Makalah fiqh pbs Hukum riba dan bunga
MAKALAH HUKUM RIBA DAN BUNGA DOSEN PENGAMPU : M. RIZA FAHMI., MA MATA KULIAH : FIQH PERBANKAN SYARIAH DI SUSUN O L E H Fachri Adha (1142310201) Nadia Fadhilah (1142310170) Tuti (1142310096)
SEMESTER / KELAS: IV/A FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM JURUSAN PERBANKAN SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONTIANAK 2015/2016
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh... Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa dilimpahkan Allah Kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Dan tak lupa penulis bersyukur atas tersusunnya makalah ini. Sebelumnya kami ucapkan banyak terima kasih kepada M. Riza Fahmi., MA selaku dosen pengampu yang telah memberikan kami kesempatan untuk membahas Makalah ini. Tujuan kami menyusun makalah ini adalah tiada lain untuk memperkaya ilmu pengetahuan kita semua dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Perbankan Syariah. Dalam penulisan makalah ini kami juga mengalami banyak kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu yang kami miliki. Namun, berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait. Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan pihak-pihak yang membutuhkan untuk dijadikan literatur. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...
Pontianak, 16April 2016
Daftar Isi Kata Pengantar............................................................................................................... ii Daftar Isi......................................................................................................................... iii Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang ............................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2 C. Tujuan Penelitian........................................................................................... 2 Bab II Pembahasan A. Definisi Riba................................................................................................ 3-5 B. Jenis – jenis riba........................................................................................... 5-6 C. Jenis Barang Ribawi ................................................................................... 6-7 D. Pelarangan riba dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist................................ 7-11 E. Definisi Bunga............................................................................................. 11 F. Macam – macam bunga bank....................................................................... 12-13 G. Persamaan riba dengan bunga...................................................................... 13-14 H. Perbedaan riba dengan bunga...................................................................... 15 Bab III Penutup A. Kesimpulan.................................................................................................. 16 B. Saran............................................................................................................ 16
Daftar Pustaka........................................................................................................... 17BAB IIPEMBAHASANA. Definisi ribaRiba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba juga berarti tumbuh dan membesar.[1]Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil[2]. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namuun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa iba adalah pengambian tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman mengingatkan dalam firman-Nya,“hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil . . . . . .” (an-Nisa : 29)Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, ahkam Al-Quran, menjelaskan,“pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Quran yaitu tambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkandengan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapatkan keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat. Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam penggunaan kesempatan tersebut.[1] Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankannya dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakannya bisa juga untung bisa juga rugi. Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah islam dari berbagai mazhab Fiqhiyyah. Diantaranya sebagai berikut: 1. Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari “prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis.[2] 2. Imam sarakhsi dari mazhab Hanafi “riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis, tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.[3] 3. Raghib al-Asfahani “riba adalah penambahan atas harta pokok” 4. Imam an-Nahrawi dari Mazhab Syafi’i Dari penjelasan imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman. 5. Qatadah “riba jahiliah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.” 6. Zaid bin Aslam “yang dimaksud dengan riba jahiliah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranyya pada saat jatuh tempo, ia berkata “bayar sekarang atau tambah”.[4] 7. Mujahid “mereka menjual dagangnnya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar), si pembeli memberian tambahan atas “tambahan waktu”.[5] 8. Ja’far ash-Shadiq dari kalangan Syi’ah Ja’far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba, “supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkanankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.[6] 9. Imam Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanabali Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang riba, ia menjawab, “sesungguhnya riba itu ada seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi utang atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.[7] B. Jenis-jenis riba Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. 1. Riba qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap hutang berhutang (muqtaridh). 2. Riba jahiliyyah Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. 3. Riba fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. 4. Riba Nasi’ah Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian. Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al-Haitsami, “riba itu terdiri dari tiga jenis, riba fadhl, riba al-yaad, dan riba an-nasi’ah. Al-mutawally menambahkan jenis keempat yaitu riba al-qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash al-Qur’an dan hadist Nabi. C. Jenis barang ribawi Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini kan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi: 1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya; 2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Dalam kaitanya perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya rupiah1. dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar. 2. Jual beli barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dana dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya, Rp 5.000,00 dengan 1 dollar amerika. 3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada akad. Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian. 4. Jual beli barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa adanya persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik. D. Larangan riba dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Umat islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya umat islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam al-Qur’an dan hadist Rasullah saw. 1. Larangan riba dalam Al-Qur’an Larangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap.[1] Tahap pertama menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada satu zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqqarub kepada Allah SWT. “Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah. Dan, siapa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (ar-Ruum: 39) Tahap kedua riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada yahudi yang memakan riba. “maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (an-Nisa’: 160-161) Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat yang berlipatganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130) Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu. Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengat ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah (keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “Alasan pembenaran pengembalian riba”, poin “Berlipat Ganda”) Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuliah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiya dan tidak pula dianiya.” (al-Baqarah: 278-279). 2. Larangan riba dalam As-Sunnah Pelarangan riba dalam islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga dalam Al-Hadist. Hal ini sebagaimana posisi umum hadist yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur’an, pelarangan riba dalam hadist lebih terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzhulihajjah tahun 10 Hijriah, Rasullah saw masih menekankan sikap islam yang melarang riba. “ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan. Selain itu masih banyak lagi hadist yang menguraikan masalah riba. Diantaranya: Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeliseorang budak yang pekerjaannya membekam (mengularkan darah kotor dari kepala) Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (HR. Bukhari no. 2084 kita al-Bayu) Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab, “saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkannya dua sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasullah saw.. “selepas itu Rasullah saw terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), jualah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (HR Bukhari no. 2145, kitab al-Wakalah) Diriwiyatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata “Rasullah saw melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak begitu sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR Bukhari no. 2034, kitab al-Buyu) Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasullah saw, bersabda “Emas hendaknya dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba, penerima dan pemberi sama bersalah.” (HR Muslim no. 2971, dalam kitab al-Mussaqah) Diriwiyatkan oleh samurah bin Jundub bahwa Rasullah saw bersabda “malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya, laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang dipinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya “siapakah itu?” Aku diberitahu bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.” (HR Bukhari no. 6525, kitab at-Ta’bir) Jabir berkata bahwa Rasullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda “Mereka itu semuanya sama.” (HR Muslim no. 2995, kitab al-Musaqqah) Diriwiyatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasullah saw berkata “pada malam perjalan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada jibril siapakah mereka itu? Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.” Al-Hakim meriwiyatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan) yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”. Diriwiyatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasullah saw bersabda “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan masuk surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (mereka itu adalah, Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu-bapaknya.” E. Definisi Bunga Bunga (interest) dapat dimengerti sebagai uang yang dibayarkan/diterima atas penggunaan sejumlah pinjaman atau sejumlah uang yang disimpan. Dalam pengertian yang lebih luas bunga dapat dianggap sebagai uang yang diperoleh dari investasi sejumlah modal tertentu. Menurut bahasa atau bunga adalah uang yang dikenakan atau dibayar atas penggunaan uang. Definisi interest menurut Samuel G. Kling, dalam The Legal Encylopedia for Home and Business, 1960, 246 (IBI,36), “Interest is compensation for the use of money which due.” Menurut Oxford English Dictionary, 1989, 109 (IBI, 37) mendefinisikan,“Interest is money paid for the use of money lent (the principal), or for forbearance of a debt, according to a fixed ratio (rafe per cent)”. Usury didefinisikan dalam Oxford English Dictionary, 1989,365 (IBI,37) adalah “The fact or practice of lending money at interest, especially in later use, the practice of charging, taking or contracting to receive, exessive or illegal rate of interest for money on loan.” Menurut Cardinal de Lugo (1593-1623), mendefinisikan, “Usury is gain immediately arising as an obligation from a loan of mutuum if gain doesn not arise from mutuum but from purchase and sale, however unjust, it is not usury, and likewese if it is not paid as an obligation due but from goodwill, gratitude, or friendship, it is not usury”. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa interest dan usury merupakan dua konsep yang serupa, yaitu keuntungan yang diharapkan oleh pemberi pinjaman atas peminjaman uang atau barang (mutuum), yang sebenarnya barang atau uang tersebut apabila tidak ada unsur tenaga kerja tidak akan menghasilkan apa-apa. Usury muncul akibat proses peminjaman dan bukan akibat jual beli, dengan kata lain tambahan dari harga pokok dalam jual beli bukanlah usury atau interest, tetapi laba atau keuntungan.
F. Macam –Macam Bunga Bank Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 99-100) suku bunga dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil. 1. Suku bunga nominal Suku bunga nominal adalah suku bunga yang biasa kita lihat bank atau media cetak. Misalnya perusahaan meminjam uang dari bank sebesar $100.000 selama setahun pada suku bunga nominal 10%, maka pada akhir tahun perusahaan harus mengembalikan pinjaman tersebut sebesar $110.000 (yaitu $100.000 x 10%). Suku bunga nominal cenderung naik seiring dengan angka inflasi. Jika, misalnya, bank memberlakukan suku bunga 10% pada ekspektasi inflasi selama satu tahun ke depan adalah 0%, maka bank mungkin akan memberlakukan suku bunga 13% jika ekspektasi inflasinya adalah 3%. Pada suku bunga nominal menjelaskan bahwa jumlah uang yang dibayarkan harus sesuai dengan jumlah uang yang dipinjamnya. 2. Suku bunga rill Suku Bunga Riil adalah suku bunga setelah dikurangi dengan inflasi, (atau suku bunga riil = suku bunga nominal – ekspektasi inflasi). Misalnya pada contoh diatas inflasi yang diantisipasi adalah sebesar 3% dan suku bunga nominal naik menjadi 13%, maka suku bunga riil sebenarnya tidak berubah (yaitu 13% – 3%). Suku bunga riil sangat penting dipertimbangkan. Bagi orang yang menabung uang di bank, misalnya, dengan tingkat suku bunga 5% dan inflasi tahun tersebut ternyata sebesar 4%, maka suku bunga riil yang ia peroleh hanyalah sebesar 1%. Hal ini dikarenakan inflasi yang terjadi selama ia menabung uang telah mengurangi nilai keuntungan (bunga) yang diperoleh. Sementara bagi orang yang meminjam uang dari bank, jika suku bunga pinjaman sebesar 12% dan tingkat inflasi sebesar 5%, maka suku bunga riil yang harus dibayar hanyalah 8%. Ini dikarenakan harga barang dan jasa (termasuk pendapatan si peminjam) rata-rata naik sebesar 5%, sehingga biaya atas pinjaman (cost of capital) hanya tinggal 8%. pada suku bunga riil menjelaskan bahwa selisih antara suku bunga nominal dengan laju invlasi, dimana suku bunga riil lebih menekankan pada rasio daya beli uang yang dibayarkan kembali terhadap daya beli uang yang dipinjam. G. Perbedaan bunga dan riba menurut kalangan pro bunga bank 1. Bunga bank itu halal (bukan riba). Alasannya jika bunga bank itu diharamkan seperti riba, maka pasti sudah tertanam rasa kebencian dalam hati orang muslim yang baik-baik. Sebagaimana Firman Allah yang artinya “ Allah menanamkan rasa kebencian di dalam hati kaum terhadap kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.” [QS. Al-Hujurat 49 : 7] a. Sedangkan kebencian terhadap bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, maka bunga bank itu tidak haram (bukan riba). 2. Jika bunga bank itu termasuk riba, maka pasti sudah dimusnahkan. Karena Allah sudah menentukan bahwa Allah akan memusnahkan peraktek riba setelah 40 tahun. a. Sebagaimana firman Allah yang artinya : “ Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 276] b. Dan firman Allah yang artinya : “Jika kamu tidak melakukan yaitu tidak meninggalkan sisa-sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya memeranginya.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 279] c. Sedangkan realitas yang terjadi ternyata musnahnya bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram (bukan riba) 3. Realitas orang Muslim yang baik-baik memandang baik terhadap bunga bank, sehingga 97 % pengusaha Muslim berhubungan dengan bank Konvensional. Apabila ada sesuatu yang dipandang baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka itu artinya baik pula menurut pandangan Allah. Sebagaimana sabda Rasul Saw. Yang artinya : “ Sesuatu yang dianggap baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka menurut Allah pun baik.” Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram (bukan riba). 4. Jika bunga bank itu riba, maka pasti pelakunya sudah dijauhkan dari Allah (sudah tidak melakukan sholat) a. karena Rasul Saw. bersabda yang artinya : “Rasul Allah menjauhkan (melaknat) semua pelaku riba baik yang membelanjakannya, mewakilinya, menyaksikannya dan penulisnya dari rahmat Allah Swt.” b. Akan tetapi terlaknatnya pelaku bunga bank konvensional itu tidak terwujud, mereka melakukan sholat, puasa, haji dll. Yang diridoi oleh Allah Swt. Dengan demikian, bunga bank konvensional itu tidak haram (bukan riba). 5. Tahun lalu, tepatnya 27 Ramadhan 1423 H/2 Desember 2002 M, Majma al-Buhust al-Islamiyah salah satu badan tertinggi al-Azhar, mengadakan rapat membahas soal bank konvensional yang dipimpin oleh Syekh Al-Azhar. Forum itu memutuskan : a."Mereka yang bertransaksi dengan atau bank-bank konvensional dan menyerahkan harta dan tabungan mereka kepada bank agar menjadi wakil mereka dalam menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan imbalan keuntungan yang diberikan kepada mereka serta ditetapkan terlebih dahulu pada waktu-waktu yang disepakati bersama orang-orang yang bertransaksi dengannya atas harta-harta itu, maka transaksi dalam bentuk ini adalah halal tanpa syubhat (kesamaran), karena tidak ada teks keagamaan di dalam Alquran atau dari Sunnah Nabi yang melarang transaksi di mana ditetapkan keuntungan atau bunga terlebih dahulu, selama kedua belah pihak rela dengan bentuk transaksi tersebut." b. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil. Tetapi (hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar kerelaan di antara kamu. (QS. an-Nisa': 29). c. Kesimpulannya, penetapan keuntungan terlebih dahulu bagi mereka yang menginvestasikan harta mereka melalui bank-bank atau selain bank adalah halal dan tanpa syubhat dalam transaksi itu d. Ini termasuk dalam persoalan "Al-Mashalih Al-Mursalah", bukannya termasuk persoalan aqidah atau ibadat-ibadat yang tidak boleh dilakukan atas perubahan atau penggantian.
H. Persamaan bunga dengan riba secara logis Terdapat banyak kesamaan yang penulis dapat gambarkan dalam tabel di bawah ini: RIBA BUNGA a. tambahan terhadap harta pokok yang dikenakan kepada peminjam uang a. system yang digunakan untuk mengambil kemanfaatan atas menabung dan meminjam uang b. tambahan yang diterapkan menyengsarakan si peminjam, menimbulkan rasa pongoh dan malas berusaha karena tinggal menunggu tambahan terhadap harta pokok b. menyusahkan sekaligus menyengsarakan si peminjam apabila tidak mampu mengembalikan pinjaman maka harta sebagai jaminan diambil c. selalu menguntungkan orang yang memungut riba c. selalu menguntungkan kepada yang menerapkan sistem bunga, nasabah ketika menabung dan bank ketika meminjamkan uang ke nasabah d. alasan dikenakannya tambahan terhadap harta pokok adalah keinginan pemungut riba yang menunda memakai uang untuk terlebih dahulu meminjamkan uangnya kepada si debitur d. alasan dikenakan bunga karena, penggunaan modal dapat meningkatkan produktifitas sehingga menaikan pendapat, dan juga adanya waktu yang direlakan dari kreditur untuk menunggu keinginannya sendiri menggunakan modal yang dipinjamkannya ke debitur e. jumlah tambahan riba selalu sama e. pembagian bunga selalu tetap sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming” f. riba dikecam oleh semua agama baik islam, nasrani dan yahudi f. islam melarang keras praktek bunga, begitu juga dengan pendeta masa awal kristen dan para filsuf dari yunani
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Baik bunga dan riba menurut pengamatan kami memiliki banyak persamaan sehingga wajar sekali dimasa saat ini penolakan penerapan riba di kalangan cendikiawan muslim amat genjar dikumandangkan. Salah satu persamaannya adalah tambahan terhadap harta pokok pinjaman yang dikenakan kepada debitur, selain itu bunga dan riba diambil karena memiliki alasan yang sama yaitu adanya permintaan kompensasi oleh kreditur terhadap debitur karena ada waktu yang direlakan oleh kreditur untuk menerima kembali uang yang dipinjamkannya dan juga adanya kesempatan yang kreditur tidak gunakan karena uangnya dipinjamkan untuk debitur. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist masalah riba dilarang dengan tegas lewat beberapa ayat yang diturunkan secara bertahap ini menegaskan permasalah masalah riba merupakan masalah akut yang sudah mengakar di bangsa arab, yahudi saat itu sehingga Allah perlu melarang riba dengan mengeluarkan firmanya secara bertahap. Dari Al-Hadist Rasullah saw hingga akhir hayatnya sangat memperhatikan permasalahan riba, dia tidak menginginkan umatnya terjerumus dengan praktek riba sehingga dia menekankan dengan keras akan ada siksa yang sangat pedih terhadap pemungut, pencatat dan yang menerima riba. Sehendaknya praktek riba tidak ada lagi dimuka bumi ini karena memiliki sifat yang haram, menghancurkan dan buruk sekali. Praktek bunga sebenarnya sudah bisa digantikan dengan praktek bagi hasil yang sudah jelas dan nyata diterapkan pada masa Rasullah saw hidup, dengan demikian tinggal kita saja masyarakat islam bagaimana bisa menerapkan konsep bagi hasil dalam kehidupan sehari-hari khusunya pada praktek ekonomi perbankan. B. Saran
Daftar Pustaka Antonio, M. Syafii. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Tazkia Cendikia Usman, Rachmadi. 2009. Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti Karim, Adirwan A. 2006. Ekonomi Makro Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Salman, Kautsar Riza. 2012. Akuntansi Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah. Jakarta: Academia Permata
[1] Anwar Iqbal Quresyi, islam and the theory of interest (lahore : SH. Muhammad Ashraf, 1991) [2] Umdatul Qari (constantinople: Mathba’a al-Amira. 1310 H), vol. V, hlm. 436. [3] Al-Mabsut, Vol. XII, hlm. 100. [4] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan tafsir ath-Thabari (7/200) [5] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan tafsir ath-Thabari (7/204) [6] Tahdzib at-Thadzib (2/103-104) [7] Ibnu-Qayyim al-Jauziyyah. I’lam al-Muwaqqiin (2/132)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa dilimpahkan Allah Kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Dan tak lupa penulis bersyukur atas tersusunnya makalah ini.
Sebelumnya kami ucapkan banyak terima kasih kepada M. Riza Fahmi., MA selaku dosen pengampu yang telah memberikan kami kesempatan untuk membahas Makalah ini.
Tujuan kami menyusun makalah ini adalah tiada lain untuk memperkaya ilmu pengetahuan kita semua dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Perbankan Syariah.
Dalam penulisan makalah ini kami juga mengalami banyak kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu yang kami miliki. Namun, berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait. Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan pihak-pihak yang membutuhkan untuk dijadikan literatur. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...
Pontianak, 16April 2016
Daftar Isi
Kata Pengantar............................................................................................................... ii
Daftar Isi......................................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian........................................................................................... 2
Bab II Pembahasan
A. Definisi Riba................................................................................................ 3-5
B. Jenis – jenis riba........................................................................................... 5-6
C. Jenis Barang Ribawi ................................................................................... 6-7
D. Pelarangan riba dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist................................ 7-11
E. Definisi Bunga............................................................................................. 11
F. Macam – macam bunga bank....................................................................... 12-13
G. Persamaan riba dengan bunga...................................................................... 13-14
H. Perbedaan riba dengan bunga...................................................................... 15
Bab III Penutup
A. Kesimpulan.................................................................................................. 16
B. Saran............................................................................................................ 16
Daftar Pustaka........................................................................................................... 17
BAB IIPEMBAHASANA. Definisi ribaRiba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba juga berarti tumbuh dan membesar.[1]Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil[2]. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namuun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa iba adalah pengambian tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman mengingatkan dalam firman-Nya,“hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil . . . . . .” (an-Nisa : 29)Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, ahkam Al-Quran, menjelaskan,“pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Quran yaitu tambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkandengan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapatkan keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat. Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam penggunaan kesempatan tersebut.[1] Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankannya dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakannya bisa juga untung bisa juga rugi. Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah islam dari berbagai mazhab Fiqhiyyah. Diantaranya sebagai berikut: 1. Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari “prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis.[2] 2. Imam sarakhsi dari mazhab Hanafi “riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis, tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.[3] 3. Raghib al-Asfahani “riba adalah penambahan atas harta pokok” 4. Imam an-Nahrawi dari Mazhab Syafi’i Dari penjelasan imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman. 5. Qatadah “riba jahiliah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.” 6. Zaid bin Aslam “yang dimaksud dengan riba jahiliah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranyya pada saat jatuh tempo, ia berkata “bayar sekarang atau tambah”.[4] 7. Mujahid “mereka menjual dagangnnya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar), si pembeli memberian tambahan atas “tambahan waktu”.[5] 8. Ja’far ash-Shadiq dari kalangan Syi’ah Ja’far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba, “supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkanankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.[6] 9. Imam Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanabali Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang riba, ia menjawab, “sesungguhnya riba itu ada seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi utang atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.[7] B. Jenis-jenis riba Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. 1. Riba qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap hutang berhutang (muqtaridh). 2. Riba jahiliyyah Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. 3. Riba fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. 4. Riba Nasi’ah Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian. Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al-Haitsami, “riba itu terdiri dari tiga jenis, riba fadhl, riba al-yaad, dan riba an-nasi’ah. Al-mutawally menambahkan jenis keempat yaitu riba al-qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash al-Qur’an dan hadist Nabi. C. Jenis barang ribawi Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini kan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi: 1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya; 2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Dalam kaitanya perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya rupiah1. dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar. 2. Jual beli barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dana dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya, Rp 5.000,00 dengan 1 dollar amerika. 3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada akad. Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian. 4. Jual beli barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa adanya persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik. D. Larangan riba dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Umat islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya umat islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam al-Qur’an dan hadist Rasullah saw. 1. Larangan riba dalam Al-Qur’an Larangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap.[1] Tahap pertama menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada satu zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqqarub kepada Allah SWT. “Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah. Dan, siapa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (ar-Ruum: 39) Tahap kedua riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada yahudi yang memakan riba. “maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (an-Nisa’: 160-161) Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat yang berlipatganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130) Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu. Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengat ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah (keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “Alasan pembenaran pengembalian riba”, poin “Berlipat Ganda”) Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuliah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiya dan tidak pula dianiya.” (al-Baqarah: 278-279). 2. Larangan riba dalam As-Sunnah Pelarangan riba dalam islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga dalam Al-Hadist. Hal ini sebagaimana posisi umum hadist yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur’an, pelarangan riba dalam hadist lebih terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzhulihajjah tahun 10 Hijriah, Rasullah saw masih menekankan sikap islam yang melarang riba. “ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan. Selain itu masih banyak lagi hadist yang menguraikan masalah riba. Diantaranya: Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeliseorang budak yang pekerjaannya membekam (mengularkan darah kotor dari kepala) Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (HR. Bukhari no. 2084 kita al-Bayu) Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab, “saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkannya dua sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasullah saw.. “selepas itu Rasullah saw terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), jualah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (HR Bukhari no. 2145, kitab al-Wakalah) Diriwiyatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata “Rasullah saw melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak begitu sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR Bukhari no. 2034, kitab al-Buyu) Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasullah saw, bersabda “Emas hendaknya dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba, penerima dan pemberi sama bersalah.” (HR Muslim no. 2971, dalam kitab al-Mussaqah) Diriwiyatkan oleh samurah bin Jundub bahwa Rasullah saw bersabda “malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya, laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang dipinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya “siapakah itu?” Aku diberitahu bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.” (HR Bukhari no. 6525, kitab at-Ta’bir) Jabir berkata bahwa Rasullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda “Mereka itu semuanya sama.” (HR Muslim no. 2995, kitab al-Musaqqah) Diriwiyatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasullah saw berkata “pada malam perjalan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada jibril siapakah mereka itu? Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.” Al-Hakim meriwiyatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan) yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”. Diriwiyatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasullah saw bersabda “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan masuk surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (mereka itu adalah, Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu-bapaknya.” E. Definisi Bunga Bunga (interest) dapat dimengerti sebagai uang yang dibayarkan/diterima atas penggunaan sejumlah pinjaman atau sejumlah uang yang disimpan. Dalam pengertian yang lebih luas bunga dapat dianggap sebagai uang yang diperoleh dari investasi sejumlah modal tertentu. Menurut bahasa atau bunga adalah uang yang dikenakan atau dibayar atas penggunaan uang. Definisi interest menurut Samuel G. Kling, dalam The Legal Encylopedia for Home and Business, 1960, 246 (IBI,36), “Interest is compensation for the use of money which due.” Menurut Oxford English Dictionary, 1989, 109 (IBI, 37) mendefinisikan,“Interest is money paid for the use of money lent (the principal), or for forbearance of a debt, according to a fixed ratio (rafe per cent)”. Usury didefinisikan dalam Oxford English Dictionary, 1989,365 (IBI,37) adalah “The fact or practice of lending money at interest, especially in later use, the practice of charging, taking or contracting to receive, exessive or illegal rate of interest for money on loan.” Menurut Cardinal de Lugo (1593-1623), mendefinisikan, “Usury is gain immediately arising as an obligation from a loan of mutuum if gain doesn not arise from mutuum but from purchase and sale, however unjust, it is not usury, and likewese if it is not paid as an obligation due but from goodwill, gratitude, or friendship, it is not usury”. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa interest dan usury merupakan dua konsep yang serupa, yaitu keuntungan yang diharapkan oleh pemberi pinjaman atas peminjaman uang atau barang (mutuum), yang sebenarnya barang atau uang tersebut apabila tidak ada unsur tenaga kerja tidak akan menghasilkan apa-apa. Usury muncul akibat proses peminjaman dan bukan akibat jual beli, dengan kata lain tambahan dari harga pokok dalam jual beli bukanlah usury atau interest, tetapi laba atau keuntungan.
F. Macam –Macam Bunga Bank Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 99-100) suku bunga dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil. 1. Suku bunga nominal Suku bunga nominal adalah suku bunga yang biasa kita lihat bank atau media cetak. Misalnya perusahaan meminjam uang dari bank sebesar $100.000 selama setahun pada suku bunga nominal 10%, maka pada akhir tahun perusahaan harus mengembalikan pinjaman tersebut sebesar $110.000 (yaitu $100.000 x 10%). Suku bunga nominal cenderung naik seiring dengan angka inflasi. Jika, misalnya, bank memberlakukan suku bunga 10% pada ekspektasi inflasi selama satu tahun ke depan adalah 0%, maka bank mungkin akan memberlakukan suku bunga 13% jika ekspektasi inflasinya adalah 3%. Pada suku bunga nominal menjelaskan bahwa jumlah uang yang dibayarkan harus sesuai dengan jumlah uang yang dipinjamnya. 2. Suku bunga rill Suku Bunga Riil adalah suku bunga setelah dikurangi dengan inflasi, (atau suku bunga riil = suku bunga nominal – ekspektasi inflasi). Misalnya pada contoh diatas inflasi yang diantisipasi adalah sebesar 3% dan suku bunga nominal naik menjadi 13%, maka suku bunga riil sebenarnya tidak berubah (yaitu 13% – 3%). Suku bunga riil sangat penting dipertimbangkan. Bagi orang yang menabung uang di bank, misalnya, dengan tingkat suku bunga 5% dan inflasi tahun tersebut ternyata sebesar 4%, maka suku bunga riil yang ia peroleh hanyalah sebesar 1%. Hal ini dikarenakan inflasi yang terjadi selama ia menabung uang telah mengurangi nilai keuntungan (bunga) yang diperoleh. Sementara bagi orang yang meminjam uang dari bank, jika suku bunga pinjaman sebesar 12% dan tingkat inflasi sebesar 5%, maka suku bunga riil yang harus dibayar hanyalah 8%. Ini dikarenakan harga barang dan jasa (termasuk pendapatan si peminjam) rata-rata naik sebesar 5%, sehingga biaya atas pinjaman (cost of capital) hanya tinggal 8%. pada suku bunga riil menjelaskan bahwa selisih antara suku bunga nominal dengan laju invlasi, dimana suku bunga riil lebih menekankan pada rasio daya beli uang yang dibayarkan kembali terhadap daya beli uang yang dipinjam. G. Perbedaan bunga dan riba menurut kalangan pro bunga bank 1. Bunga bank itu halal (bukan riba). Alasannya jika bunga bank itu diharamkan seperti riba, maka pasti sudah tertanam rasa kebencian dalam hati orang muslim yang baik-baik. Sebagaimana Firman Allah yang artinya “ Allah menanamkan rasa kebencian di dalam hati kaum terhadap kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.” [QS. Al-Hujurat 49 : 7] a. Sedangkan kebencian terhadap bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, maka bunga bank itu tidak haram (bukan riba). 2. Jika bunga bank itu termasuk riba, maka pasti sudah dimusnahkan. Karena Allah sudah menentukan bahwa Allah akan memusnahkan peraktek riba setelah 40 tahun. a. Sebagaimana firman Allah yang artinya : “ Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 276] b. Dan firman Allah yang artinya : “Jika kamu tidak melakukan yaitu tidak meninggalkan sisa-sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya memeranginya.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 279] c. Sedangkan realitas yang terjadi ternyata musnahnya bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram (bukan riba) 3. Realitas orang Muslim yang baik-baik memandang baik terhadap bunga bank, sehingga 97 % pengusaha Muslim berhubungan dengan bank Konvensional. Apabila ada sesuatu yang dipandang baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka itu artinya baik pula menurut pandangan Allah. Sebagaimana sabda Rasul Saw. Yang artinya : “ Sesuatu yang dianggap baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka menurut Allah pun baik.” Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram (bukan riba). 4. Jika bunga bank itu riba, maka pasti pelakunya sudah dijauhkan dari Allah (sudah tidak melakukan sholat) a. karena Rasul Saw. bersabda yang artinya : “Rasul Allah menjauhkan (melaknat) semua pelaku riba baik yang membelanjakannya, mewakilinya, menyaksikannya dan penulisnya dari rahmat Allah Swt.” b. Akan tetapi terlaknatnya pelaku bunga bank konvensional itu tidak terwujud, mereka melakukan sholat, puasa, haji dll. Yang diridoi oleh Allah Swt. Dengan demikian, bunga bank konvensional itu tidak haram (bukan riba). 5. Tahun lalu, tepatnya 27 Ramadhan 1423 H/2 Desember 2002 M, Majma al-Buhust al-Islamiyah salah satu badan tertinggi al-Azhar, mengadakan rapat membahas soal bank konvensional yang dipimpin oleh Syekh Al-Azhar. Forum itu memutuskan : a."Mereka yang bertransaksi dengan atau bank-bank konvensional dan menyerahkan harta dan tabungan mereka kepada bank agar menjadi wakil mereka dalam menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan imbalan keuntungan yang diberikan kepada mereka serta ditetapkan terlebih dahulu pada waktu-waktu yang disepakati bersama orang-orang yang bertransaksi dengannya atas harta-harta itu, maka transaksi dalam bentuk ini adalah halal tanpa syubhat (kesamaran), karena tidak ada teks keagamaan di dalam Alquran atau dari Sunnah Nabi yang melarang transaksi di mana ditetapkan keuntungan atau bunga terlebih dahulu, selama kedua belah pihak rela dengan bentuk transaksi tersebut." b. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil. Tetapi (hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar kerelaan di antara kamu. (QS. an-Nisa': 29). c. Kesimpulannya, penetapan keuntungan terlebih dahulu bagi mereka yang menginvestasikan harta mereka melalui bank-bank atau selain bank adalah halal dan tanpa syubhat dalam transaksi itu d. Ini termasuk dalam persoalan "Al-Mashalih Al-Mursalah", bukannya termasuk persoalan aqidah atau ibadat-ibadat yang tidak boleh dilakukan atas perubahan atau penggantian.
H. Persamaan bunga dengan riba secara logis Terdapat banyak kesamaan yang penulis dapat gambarkan dalam tabel di bawah ini: RIBA BUNGA a. tambahan terhadap harta pokok yang dikenakan kepada peminjam uang a. system yang digunakan untuk mengambil kemanfaatan atas menabung dan meminjam uang b. tambahan yang diterapkan menyengsarakan si peminjam, menimbulkan rasa pongoh dan malas berusaha karena tinggal menunggu tambahan terhadap harta pokok b. menyusahkan sekaligus menyengsarakan si peminjam apabila tidak mampu mengembalikan pinjaman maka harta sebagai jaminan diambil c. selalu menguntungkan orang yang memungut riba c. selalu menguntungkan kepada yang menerapkan sistem bunga, nasabah ketika menabung dan bank ketika meminjamkan uang ke nasabah d. alasan dikenakannya tambahan terhadap harta pokok adalah keinginan pemungut riba yang menunda memakai uang untuk terlebih dahulu meminjamkan uangnya kepada si debitur d. alasan dikenakan bunga karena, penggunaan modal dapat meningkatkan produktifitas sehingga menaikan pendapat, dan juga adanya waktu yang direlakan dari kreditur untuk menunggu keinginannya sendiri menggunakan modal yang dipinjamkannya ke debitur e. jumlah tambahan riba selalu sama e. pembagian bunga selalu tetap sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming” f. riba dikecam oleh semua agama baik islam, nasrani dan yahudi f. islam melarang keras praktek bunga, begitu juga dengan pendeta masa awal kristen dan para filsuf dari yunani
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Baik bunga dan riba menurut pengamatan kami memiliki banyak persamaan sehingga wajar sekali dimasa saat ini penolakan penerapan riba di kalangan cendikiawan muslim amat genjar dikumandangkan. Salah satu persamaannya adalah tambahan terhadap harta pokok pinjaman yang dikenakan kepada debitur, selain itu bunga dan riba diambil karena memiliki alasan yang sama yaitu adanya permintaan kompensasi oleh kreditur terhadap debitur karena ada waktu yang direlakan oleh kreditur untuk menerima kembali uang yang dipinjamkannya dan juga adanya kesempatan yang kreditur tidak gunakan karena uangnya dipinjamkan untuk debitur. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist masalah riba dilarang dengan tegas lewat beberapa ayat yang diturunkan secara bertahap ini menegaskan permasalah masalah riba merupakan masalah akut yang sudah mengakar di bangsa arab, yahudi saat itu sehingga Allah perlu melarang riba dengan mengeluarkan firmanya secara bertahap. Dari Al-Hadist Rasullah saw hingga akhir hayatnya sangat memperhatikan permasalahan riba, dia tidak menginginkan umatnya terjerumus dengan praktek riba sehingga dia menekankan dengan keras akan ada siksa yang sangat pedih terhadap pemungut, pencatat dan yang menerima riba. Sehendaknya praktek riba tidak ada lagi dimuka bumi ini karena memiliki sifat yang haram, menghancurkan dan buruk sekali. Praktek bunga sebenarnya sudah bisa digantikan dengan praktek bagi hasil yang sudah jelas dan nyata diterapkan pada masa Rasullah saw hidup, dengan demikian tinggal kita saja masyarakat islam bagaimana bisa menerapkan konsep bagi hasil dalam kehidupan sehari-hari khusunya pada praktek ekonomi perbankan. B. Saran
Daftar Pustaka Antonio, M. Syafii. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Tazkia Cendikia Usman, Rachmadi. 2009. Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti Karim, Adirwan A. 2006. Ekonomi Makro Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Salman, Kautsar Riza. 2012. Akuntansi Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah. Jakarta: Academia Permata
[1] Anwar Iqbal Quresyi, islam and the theory of interest (lahore : SH. Muhammad Ashraf, 1991) [2] Umdatul Qari (constantinople: Mathba’a al-Amira. 1310 H), vol. V, hlm. 436. [3] Al-Mabsut, Vol. XII, hlm. 100. [4] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan tafsir ath-Thabari (7/200) [5] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan tafsir ath-Thabari (7/204) [6] Tahdzib at-Thadzib (2/103-104) [7] Ibnu-Qayyim al-Jauziyyah. I’lam al-Muwaqqiin (2/132)
dengan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapatkan keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam penggunaan kesempatan tersebut.[1]
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankannya dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakannya bisa juga untung bisa juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah islam dari berbagai mazhab Fiqhiyyah. Diantaranya sebagai berikut:
1. Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari
“prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis.[2]
2. Imam sarakhsi dari mazhab Hanafi
“riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis, tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.[3]
3. Raghib al-Asfahani
“riba adalah penambahan atas harta pokok”
4. Imam an-Nahrawi dari Mazhab Syafi’i
Dari penjelasan imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
5. Qatadah
“riba jahiliah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”
6. Zaid bin Aslam
“yang dimaksud dengan riba jahiliah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranyya pada saat jatuh tempo, ia berkata “bayar sekarang atau tambah”.[4]
7. Mujahid
“mereka menjual dagangnnya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar), si pembeli memberian tambahan atas “tambahan waktu”.[5]
8. Ja’far ash-Shadiq dari kalangan Syi’ah
Ja’far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba, “supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkanankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.[6]
9. Imam Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanabali
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang riba, ia menjawab, “sesungguhnya riba itu ada seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi utang atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.[7]
B. Jenis-jenis riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap hutang berhutang (muqtaridh).
2. Riba jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al-Haitsami,
“riba itu terdiri dari tiga jenis, riba fadhl, riba al-yaad, dan riba an-nasi’ah. Al-mutawally menambahkan jenis keempat yaitu riba al-qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash al-Qur’an dan hadist Nabi.
C. Jenis barang ribawi
Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini kan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitanya perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut.
Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya rupiah
1. dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar.
2. Jual beli barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dana dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya, Rp 5.000,00 dengan 1 dollar amerika.
3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada akad. Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa adanya persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.
D. Larangan riba dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Umat islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya umat islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam al-Qur’an dan hadist Rasullah saw.
1. Larangan riba dalam Al-Qur’an
Larangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap.[1]
Tahap pertama menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada satu zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqqarub kepada Allah SWT.
“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah. Dan, siapa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (ar-Ruum: 39)
Tahap kedua riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada yahudi yang memakan riba.
“maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (an-Nisa’: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat yang berlipatganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman,
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130)
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu.
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengat ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah (keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “Alasan pembenaran pengembalian riba”, poin “Berlipat Ganda”)
Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuliah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiya dan tidak pula dianiya.” (al-Baqarah: 278-279).
2. Larangan riba dalam As-Sunnah
Pelarangan riba dalam islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga dalam Al-Hadist. Hal ini sebagaimana posisi umum hadist yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur’an, pelarangan riba dalam hadist lebih terinci.
Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzhulihajjah tahun 10 Hijriah, Rasullah saw masih menekankan sikap islam yang melarang riba.
“ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan. Selain itu masih banyak lagi hadist yang menguraikan masalah riba. Diantaranya:
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeliseorang budak yang pekerjaannya membekam (mengularkan darah kotor dari kepala) Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (HR. Bukhari no. 2084 kita al-Bayu)
Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab, “saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkannya dua sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasullah saw.. “selepas itu Rasullah saw terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), jualah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (HR Bukhari no. 2145, kitab al-Wakalah)
Diriwiyatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata “Rasullah saw melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak begitu sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR Bukhari no. 2034, kitab al-Buyu)
Diriwiyatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasullah saw, bersabda “Emas hendaknya dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba, penerima dan pemberi sama bersalah.” (HR Muslim no. 2971, dalam kitab al-Mussaqah)
Diriwiyatkan oleh samurah bin Jundub bahwa Rasullah saw bersabda “malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya, laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang dipinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya “siapakah itu?” Aku diberitahu bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.” (HR Bukhari no. 6525, kitab at-Ta’bir)
Jabir berkata bahwa Rasullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda “Mereka itu semuanya sama.” (HR Muslim no. 2995, kitab al-Musaqqah)
Diriwiyatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasullah saw berkata “pada malam perjalan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada jibril siapakah mereka itu? Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.”
Al-Hakim meriwiyatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan) yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”.
Diriwiyatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasullah saw bersabda “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan masuk surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (mereka itu adalah, Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu-bapaknya.”
E. Definisi Bunga
Bunga (interest) dapat dimengerti sebagai uang yang dibayarkan/diterima atas penggunaan sejumlah pinjaman atau sejumlah uang yang disimpan. Dalam pengertian yang lebih luas bunga dapat dianggap sebagai uang yang diperoleh dari investasi sejumlah modal tertentu.
Menurut bahasa atau bunga adalah uang yang dikenakan atau dibayar atas penggunaan uang.
Definisi interest menurut Samuel G. Kling, dalam The Legal Encylopedia for Home and Business, 1960, 246 (IBI,36), “Interest is compensation for the use of money which due.”
Menurut Oxford English Dictionary, 1989, 109 (IBI, 37) mendefinisikan,“Interest is money paid for the use of money lent (the principal), or for forbearance of a debt, according to a fixed ratio (rafe per cent)”.
Usury didefinisikan dalam Oxford English Dictionary, 1989,365 (IBI,37) adalah “The fact or practice of lending money at interest, especially in later use, the practice of charging, taking or contracting to receive, exessive or illegal rate of interest for money on loan.”
Menurut Cardinal de Lugo (1593-1623), mendefinisikan, “Usury is gain immediately arising as an obligation from a loan of mutuum if gain doesn not arise from mutuum but from purchase and sale, however unjust, it is not usury, and likewese if it is not paid as an obligation due but from goodwill, gratitude, or friendship, it is not usury”.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa interest dan usury merupakan dua konsep yang serupa, yaitu keuntungan yang diharapkan oleh pemberi pinjaman atas peminjaman uang atau barang (mutuum), yang sebenarnya barang atau uang tersebut apabila tidak ada unsur tenaga kerja tidak akan menghasilkan apa-apa.
Usury muncul akibat proses peminjaman dan bukan akibat jual beli, dengan kata lain tambahan dari harga pokok dalam jual beli bukanlah usury atau interest, tetapi laba atau keuntungan.
F. Macam –Macam Bunga Bank
Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 99-100) suku bunga dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil.
1. Suku bunga nominal
Suku bunga nominal adalah suku bunga yang biasa kita lihat bank atau media cetak. Misalnya perusahaan meminjam uang dari bank sebesar $100.000 selama setahun pada suku bunga nominal 10%, maka pada akhir tahun perusahaan harus mengembalikan pinjaman tersebut sebesar $110.000 (yaitu $100.000 x 10%).
Suku bunga nominal cenderung naik seiring dengan angka inflasi. Jika, misalnya, bank memberlakukan suku bunga 10% pada ekspektasi inflasi selama satu tahun ke depan adalah 0%, maka bank mungkin akan memberlakukan suku bunga 13% jika ekspektasi inflasinya adalah 3%.
Pada suku bunga nominal menjelaskan bahwa jumlah uang yang dibayarkan harus sesuai dengan jumlah uang yang dipinjamnya.
2. Suku bunga rill
Suku Bunga Riil adalah suku bunga setelah dikurangi dengan inflasi, (atau suku bunga riil = suku bunga nominal – ekspektasi inflasi). Misalnya pada contoh diatas inflasi yang diantisipasi adalah sebesar 3% dan suku bunga nominal naik menjadi 13%, maka suku bunga riil sebenarnya tidak berubah (yaitu 13% – 3%).
Suku bunga riil sangat penting dipertimbangkan. Bagi orang yang menabung uang di bank, misalnya, dengan tingkat suku bunga 5% dan inflasi tahun tersebut ternyata sebesar 4%, maka suku bunga riil yang ia peroleh hanyalah sebesar 1%. Hal ini dikarenakan inflasi yang terjadi selama ia menabung uang telah mengurangi nilai keuntungan (bunga) yang diperoleh.
Sementara bagi orang yang meminjam uang dari bank, jika suku bunga pinjaman sebesar 12% dan tingkat inflasi sebesar 5%, maka suku bunga riil yang harus dibayar hanyalah 8%. Ini dikarenakan harga barang dan jasa (termasuk pendapatan si peminjam) rata-rata naik sebesar 5%, sehingga biaya atas pinjaman (cost of capital) hanya tinggal 8%.
pada suku bunga riil menjelaskan bahwa selisih antara suku bunga nominal dengan laju invlasi, dimana suku bunga riil lebih menekankan pada rasio daya beli uang yang dibayarkan kembali terhadap daya beli uang yang dipinjam.
G. Perbedaan bunga dan riba menurut kalangan pro bunga bank
1. Bunga bank itu halal (bukan riba). Alasannya jika bunga bank itu diharamkan seperti riba, maka pasti sudah tertanam rasa kebencian dalam hati orang muslim yang baik-baik. Sebagaimana Firman Allah yang artinya “ Allah menanamkan rasa kebencian di dalam hati kaum terhadap kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.” [QS. Al-Hujurat 49 : 7]
a. Sedangkan kebencian terhadap bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, maka bunga bank itu tidak haram (bukan riba).
2. Jika bunga bank itu termasuk riba, maka pasti sudah dimusnahkan. Karena Allah sudah menentukan bahwa Allah akan memusnahkan peraktek riba setelah 40 tahun.
a. Sebagaimana firman Allah yang artinya : “ Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 276]
b. Dan firman Allah yang artinya : “Jika kamu tidak melakukan yaitu tidak meninggalkan sisa-sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya memeranginya.” [QS. Al-Baqoroh 2 : 279]
c. Sedangkan realitas yang terjadi ternyata musnahnya bunga bank itu tidak terwujud. Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram (bukan riba)
3. Realitas orang Muslim yang baik-baik memandang baik terhadap bunga bank, sehingga 97 % pengusaha Muslim berhubungan dengan bank Konvensional. Apabila ada sesuatu yang dipandang baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka itu artinya baik pula menurut pandangan Allah. Sebagaimana sabda Rasul Saw. Yang artinya : “ Sesuatu yang dianggap baik oleh orang Muslim yang baik-baik, maka menurut Allah pun baik.” Dengan demikian, bunga bank itu tidak haram (bukan riba).
4. Jika bunga bank itu riba, maka pasti pelakunya sudah dijauhkan dari Allah (sudah tidak melakukan sholat)
a. karena Rasul Saw. bersabda yang artinya : “Rasul Allah menjauhkan (melaknat) semua pelaku riba baik yang membelanjakannya, mewakilinya, menyaksikannya dan penulisnya dari rahmat Allah Swt.”
b. Akan tetapi terlaknatnya pelaku bunga bank konvensional itu tidak terwujud, mereka melakukan sholat, puasa, haji dll. Yang diridoi oleh Allah Swt. Dengan demikian, bunga bank konvensional itu tidak haram (bukan riba).
5. Tahun lalu, tepatnya 27 Ramadhan 1423 H/2 Desember 2002 M, Majma al-Buhust al-Islamiyah salah satu badan tertinggi al-Azhar, mengadakan rapat membahas soal bank konvensional yang dipimpin oleh Syekh Al-Azhar. Forum itu memutuskan :
a."Mereka yang bertransaksi dengan atau bank-bank konvensional dan menyerahkan harta dan tabungan mereka kepada bank agar menjadi wakil mereka dalam menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan imbalan keuntungan yang diberikan kepada mereka serta ditetapkan terlebih dahulu pada waktu-waktu yang disepakati bersama orang-orang yang bertransaksi dengannya atas harta-harta itu, maka transaksi dalam bentuk ini adalah halal tanpa syubhat (kesamaran), karena tidak ada teks keagamaan di dalam Alquran atau dari Sunnah Nabi yang melarang transaksi di mana ditetapkan keuntungan atau bunga terlebih dahulu, selama kedua belah pihak rela dengan bentuk transaksi tersebut."
b. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil. Tetapi (hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar kerelaan di antara kamu. (QS. an-Nisa': 29).
c. Kesimpulannya, penetapan keuntungan terlebih dahulu bagi mereka yang menginvestasikan harta mereka melalui bank-bank atau selain bank adalah halal dan tanpa syubhat dalam transaksi itu
d. Ini termasuk dalam persoalan "Al-Mashalih Al-Mursalah", bukannya termasuk persoalan aqidah atau ibadat-ibadat yang tidak boleh dilakukan atas perubahan atau penggantian.
H. Persamaan bunga dengan riba secara logis
Terdapat banyak kesamaan yang penulis dapat gambarkan dalam tabel di bawah ini:
RIBA | BUNGA |
a. tambahan terhadap harta pokok yang dikenakan kepada peminjam uang | a. system yang digunakan untuk mengambil kemanfaatan atas menabung dan meminjam uang |
b. tambahan yang diterapkan menyengsarakan si peminjam, menimbulkan rasa pongoh dan malas berusaha karena tinggal menunggu tambahan terhadap harta pokok | b. menyusahkan sekaligus menyengsarakan si peminjam apabila tidak mampu mengembalikan pinjaman maka harta sebagai jaminan diambil |
c. selalu menguntungkan orang yang memungut riba | c. selalu menguntungkan kepada yang menerapkan sistem bunga, nasabah ketika menabung dan bank ketika meminjamkan uang ke nasabah |
d. alasan dikenakannya tambahan terhadap harta pokok adalah keinginan pemungut riba yang menunda memakai uang untuk terlebih dahulu meminjamkan uangnya kepada si debitur | d. alasan dikenakan bunga karena, penggunaan modal dapat meningkatkan produktifitas sehingga menaikan pendapat, dan juga adanya waktu yang direlakan dari kreditur untuk menunggu keinginannya sendiri menggunakan modal yang dipinjamkannya ke debitur |
e. jumlah tambahan riba selalu sama | e. pembagian bunga selalu tetap sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming” |
f. riba dikecam oleh semua agama baik islam, nasrani dan yahudi | f. islam melarang keras praktek bunga, begitu juga dengan pendeta masa awal kristen dan para filsuf dari yunani |
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Baik bunga dan riba menurut pengamatan kami memiliki banyak persamaan sehingga wajar sekali dimasa saat ini penolakan penerapan riba di kalangan cendikiawan muslim amat genjar dikumandangkan.
Salah satu persamaannya adalah tambahan terhadap harta pokok pinjaman yang dikenakan kepada debitur, selain itu bunga dan riba diambil karena memiliki alasan yang sama yaitu adanya permintaan kompensasi oleh kreditur terhadap debitur karena ada waktu yang direlakan oleh kreditur untuk menerima kembali uang yang dipinjamkannya dan juga adanya kesempatan yang kreditur tidak gunakan karena uangnya dipinjamkan untuk debitur.
Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist masalah riba dilarang dengan tegas lewat beberapa ayat yang diturunkan secara bertahap ini menegaskan permasalah masalah riba merupakan masalah akut yang sudah mengakar di bangsa arab, yahudi saat itu sehingga Allah perlu melarang riba dengan mengeluarkan firmanya secara bertahap.
Dari Al-Hadist Rasullah saw hingga akhir hayatnya sangat memperhatikan permasalahan riba, dia tidak menginginkan umatnya terjerumus dengan praktek riba sehingga dia menekankan dengan keras akan ada siksa yang sangat pedih terhadap pemungut, pencatat dan yang menerima riba.
Sehendaknya praktek riba tidak ada lagi dimuka bumi ini karena memiliki sifat yang haram, menghancurkan dan buruk sekali. Praktek bunga sebenarnya sudah bisa digantikan dengan praktek bagi hasil yang sudah jelas dan nyata diterapkan pada masa Rasullah saw hidup, dengan demikian tinggal kita saja masyarakat islam bagaimana bisa menerapkan konsep bagi hasil dalam kehidupan sehari-hari khusunya pada praktek ekonomi perbankan.
B. Saran
Daftar Pustaka
Antonio, M. Syafii. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Tazkia Cendikia
Usman, Rachmadi. 2009. Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti
Karim, Adirwan A. 2006. Ekonomi Makro Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Salman, Kautsar Riza. 2012. Akuntansi Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah. Jakarta: Academia Permata
[1] Anwar Iqbal Quresyi, islam and the theory of interest (lahore : SH. Muhammad Ashraf, 1991)
[2] Umdatul Qari (constantinople: Mathba’a al-Amira. 1310 H), vol. V, hlm. 436.
[3] Al-Mabsut, Vol. XII, hlm. 100.
[4] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan tafsir ath-Thabari (7/200)
[5] Lihat tafsir al-Qurthubi (4/200) dan tafsir ath-Thabari (7/204)
[6] Tahdzib at-Thadzib (2/103-104)
[7] Ibnu-Qayyim al-Jauziyyah. I’lam al-Muwaqqiin (2/132)
0 Response to "Makalah fiqh pbs Hukum riba dan bunga"
Post a Comment