Filsafat Hukum: Hak Asasi Manusia (Bagian 3)

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagaimana dikehendaki oleh sang Pencipta. Manusia mempunyai hak-hak dasar yang merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar dapat hidup layak dan utuh sesuai dengan harkat dan martabatnya. Karena sifatnya asasi atau mendasar, maka tidak dapat dihilangkan oleh siapapun atau oleh apapun. Pengingkaran terhadap hak asasi manusia merupakan pengingkaran terhadap Tuhan sendiri sebagai Sang Pencipta manusia. Pengingkaran terhadap kebutuhan dasar manusia merupakan pengingkaran terhadap sifat hakiki dari manusia itu sendiri.

Karena merupakan kebutuhan dasar manusia, dalam kehidupan kenegaraan, dimana masyarakat sudah menyerahkan kekuasaan untuk mengatur kehidupan mereka pada negara, maka sudah menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin pemenuhannya.
Isi dari hak-hak dasar tersebut dari waktu ke waktu mengalami perubahan, karena manusia mempunyai penafsiran yang berbeda-beda mengenai apa yang menjadi kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat dihilangkan oleh apapun atau siapapun. Banyak rumusan-rumusan mengenai daftar hak asasi manusia yang dikemukakan oleh beberapa negara, misalnya dalam Magna Charta (Inggris, tahun 1215, Rumusan hak-hak sasi manusia dalam UUD 1945 (Indonesia, 1945) dan yang paling dikenal di dunia adalah rumusan hak asasi dalam Universal Declaration of Human Rights (PBB, 1948).
Universal Declaration of Human Rights (DUHAM), merupakan payung dan dasar bagi perkembangan pengakuan dan penjaminan bentuk-bentuk hak-hak asasi manusia lainnya yang lebih lengkap dan rinci dalam pergaulan masyarakat dunia. Misalnya, Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita, Konvensi Menentang Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak,Konvensi Internasional Menentang Apartheid dalam Olah Raga, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Menentang Segala Bentuk Rasial, Konvensi Hak-Hak EKOSOB, Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Perkembangan perlindungan atas bentuk-bentuk HAM di berbagai bidang secara lebih rinci dan lengkap secara internasional menunjukkan semakin sadarnya negara-negara di dunia akan arti pentingnya perlindungan dan pemenuhan HAM serta mengingatkan kembali bahwa manusia yang hidup di luar perlindungan akan HAM memang benar-benar menderita. Penderitaan warga negara ini merupakan salah satu pendorong negara yang bijak untuk memberikan pengakuan, perlindungan serta penjaminan pemenuhan HAM warganya.
Di hadapan Tuhan manusia diciptakan dengan harkat dan martabat yang sama. Perempuan-laki-laki, kaya-miskin, pejabat-rakyat bisa, cacat- tidak cacat, semua mempunyai harkat dan martabat yang sama di hadapan Tuhan, sehingga semua mempunyai hak-hak dasar yang sama yang harus dipenuhi agar dapat hidup secara layak dan utuh.
Di antara manusia ciptaan Tuhan, ada kelompok-kelompok manusia yang memerlukan kemudahan, perlakuan khusus dan perlindungan lebih, misalnya perempuan, anak-anak, manusia lanjut usia serta penyandang cacat. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut diperlukan agar kelompok tersebut tetap dapat hidup secara layak dan utuh sesuai harkat dan martabatnya.
Secara moral masyarakat juga mempunyai tanggung jawab untuk tidak melanggar HAM sesama anggota masyarakat lainnya. Secara yuridis ketatanegaraan, negaralah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan menjamin pemenuhan HAM. Melalui politik hukum negara dapat saja memberikan beban tanggung jawab kepada masyarakat untuk ikut mendukung pemenuhan HAM anggota masyarakat lainnya, akan tetapi manakala masyarakat secara layak tidak mampu atau tidak mungkin untuk menjamin pemenuhan HAM, maka tetap negaralah yang bertanggung jawab untuk memenuhinya. Jadi ada semacam pembagian beban tanggung jawab.
Pemenuhan HAM bukan hal yang mudah. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak infra struktur yang harus dipenuhi untuk menjamin pemenuhan HAM, termasuk HAM bagi Penyandang cacat. Infra struktur tersebut antara lain, masalah SDM dan dana. Meskipun perlu infra struktur, hal tersebut bukan alasan untuk tidak memberikan perlindungan terhadap HAM termasuk HAM bagi kelompok Penyandang cacat.
Ada berbagai peraturan yang dapat dipergunakan sebagai dasar secara yuridis bagi Indonesia untuk dilakukan ratifikasi Konvensi mengenai Perlindungan dan Peningkatan Hak Asasi Manusia melalui Undang-undang maupun melalui Keputusan Presiden. Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia
1.  Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita (Undang-Undang No.68/1958)
2. Konvensi Menentang Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Undang-Undang No.7 Tahun 1984).
3.  Konvensi Hak Anak (Keppres 36/1990)
4.  Konvensi Internasional Menentang Apartheid dalam Olah Raga (1993)
5.  Konvensi Anti Penyiksaan (1998)
6.  Konvensi Menentang Segala Bentuk Rasial (1999)
7.  Konvensi Hak-Hak EKOSOB (Undang-Undang No.11/2005).
8.  Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Undang-Undang No.12 Tahun 2005)
Adanya perubahan pengakuan dan perlindungan HAM tersebut menunjukkan bahwa secara idealis para pemimpin bangsa Indonesia semakin menyadari bahwa substansi HAM itu ternyata luas dan menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam bidang privat, ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, dan sebagainya.
Kesadaran negara Indonesia untuk memperluas pengakuan dan perlindungan akan HAM warganya tersebut di atas tidak terlepas dari keikutsertaan negara Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dan sebagai salah satu negara peserta PBB. Pengaruh globalisasi menuntut negara untuk berpartisipasi serta mengikuti apa yang sudah disepakati secara umum oleh negara-negara dalam rangka pergaulan dunia, termasuk kesepakatan-kesepakatan akan pengakuan dan perlindungan HAM.
Tunduknya Indonesia terhadap kesepakatan-kesepakatan umum tentang isu HAM internasional bukan saja karena ada ketakutan akan dikucilkan dari pergaulan dunia, atau ada kewajiban sebagai bagian dari masyarakat dunia, namun tentu saja yang lebih utama adalah kesadaran diri negara Indonesia akan arti pentingnya perlindungan HAM terhadap warganya.
Dimasukkannya perlindungan HAM ke dalam UUD 1945 merupakan perwujudan kebijakan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena sudah ditetapkan di dalam konstitusi, maka harus dipenuhi. Apabila tidak dipenuhi, maka hal tersebut dapat dikatakan pengingkaran terhadap konstitusi atau inkonstitusional.

0 Response to "Filsafat Hukum: Hak Asasi Manusia (Bagian 3)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel