Menjadi Hakim Digdaya

Sepanjang tahun 2010, Mahkamah Agung merilis setidaknya ada  110 hakim yang dikenai sanksi. Perinciannya, sebanyak 33 hakim dihukum berat, 13 hakim dihukum sedang, dan 64 hakim dihukum ringan. Pelanggaran kode etik yang dikategorikan berat, salah satunya adalah praktik jual beli hukum. 

Banyak pakar berasumsi, bahwa praktik jual beli hukum tumbuh

subur karena keran informasi di pengadilan tersumbat, sehingga menghambat hak publik untuk mengontrol secara langsung etos kerja aparat peradilan. Namun, asumsi itu tidak sepenuhnya benar.  Mahkamah Agung melalui KMA 144/2007 Tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan, telah membuka akses yang seluas-luasnya  bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, mulai dari publikasi putusan, transparansi anggaran dan biaya perkara, pos bantuan hukum, standar operasional prosedur beracara, hingga prosedur pengaduan bagi yang tidak puas atas pelayanan peradilan.

Filsuf Inggris, Jeremy Bentham, mengatakan bahwa dalam setiap budaya ketertutupan selalu ada kepentingan jahat yang menungganginya. Sepanjang tidak ada transparansi, selama itu pula keadilan tidak akan tegak. Hanya dengan keterbukaanlah, kontrol terhadap segala ketidakadilan dapat dilakukan. Keterbukaan adalah ruh keadilan. Keterbukaan membuat hakim “diadili” saat ia mengadili. 


Moral dan Finansial
Penulis melihat bahwa persoalan utama praktik jual beli hukum di pengadilan lebih dipengaruhi oleh dua faktor yang saling berkelindan, yakni moral dan finansial.   Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD, dalam seminar “Suap dan Pemerasan dalam Perspektif Moral dan Penegakan Hukum” yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia, Sabtu (26/2),  mengatakan bahwa aturan moral di masyarakat lebih efektif dalam mencegah terjadinya suap dan pemerasan.

Suap bagi hakim merupakan godaan berat dalam proses supremasi hukum dan keadilan. Kendati hakim kuat menahan godaan suap, tak jarang anak dan keluarganya menjadi sasaran suap.  Para penyuap kadangkala paham membaca situasi, ia datang tatkala hakim atau keluarganya sedang membutuhkan sokongan finansial. Oleh karena itu, untuk membendung godaan suap, hakim harus membentengi diri dengan kesadaran moral dan keimanan yang kokoh. Kesadaran itu tentunya harus ditumbuhkan dan dibiasakan dari lingkungan keluarga yang notabene menjadi komunitas terkecil dalam masyarakat berbangsa.

Ada ajaran kebajikan yang mengatakan, jika ingin menjadi bangsa bermartabat, maka perbaikilah perilaku pemimpinnya. Jika ingin memperbaiki moral pemimpin, tatalah peradaban masyarakatnya.  Jika ingin memperbaiki kualitas masyarakat, maka perbaikilah moral keluarganya. Jika moral keluarga sudah baik, maka baik pula tatanan masyarakatnya, kualitas pemimpinnya, dan martabat bangsanya. 

Penulis teringat falsafah dunia pewayangan yang merumuskan delapan sifat manusia bijaksana atau dikenal Asta Brata. Asta Brata diadopsi dari delapan simbol alam yang bisa dijadikan pedoman moral bagi para hakim dalam tugasnya. Pertama, sifat api yang bermakna tegas dan bersemangat. Seorang hakim harus memiliki ketegasan dan independensi dalam menuntaskan kasus hukum. Tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun yang dapat memengaruhi penanganan perkara. Demi integritas, sebesar apa pun iming-iming dari pihak yang beperkara harus ditolak secara tegas. Kedua, sifat angin yang bermakna dinamis dan menyegarkan. Seorang hakim dituntut untuk selalu menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Tujuannya agar produk putusan yang dihasilkan mencermikan rasa keadilan. Ketiga, sifat awan yang identik dengan kewibawaan. Seorang hakim dikatakan berwibawa jika tidak mau berkooperasif dengan siapa saja (independent), tidak diskriminatif (equality), dan terbuka dari segala masukan dari masyarakat. Keempat, sifat bintang. Bintang sering dijadikan kompas bagi para pelaut yang tersesat. Artinya, perilaku hakim harus mencerminkan keteladanan bagi keluarga dan masyarakat. Kelima, sifat bulan yang berarti penerang kegelapan. Peran hakim memberi cahaya bagi perjalanan bangsa Indonesia sebagai negara hukum. Keenam, sifat matahari yang mencerminkan kedisiplinan. Dalam bekerja, hakim  dituntut untuk disiplin dalam segala hal. Contohlah sifat matahari yang meskipun cuaca mendung, tapi demi menjalankan tugas ia tetap terbit tepat waktu.  Disiplin kerja ditumbuhkan bukan di atas rasa takut ; takut remunerasinya dipotong, takut ditegur pimpinan, atau takut raportnya jelek. Tetapi semata-mata atas kesadaran moral sebagai abdi Negara. Ketujuh, sifat samudera. Samudera adalah simbol keluasan pikiran dan muara bagi sungai. Hakim  dituntut untuk memiliki wawasan hukum yang luas. Setiap perkara ditinjau secara holistik dengan maksud menghindari kesalahan penerapan hukum. Kedelapan, sifat bumi yang identik dengan kesabaran dan kasih sayang. Citra negatif bahwa penegak hukum cenderung jarang senyum memang tidak bisa disangkal. Ini disebabkan karena dalam kesehariannya bergelut dengan perkara atau kasus yang membutuhkan kerja berpikir keras.

Semangat untuk menegakkan kode etik/moral bagi hakim tanpa dibarengi dengan kebijakan pemerintah dengan memberikan gaji dan fasilitas yang cukup kepada hakim, seperti menegakkan benang yang basah. Perlu dipahami, bahwa hakim  dalam UU disebut sebagai pejabat Negara. Namun fasilitas dan penggajiannya tidak mencerminkan pejabat negara. Ketika PNS setiap tahun naik gaji, hakim tidak demikian. Banyak hakim di daerah yang harus ngontrak rumah petak, lantaran tidak memiliki rumah dinas. Jika musim hujan kontrakannya kebanjiran dan harus menggulung karpet. Ke kantor naik becak, angkot atau jalan kaki karena tidak ada kendaraan dinas. Terkadang harus “menyekolahkan” SK ke bank untuk memperoleh pinjaman. Sungguh sangat memprihatinkan. Mereka sangat rentan menerima suap jika tidak memilik kesadaran moral yang tinggi. 

Mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki pernah menyampaikan bahwa reformasi aparatur peradilan bisa dilakukan salah satunya dengan pemuliaan hakim, yaitu jadikan hakim sebagai the honourable, yang dimuliakan dengan memberi gaji, upah, tunjangan dan fasilitas terbaik bagi hakim.
Achmad Fauzi
Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan. Alumnus UII Yogyakarta.
(sumber: http://www.primaironline.com/berita/opini/menjadi-hakim-digdaya)

0 Response to "Menjadi Hakim Digdaya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel