupa tumbuhan maupun binatang.
3.      Lingkungan sosial, yakni manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, tetangga, teman, atau orang lain yang belum dikenal.     
Ketiga kategori lingkungan di atas disebut sebagai lingkungan hidup, yakni segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati, dan mempengaruhi hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia. Dalam kenyataan abad sekarang ini, seluruh kategori lingkungan tersebut benar-benar mengalami gangguan pencemaran yang dahsyat. Seakan-akan pencemaran yang terjadi semakin kompleks.
Bukan saja kerusakan alam, tapi sudah menjalar pada kerusakan lingkungan sosial. Sebab, antara lingkungan fisik dan perilaku organisme saling mempengaruhi. Selain sebagai amanat, tindakan memelihara alam (tidak membuat kerusakan di bumi) merupakan manifestasi perintah syukur kepada Tuhan. Karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai syukur, maka dari awal kelahirannya, sudah mengajarkan pentingnya memelihara alam.
Bahkan, ketika perang pun Islam masih mengagungkan titah itu. Tersebut dalam sejarah, para khalifah Islam, seperti Abu Bakar dan Umar, setiap kali akan melepas laskar ke medan perang tak pernah lupa memperingatkan:     ”Jangan tebang pohon atau rambah tanaman, kecuali jika akan dipergunakan atau dimakan, dan janganlah membunuh binatang kecuali untuk dimakan, hormati dan lindungi semua rumah ibadah manapun, serta jangan sekali-kali mengusik mereka yang sedang beribadah menurut agama mereka masing-masing. Janganlah membunuh orang-orang yang tidak bersenjata (yang tidak terlibat langsung dalam peperangan).”
Terbukti, ketika haji, orang yang ihram dilarang membunuh binatang, dan mencabut pohon. Bahkan, jika melanggar akan dikenakan sangsi. Lebih lanjut, Islam juga memberikan kabar gembira bagi mereka yang mau melestarikan alam. Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits pernah besabada, ”Barangsiapa yang menanam sebuah pohon, dan pohon itu berbuah, Allah akan memberikan pahala kepada orang itu sebanyak buah yang tumbuh dari pohon tersebut”. 
Nabi juga pernah bersabda, ”Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram. Hadits ini oleh Fuqaha (para ahli fiqh) dijadikan dasar atas diharamkannya binatang yang bertaring dan bercakar, seperti harimau, serigala, beruang, kucing, gajah, badak, macan tutul dan rajawali. Memang, pada mulanya, pelarangan tersebut bersifat tekstual-normatif, karena diambil berdasarkan sabda Nabi semata. Namun, pada perkembangan berikutnya, setelah dikontekskan dengan realitas kekinian, pengharaman itu membawa hikmah yang begitu besar.
Binatang-binatang yang diharamkan tergolong spesies binatang yang langka yang dilindungi. Sebut saja misalnya rajawali. Semua jenis hewan ini, di belahan dunia manapun dilindungi. Bukti ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa Islam ternyata ikut andil dalam pelestarian hewan langka yang berperan aktif sebagai penjaga ekosistem alam. 
Karena pengharaman tersebut didasari teks keagamaan, maka melaksanakannya adalah sebuah kewajiban bagi setiap umatnya. Bahkan, bukan sekedar kewajiban, tapi kebutuhan manusiawi, sehingga ekosistem tetap terjaga. Pelestarian alam dalam Islam sifatnya konservatif, yang melindungi nilai-nilai yang telah ada. Baik kondisi alami, estetika maupun kekayaan alam yang telah terbentuk sejak awalnya.Alam, sebagaimana disinggung dalam QS. Al-A’raf : 56, mengalami perubahan menuju pada ekosistem yang seimbang setelah mencapai ratusan bahkan jutaan tahun. Maka, mempertahankan alam yang telah menjalani proses tersebut adalah sebuah keharusan dan kebutuhan manusia. 
Mengingat pentingya pelestarian alam itulah, Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw. telah memperkenalkan kawasan lindung (hima’), yakni suatu kawasan yang khusus dilindungi pemerintah atas dasar syari’at guna melestarikan kehidupan liar di hutan. Nabi pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungilembah,padang rumput dan tumbuhan yang ada di dalamnya.
Lahan yang beliau lindungi luasnya sekitar enam mil atau lebih dari 2049 hektar. Selain hima’, Islam juga memperkenalkan konsep ihya’ul mawat, yakni usaha mengelola lahan yang masih belum bermanfaat menjadi berguna bagi manusia. Dua konsep di atas, menunjukkan kepada kita bahwa Islam adalah telah sedini mungkin ikut melestarikan alam, sebagaimana juga telah ikut aktif dalam memelihara keberlangsungan hewan langka melalui pelarangan konsumsi.
Inilah makna konsep Rabbil ’alamin (pemelihara seluruh alam), yakni sifat Tuhan yang direalisasikan pada tugas kekhalifahan manusia. Artinya, segenap makna yang terkandung dalam kata itu harus tercermin dalam setiap tindakan dan perilaku manusia dengan alam, karena ia menempatinya dan bertanggung jawab terhadap eksistensinya.

2.2 Hubungan manusia dan lingkungan/alam dalam Islam
Mustofa Abu Sway memakai dua kategori untuk membahas hubungan antara manusia dan lingkungan, penguasa (khalifah) dan penundukan (taskhir). Kategori pertama memandang bahwa manusia adalah wakil Tuhan  di muka bumi. Kekhalifahannya telah dinyatakan  sebelum penciptaan manusia pertama. Dengan kedudukan ini, manusia dilimpahi tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga alam sekitarnya,
Yang juga diiringi dengan ganjaran dan hukuman. Pada posisi ini, kekhalifahan juga bisa menjadi ujian baginya bagaimana ia memerlakukan lingkungannya. Tugas lain manusia selaku khalifah adalah untuk mengamati alam semesta dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan untuk memelihara lingkungan.[1]
Hubungan manusia dengan alam dalam Al-Qur’an di mana manusia bekedudukan sebagai khalifah, harus juga dilihat dari segi penundukan dan kehambaan. Manusia selaku khalifah di bumi dilengkapi dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan ditundukkannya alam semesta dan seisinya untuk manusia, Allah lah yang menundukkan langit, bumi dan seisinya, bukan manusia.
Oleh karena itu, meskipun manusia sebagai khalifah diberi kuasa untuk  mengelola dan mmelihara alam, kedudukan manusia dengan alam semesta adalah setara dihadapan Allah.
Sesungguhnya, ketika membahas manusia dan alam (lingkungan), posisi Tuhan tidak mungkin diabaikan. Ketika membahas relasi manusia dan alam, peran dan keberadaan Tuhan juga harus disinggung. Oleh karena itu, di samping relasi antara manusia dan alam semesta, ada dua relasi yang lain, yaitu:relasi manusia dengan Tuhan dan relasi alam semestadengan Tuhan.
Masing-masing dari ketiga relasi di atas memiliki element penting yang membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan. Relasi antara alam semesta dan Tuhan dihubungkan dengan konsep penundukan, relasi antara manusia dan Tuhan dihubungkan dengan konsep kehambaan, relasi antara manusia dan alam semesta adalah relasi khalifah dan amanah.
Tiga relasi di atas, adalah sebuah sistem yang terstruktur, yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tiga relasi di atas menunjukkan betapa zat yang paling memiliki kekuasaan adalah Tuhan, sehingga semua ciptaannya akan tunduk terhadap-Nya, termasuk manusia. Inilah yang kemudian menjadi konsep kehambaan.
Apabila memakai konsep kehambaan (‘abd), maka hal itu bisa dijelaskan bahwa manusia dianugerahi potensi sebagai khalifah dan dibekali dengan penundukan alam semesta baginya. Akan tetapi kemampuan dan penundukan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab melalui elemen amanah dan ‘abd. Jika dilihat dalam kerangka pandangan agama dan lingkungan di atas, maka konsep ini akan lebih sesuai dengan konsep kekerabatan manusia dengan semua makhluk.
2.3 Hak-hak masyarakat atas lingkungan yang sehat
Hak lingkungan yang sehat secara harfiyah adalah keleluasaan masyarakat untuk memperoleh kenyamanan hidup di lingkungan sekitar dan mendapatkan pelayanan yang sehat, secara tidak langsung ketika kita membaca pengertian seperti ini terlintas akan alam sekitar dan keadaannya,tapi jika dikaji lebih dalam lagi lingkungan yang sehat juga meliputi kebijakan politik mengenai keleluasaan masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini termasuk eksploitasi hutan pada dasarnya hal tersebut berasal dari lingkungan politik yang kurang sehat, termasuk hak atas lingkungan yang sehat.       
Diperlukan penguat sebagai pendukung atau yang memfasilitasi terpenuhnya aspek secara output seperti halnya tersedianya sarana kesehatan peraturan dan hukum mengenahi lingkungan yang sehat dinormakan dalam UUD 1945 secara jelas dalam pasal 28 ayat (1) “ setiap orang berhak hidup sejahtera lahir, batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesejahteraan” pengendali semua kebijakan dan pengatur ketertiban tidak lain dan tidak bukan pemerintah juga sebagai salah satu bagian penting dalam terlaksanannya lingkungan sehat, setiap warga masyarakat selalu ingin mendapatkan pelayanan yang memuaskan dalam memperoleh kesehatan lingkungan.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah memang benar, namun untuk mengaplikasikannya kedalam suatu masalah masih belum maksimal, seharusnya pengintrolan dilapangan lebih diperketat.


2.4 Lingkungan dalam konstitusi negara-negara di dunia
Istilah Green Constitution atau Konstitusi Hijau belum banyak populer di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, akhirnya banyak pula pakar hukum Indonesia yang menuliskan tema tentang green constitution dalam jurnal-jurnal nasional atau artikel. Dalam bukunya, Prof Jimly asshidiqie pun menjelaskan bahwa sebenarnya, sebagai istilah, green constitution bukanlah suatu yang aneh.
Sejak tahun 1970-an, istilah tersebut sudah sering digunakan untuk menggambarkan keterkaitan sesuatu dengan ide perlindungan lingkungan hidup.[2]Dalam jurnal-jurnal atau artikel internasional di beberapa negara, istilah itu juga sudah digunakan sejak lama.
Negara-negara didunia menyadari bahwa lingkungan saling berkaitan dan dibutuhkan oleh seluruh umat manusia tanpa dibatasi oleh teritorial batas negara. Banyak perjanjian Internasioanl yang sudah dibuat bahkan sudah diratifikasi oleh negara-negara di Dunia.
Beberapa negara menunjukkan komitmennya dalam perlindungan lingkungan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Diantaranya adalah negara Portugal, Spanyol, Polandia, Prancis, Ekuador. Bahkan, dalam amanedemen konstitusinya, negara tersebut memasukkan pasal-pasal tentang perlindungan lingkungan dan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga dapat efektif untuk kebijakan-kebijakan pemerintah dibawahnya terkait pembangunan negaranya yang berkelanjutan dan pro-lingkungan.
Tidak terkecuali Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi alam yang sangat besar sebagai paru-paru dunia, maka Indonesia dalam Konstitusinya yaitu pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 sudah mencerminkan sebagai konstitusi hijau dengan memberikan jaminan hak warga negaranya berupa lingkungan yang bersih dan sehat dengan melakukan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Tuntutan reformasi pada tahun 1998 dengan salah satu agendanya yaitu amandemen sampai kepada perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, menghasilkan banyak rumusan pasal-pasal baru terutama terkait dengan Hak Asasai Manusia.
Isu lingkungan pun akhirnya menjadi salah satu Hak Asasai Manusia yang tercantum dalam pasal 28H ayat (1)  yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal tersebut tentu memberikan dampak positif yang secara tidak langsung negara berkewajiban untuk betul-betul melestarikan lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk memenuhi hak warga negaranya.[3]
Indonesia sebenarnya telah menerapkan konsep ecocracy yaitu kedaulatan lingkungan hidup atau ekosistem dimana suatu pemerintahan mendasarkan kepemerintahannya secara taat asas pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (ecologically sustainable development). Gagasan ecocracy ini merupakan upaya untuk mengutamakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam arus politik pembangunan nasional.
Namun, walaupun Indonesia dalam konstitusinya telah mengakui subjective right atau duty of the state tetapi pemuatan pola dan arah pembangunan berkelanjutan belum ditempatkan pada pasal-pasal khusus melainkan ditumpangkan atau dicampurkan dengan hak-hak fundamental lainnya.[4]
            Oleh karena itu, dengan teori hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan maka Pemerintah Indonesia wajib menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia agar menjadi peraturan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tata urutan Peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini yang diatur dalam pasal 7 adalah sebagai berikut:[5]
(1) Undang-undang Dasar 1945
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(3) Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(4) Peraturan Pemerintah
(5) Peraturan Presiden
(6) Peraturan Daerah Provinsi
(7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Tanggal 8 september 2009 DPR dan Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Terhadap Undang-Undang ini tentunya banyak perubahan. Dari segi judulnya, jelas sudah berubah dengan ditambahkannya kalusul kata perlindungan selain kata pengelolaan. Dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk mencegah kerusakan lahan perlu dilakukan penegakkan peraturan perundangan-undangan untuk melindungi lingkungan hidup itu sendiri.[6]
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan (UUPPLH) Hidup tentunya masih banyak penyesuaian yang harus dilakukan.
Dalam pelaksanaan teknis Undang-undang tersebut dalam Peraturan pemerintah dan Peraturan presiden hendaknya juga disesuaikan dengan UUPPLH yang baru  agar tidak terjadi benturan hukum karena masih mengacu pada UUPLH yang lama. Hal ini juga diatur pula dalam pasal 44 UUPPLH bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH.

2.5 Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat Dalam Islam, UUD 1945, dan HAM
a.      Dalam perspektif Islam
Dalam perspektif islam, HAM diletakkan sebagai hurumat (keilmuan, kelapangan, kehormatan). Dengan pengertian ini  pada hakikatnya manusia didudukkan sebagai makhluk yang dimuliakan tuhan. Manusia dalam kemuliannya ditandai dengan kewajiban untuk mengabdi kepada tuhan dan hubungan baik dengan sesamanya serta memelihara kewajiban tanggung  jawab secara vertikal dan horizontal. Manusia dalam Islam bukanlah pemilik hak asasi melainkan yang dititipi hak asasi untuk ditegakkan bersama-sama manusia lainnya.
Fundamental HAM dalam Islam telah dirumuskan Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah. Nilai yang hidup dalam HAM versi Islam sebagaimana ditegaskan dalam Piagam Madinah tersebut adalah: Pengakuan adanya hak hidup, hak kemerdekaan, hak persamaan, hak keadilan, hak perlindungan hukum, hak perlindungan dari kezaliman penguasa, hak perlindungan dari penyiksaan, hak untuk berlindung, hak untuk melaksanakan kerja sama dalam kehidupan sosial, hak minoritas, serta hak ekonomi.
Mayoritas negara-negara Islam adalah tergolong keadaan barisan negara-negara dunia ketiga yang banyak merasakan perlakuan ketidak adilan negara-negara barat atas nama HAM.  Dalam pandangan negara-negara Isalam, HAM Barat tidak sesuai dengan pandangan ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah SWT.
Maka negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of Islamic Comfrence (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluar deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syariat Islam. Konsep HAM hasil rumusan negara-negara OKI dikenal dengan sebutan DEKLARASI KAIRO ini berisi 24 pasal tentang HAM berdasarkan Al- Quran dan Sunnah yang dalam penerapannya dan relitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi manusia (the Universal Declaration of Human Rights) yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948.
b.      Dalam perspektif UUD 1945
Banyak terjadi kesenjangan sosial dan kasus-kasus sosial yang ada dirakyat Indonesia dimana kakayan alam dan sumber-sumber laianya serta keuntunganya yang didapat dari eksploitasi sumberdaya alam, yang hanya dinikmati oleh kelompok dan golongan tertentu saja sedangkan rakyat Indonesia selalu menuai dampak bencana dan bahkan nyawa menjadi taruhanya.
Bagi Indonesia pembangunan nasional yang diselenggarakan adalah mengikuti pola pembangunan berkelanjutan yang diakomodasi dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) ketentuan tersebut memberikan dasar hukum bagi peyelenggaraan pengelolan lingkungan hidup yang bertujuan melestarikan kemempuan lingkungan hidup agar dapat tetap menunjang kesejahteraan dan mutu hidup generasi mendatang.
Bagian ’hukum lingkungan’ ini akan menguraikan struktur hukum perlindungan lingkungan dan mendiskusikan peraturan-peraturan yang memberikan kesempatan pada pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan penguatan pada: 
1.      Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
2.      peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup 
3.      pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
4.      prosedur hukum peyelesaian sengketa lingkungan.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Untuk memungkinkan pembangunaan berkelanjutan ini diperlukan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai beerikut :
1.    pengelolan sumberdaya alam perlu direncanakaan sesuai dengan daya dukung lingkungan melalui rencana tata ruang wilayah
2.    proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melelui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
3.    pengembangaan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan
4.    pengendalian kerusakan lingkungan
5.    pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan.
6.    pengembangan peran-serta masyarakat kelembagaan dan ketenagaaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
7.    pengelolaan pencemaran air, udara dan tanah.
8.    pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk meyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan
9.    pengembangan kerjasama luar negeri.
Kontek hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat pada tingkat internasional, diatur secara ekspelisit dalam deklarasi Universal hak asasi manusia (DUHAM) ini sudah jelas bahwasanya lingkungan yang baik dan sehat yang merupakan hak asasi manusia, itu harus dijaga dan dipertahankan karena bersangkutan dengan perkembangan lingkungan tersebut agar tetap terjaga. Sehingga juga tergabung dalam rumpun hak ekonomi, sosial, dan budaya, (EKOSOBUD).
Justifikasi internasional menyangkut interaksi hak atas lingkungan sehingga ditafsirkan menjadi HAM dilihat antara lain ;
1.      African charter on human and peopple rights, pasal 21 ayat 1
2.      Kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, social, dan budaya (kovenan hak ekosob) , pasal 1 ayat 2
3.       Resolusi PBB 1803 (XVII) 12 Desember 1962
4.       Resolusi PBB 3281 (XXIX) 12 Desember 1974
5.      Agenda 21 KTT bumi Rio de Janeiro 1992.
Secara konsitusional, hak atas lingkungan dalam hukum nasional indonesia tercantum dalam beberapa aturan yaitu ;
1.      Alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan ”membentuk suatu pemerintah negara indonesia yang meindungi segenap bangsa indonesia ”.... serta dikaitkan pula dengan hak penguasaan kepada negara atas bumi, air dan kekayaan terkandung didalamya ntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. pasal 33 UUD 1945
2.       Amandemen UUD 1945 pasal 28H ayat 1 meyebutkan ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanaan kesehatan
3.      Piagam HAM dan merupakan bagian tak terpisahkan dari TAP MPR NO XVII/MPR/1998 yang ditetapkan oleh sidang istimewa MPR tahun 1998. diantaranya mayatakan ”bahwa manusia adalah mahluk tuhan yang maha esa, yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam bentuk ketaatan kepada NYA. 
4. UU No.23 tahun 1997 pasal 5 ayat (1), ”setiap orang mampunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, pasal 8 ayat (1), ”sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakn untuk sebesar-besarya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturanya ditentukan oleh pemerintah,”
4.      UU No.39 tahun 1999 tantang hak asasi manusia (UU No.39 1999) pasal 3 meyatakan ”masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 
Secara langsung atau pun tidak langsung. Sudah banyak terjadi perusakan lingkungan yang ada di propinsi kepulauan bangka belitung. Baik yang dilakukan pemerintah dengan melalui kebijakanya ataupun rakyat sendiri yang melakukan perusakan tersebut.
1.      baik dari pertambangan pertimahan yang legal, ilegel dan ilegal di legalkan, dan saat ini diperparahkan lagi adanya pertambangan biji emas yang tentunya oleh rakyat, sehingga dengan sendirinya menembah perparah lingkungan yang ada di BABEL ini. kalau pemerintah daerah tidak meyikapiya dengan serius.
2.      dari perkebunan, banyak pembukaan lahan besar-besaran saat ini di bangka belitung dalam upaya pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, yang sendiriya akan memperburuk lingkungan BEBEL. Kalau perkebunan itu debuka dengan cara besar-besaran sehingga terjadi penggundulan hutan dan pencemaran aliran sungai akibat perkebunaan tersebut, kita ketahui air merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
3.      diperparah lagi saat ini kerusakan lingkungan di bangka belitung bukan hanya didaerah daratan aja melaikan diperairan atau pesisir pantai yang diakibatkan banyakya pertambangan-pertambangan pertimahan baik kapal hisap maupun TI apung.
Secara hukum peran serta masyarakat tercantum didalam UUD 1945 pasal 1 (2) wujud kekuatan peran serta masyarakat, berupa kedaulatan rakyat, diakui secara penuh dan dilaksanakanmenurut UUD. Dalam kontek hukum lingkungan , hak dan kewajiban berperan serta diyatakan dalam UU No.23/1997 pasal 5 (3). Dan pasal 34 PP No.27/1999 tentang analisis dampak lingkungan (AMDAL) semangkin mempertegas posisi keikutsertaan masyarakat.
PBB meyelenggarakan konvensi internaional di Aarhus, denmark, berkenaan dengan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, pada tanggal 25 juni 1998 yang ditandatangani oleh 39 negara dan maeyarakat eropa (european community) dengan menghasilkan the aarhus convention yang berisikan 3 pilar yang menjamin hak-hak rakyat dalam kerangka pembangunaan berkelanjutaan yang berwawasaan ingkungan (to sustsinable and environmentally sound development) yakni :
1.      Pilar pertama akses terhadap informai (access to information) yang pada intinya adalah setiap orang berhak mendapatkan informasiyang utuh, akurat dan mutahir yuntuk berbagai tujuan 
2.      Pilar ke dua peran serta dalam pengambilan keputusan (public participation in decision making) yaitu pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu pembuatan informasi dan pula jaminan bahwa partisipasi tersebut benar-benar dijalankan dalam realitanya atrau praktekya dan tidak sekedar diatas kerta dengan melalui akses terhadap penegakan keadilan (access to justice).
3.      Pilar ke tiga akses terhadap penegak keadilaan (acces to justice) yaitu akses untuk memaksakan dan memperkuat, baik hak akses informai maupun hak partisipasi. 

c.       Dalam perspektif  HAM
Hak atas lingkungan hidupsalah satu dari sekian banyak hak asasi yang dimiliki oleh manusia saat pertama ia dilahirkan kemuka bumu ini. Bahkan, janin yang masih di dalam rahim ibunya secara yuridis sudah dianggap sebagai subjek hukum seperti yang terdapat dalam pasal 2 kitab undang-undanghukum perdata dan karena itu ia mempunyai hak asasi, yakni yaitu hak untuk hidup dan hak untuk dilahirkan.
Ketika janin itu keluar dari rahim ibunya. Maka bayi yang dilahirkan itu demi hukum merupakan bagian dari subjek hukum lingkungan yang mempunyai hak untuk hidup, tinggal dan menetap di muka bumi serta bahkan untuk memanfaatkan kekayaan sumber alam demi kelangsungan hidup dan kesejahteraannya sebagai umat manusia.
Sebagaimana hak asasi lainnya, konsep hak atas lingkungan juga mambutuhkan penalaran yang keritis, mendalam dan menyeluruh. Karena dalam pengaturan, penjabaran, dan aktualisasinya merujuk pada konsep hubungan (interaksi) antara manusia dan alam sekitarnya.
Bagaimana manusia melibat dirinya di tengah-tengah keberadaan alam dan dalam perjalanan kemanusiaan ratusan tahun ke masa depan, akan sangat menentukan definisi hak asasi atas lingkungan hidup tersebut. Oleh karena manusia adalah bagian dari lingkungan (alam). Maka keberadaan umat manusia kapan pun dan dimanapun pesti terkait  dan berinteraksi dengan lingkunganya.
Secara filosofis, perbedaan mengenai interaksi manusia dengan alam sekitarnya bermuara pada dua pendapat yang salaing berbeda kutubnya yaitu:
1.      Pendapat yang menempatkan manusia sebagai pemilik dan pengambil manfaat utama atas bumi dan segenap kehidupan dibawah dan di atas permukaannya. Termasuk udara dan laut. Pendapat yang bersifat utilitarian dan antroposentris ini oleh sebagian pakar di anggap mengundang perilaku manusia yang cenderung merusak (destruktif) terhadap lingkungan dan sewenang-wenang terhadap makjluk hidup lainnya.
2.      Pendapat yang menempatkan manusia sebagai bagian dari alam semesta atau bagian dari salah satu dari jutaan makhluk yang hidup di bumi ini.
Oleh karena itulah dalam memanfaatkan sumber daya alam  generasi sekarang mempunyai kewajiban moral kepada generasi mendatang untuk tidak mencemari lingkungan atau menghabiskan sumber daya alam tersebut, sehingga merugikan spesies manusia (termasuk hewan dan tumbuhan)  secara keseluruhan.
Karena pada hakikatnya semua itu. “ bumi tempat kita hidup dan mencari kehidupan ini sesungguhnya bukan merupakan warisan nenek moyang kita, melainkan titipan (amanat) dari anak cucu kita”



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Generasi sekarang di samping mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana ditentukan pada pasal 5 ayat 1 UU Nomer 23 Tahun 1997 tentang pengelilahan lingkungan hidup, mereka juga harus mengkui dan melindungi hak asasi generasi yang akan datang dengan kewajiban untuk melestarikan lingkungannya. Implementasi hak kegiatan dan memperkirakan dampak dari kegiatannya di masa depan. Semakin tinggi kemampuan manusia merencanakan masa depan akan semakin besar kemungkinan generasi yang akan datang dihormati dan dilindungi haknya.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan adalah untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah memberikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai teman hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya memberikan sebuah amanat kepada manusia untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
 وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين 
”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. 




























DAFTAR PUSTAKA

Ahmad kokasih . HAM dalam prespektif islam . menyingkap persamaan dan perbedaan antara islam dan barat . Jakarta : Salemba Diniyah, 2003 .
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press, 2003, hlm. 7-21 dan Maurice Cranston, What are Human Rights? New York: Taplinger, 1973 dalam Rhona K. M. Smith, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2008.
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Jakarta: Grafiti, 1994.
Syekh syaukat hussain . hak asasi manusia dalam islam . Jakarta : gema insani press, 1996 . 





[1] Mustofa Abu Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment (Fiqh al-Bi’ah fil Islam).http://homepages.iol.ie/%7Eafifi/ Articles/environment.htm, diakses pada 28 Desember 2005

[2]Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Pers.
[3]Pasal 28 H ayat (1) merupakan hasil Perubahan kedua UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 2000
[4]Jimly Asshidiqie,  Ibid,
[5]Lihat UU Nomor 12 Tahun 2011
[6]I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Penguatan Fungsi Lingkungan Hidup melalui Penegakan Hukum Lingkungan Sesuai Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Yustisia. Edisi Nomor 78 September-Desember 2009, Fakultas Hukum Universitas sebelas Maret Surakarta.BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hingga saat ini permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di dunia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm pada tanggal 5 Juni 1972. Konferensi ini kemudian dikenal dengan Konferensi Stokholm, dan pada hari dan tanggal itulah kemudian ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Namun sayangnya hingga saat ini -lepas dari tiga dekade kemudian-walaupun jumlah lembaga dan aktivis environmentalism semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun laju kerusakan lingkungan masih terus berlangsung. Kegagalan tersebut banyak diakui kalangan aktivis disebabkan karena kebijakan yang disusun tidak secara konsisten dilaksanakan
Di Indonesia, perhatian tentang lingkungan hidup telah muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Suatu tonggak sejarah tentang lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar pertama tentang lingkungan hidup yang diadakan di Indonesia.( Otto Soemarwoto, 2001: 1) Selain itu pada awal Juli 1973, Sumarlin dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Dunia menyatakan adanya tiga prioritas dalam menanggulangi problematika lingkungan di negeri ini, antara lain: di lautan (pertambangan minyak di lepas pantai) dan di perkotaan (urbanisasi liar dan industrialisasi yang pincang).(A. Sonny Keraf, Kompa: 1973)
Indonesia sendiri, dalam beberapa dasawarsa terakhir, tidak henti-hentinya dirundung berbagai bencana banjir, tanah longsor, maupun polusi. Laporan UNEP memperkirakan kerugian Indonesia akibat bencana tsunami saja mencapai 675 juta dollar AS, atau setara dengan 6 triliun rupiah. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan juga menjadi gejala umum hampir seluruh kawasan di Indonesia. Berbagai bencana yang terjadi di Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung kemudian mendorong keterlibatan aktif peran ulama dan pemikir Islam sejak satu tahun terakhir ini, dengan mengedepankan hikmah perenial Islam, dalam upaya mengatasi persoalan lingkungan yang selama ini didominasi oleh kalangan akademisi dan birokrat. Fiqh yang merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam, sebenarnya telah menawarkan suatu kerangka pendekatan terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi, wacana lingkungan hidup tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam bab tersendiri, melainkan tersebar di beberapa bagian dalam pokok-pokok bahasan ilmu fiqh itu. Secara substansi Fiqh lingkungan hidup (Fiqh Al-Biah) berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsyafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia yang beriman dan amanat yang diembannya.

1.2  Rumusan Masalah
a.      Apa saja Konsep Pelestarian lingkungan dalam Islam?
b.      Bagaimana Hubungan manusia dan lingkungan/alam dalam Islam?
c.       Apa saja Hak-hak masyarakat atas lingkungan yang sehat?
d.      Apa yang dimaksud dengan Lingkungan dalam konstitusi negara-negara di dunia?
e.       Apa yang dimaksud Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehatDalam Islam, UUD 1945, dan HAM?

1.3  Tujuan
a.      Mengetahui tentang konsep pelestarian hidup dan hubungan manusia dalam islam.
b.      Mengerti tentang pengertian lingkungan dan hak-hak atas masyarakat yang sehat dalam lingkungan.
c.       Memahami undang-undang yang melandasi adanya lingkungan yang baik dalam islam di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pelestarian lingkungan dalam Islam
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan adalah untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah memberikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai teman hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya memberikan sebuah amanat kepada manusia untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
 وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين 
”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. 
Larangan pada ayat di atas adalah larangan untuk berbuat kerusakan di atas bumi. Kerusakan yang dimaksud adalah berhubungan dengan berbagai bentuk kerusakan, seperti pembunuhan, perusakan keturunan, akal, dan agama. Sedangkan yang dimaksud dengan kata ”Ba’da Islahiha” adalah setelah Allah memperbaiki penciptaannya sesuai dengan peruntukkannya bagi kemanfaatan makhluk dan kemaslahatan orang-orang mukallaf.
Hal di atas senada dengan penafsiran yang disampaikan oleh Syihabuddin, bahwa Allah melarang berbagai bentuk kerusakan seperti merusak jiwa (pembunuhan), harta, keturunan, akal dan agama setelah Allah memperbaiki semuanya dan menciptakannya untuk dimanfaatkan oleh makhluk serta untuk kemaslahatan orang-orang mukallaf dengan cara Allah mengutus seorang rasul di atas bumi dengan membawa syari’at dan hukum-hukum Allah.
Abu al-Fida yang ber’alam Kunyah ”Ibnu Katsir” mengatakan, firman Allah swt.
”.وَلاَ تُفْسِدُوا فِى اْلأَرْضِ إلخ” mengandung pengertian bahwa Allah swt. melarang kepada hambanya berbuat kerusakan di atas bumi dan berbuat apa yang dapat merugikannya setelah adanya perbaikan. Karena sesungguhnya jika segala sesuatu berjalan di atas kebaikan, kemudian terjadi sebuah kerusakan maka akan menjadikan sebuah kerugian bagi manusia.
Oleh karena itu, Allah melarang perbuatan tersebut dan memerintahkan hamba-Nya untuk menyembah, berdo’a, tawaddlu’ dan merendahkan diri kepada-Nya.Ketiga penafsir di atas memberikan interpretasi, bahwa kerusakan yang dikandung dalam ayat di atas adalah berbagai kerusakan lingkungan.
Menurut Fuad Amsyari, lingkungan dikelompokkan menjadi tiga.
1.      Lingkungan fisik, yakni segala ”benda mati” yang ada di sekitar kita, seperti rumah, kendaraan, gunung, udara, air, sinar matahari, dan lain-lain.
2.      Lingkungan biologis, yakni segala organisme yang hidup di sekitar manusia, baik berupa tumbuhan maupun binatang.
3.      Lingkungan sosial, yakni manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, tetangga, teman, atau orang lain yang belum dikenal.     
Ketiga kategori lingkungan di atas disebut sebagai lingkungan hidup, yakni segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati, dan mempengaruhi hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia. Dalam kenyataan abad sekarang ini, seluruh kategori lingkungan tersebut benar-benar mengalami gangguan pencemaran yang dahsyat. Seakan-akan pencemaran yang terjadi semakin kompleks.
Bukan saja kerusakan alam, tapi sudah menjalar pada kerusakan lingkungan sosial. Sebab, antara lingkungan fisik dan perilaku organisme saling mempengaruhi. Selain sebagai amanat, tindakan memelihara alam (tidak membuat kerusakan di bumi) merupakan manifestasi perintah syukur kepada Tuhan. Karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai syukur, maka dari awal kelahirannya, sudah mengajarkan pentingnya memelihara alam.
Bahkan, ketika perang pun Islam masih mengagungkan titah itu. Tersebut dalam sejarah, para khalifah Islam, seperti Abu Bakar dan Umar, setiap kali akan melepas laskar ke medan perang tak pernah lupa memperingatkan:     ”Jangan tebang pohon atau rambah tanaman, kecuali jika akan dipergunakan atau dimakan, dan janganlah membunuh binatang kecuali untuk dimakan, hormati dan lindungi semua rumah ibadah manapun, serta jangan sekali-kali mengusik mereka yang sedang beribadah menurut agama mereka masing-masing. Janganlah membunuh orang-orang yang tidak bersenjata (yang tidak terlibat langsung dalam peperangan).”
Terbukti, ketika haji, orang yang ihram dilarang membunuh binatang, dan mencabut pohon. Bahkan, jika melanggar akan dikenakan sangsi. Lebih lanjut, Islam juga memberikan kabar gembira bagi mereka yang mau melestarikan alam. Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits pernah besabada, ”Barangsiapa yang menanam sebuah pohon, dan pohon itu berbuah, Allah akan memberikan pahala kepada orang itu sebanyak buah yang tumbuh dari pohon tersebut”. 
Nabi juga pernah bersabda, ”Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram. Hadits ini oleh Fuqaha (para ahli fiqh) dijadikan dasar atas diharamkannya binatang yang bertaring dan bercakar, seperti harimau, serigala, beruang, kucing, gajah, badak, macan tutul dan rajawali. Memang, pada mulanya, pelarangan tersebut bersifat tekstual-normatif, karena diambil berdasarkan sabda Nabi semata. Namun, pada perkembangan berikutnya, setelah dikontekskan dengan realitas kekinian, pengharaman itu membawa hikmah yang begitu besar.
Binatang-binatang yang diharamkan tergolong spesies binatang yang langka yang dilindungi. Sebut saja misalnya rajawali. Semua jenis hewan ini, di belahan dunia manapun dilindungi. Bukti ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa Islam ternyata ikut andil dalam pelestarian hewan langka yang berperan aktif sebagai penjaga ekosistem alam. 
Karena pengharaman tersebut didasari teks keagamaan, maka melaksanakannya adalah sebuah kewajiban bagi setiap umatnya. Bahkan, bukan sekedar kewajiban, tapi kebutuhan manusiawi, sehingga ekosistem tetap terjaga. Pelestarian alam dalam Islam sifatnya konservatif, yang melindungi nilai-nilai yang telah ada. Baik kondisi alami, estetika maupun kekayaan alam yang telah terbentuk sejak awalnya.Alam, sebagaimana disinggung dalam QS. Al-A’raf : 56, mengalami perubahan menuju pada ekosistem yang seimbang setelah mencapai ratusan bahkan jutaan tahun. Maka, mempertahankan alam yang telah menjalani proses tersebut adalah sebuah keharusan dan kebutuhan manusia. 
Mengingat pentingya pelestarian alam itulah, Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw. telah memperkenalkan kawasan lindung (hima’), yakni suatu kawasan yang khusus dilindungi pemerintah atas dasar syari’at guna melestarikan kehidupan liar di hutan. Nabi pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungilembah,padang rumput dan tumbuhan yang ada di dalamnya.
Lahan yang beliau lindungi luasnya sekitar enam mil atau lebih dari 2049 hektar. Selain hima’, Islam juga memperkenalkan konsep ihya’ul mawat, yakni usaha mengelola lahan yang masih belum bermanfaat menjadi berguna bagi manusia. Dua konsep di atas, menunjukkan kepada kita bahwa Islam adalah telah sedini mungkin ikut melestarikan alam, sebagaimana juga telah ikut aktif dalam memelihara keberlangsungan hewan langka melalui pelarangan konsumsi.
Inilah makna konsep Rabbil ’alamin (pemelihara seluruh alam), yakni sifat Tuhan yang direalisasikan pada tugas kekhalifahan manusia. Artinya, segenap makna yang terkandung dalam kata itu harus tercermin dalam setiap tindakan dan perilaku manusia dengan alam, karena ia menempatinya dan bertanggung jawab terhadap eksistensinya.

2.2 Hubungan manusia dan lingkungan/alam dalam Islam
Mustofa Abu Sway memakai dua kategori untuk membahas hubungan antara manusia dan lingkungan, penguasa (khalifah) dan penundukan (taskhir). Kategori pertama memandang bahwa manusia adalah wakil Tuhan  di muka bumi. Kekhalifahannya telah dinyatakan  sebelum penciptaan manusia pertama. Dengan kedudukan ini, manusia dilimpahi tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga alam sekitarnya,
Yang juga diiringi dengan ganjaran dan hukuman. Pada posisi ini, kekhalifahan juga bisa menjadi ujian baginya bagaimana ia memerlakukan lingkungannya. Tugas lain manusia selaku khalifah adalah untuk mengamati alam semesta dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan untuk memelihara lingkungan.[1]
Hubungan manusia dengan alam dalam Al-Qur’an di mana manusia bekedudukan sebagai khalifah, harus juga dilihat dari segi penundukan dan kehambaan. Manusia selaku khalifah di bumi dilengkapi dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan ditundukkannya alam semesta dan seisinya untuk manusia, Allah lah yang menundukkan langit, bumi dan seisinya, bukan manusia.
Oleh karena itu, meskipun manusia sebagai khalifah diberi kuasa untuk  mengelola dan mmelihara alam, kedudukan manusia dengan alam semesta adalah setara dihadapan Allah.
Sesungguhnya, ketika membahas manusia dan alam (lingkungan), posisi Tuhan tidak mungkin diabaikan. Ketika membahas relasi manusia dan alam, peran dan keberadaan Tuhan juga harus disinggung. Oleh karena itu, di samping relasi antara manusia dan alam semesta, ada dua relasi yang lain, yaitu:relasi manusia dengan Tuhan dan relasi alam semestadengan Tuhan.
Masing-masing dari ketiga relasi di atas memiliki element penting yang membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan. Relasi antara alam semesta dan Tuhan dihubungkan dengan konsep penundukan, relasi antara manusia dan Tuhan dihubungkan dengan konsep kehambaan, relasi antara manusia dan alam semesta adalah relasi khalifah dan amanah.
Tiga relasi di atas, adalah sebuah sistem yang terstruktur, yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tiga relasi di atas menunjukkan betapa zat yang paling memiliki kekuasaan adalah Tuhan, sehingga semua ciptaannya akan tunduk terhadap-Nya, termasuk manusia. Inilah yang kemudian menjadi konsep kehambaan.
Apabila memakai konsep kehambaan (‘abd), maka hal itu bisa dijelaskan bahwa manusia dianugerahi potensi sebagai khalifah dan dibekali dengan penundukan alam semesta baginya. Akan tetapi kemampuan dan penundukan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab melalui elemen amanah dan ‘abd. Jika dilihat dalam kerangka pandangan agama dan lingkungan di atas, maka konsep ini akan lebih sesuai dengan konsep kekerabatan manusia dengan semua makhluk.
2.3 Hak-hak masyarakat atas lingkungan yang sehat
Hak lingkungan yang sehat secara harfiyah adalah keleluasaan masyarakat untuk memperoleh kenyamanan hidup di lingkungan sekitar dan mendapatkan pelayanan yang sehat, secara tidak langsung ketika kita membaca pengertian seperti ini terlintas akan alam sekitar dan keadaannya,tapi jika dikaji lebih dalam lagi lingkungan yang sehat juga meliputi kebijakan politik mengenai keleluasaan masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini termasuk eksploitasi hutan pada dasarnya hal tersebut berasal dari lingkungan politik yang kurang sehat, termasuk hak atas lingkungan yang sehat.       
Diperlukan penguat sebagai pendukung atau yang memfasilitasi terpenuhnya aspek secara output seperti halnya tersedianya sarana kesehatan peraturan dan hukum mengenahi lingkungan yang sehat dinormakan dalam UUD 1945 secara jelas dalam pasal 28 ayat (1) “ setiap orang berhak hidup sejahtera lahir, batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesejahteraan” pengendali semua kebijakan dan pengatur ketertiban tidak lain dan tidak bukan pemerintah juga sebagai salah satu bagian penting dalam terlaksanannya lingkungan sehat, setiap warga masyarakat selalu ingin mendapatkan pelayanan yang memuaskan dalam memperoleh kesehatan lingkungan.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah memang benar, namun untuk mengaplikasikannya kedalam suatu masalah masih belum maksimal, seharusnya pengintrolan dilapangan lebih diperketat.


2.4 Lingkungan dalam konstitusi negara-negara di dunia
Istilah Green Constitution atau Konstitusi Hijau belum banyak populer di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, akhirnya banyak pula pakar hukum Indonesia yang menuliskan tema tentang green constitution dalam jurnal-jurnal nasional atau artikel. Dalam bukunya, Prof Jimly asshidiqie pun menjelaskan bahwa sebenarnya, sebagai istilah, green constitution bukanlah suatu yang aneh.
Sejak tahun 1970-an, istilah tersebut sudah sering digunakan untuk menggambarkan keterkaitan sesuatu dengan ide perlindungan lingkungan hidup.[2]Dalam jurnal-jurnal atau artikel internasional di beberapa negara, istilah itu juga sudah digunakan sejak lama.
Negara-negara didunia menyadari bahwa lingkungan saling berkaitan dan dibutuhkan oleh seluruh umat manusia tanpa dibatasi oleh teritorial batas negara. Banyak perjanjian Internasioanl yang sudah dibuat bahkan sudah diratifikasi oleh negara-negara di Dunia.
Beberapa negara menunjukkan komitmennya dalam perlindungan lingkungan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Diantaranya adalah negara Portugal, Spanyol, Polandia, Prancis, Ekuador. Bahkan, dalam amanedemen konstitusinya, negara tersebut memasukkan pasal-pasal tentang perlindungan lingkungan dan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga dapat efektif untuk kebijakan-kebijakan pemerintah dibawahnya terkait pembangunan negaranya yang berkelanjutan dan pro-lingkungan.
Tidak terkecuali Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi alam yang sangat besar sebagai paru-paru dunia, maka Indonesia dalam Konstitusinya yaitu pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 sudah mencerminkan sebagai konstitusi hijau dengan memberikan jaminan hak warga negaranya berupa lingkungan yang bersih dan sehat dengan melakukan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Tuntutan reformasi pada tahun 1998 dengan salah satu agendanya yaitu amandemen sampai kepada perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, menghasilkan banyak rumusan pasal-pasal baru terutama terkait dengan Hak Asasai Manusia.
Isu lingkungan pun akhirnya menjadi salah satu Hak Asasai Manusia yang tercantum dalam pasal 28H ayat (1)  yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal tersebut tentu memberikan dampak positif yang secara tidak langsung negara berkewajiban untuk betul-betul melestarikan lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk memenuhi hak warga negaranya.[3]
Indonesia sebenarnya telah menerapkan konsep ecocracy yaitu kedaulatan lingkungan hidup atau ekosistem dimana suatu pemerintahan mendasarkan kepemerintahannya secara taat asas pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (ecologically sustainable development). Gagasan ecocracy ini merupakan upaya untuk mengutamakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam arus politik pembangunan nasional.
Namun, walaupun Indonesia dalam konstitusinya telah mengakui subjective right atau duty of the state tetapi pemuatan pola dan arah pembangunan berkelanjutan belum ditempatkan pada pasal-pasal khusus melainkan ditumpangkan atau dicampurkan dengan hak-hak fundamental lainnya.[4]
            Oleh karena itu, dengan teori hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan maka Pemerintah Indonesia wajib menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia agar menjadi peraturan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tata urutan Peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini yang diatur dalam pasal 7 adalah sebagai berikut:[5]
(1) Undang-undang Dasar 1945
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(3) Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(4) Peraturan Pemerintah
(5) Peraturan Presiden
(6) Peraturan Daerah Provinsi
(7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Tanggal 8 september 2009 DPR dan Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Terhadap Undang-Undang ini tentunya banyak perubahan. Dari segi judulnya, jelas sudah berubah dengan ditambahkannya kalusul kata perlindungan selain kata pengelolaan. Dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk mencegah kerusakan lahan perlu dilakukan penegakkan peraturan perundangan-undangan untuk melindungi lingkungan hidup itu sendiri.[6]
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan (UUPPLH) Hidup tentunya masih banyak penyesuaian yang harus dilakukan.
Dalam pelaksanaan teknis Undang-undang tersebut dalam Peraturan pemerintah dan Peraturan presiden hendaknya juga disesuaikan dengan UUPPLH yang baru  agar tidak terjadi benturan hukum karena masih mengacu pada UUPLH yang lama. Hal ini juga diatur pula dalam pasal 44 UUPPLH bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH.

2.5 Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat Dalam Islam, UUD 1945, dan HAM
a.      Dalam perspektif Islam
Dalam perspektif islam, HAM diletakkan sebagai hurumat (keilmuan, kelapangan, kehormatan). Dengan pengertian ini  pada hakikatnya manusia didudukkan sebagai makhluk yang dimuliakan tuhan. Manusia dalam kemuliannya ditandai dengan kewajiban untuk mengabdi kepada tuhan dan hubungan baik dengan sesamanya serta memelihara kewajiban tanggung  jawab secara vertikal dan horizontal. Manusia dalam Islam bukanlah pemilik hak asasi melainkan yang dititipi hak asasi untuk ditegakkan bersama-sama manusia lainnya.
Fundamental HAM dalam Islam telah dirumuskan Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah. Nilai yang hidup dalam HAM versi Islam sebagaimana ditegaskan dalam Piagam Madinah tersebut adalah: Pengakuan adanya hak hidup, hak kemerdekaan, hak persamaan, hak keadilan, hak perlindungan hukum, hak perlindungan dari kezaliman penguasa, hak perlindungan dari penyiksaan, hak untuk berlindung, hak untuk melaksanakan kerja sama dalam kehidupan sosial, hak minoritas, serta hak ekonomi.
Mayoritas negara-negara Islam adalah tergolong keadaan barisan negara-negara dunia ketiga yang banyak merasakan perlakuan ketidak adilan negara-negara barat atas nama HAM.  Dalam pandangan negara-negara Isalam, HAM Barat tidak sesuai dengan pandangan ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah SWT.
Maka negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of Islamic Comfrence (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluar deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syariat Islam. Konsep HAM hasil rumusan negara-negara OKI dikenal dengan sebutan DEKLARASI KAIRO ini berisi 24 pasal tentang HAM berdasarkan Al- Quran dan Sunnah yang dalam penerapannya dan relitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi manusia (the Universal Declaration of Human Rights) yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948.
b.      Dalam perspektif UUD 1945
Banyak terjadi kesenjangan sosial dan kasus-kasus sosial yang ada dirakyat Indonesia dimana kakayan alam dan sumber-sumber laianya serta keuntunganya yang didapat dari eksploitasi sumberdaya alam, yang hanya dinikmati oleh kelompok dan golongan tertentu saja sedangkan rakyat Indonesia selalu menuai dampak bencana dan bahkan nyawa menjadi taruhanya.
Bagi Indonesia pembangunan nasional yang diselenggarakan adalah mengikuti pola pembangunan berkelanjutan yang diakomodasi dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) ketentuan tersebut memberikan dasar hukum bagi peyelenggaraan pengelolan lingkungan hidup yang bertujuan melestarikan kemempuan lingkungan hidup agar dapat tetap menunjang kesejahteraan dan mutu hidup generasi mendatang.
Bagian ’hukum lingkungan’ ini akan menguraikan struktur hukum perlindungan lingkungan dan mendiskusikan peraturan-peraturan yang memberikan kesempatan pada pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan penguatan pada: 
1.      Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
2.      peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup 
3.      pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
4.      prosedur hukum peyelesaian sengketa lingkungan.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Untuk memungkinkan pembangunaan berkelanjutan ini diperlukan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai beerikut :
1.    pengelolan sumberdaya alam perlu direncanakaan sesuai dengan daya dukung lingkungan melalui rencana tata ruang wilayah
2.    proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melelui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
3.    pengembangaan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan
4.    pengendalian kerusakan lingkungan
5.    pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan.
6.    pengembangan peran-serta masyarakat kelembagaan dan ketenagaaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
7.    pengelolaan pencemaran air, udara dan tanah.
8.    pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk meyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan
9.    pengembangan kerjasama luar negeri.
Kontek hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat pada tingkat internasional, diatur secara ekspelisit dalam deklarasi Universal hak asasi manusia (DUHAM) ini sudah jelas bahwasanya lingkungan yang baik dan sehat yang merupakan hak asasi manusia, itu harus dijaga dan dipertahankan karena bersangkutan dengan perkembangan lingkungan tersebut agar tetap terjaga. Sehingga juga tergabung dalam rumpun hak ekonomi, sosial, dan budaya, (EKOSOBUD).
Justifikasi internasional menyangkut interaksi hak atas lingkungan sehingga ditafsirkan menjadi HAM dilihat antara lain ;
1.      African charter on human and peopple rights, pasal 21 ayat 1
2.      Kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, social, dan budaya (kovenan hak ekosob) , pasal 1 ayat 2
3.       Resolusi PBB 1803 (XVII) 12 Desember 1962
4.       Resolusi PBB 3281 (XXIX) 12 Desember 1974
5.      Agenda 21 KTT bumi Rio de Janeiro 1992.
Secara konsitusional, hak atas lingkungan dalam hukum nasional indonesia tercantum dalam beberapa aturan yaitu ;
1.      Alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan ”membentuk suatu pemerintah negara indonesia yang meindungi segenap bangsa indonesia ”.... serta dikaitkan pula dengan hak penguasaan kepada negara atas bumi, air dan kekayaan terkandung didalamya ntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. pasal 33 UUD 1945
2.       Amandemen UUD 1945 pasal 28H ayat 1 meyebutkan ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanaan kesehatan
3.      Piagam HAM dan merupakan bagian tak terpisahkan dari TAP MPR NO XVII/MPR/1998 yang ditetapkan oleh sidang istimewa MPR tahun 1998. diantaranya mayatakan ”bahwa manusia adalah mahluk tuhan yang maha esa, yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam bentuk ketaatan kepada NYA. 
4. UU No.23 tahun 1997 pasal 5 ayat (1), ”setiap orang mampunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, pasal 8 ayat (1), ”sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakn untuk sebesar-besarya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturanya ditentukan oleh pemerintah,”
4.      UU No.39 tahun 1999 tantang hak asasi manusia (UU No.39 1999) pasal 3 meyatakan ”masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 
Secara langsung atau pun tidak langsung. Sudah banyak terjadi perusakan lingkungan yang ada di propinsi kepulauan bangka belitung. Baik yang dilakukan pemerintah dengan melalui kebijakanya ataupun rakyat sendiri yang melakukan perusakan tersebut.
1.      baik dari pertambangan pertimahan yang legal, ilegel dan ilegal di legalkan, dan saat ini diperparahkan lagi adanya pertambangan biji emas yang tentunya oleh rakyat, sehingga dengan sendirinya menembah perparah lingkungan yang ada di BABEL ini. kalau pemerintah daerah tidak meyikapiya dengan serius.
2.      dari perkebunan, banyak pembukaan lahan besar-besaran saat ini di bangka belitung dalam upaya pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, yang sendiriya akan memperburuk lingkungan BEBEL. Kalau perkebunan itu debuka dengan cara besar-besaran sehingga terjadi penggundulan hutan dan pencemaran aliran sungai akibat perkebunaan tersebut, kita ketahui air merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
3.      diperparah lagi saat ini kerusakan lingkungan di bangka belitung bukan hanya didaerah daratan aja melaikan diperairan atau pesisir pantai yang diakibatkan banyakya pertambangan-pertambangan pertimahan baik kapal hisap maupun TI apung.
Secara hukum peran serta masyarakat tercantum didalam UUD 1945 pasal 1 (2) wujud kekuatan peran serta masyarakat, berupa kedaulatan rakyat, diakui secara penuh dan dilaksanakanmenurut UUD. Dalam kontek hukum lingkungan , hak dan kewajiban berperan serta diyatakan dalam UU No.23/1997 pasal 5 (3). Dan pasal 34 PP No.27/1999 tentang analisis dampak lingkungan (AMDAL) semangkin mempertegas posisi keikutsertaan masyarakat.
PBB meyelenggarakan konvensi internaional di Aarhus, denmark, berkenaan dengan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, pada tanggal 25 juni 1998 yang ditandatangani oleh 39 negara dan maeyarakat eropa (european community) dengan menghasilkan the aarhus convention yang berisikan 3 pilar yang menjamin hak-hak rakyat dalam kerangka pembangunaan berkelanjutaan yang berwawasaan ingkungan (to sustsinable and environmentally sound development) yakni :
1.      Pilar pertama akses terhadap informai (access to information) yang pada intinya adalah setiap orang berhak mendapatkan informasiyang utuh, akurat dan mutahir yuntuk berbagai tujuan 
2.      Pilar ke dua peran serta dalam pengambilan keputusan (public participation in decision making) yaitu pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu pembuatan informasi dan pula jaminan bahwa partisipasi tersebut benar-benar dijalankan dalam realitanya atrau praktekya dan tidak sekedar diatas kerta dengan melalui akses terhadap penegakan keadilan (access to justice).
3.      Pilar ke tiga akses terhadap penegak keadilaan (acces to justice) yaitu akses untuk memaksakan dan memperkuat, baik hak akses informai maupun hak partisipasi. 

c.       Dalam perspektif  HAM
Hak atas lingkungan hidupsalah satu dari sekian banyak hak asasi yang dimiliki oleh manusia saat pertama ia dilahirkan kemuka bumu ini. Bahkan, janin yang masih di dalam rahim ibunya secara yuridis sudah dianggap sebagai subjek hukum seperti yang terdapat dalam pasal 2 kitab undang-undanghukum perdata dan karena itu ia mempunyai hak asasi, yakni yaitu hak untuk hidup dan hak untuk dilahirkan.
Ketika janin itu keluar dari rahim ibunya. Maka bayi yang dilahirkan itu demi hukum merupakan bagian dari subjek hukum lingkungan yang mempunyai hak untuk hidup, tinggal dan menetap di muka bumi serta bahkan untuk memanfaatkan kekayaan sumber alam demi kelangsungan hidup dan kesejahteraannya sebagai umat manusia.
Sebagaimana hak asasi lainnya, konsep hak atas lingkungan juga mambutuhkan penalaran yang keritis, mendalam dan menyeluruh. Karena dalam pengaturan, penjabaran, dan aktualisasinya merujuk pada konsep hubungan (interaksi) antara manusia dan alam sekitarnya.
Bagaimana manusia melibat dirinya di tengah-tengah keberadaan alam dan dalam perjalanan kemanusiaan ratusan tahun ke masa depan, akan sangat menentukan definisi hak asasi atas lingkungan hidup tersebut. Oleh karena manusia adalah bagian dari lingkungan (alam). Maka keberadaan umat manusia kapan pun dan dimanapun pesti terkait  dan berinteraksi dengan lingkunganya.
Secara filosofis, perbedaan mengenai interaksi manusia dengan alam sekitarnya bermuara pada dua pendapat yang salaing berbeda kutubnya yaitu:
1.      Pendapat yang menempatkan manusia sebagai pemilik dan pengambil manfaat utama atas bumi dan segenap kehidupan dibawah dan di atas permukaannya. Termasuk udara dan laut. Pendapat yang bersifat utilitarian dan antroposentris ini oleh sebagian pakar di anggap mengundang perilaku manusia yang cenderung merusak (destruktif) terhadap lingkungan dan sewenang-wenang terhadap makjluk hidup lainnya.
2.      Pendapat yang menempatkan manusia sebagai bagian dari alam semesta atau bagian dari salah satu dari jutaan makhluk yang hidup di bumi ini.
Oleh karena itulah dalam memanfaatkan sumber daya alam  generasi sekarang mempunyai kewajiban moral kepada generasi mendatang untuk tidak mencemari lingkungan atau menghabiskan sumber daya alam tersebut, sehingga merugikan spesies manusia (termasuk hewan dan tumbuhan)  secara keseluruhan.
Karena pada hakikatnya semua itu. “ bumi tempat kita hidup dan mencari kehidupan ini sesungguhnya bukan merupakan warisan nenek moyang kita, melainkan titipan (amanat) dari anak cucu kita”



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Generasi sekarang di samping mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana ditentukan pada pasal 5 ayat 1 UU Nomer 23 Tahun 1997 tentang pengelilahan lingkungan hidup, mereka juga harus mengkui dan melindungi hak asasi generasi yang akan datang dengan kewajiban untuk melestarikan lingkungannya. Implementasi hak kegiatan dan memperkirakan dampak dari kegiatannya di masa depan. Semakin tinggi kemampuan manusia merencanakan masa depan akan semakin besar kemungkinan generasi yang akan datang dihormati dan dilindungi haknya.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, didalam UU N0.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, pasal 1 ayat (3) meyatakan pembangunaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam peroses pembangunaan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan adalah untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah memberikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai teman hidup manusia.
Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya memberikan sebuah amanat kepada manusia untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-A’raf : 56:
 وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاوَطَمَعاً إِنَّرَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَالْمُحْسِنِين 
”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. 




























DAFTAR PUSTAKA

Ahmad kokasih . HAM dalam prespektif islam . menyingkap persamaan dan perbedaan antara islam dan barat . Jakarta : Salemba Diniyah, 2003 .
http://mlatiffauzi.wordpress.com/2010/05/14/pengertian-hak-asasi-manusia-dan-ciri-khasnya/
http://ilmuang.blogspot.com/2009/03/konsep-dasar-hak-azasi-manusia-ham.html
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press, 2003, hlm. 7-21 dan Maurice Cranston, What are Human Rights? New York: Taplinger, 1973 dalam Rhona K. M. Smith, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2008.
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Jakarta: Grafiti, 1994.
Syekh syaukat hussain . hak asasi manusia dalam islam . Jakarta : gema insani press, 1996 . 



[2]Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Pers.
[3]Pasal 28 H ayat (1) merupakan hasil Perubahan kedua UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 2000
[4]Jimly Asshidiqie,  Ibid,
[5]Lihat UU Nomor 12 Tahun 2011
[6]I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Penguatan Fungsi Lingkungan Hidup melalui Penegakan Hukum Lingkungan Sesuai Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Yustisia. Edisi Nomor 78 September-Desember 2009, Fakultas Hukum Universitas sebelas Maret Surakarta.

0 Response to "Download Makalah Pelestarian lingkungan Dalam Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel