TEORI FILSAFAT ILMU MENURUT AHLI

PENGERTIAN FILSAFAT ILMU 
Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan ke duanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah intelektuan manusia 

Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, disamping dikalangan ilmuwan sendiri terdapat perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, dimikian juga dikalangan filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam memberikan makna dan tugas filsafat.

Adapaun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan berfikir reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisisr dan sistematis.

Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat sintetis dan sinoptis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni.

Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir reflektif dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda. 

Dengan demikian, Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan, filsafat mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya bersifat mutlak/dogmatis. Menurut Sidi Gazlba (1976), Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset dan/atau eksperimen) ; batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian. Pengetahuan filsafat : segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami (bersifat alam) dan nisbi; batasnya ialah batas alam namun demikian ia juga mencoba memikirkan sesuatu yang diluar alam, yang disebut oleh agama “Tuhan”. Sementara itu Oemar Amin Hoesin (1964) mengatakan bahwa ilmu memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmat. Dari sini nampak jelas bahwa ilmu dan filsafat mempunyai wilayah kajiannya sendiri-sendiri

Meskipun filsafat ilmu mempunyai substansinya yang khas, namun dia merupakan bidang pengetahuan campuran yang perkembangannya tergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu, oleh karena itu pemahaman bidang filsafat dan pemahaman ilmu menjadi sangat penting, terutama hubungannya yang bersifat timbal balik, meski dalam perkembangannya filsafat ilmu itu telah menjadi disiplin yang tersendiri dan otonom dilihat dari objek kajian dan telaahannya.

Filsafat ilmu diperkenalkan sekitar abad XIX oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan dari universitas wina. Para ahli ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Moris Schlick membentuk suatu perkumpulan yang disebut Wina circle untuk menyatukan semua disiplin ilmu (kimia,fisika,matematika) pada suatu bahasa ilmiah dan cara bekerja ilmiah yang pasti dan logis. Bidang keilmuan membutuhkan proses kerja ilmiah yang relevan dengan pokok perhatian yang lebih spesifik. Karena itu saat ini filsafat ilmu sudah semakin berkembang dan menjadi filsafat modern yang dibutuhkan dalam setiap ilmu.

Setelah mengenal pengertian dan makna apa itu filsafat dan apa itu ilmu, maka pemahaman mengenai filsafat ilmu tidak akan terlalu mengalami kesulitan. Hal ini tidak berarti bahwa dalam memaknai filsafat ilmu tinggal menggabungkan kedua pengertian tersebut, sebab sebagai suatu istilah, filsafat ilmu telah mengalami perkembangan pengertian serta para akhli pun telah memberikan pengertian yang bervariasi, namun demikian pemahaman tentang makna filsafat dan makna ilmu akan sangat membantu dalam memahami pengertian dan makna filsafat ilmu (Philosophy of science).

Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
  • Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
  • Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
  • A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
  • Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
  • May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
  • Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.
  • Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika). Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
  • Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
  • Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
  • Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para akhli.

Secara historis filsafat dipandang sebagai the mother of sciences atau induk segala ilmu, hal ini sejalan dengan pengakuan Descartes yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar ilmu diambil dari filsafat. Filsafat alam mendorong lahirnya ilmu-ilmu kealaman, filsafat sosial melahirkan ilmu-ilmu sosial, namun dalam perkembangannya dominasi ilmu sangat menonjol, bahkan ada yang menyatakan telah terjadi upaya perceraian antara filsafat dengan ilmu, meski hal itu sebenarnya hanya upaya menyembunyikan asal usulnya atau perpaduannya seperti terlihat dari ungkapkan Husein Nasr (1996) bahwa :
  • meskipun sains modern mendeklarasikan independensinya dari aliran filsafat tertentu, namun ia sendiri tetap berdasarkan sebuah pemahaman filosofis partikular baik tentang karakteristik alam maupun pengetahuan kita tentangnya, dan unsur terpenting di dalamnya adalah Cartesianisme yang tetap bertahan sebagai bagian inheren dari pandangan dunia ilmiah modern
  • dominasi ilmu terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah menjadikan pemikiran-pemikiran filosofis cenderung terpinggirkan, hal ini berdampak pada cara berfikir yang sangat pragmatis-empiris dan partial, serta cenderung menganggap pemikiran radikal filosofis sebagai sesuatu yang asing dan terasa tidak praktis, padahal ilmu yang berkembang dewasa ini di dalamnya terdapat pemahaman filosofis yang mendasarinya sebagaimana kata Nasr .
Perkembangan ilmu memang telah banyak pengaruhnya bagi kehidupan manusia, berbagai kemudahan hidup telah banyak dirasakan, semua ini telah menumbuhkan keyakinan bahwa ilmu merupakan suatu sarana yang penting bagi kehidupan, bahkan lebih jauh ilmu dianggap sebagai dasar bagi suatu ukuran kebenaran. Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah dapat didekati dengan pendekatan ilmiah, sekuat apapun upaya itu dilakukan, seperti kata Leenhouwers yang menyatakan:

Walaupun ilmu pengetahuan mencari pengertian menerobos realitas sendiri, pengertian itu hanya dicari di tataran empiris dan eksperimental. Ilmu pengetahuan membatasi kegiatannya hanya pada fenomena-fenomena, yang entah langsung atau tidak langsung, dialami dari pancaindra. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak menerobos kepada inti objeknya yang sama sekali tersembunyi dari observasi. Maka ia tidak memberi jawaban prihal kausalitas yang paling dalam.

pernyataan di atas mengindikasikan bahwa adalah sulit bahkan tidak mungkin ilmu mampu menembus batas-batas yang menjadi wilayahnya yang sangat bertumpu pada fakta empiris, memang tidak bisa dianggap sebagai kegagalan bila demikian selama klaim kebenaran yang disandangnya diberlakukan dalam wilayahnya sendiri, namun jika hal itu menutup pintu refleksi radikal terhadap ilmu maka hal ini mungkin bisa menjadi ancaman bagi upaya memahami kehidupan secara utuh dan kekayaan dimensi di dalamnya.

Meskipun dalam tahap awal perkembangan pemikiran manusia khususnya jaman Yunani kuno cikal bakal ilmu terpadu dalam filsafat, namun pada tahap selanjutnya ternyata telah melahirkan berbagai disiplin ilmu yang masing-masing mempunyai asumsi filosofisnya (khususnya tentang manusia) masing-masing. Ilmu ekonomi memandang manusia sebagai homo economicus yakni makhluk yang mementingkan diri sendiri dan hedonis, sementara sosiologi memandang manusia sebagai homo socius yakni makhluk yang selalu ingin berkomunikasi dan bekerjasama dengan yang lain, hal ini menunjukan suatu pandangan manusia yang fragmentaris dan kontradiktif, memang diakui bahwa dengan asumsi model ini ilmu-ilmu terus berkembang dan makin terspesialisasi, dan dengan makin terspesialisasi maka analisisnya makin tajam, namun seiring dengan itu hasil-hasil penelitian ilmiah selalu berusaha untuk mampu membuat generalisasi, hal ini nampak seperti contradictio in terminis (pertentangandalam istilah)

Dengan demikian eksistensi ilmu mestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah final, dia perlu dikritisi, dikaji, bukan untuk melemahkannya tapi untuk memposisikan secara tepat dalam batas wilayahnya, hal inipun dapat membantu terhindar dari memutlakan ilmu dan menganggap ilmu dan kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, disamping perlu terus diupayakan untuk melihat ilmu secara integral bergandengan dengan dimensi dan bidang lain yang hidup dan berkembang dalam memperadab manusia. Dalam hubungan ini filsafat ilmu akan membukakan wawasan tentang bagaimana sebenarnya substansi ilmu itu, hal ini karena filsafat ilmu merupakan pengkajian lanjutan, yang menurut Beerleng, sebagai Refleksi sekunder atas illmu dan ini merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada, melalui pemahaman tentang asas-asas, latar belakang serta hubungan yang dimiliki/dilaksanakan oleh suatu kegiatan ilmiah. 

Dilihat dari segi katanya filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai filsafat yang berkaitan dengan atau tentang ilmu. Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan secara umum, ini dikarenakan ilmu itu sendiri merupakan suatu bentuk pengetahuan dengan karakteristik khusus, namun demikian untuk memahami secara lebih khusus apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu, maka diperlukan pembatasan yang dapat menggambarkan dan memberi makna khusus tentang istilah tersebut.

Pengertian-pengertian di atas menggambarkan variasi pandangan beberapa akhli tentang makna filsafat ilmu. Peter Caw memberikan makna filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam kontek keseluruhan pengalaman manusia, Steven R. Toulmin memaknai filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan anggapan-anggapan metafisik guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis serta metafisika. Sementara itu White Beck lebih melihat filsafat ilmu sebagai kajian dan evaluasi terhadap metode ilmiah untuk dapat difahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan, masalah kajian atas metode ilmiah juka dikemukakan oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan dua kajian lainnya yaitu logika teori ilmiah serta hubungan antara teori dan eksperimen, demikian juga halnya Benyamin yang memasukan masalah metodologi dalam kajian filsafat ilmu disamping posisi ilmu itu sendiri dalam konstelasi umum disiplin intelektual (keilmuan).

Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal yang penting untuk difahami adalah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu itu sendiri. Terdapat beberapa istilah dalam pustaka yang dipadankan dengan Filsafat ilmu seperti : Theory of science, meta science, methodology, dan science of science, semua istilah tersebut nampaknya menunjukan perbedaan dalam titik tekan pembahasan, namun semua itu pada dasarnya tercakup dalam kajian filsafat ilmu .

Sementara itu Gahral Adian mendefinisikan filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu) dari segi ciri-ciri dan cara pemerolehannya. Filsafat ilmu selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal terhadap ilmu seperti tentang apa ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu disebut ilmu, serta apa bedanya ilmu dengan pengetahuan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan ilmu, pertanyaan - pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk membongkar serta mengkaji asumsi-asumsi ilmu yang biasanya diterima begitu saja (taken for granted), Dengan demikian filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas pertanyaan ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, apabila digambarkan hubungan tersebut nampak sebagai berikut :
ILMU FILSAFAT
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya, filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut, sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal, proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.

II.2 Perkembangan Filsafat Ilmu 
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak perang dunia ke 2, yang telah menghancurkan kehidupan manusia, para Ilmuwan makin menyadari bahwa perkembangan ilmu dan pencapaiannya telah mengakibatkan banyak penderitaan manusia , ini tidak terlepas dari pengembangan ilmu dan teknologi yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai moral serta komitmen etis dan agamis pada nasib manusia , padahal Albert Einstein pada tahun 1938 dalam pesannya pada Mahasiswa California Institute of Technology mengatakan “ Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan perhatian pada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda, agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan (Jujun S Suriasumantri, 1999 : 249 ).

Akan tetapi penjatuhan bom di Hirosima dan Nagasaki tahun 1945 menunjukan bahwa perkembangan iptek telah mengakibatkan kesengsaraan manusia , meski disadari tidak semua hasil pencapaian iptek demikian, namun hal itu telah mencoreng ilmu dan menyimpang dari pesan Albert Einstein, sehingga hal itu telah menimbulkan keprihatinan filosof tentang arah kemajuan peradaban manusia sebagai akibat perkembangan ilmu (Iptek) .

Untuk itu nampaknya para filosof dan ilmuan perlu merenungi apa yang dikemukakan Harold H Titus dalam bukunya Living Issues in Pilosophy (1959), beliau mengutif beberapa pendapat cendikiawan seperti Northrop yang mengatakan “ it would seem that the more civilized we become , the more incapable of maintaining civilization we are”, demikian juga pernyataan Lewis Mumford yang berbicara tentang “the invisible breakdown in our civiliozation : erosion of value, the dissipation of human purpose, the denial of any dictinction between good and bad, right or wrong, the reversion to sub human conduct” (Harold H Titus, 1959 : 3)

Ungkapan tersebut di atas hanya untuk menunjukan bahwa memasuki dasawarsa 1960-an kecenderungan mempertanyakan manfaat ilmu menjadi hal yang penting, sehingga pada periode ini (1960-1970) dimensi aksiologis menjadi perhatian para filosof, hal ini tak lain untuk meniupkan ruh etis dan agamis pada ilmu, agar pemanfaatannya dapat menjadi berkah bagi manusia dan kemanusiaan , sehingga telaah pada fakta empiris berkembang ke pencarian makna dibaliknya atau seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Ismaun, M.Pd (2000 : 131) dari telaah positivistik ke telaah meta-science yang dimulai sejak tahun 1965.

Memasuki tahun 1970-an , pencarian makna ilmu mulai berkembang khususnya di kalangan pemikir muslim , bahkan pada dasawarsa ini lahir gerakan islamisasi ilmu, hal ini tidak terlepas dari sikap apologetik umat islam terhadap kemajuan barat, sampai-sampai ada ide untuk melakukan sekularisasi, seperti yang dilontarkan oleh Nurcholis Majid pada tahun 1974 yang kemudian banyak mendapat reaksi keras dari pemikir-pemikir Islam seperti dari Prof. H.M Rasyidi dan Endang Saifudin Anshori.

Mulai awal tahun 1980-an, makin banyak karya cendekiawan muslim yang berbicara tentang integrasi ilmu dan agama atau islamisasi ilmu, seperti terlihat dari berbagai karya mereka yang mencakup variasi ilmu seperti karya Ilyas Ba Yunus tentang Sosiologi Islam, serta karya-karya dibidang ekonomi, seperti karya Syed Haider Naqvi Etika dan Ilmu Ekonomi, karya Umar Chapra Al Qur’an, menuju sistem moneter yang adil, dan karya-karya lainnya , yang pada intinya semua itu merupakan upaya penulisnya untuk menjadikan ilmu-ilmu tersebut mempunyai landasan nilai islam.

Memasuki tahun 1990-an , khususnya di Indosesia perbincangan filsafat diramaikan dengan wacana post modernisme, sebagai suatu kritik terhadap modernisme yang berbasis positivisme yang sering mengklaim universalitas ilmu, juga diskursus post modernisme memasuki kajian-kajian agama.

Post modernisme yang sering dihubungkan dengan Michael Foccault dan Derrida dengan beberapa konsep/paradigma yang kontradiktif dengan modernisme seperti dekonstruksi, desentralisasi, nihilisme dsb, yang pada dasarnya ingin menempatkan narasi-narasi kecil ketimbang narasi-narasi besar, namun post modernisme mendapat kritik keras dari Ernest Gellner dalam bukunya Post modernism, Reason and Religion yang terbit pada tahun1992. Dia menyatakan bahwa post modernisme akan menjurus pada relativisme dan untuk itu dia mengajukan konsep fundamentalisme rasionalis, karena rasionalitas merupakan standar yang berlaku lintas budaya.

Disamping itu gerakan meniupkan nilai-nilai agama pada ilmu makin berkembang, bahkan untuk Indonesia disambut hangat oleh ulama dan masyarakat terlihat dari berdirinya BMI, yang pada dasarnya hal ini tidak terlepas dari gerakan islamisasi ilmu, khususnya dalam bidang ilmu ekonomi.

Dan pada periode ini pula teknologi informasi sangat luar biasa , berakibat pada makin pluralnya perbincangan/diskursus filsafat, sehingga sulit menentukan diskursus mana yang paling menonjol, hal ini mungkin sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Alvin Tofler sebagai The third Wave, dimana informasi makin cepat memasuki berbagai belahan dunia yang pada gilirannya akan mengakibatkan kejutan-kejutan budaya tak terkecuali bidang pemikiran filsafat.

Meskipun nampaknya prkembangan Filsafat ilmu erat kaitan dengan dimensi axiologi atau nilai-nilai pemanfaatan ilmu, namun dalam perkembangannya keadaan tersebut telah juga mendorong para akhli untuk lebih mencermati apa sebenarnya ilmu itu atau apa hakekat ilmu, mengingat dimensi ontologis sebenarnya punya kaitan dengan dimensi-dimensi lainnya seperti ontologi dan epistemologi, sehingga dua dimensi yang terakhir pun mendapat evaluasi ulang dan pengkajian yang serius. 

Diantara tonggak penting dalam bidang kajian ilmu (filsafat ilmu) adalah terbitnya Buku The Structure of Scientific Revolution yang ditulis oleh Thomas S Kuhn, yang untuk pertama kalinya terbit tahun 1962, buku ini merupakan sebuah karya yang monumental mengenai perkembangan sejarah dan filsafat sains, dimana didalamnya paradigma menjadi konsep sentral, disamping konsep sains/ilmu normal. Dalam pandangan Kuhn ilmu pengetahuan tidak hanya pengumpulan fakta untuk membuktikan suatu teori, sebab selalu ada anomali yang dapat mematahkan teori yang telah dominan. 

Pencapaian-pencapaian manusia dalam bidang pemikiran ilmiah telah menghasilkan teori-teori, kemudian teori-teori terspesifikasikan berdasarkan karakteristik tertentu ke daLam suatu Ilmu. Ilmu (teori) tersebut kemudian dikembangkan , diuji sehingga menjadi mapan dan menjadi dasar bagi riset-riset selanjutnya , maka Ilmu (sains) tersebut menjadi sains normal yaitu riset yang dengan teguh berdasar atas suatu pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek (riset) selanjutnya ( Thomas S Kuhn, 2000 :10 ) .

Pencapaian pemikiran ilmiah tersebut dan terbentuknya sains yang normal kemudian menjadi paradigma, yang berarti “apa yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat sains dan sebaliknya masyarakat sains terdiri atas orang yang memiliki suatu paradigma tertentu ( Thomas S Kuhn, 2000 : 171 ). Paradigma dari sains yang normal kemudian mendorong riset normal yang cenderung sedikit sekali ditujukan untuk menghasilkan penemuan baru yang konseptual atau yang hebat (. Thomas S Kuhn, 2000 : 134 ). Ini berakibat bahwa sains yang normal, kegunaannya sangat bermanfaat dan bersifat kumulatif. Teori yang memperoleh pengakuan sosial akan menjadi paradigma, dan kondisi ini merupakan periode ilmu normal. Kemajuan ilmu berawal dari perjuangan kompetisi berbagai teori untuk mendapat pengakuan intersubjektif dari suatu masyarakat ilmu. Dalam periode sain normal ilmu hanyalah merupakan pembenaran-pembenaran sesuai dengan asumsi-asumsi paaradigma yang dianut masyarakat tersebut, ini tidak lain dikarenakan paradigma yang berlaku telah menjadi patokan bagi ilmu untuk melakukan penelitian, memecahkan masalah, atau bahkan menyeleksi masalah-masalah yang layak dibicarakan dan dikaji

Akan tetapi didalam perkembangan selanjutnya ilmuwan banyak menemukan hal-hal baru yang sering mengejutkan, semua ini diawali dengan kesadaran akan anomali atas prediksi-prediksi paradigma sains normal, kemudian pandangan yang anomali ini dikembangkan sampai akhirnya ditemukan paradigma baru yang mana perubahan ini sering sangat revolusioner. Paradigma baru tersebut kemudian melahirkan sain normal yang baru sampai ditemukan lagi paradigma baru berikutnya. Bila digambarkan nampak sebagai berikut :

Paradigma Baru 
Pencapaian sain normal dan paradigma baru bukanlah akhir , tapi menjadi awal bagi proses perubahan paradigma dan revolusi sains berikutnya, bila terdapat anomali atas prediksi sains normal yang baru tersebut. Pendapat Kuhn tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa secara substansial kebenaran ilmu bukanlah sesuatu yang tak tergoyahkan, suatu paradigma yang berlaku pada suatu saat, pada saat yang lain bisa tergantikan dengan paradigma baru yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat ilmiah, itu berarti suatu teori sifatnya sangat tentatif sekali. 

II.3 Ciri-Ciri Ilmu Modern
Dalam bab terdahulu telah dikemukakan ciri-ciri dari suatu ilmu, ciri-ciri tersebut pada prinsipnya merupakan suatu yang normatif dalam suatu disiplin keilmuan. Namun dalam perkembangannya ilmu khususnya teknologi sebagai aplikasi dari ilmu telah banyak mengalami perubahan yang sangata cepat, perubahan ini berdampak pada pandangan masyarakat tentang hakekat ilmu, perolehan ilmu, serta manfaatnya bagi masyarakat, sehingga ilmu cenderung dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dalam mendasari berbagai kebijakan kemasyarakatan, serta telah menjadi dasar penting yang mempengaruhi penentuan prilaku manusia. Keadaan ini berakibat pada karakterisasi ciri ilmu modern, adapun ciri-ciri tersebut adalah :

  1. Bertumpu pada paradigma positivisme. Ciri ini terlihat dari pengembangan ilmu dan teknologi yang kurang memperhatikan aspek nilai baik etis maupun agamis, karena memang salah satu aksioma positivisme adalah value free yang mendorong tumbuhnya prinsip science for science.
  2. Mendorong pada tumbuhnya sikap hedonisme dan konsumerisme. Berbagai pengembangan ilmu dan teknologi selalu mengacu pada upaya untuk meningkatkan kenikmatan hidup , meskipun hal itu dapat mendorong gersangnya ruhani manusia akibat makin memasyarakatnya budaya konsumerisme yang terus dipupuk oleh media teknologi modern seperti iklan besar-besaran yang dapat menciptakan kebutuhan semu yang oleh Herbert Marcuse didefinisikan sebagai kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya (M. Sastrapatedja, 1982 : 125)
  3. Perkembangannya sangat cepat . Pencapaian sain ddan teknologi modern menunjukan percepatan yang menakjubkan , berubah tidak dalam waktu tahunan lagi bahkan mungkin dalam hitungan hari, ini jelas sangat berbeda denngan perkembangan iptek sebelumnya yang kalau menurut Alfin Tofler dari gelombang pertama (revolusi pertanian) memerlukan waktu ribuan tahun untuk mencapai gelombang ke dua (revolusi industri, dimana sebagaimana diketahui gelombang tersebut terjadi akibat pencapaian sains dan teknologi.
  4. Bersifat eksploitatif terhadap lingkungan. Berbagai kerusakan lingkungan hidupdewasa ini tidak terlepas dari pencapaian iptek yang kurang memperhatikan dampak lingkungan.
II.4 Paradigma Ilmu Modern Menurut Beberapa Aliran
Secara historis paradigma sains telah mengalami tahapan-tahapan perubahan sebagaimana dikemukakan oleh S Nasution dalam bukunya “Metode penelitian naturalistik kualitatif (1996 : 3). Tahap pertama disebut masa pra-positivisme, yang diawali dari jaman Aristiteles sampai David Hume, dimana aplikasinya dalam penelitian adalah mengamati secara pasif, tidak ada upaya memanipulasi lingkungan dan melakukan eksperimen terhadap lingkungan . Tahapan ini kemudian berganti dengan tahapan positivisme, dimana paradigma ini menjadi dasar bagi metode ilmiah dengan bentuk penelitian kuantitatif , yang mencoba mencari prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum tentang dunia kenyataan . Paradigma berikutnya yang muncul adalah paradigma post positivisme sebagai reaksi atas pendirian positivisme, dimana dalam pandangan ini, kebenaran bukan sesuatu yang tunggal (it is an increasing complexity) sebagaimana diyakini positivisme.

Namun demikian paradigma yang paling menonjol di jaman modern ini nampaknya adalah positivisme, meskipun ada beberapa sempalan dalam positivisme itu (Ahmad Sanusi, Majalah Matahari : 12). Untuk lebih mengetahuiberbagai paradigma sains modern, penulis sajikan tabel berikut yang dikutip oleh Ahmad Sanusi dalam Majalah Matahari halaman 12 sebagai berikut : 

Realitas yang memisah 
Paradigma-paradigma yang tercantum dalam tabel tersebut masih dapat dikelompokan pada kategori yang sama atau mendekati. Dilihat dari esensi ontologisnya paradigma positivistik sama dengan pengamat partisipan yakni bahwa realitas itu terpisah, paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis, sedang paradigma formalistik strukturalis sama dengan paradigma interpretatif. Dilihat dari sumber, positivistik sama dengan pengamat partisipan dan mendekati paradigma interpretatif serta formalistik strukturalis, sedangkan paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis.

Dari segi bentuk pengetahuan, positivistik sama dengan formalistik, interpretatif sama dengan teoritis, sedangkan paradigma kritis sama dengan paradigma pengamat partisipan , demikian juga dilihat dari segi model verifikasi banyak kesamaannya, hanya dari tugas dan titik berat keenam paradigma itu berbeda.

Namun demikian paradigma yang paling menonjol sekarang ini adalah paradigma positivistik, dimana kenyataan menunjukan paradigma ini banyak memberikan sumbangan bagi perkembangan teknologi dewasa ini , akan tetapi tidak berarti paradigma lainnya tidak berperan , peranannya tetap ada terutama dalam hal-hal yang tak dapat dijelaskan oleh paradigma positivistik , hal ini terlihat dengan berkembangnya paradigma naturalistik yang telah mendorong berkembangnya penelitian kualitatif . oleh karena itu nampaknya paradigma-paradigma tersebut tidak bersifat saling menghilangkan tapi lebih bersipat saling melengkapi , hal ini didasari keyakinan betapa kompleksnya realitas dunia dan kehidupan di dalamnya.

II.6 Bidang Kajian Dan Masalah-Masalah Dalam Filsafat Ilmu 
Bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus mengalami perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan ilmu yang makin intens. Bidang kajian yang menjadi telaahan filsafat ilmu pun berkembang dan diantara para akhli terlihat perbedaan dalam menentukan lingkup kajian filsafat ilmu, meskipun bidang kajian iduknya cenderung sama, sedang perbedaan lebih terlihat dalam perincian topik telaahan. Berikut ini beberapa pendapat akhli tentang lingkup kajian filsafat ilmu :
1. Edward Madden menyatakan bahwa lingkup/bidang kajian filsafat ilmu adalah:

  • Probabilitas
  • Induksi
  • Hipotesis
2. Ernest Nagel

  • Logical pattern exhibited by explanation in the sciences
  • Construction of scientific concepts
  • Validation of scientific conclusions
3. Scheffer

  • The role of science in society
  • The world pictured by science
  • The foundations of science
Dari beberapa pendapat di atas nampak bahwa semua itu lebih bersifat menambah terhadap lingkup kajian filsafat ilmu, sementara itu Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu. Dalam bentuk pertanyaan, pada dasar filsafat ilmu merupakan telahaan berkaitan dengan objek apa yang ditelaah oleh ilmu (ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistemologi), dan bagaimana manfaat ilmu (axiologi), oleh karena itu lingkup induk telaahan filsafat ilmu adalah :

  1. ontologi
  2. epistemologi
  3. axiologi
ontologi berkaitan tentang apa obyek yang ditelaah ilmu, dalam kajian ini mencakup masalah realitas dan penampakan (reality and appearance), serta bagaimana hubungan ke dua hal tersebut dengan subjek/manusia. Epistemologi berkaitan dengan bagaimana proses diperolehnya ilmu, bagaimana prosedurnya untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang benar. Axiologi berkaitan dengan apa manfaat ilmu, bagaimana hubungan etika dengan ilmu, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan.

Ruang lingkup telaahan filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan di atas di dalamnya sebenarnya menunjukan masalah-masalah yang dikaji dalam filsafat ilmu, masalah-masalah dalam filsafat ilmu pada dasarnya menunjukan topik-topik kajian yang pastinya dapat masuk ke dalam salahsatu lingkup filsafat ilmu. Adapun masalah-masalah yang berada dalam lingkup filsafat ilmu adalah (Ismaun) :

  1. masalah-masalah metafisis tentang ilmu
  2. masalah-masalah epistemologis tentang ilmu
  3. masalah-masalah metodologis tentang ilmu
  4. masalah-masalah logis tentang ilmu
  5. masalah-masalah etis tentang ilmu
  6. masalah-masalah tentang estetika
metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, karena sebenarnya metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti adanya Tuhan. Epistemologi merupakan teori pengetahuan dalam arti umum baik itu kajian mengenai pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, maupun pengetahuan filosofis, metodologi ilmu adalah telaahan atas metode yang dipergunakan oleh suatu ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun dalam hal validitas metodenya. Masalah logis berkaitan dengan telaahan mengenai kaidah-kaidah berfikir benar, terutama berkenaan dengan metode deduksi. Problem etis berkaitan dengan aspek-aspek moral dari suatu ilmu, apakah ilmu itu hanya untuk ilmu, ataukah ilmu juga perlu memperhatikan kemanfaatannya dan kaidah-kaidah moral masyarakat. Sementara itu masalah estetis berkaitan dengan dimensi keindahan atau nilai-nilai keindahan dari suatu ilmu, terutama bila berkaitan dengan aspek aplikasinya dalam kehidupan masyarakat.

II.7 Kebenaran Ilmu
Ilmu pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk menjelaskan berbagai fenomena empiris yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut adalah untuk memperoleh suatu pemahaman yang benar atas fenomena tersebut. Terdapat kecenderungan yang kuat sejak berjayanya kembali akal pemikiran manusia adalah keyakinan bahwa ilmu merupakan satu-satunya sumber kebanaran, segala sesuatu penjelasan yang tidak dapat atau tidak mungkin diuji, diteliti, atau diobservasi adalah sesuatu yang tidak benar, dan karena itu tidak patut dipercayai.

Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah dapat dijawab dengan ilmu, banyak sekali hal-hal yang merupakan konsern manusia, sulit, atau bahkan tidak mungkin dijelaskan oleh ilmu seperti masalah Tuhan, Hidup sesudah mati, dan hal-hal lain yang bersifat non – empiris. Oleh karena itu bila manusia hanya mempercayai kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, maka dia telah mempersempit kehidupan dengan hanya mengikatkan diri dengan dunia empiris, untuk itu diperlukan pemahaman tentang apa itu kebenaran baik dilihat dari jalurnya (gradasi berfikir) maupun macamnya.

Bila dilihat dari gradasi berfikir kebenaran dapat dikelompokan kedalam empat gradasi berfikir yaitu :

  1. kebenaran biasa. Yaitu kebenaran yang dasarnya adalah common sense atau akal sehat. Kebenaran ini biasanya mengacu pada pengalaman individual tidak tertata dan sporadis sehingga cenderung sangat subjektif sesuai dengan variasi pengalaman yang dialaminya. Namun demikian seseorang bisa menganggapnya sebagai kebenaran apabila telah dirasakan manfaat praktisnya bagi kehidupan individu/orang tersebut.
  2. Kebenaran Ilmu. Yaitu kebenaran yang sifatnya positif karena mengacu pada fakta-fakta empiris, serta memungkinkan semua orang untuk mengujinya dengan metode tertentu dengan hasil yang sama atau paling tidak relatif sama.
  3. Kebenaran Filsafat. Kebenaran model ini sifatnya spekulatif, mengingat sulit/tidak mungkin dibuktikan secara empiris, namun bila metode berfikirnya difahami maka seseorang akan mengakui kebenarannya. Satu hal yang sulit adalah bagaimana setiap orang dapat mempercayainya, karena cara berfikir dilingkungan filsafatpun sangat bervariasi.
  4. kebenaran Agama. Yaitu kebenaran yang didasarkan kepada informasi yang datangnya dari Tuhan melalui utusannya, kebenaran ini sifatnya dogmatis, artinya ketika tidak ada kefahaman atas sesuatu hal yang berkaitan dengan agama, maka orang tersebut tetap harus mempercayainya sebagai suatu kebenaran. 
Dari uraian di atas nampak bahwa maslah kebenaran tidaklah sederhana, tingkatan-tingkatan/gradasi berfikir akan menentukan kebenaran apa yang dimiliki atau diyakininya, demikian juga sifat kebenarannya juga berbeda. Hal ini menunjukan bahwa bila seseorang berbicara mengenai sesuatu hal, dan apakah hal itu benar atau tidak, maka pertama-tama perlu dianalisis tentang tataran berfikirnya, sehingga tidak serta merta menyalahkan atas sesuatu pernyataan, kecuali apabila pembicaraannya memang sudah mengacu pada tataran berfikir tertentu.

Dalam konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan perhatian yang srius, pembicaraan masalah ini berkaitan dengan validitas pengetahuan/ilmu, apakah pengetahuan yang diliki seseorang itu benar/valid atau tidak, untuk itu para akhli mengemukakan berbagai teori kebenaran (Theory of Truth), yang dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis teori kebenaran yaitu :

  1. Teori korespondensi (The Correspondence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran, atau sesuatu itu dikatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara suatu pernyataan dengan faktanya (a proposition - or meaning - is true if there is a fact to which it correspond, if it expresses what is the case). Menurut White Patrick “truth is that which conforms to fact, which agrees with reality, which corresponds to the actual situation. Truth, then can be defined as fidelity to objective reality”. Sementara itu menurut Rogers, keadaan benar (kebenaran) terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang terdapat di dalam objeknya. Contoh : kalau seseorang menyatakan bahwa Kualalumpur adalah ibukota Malayasia, maka pernyataan itu benar kalu dalam kenyataannya memang ibukota Malayasia itu Kualalumpur. 
  2. Teori Konsistensi (The coherence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah keajegan antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah diakui kebenarannya, jadi suatu proposisi itu benar jika sesuai/ajeg atau koheren dengan proposisi lainnya yang benar. Kebenaran jenis ini biasanya mengacu pada hukum-hukum berfikir yang benar. Misalnya Semua manusia pasti mati, Uhar adalah Manusia, maka Uhar pasti mati, kesimpulan uhar pasti mati sangat tergantung pada kebenaran pernyataan pertama (semua manusia pasti mati).
  3. Teori Pragmatis (The Pragmatic theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah sesuatu yang dapat berlaku, atau dapat memberikan kepuasan, dengan kata lain sesuatu pernyataan atau proposisi dikatakan benar apabila dapat memberi manfaat praktis bagi kehidupan, sesuatu itu benar bila berguna.
Teori-teori kebenaran tersebut pada dasarnya menunjukan titik berat kriteria yang berbeda, teori korespondensi menggunakan kriteria fakta, oleh karena itu teori ini bisa disebut teori kebenaran empiris, teori koherensi menggunakan dasar fikiran sebagai kriteria, sehingga bisa disebut sebagai kebenaran rasional, sedangkan teori pragmatis menggunakan kegunaan sebagai kriteria, sehingga bisa disebut teori kebenaran praktis. 

II.8 Keterbatasan Ilmu
Hubungan antara filsafat dengan ilmu yang dapat terintegrasi dalam filsafat ilmu, dimana filsafat mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ilmu, menunjukan adanya keterbatasan ilmu dalam menjelaskan berbagai fenomena kehidupan. Disamping itu dilingkungan wilayah ilmu itu sendiri sering terjadi sesuatu yang dianggap benar pada satu saat ternyata disaat lain terbukti salah, sehingga timbul pertanyaan apakan kebenaran ilmu itu sesuatu yang mutlak ?, dan apakah seluruh persoalan manusia dapat dijelaskan oleh ilmu ?. pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya menggambarkan betapa terbatasnya ilmu dalam mengungkap misteri kehidupan serta betapa tentatifnya kebenaran ilmu.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya diungkapkan pendapat para akhli berkaitan dengan keterbatasan ilmu, para akhli tersebut antara lain adalah :

  1. Jean Paul Sartre menyatakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian dan percobaan baru yang dilakukan dengan metode-metode baru atau karena adanya perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna, dan penemuan baru tiu akan disisihkan pula oleh akhli-akhli lainnya.
  2. D.C Mulder menyatakan bahwa tiap-tiap akhli ilmu menghadapi soal-soal yang tak dapat dipecahkan dengan melulu memakai ilmu itu sendiri, ada soal-soal pokok atau soal-soal dasar yang melampaui kompetensi ilmu, misalnya apakah hukum sebab akibat itu ?, dimanakah batas-batas lapangan yang saya selidiki ini?, dimanakah tempatnya dalam kenyataan seluruhnya ini?, sampai dimana keberlakuan metode yang digunakan?. Jelaslah bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ilmu memerlukan instansi lain yang melebihi ilmu yakni filsafat.
  3. Harsoyo menyatakan bahwa ilmu yang dimiliki umat manusia dewasa ini belumlah seberapa dibandingkan dengan rahasia alam semesta yang melindungi manusia. Ilmuwan-ilmuwan besar biasanya diganggu oleh perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak, bahwa yang diketahui itu masih meragu-ragukan, serba tidak pasti yang menyebabkan lebih gelisah lagi, dan biasanya mereka adalah orang-orang rendah hati yang makin berisi makin menunduk. Selain itu Harsoyo juga mengemukakan bahwa kebenaran ilmiah itu tidaklah absolut dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang sebelumnya tidak diketahui.
  4. J. Boeke menyatakan bahwa bagaimanapun telitinya kita menyelidiki peristiwa-peristiwa yang dipertunjukan oleh zat hidup itu, bagaimanapunjuga kita mencoba memperoleh pandangan yang jitu tentang keadaan sifatzat hidup itu yang bersama-sama tersusun, namun asas hidup yang sebenarnya adalah rahasiah abadi bagi kita, oleh karena itu kita harus menyerah dengan perasaan saleh dan terharu.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, nampak bahwa ilmu itu tidak dapat dipandang sebagai dasar mutlak bagi pemahaman manusia tentang alam, demikian juga kebenaran ilmu harus dipandang secara tentatif, artinya selalu siap berubah bila ditemukan teori-teori baru yang menyangkalnya. Dengan demikian dpatlah ditarik kesimpulan berkaitan dengan keterbatasan ilmu yaitu :

  1. ilmu hanya mengetahui fenomena bukan realitas, atau mengkaji realitas sebagai suatu fenomena (science can only know the phenomenal, or know the real through and as phenomenal - R. Tennant) 
  2. Ilmu hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena alam/kehidupan manusia dan lingkungannya
  3. kebenaran ilmu bersifat sementara dan tidak mutlak
keterbatasan tersebut sering kurang disadari oleh orang yang mempelajari suatu cabang ilmu tertentu, hal ini disebabkan ilmuwan cenderung bekerja hanya dalam batas wilayahnya sendiri dengan suatu disiplin yang sangat ketat, dan keterbatasan ilmu itu sendiri bukan merupakan konsern utama ilmuwan yang berada dalam wilayah ilmu tertentu. 
II.9 Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu berusaha mengkaji hal tersebut guna menjelaskan hakekat ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang padu mengenai berbagai fenomena alam yang telah menjadi objek ilmu itu sendiri, dan yang cenderung terfragmentasi. Untuk itu filsafat ilmu bermanfaat untuk :

  • Melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu
  • Melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu
  • Menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh kebenaran
  • Menghidarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang lain di luar bidang ilmunya.
II.10 Rangkuman
Berfikir filsafati berarti berfikir untuk menemukan kebenaran secara tuntas. Analisis filsafati tentang filsafat ilmu harus ditekankan pada upaya keilmuan dalam upaya mencari kebenaran. Kebenaran terkait erat dengan aspek-aspek moral, seperti kejujuran. Analisis filsafati ilmu tidak bolah berhenti pada upaya untuk meningkatkan penalaran keilmuan, tetapi sekaligus harus mencakuyp pendewasaan moral keilmuan. 

Filsafat ilmu mempunyai wilayah lebih luas dan perhatian lebih transenden daripada ilmu-ilmu. Oleh karena itu, filsafatpun memp[unyai wilayah lebih luas daripada peyelidikan tentang cara kerja ilmu-ilmu. Filsafat ilmu bertugas meneliti hakekat ilmu. Diantaranya paham tentang kepastian, kebenaran dan obje

Filsafat ilmu harus merupakan pengetahuan tentang ilmu yang didsekati secara filsafati dengan tujuan untuk lebih memfungsionalkan wujud keilmuan, baik secaa moral, intelektual, maupun sosial. Filsafat ilmu harus mencakup bukan saja pembahasan mengenai ilmu itu sendiri beserta segenap perangkatnya, melainkan sekaligus kaitan ilmu dengan beberapa aspek kehidupan, seperti pendideikan, kebudayaan, moral sosiasl, dan politik. Demikian juga pembahasan yang bersifat analitis dari tiap-tiap unsur bahasan harus diletakkan dalam kerangka berfikir secara keleseluruhan.

Dengan menunjukkan sketsa umum hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan serta garis besar mengenai kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya melahirkan suatu cabang filsafat ilmu kiranya menjadi jelas bahwa filsafat ilmu bukanlah sekedar metode atau tata-cara penulisan karya ilmiah ataupun penelitian. Filsafat ilmu adalah refleki filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang memang tidak pernah akan habis dipikirkan dan tidak pernah akan selesai diterangkan.

Hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam dirinya. Dengan memahami Filsafat Ilmu, berarti memahami seluk-beluk ilmu yang paling mendasar sehingga dapat dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan perkembangannya, keterjalinan antar (cabang) ilmu yang satu dengan yang lain, simplifikasi dan artifisialitasnya.
Memasukkan mata kuliah Filsafat Ilmu ke dalam kurikulum adalah tepat, dalam kerangka peningkatan mutu akademik. Sebab filsafat ilmu adalah implisit dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi, dan implisit dalam paradigma “manusia Indonesia sutuhnya” yang di dalam penalarannya pertama-tama dan terutama harus mampu dan sanggup melakukan terobosan ke kawasan yang paling mendasar, ke kawasan untuk memahami hakikat ilmu sampai batas ultimate.

Dengan memahami seluk-beluk ilmu secara ilmiah-filsafati, tanpa harus menjadi seorang filsuf, akan menjadikan masing-masing orang sebagai ilmuwan atau sarjana yang arif, terhindar dari kecongkakan intelektual yang memuakkan, dan terhindar dari arus yang memandang kebenaran ilmiah sebagai barang jadi, selesai dan mandeg dalam kebekuan normatif untuk diulang-ulang sebagai barang hafalan.

II.11 Pertanyaan Untuk Bahan Diskusi

  1. mengapa ilmu memerlukan telaahan kritis dan radikal dari filsafat?
  2. Jelaskan hubungan filsafat dengan ilmu ?
  3. jelaskan makna filsafat ilmu?
  4. apa yang dimaksud dengan pernyataan bahwa filsafat ilmu merupakan refleksi sekunder?
  5. jelaskan dampak dari perkembangan ilmu yang tidak memperhatikan dimensi etika?
  6. Jelaskan bagaimana pandangan Thomas Kuhn mengenai revolusi ilmiah?
  7. Jelaskan ciri utama dan paradigma dari ilmu modern?
  8. jelaskan lingkup dan bidang kajian filsafat ilmu?
  9. jelaskan persesuaian dan perbeaan antara filsafat dengan ilmu?
  10. Jelaskan hubungan antara Filsafat, Ilmu dan Filsafat ilmu?
  11. Jelaskan posisi filsafat ilmu dalam epistemologi?
  12. 1jelaskan apa yang dimaksud dengan keterbatasan ilmu, dan apa saja pokok-pokok keterbatasannya
  13. Jelaskan dengan bahasa sendiri manfaat mempelajari filsafat ilmu, dan bagaimana aplikasinya bagi kehidupan saudara?
DAFTAR PUSYTAKA

  • Abu Ahmadi. 1982. Filsafat Islam. Semarang. Toha Putra.
  • Abubakar Aceh, 1982. Sejarah Filsafat Islam, Surakarta. Ramadhani Sala
  • Endang Saifudin Anshori. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 
  • Frithjof Schuon. 1994. Islam dan Filsafat Perenial. Bandung. Mizan. (terj. Rahmani Astuti)
  • H.M. Rasjidi, 1970. Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 
  • Harold H Titus. 1959, Living issues in philosophy, New York, American Book 
  • Ismaun, 2000. Catatan Kuliah Filsafat Ilmu (Jilid 1 dan 2), Bandung. UPI
  • Jujun S Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 
  • Oemar Amin Hoesen. 1964. Filsafat Islam. Jakarta. Bulan Bintan
  • Sastrapratedja. (ed). 1982. Manusia Multi Dimensional. Jakarta. Gramedia
  • Suharsaputra, U., 2004. Filsafat Ilmu. Universitas Kuningan

0 Response to "TEORI FILSAFAT ILMU MENURUT AHLI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel