Filsafat Hukum: Hak Asasi Manusia (Bagian 2)

Dalam suatu negara hukum yang dinamis, negara ikut aktif dalam usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, diaturlah masalah fungsi negara dengan penyelenggaraan hak dan kewajiban asasi manusia itu. Bagaimanapun juga, negara di satu pihak lain, menyelenggarakan kepentingan umum. Kepentingan umum itu berupa kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini dapatlah dibayangkan betapa besarnya peranan negara. Walaupun demikian, seperti disebutkan diatas,betapapun juga negara dalam membina kesejahteraan masyarakat, hak asasi manusia itu hatus tetap dilindungi dan diakui.

Berkenaan dengan hak asasi ini, PBB telah mengeluarkan pernyataan bersama yang disebut Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948. deklarasi tersebut kemudian diikuti dengan dua konvenan dan satu protokol, yaitu:
1.      The International Covenant On Economic, Social And Cultural Right,
2.      The International Covenant on Civil and Political Rights,
3.      Optimal Protiocol for the Covenant on Civil and Political Rights.
Ketiganya telah diterima dengan baik oleh Sidang Umum PBB tanggal 16 Desember 1966 dengan memberikan kesempatan kepada negara-negara anggota untuk meratifikasinya. Indonesia bersama sebagian besar negara berkembang, belum meratifikasi, tetapi sebagai anggota PBB, Indonesia wajib menghormati deklarasihak asasi ini, walaupun ada pendapat yang mengatakan, bahwa rumusan hak-hak tersebut terlalu mencerminkan semangat individualistismenya. Perhatian terhadap hak asasi manusia ini, bahkan telah ditunjukkan jauh sebelum deklarasi ini muncul. Hak asasi manusia ini telah dicantumkan secara konstitusional dalam Undang-undang Dasar 1945.
Apa yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights PBB ternyata telah dimuat dengan sangat baik dalam rumusan Pembukaan UUD 1945. keterkaitan itu dilukiskan dengan sangat baik oleh Ismail Suny (1993/1994).
Dalam alinea I Pembukaan UUD 1945 dinyatakan adanya pengakuan freedom to be free dengan kata-kata bersayap: “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pengakuan pada perikemanusiaan adalah suatu intisari dari hak asasi manusia dan pengakuan pada perikeadilan adalah intisari pula dari negara hukum, yang merupakan salah satu dari sistem pemerintahan negara kita (Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi manusia PBB: “Sekalian orang dilahirkan merdeka”).
Alinea kedua dari Pembukaan menyebutkan: “Indonesia sebagai negara yang adil”. Kata sifat adil ini berindikasi pula kepada negara hukum, karena salah satu tujuan hukum ialah mencapai keadilan. (Pasal 10 Deklarasi Universal: “Setiap orang berhak dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak.”)
Alinea ketiga yang menekankan agar rakyat Indonesia berkehidupan kebangsaan yang bebas sesuai dengan Pasal 27 Ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak untuk turut serta dengan bebas dalam hidup kebudayaan masyarakat”.
Alinea keempat dan terakhir, berisi hak asasi manusia dibidang politik,sipil, ekonomi, sosial dan budaya. Pengakuan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah sesuai dengan Pasal 21 ayat (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah, kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan tidak membeda-bedakan serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara”.
Pengakuan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah seirama dengan Pasal 22 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Darji Darmodiharjo (1988) menyebutkan beberapa pasal yang menyinggung langsung hak asasi manusia diantaranya Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya) dan ayat (2) (warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), Pasal 28 (kemerdekaan berserikat dan berkumpul), Pasal 29 (tentang kemerdekaan memeluk agama), Pasal 30 ayat (1) (Hak-hak dalam pembelaan negara), Pasal 33 (Hak-hak asasi dibidang kesejahteraan sosial à bandingkan dengan property rights).
Dengan demikian, secara konstitusional, Indonesia mengakui adanya hak asasi manusia. Padmo Wahjono (1989) menyatakan bahwa hukum di Indonesia berkenaan dengan hak dan kewajiban warga negara dan penduduk harus mempunyai fungsi:
1.  Menegakkan kehidupan yang demokratis,
2.  Menegakkan kehidupan yang berkeadilan sosial,
3.  Menegakkan kehidupan yang berperikemanusiaan.
Walaupun telah dapat ditunjukkan adanya bukti-bukti pengakuan terhadap hak asasi sebagaimana diuraikan di atas, dalam forum internasional, Indonesia masih sering dituduh kurang menghormati hak asasi manusia. Secara kuantitatif, memang jumlah pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang secara eksplisit mencantumkan hak asasi manusia, tidaklah sebanyak seperti yang tercantum Konstitusi Amerika atau Perancis.
Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas) (1993), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pandangan tentang apa dan bagaimana prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam deklarasi PBB, khususnya yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan negara:
1.  Hak manusia yang fundamental, atau disebutnya hak dasar manusia. Tolok ukurnya ada tiga, yaitu:
a.  Hak yang bersifat kodrati sebagai karunia Tuhan,
b.  Hak yang berkait dengan kelangsungan eksistensi manusia, dan
c.  Hak yang bersifat universal.
Di sisi lain, hak manusia yang tidak fundamental adalah hak manusia yang timbul sebagai akibat perkembangan kehidupan manusia dalam masyarakat, baik secara nasional maupun internasional. Contoh hak manusia yang fundamental (hak dasar manusia) adalah hak untuk beragama (didampingi oleh kewajiban untuk menghormati keyakinan agama orang lain), hak untuk bebas dari rasa takut, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak untuk bebas berbuat, hak mendapat perlakuan yang adil (tanpa diskriminasi), dst.
2.  Hak manusia dan warga negara Indonesia. Jadi ada hak manusia sebagai manusia itu sendiri dan sebagai warga negara. Contoh dari hak-hak ini adalah hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak berperan serta dalam pembangunan, hak atas peluang yang sama dalam berusaha, hak untuk memilih pekerjaan dan mendapat upah yang layak, hak fakir miskin dan anak-anak terlantar untuk mendapat perlindungan dan perawatan, dst.
Hak-hak tersebut sebagian telah secara eksplisit dan implisit dimuat dalam UUD 1945, dan dari UUD 1945 tersebut kemudian lebih dikonkretkan lagi dalam peraturan perundang-undangan berupa undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya. Perhatian terhadap hak asasi manusia ini, tentu tidak boleh berhenti sampai pada rumusan-rumusan aturan tertulis. Rumusan tersebut masih perlu diuji dengan peristiwa-peristiwa konkret. 
Pandangan keliru bahwa hak asasi manusia identik dengan pandangan dunia Barat, tidak boleh menjad alasan untuk tidak melaksanakan hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah persoalan universal, tetapi sekaligus juga kontekstual. Sebagaimana dikatakan Magnis-Suseno (1994: 11-12), hak asasi manusia merupakan pengertian modern. Dalam masyarakat tradisional, hak asasi manusia tidak banyak dipertanyakan karena struktur sosial tradisional itu masih mampu melindungi hak-hak individu di dalamnya. Indonesia sebagai negara modern tidak mungkin menghindar dari realitas bahwa masyarakatnya menjadi lebih individual (daripada masyarakat tradisional). Jika diamati lebih jauh, hak asasi manusia justru tidak memuat individualisme. Sebaliknya, jaminan terhadap hak asasi manusia merupakan tanda solidaritas dan kepedulian sosial dalam masyarakat yang bersangkutan, seperti perlindungan terhadap mereka yang kurang beruntung secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian, secara substansi, hak asasi manusia adalah universal, sedangkan dikatakan kontekstual apabila sudah berbicara tentang relevansinya (aktualisasi).

0 Response to "Filsafat Hukum: Hak Asasi Manusia (Bagian 2)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel