Makalah Hukum Keluarga Islam di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Dalam hukum Indonesia perkawinan mendapatkan perhatian tersendiri. Secara substantif, hukum perkawinan Indonesia merupakan penjabaran hukum perkawinan dalam Islam. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wajar jika bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai rujukan perundang-undangan, termasuk dalam perkawinan. Pernikahan di dalam Islam merupakan sebuah peristiwa sakral yang mengandung makna bahwa pernikahan diyakini membawa keramat, suci, dan bermakna ibadah. Hal ini terutama karena melalui pernikahan terdapat peristiwa pendeklarasian sesuatu yang tadinya haram menjadi halal atas nama Allah swt. Laki-laki dan perempuan sebelum menikah haram hukumnya bersentuhan, apalagi berhubungan badan, akan tetapi, dengan adanya pernikahan yang dilakukan hanya dengan mengucapkan akad, sesuatu yang haram berubah menjadi halal, bahkan bernilai ibadah di sisi Allah swt.
Banyak orang yang menghalalkan sesuatu yang sebetulnya haram hukumnya dilakukan, misalnya orang yang melakukan zina. Akan tetapi, melalui akad yang dilakukan di depan penghulu, orang tua, wali, saksi, dan dilengkapi dengan berbagai persyaratan, maka hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tadinya haram berubah menjadi halal. Pernikahan merupakan sebuah upaya menuju terciptanya makhluk Tuhan yang ideal. Sejatinya, makhluk Tuhan hidup berpasang-pasangan (laki-laki dan perempuan). Tidak sempurna kehadiran manusia secara fisik bagi seseorang yang belum berpasangan (menikah).

Dalam tujuannya, UU perkawinan berfungsi sebagai landasan bagi pelaksanaan perkawinan dalam rangka menjaga nilai luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, dan berkualitas secara spiritual dan juga material. Secara spiritual, keluarga adalah wadah yang akan memberikan kekuatan spiritual dengan menjadikan anggotanya sebagai makhluk yang taat beragama. Dan secara material keluarga memberikan kesejahteraan bagi segenap anggotanya dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga.
2.      Rumusan Masalah
2.1. Apa pengertian hukum keluarga Islam di Indonesia?
2.2.Bagaimana sejarah hukum keluarga Islam di Indonesia?
2.3. Bagaimana konsep  peraturan hukum keluarga Islam di Indonesia?
3.      Tujuan Penulisan
3.1. Menjelaskan kepada mahasiswa pengertian hukum keluarga Islam di Indonesia.
3.2. Menjelaskan kepada mahasiswa sejarah hukum keluarga Islam di Indonesia.
3.3. Menjelaskan konsep  peraturan hukum keluarga Islam di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Perkawinan
Kata nikah berasal dari bahas Arab nikaahun yang merupakan masdar atau kata asal dari kata nakaha. Sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagaimana yang disebut perkawinan. Sedangkan secara bahasa kata nikah berarti adh-dhammu wattadkhul (bertindih dan memasukkan). Perkawinan menurut istilah sama dengan kata “nikah” dan kata “zawaj”[1].
Ulama golongan syafi’iyah memberikan definisi nikah melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedang sebelum akad berlangsung diantara keduanya tidak boleh bergaul. Sebagaimana dikalangan ulama syafi’i merumuskan pengertian nikah adalah :
عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ اِبَاحَةٌ الوَطْءٍ بِلَفْظٍ النِّكَاحِ اَوِ التَّزْوِيْجِ اَوْ مَعْنَهُمَا
Artinya :“Akad/perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja atau yang semakna dengan keduanya[2].
Sejalan dengan pendapat di atas, ulama Hanafiyah juga memberikan definisi sebagai berikut :
عَقْدٌ وَضْعٍ لِتَمْلِيْكِ المُتْعَةِ بِالأُنْثَى قَصْدًا
Artinya: “Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seoarang laki-laki menikmati kesenangan dengan seorang perempuan dengan sengaja” .
Definisi-definisi yang diberikan beberapa pendapat imam mazhab, para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat. Orang yang sudah berkeinginan untuk menikah dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina, sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah.
Selain itu nikah dalam arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dan seorang wanita.
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan adalah :” Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”[3].
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa: ”Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
2.      SEJARAH HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA
2.1. Masa Kerajaan di Indonesia
Sebagai mana kita ketahui bahwa dahulu di Indonesia pernah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu yang mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di daerah lain mendapat pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”, yaitu : Suatu zaman dimana nenek moyang kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. Pada zaman Hindu ini tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari Cina)[4].
Diantara kerajaan-kerajaan tersebut adalah kerajaan Sriwijaya, Singosari dan Majapahit. Pada zaman Majapahit hukum adat mendapat perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada, diantara usaha yang dilakukan patih Gajah Mada yaitu : membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal: soal perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan Negara. Keputusan pengadilan pada masa itu disebut : Jayasong (Jayapatra), Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada”[5].
Setelah kerajaan-kerajan bercorak hindu dan budha tersebut runtuh, kemudian di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Agama Islam masuk ke bumi Nusantara ini secara damai pada abad ke – 7 masehi atau bertepatan dengan abad ke- 1 hijriah, ada juga yang berpendapat pada tahun ke-30 hijriah atau bertepatan dengan tahun 650 masehi. Ketika wilayah Nusantara dikusai oleh para sultan, hukum Islam diberlakukan di dalam wilayah kekuasaanya dan sultan sendiri sebagai penanggung jawabnya. Sultan berperan aktif sebagai penata agama Islam dengan cara mengangkat penghulu sebagai qadhi syariah dan pemberi fatwa-fatwa agama. Manifestasi dari ketentuan ini dapat dilihat dari bentuk pemerintahan pada waktu itu, yaitu adanya alun-alun yang dikelilingi oleh pendopo kabupaten, Masjid Agung dan Lembaga Pemasyarakatan.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i[6]. Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.
2.2. Masa Penjajahan di Indonesia
Ketika Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-derah kekuasaanya sehingga kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya. Bentuk-bentuk kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara. Adapun kitab-kitab yang diterbitkan adalah “al-Muharrar” di Semarang, “Shirathal Mustaqim” yang ditulis oleh Nuruddin ar- Raniry di kerajaan Aceh dan kitab ini diberi syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary dengan judul “Sabilul al-Muhtadin” yang diperuntukkan untuk para Hakim di Kerapatan qadhi di Banjar Masin, kemudian kitab “Sajirat al- Hukmu” yang digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan Mataram.
Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freijer, mengikuti nama penghimpunnya. Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa)[7].
Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan masalah diantara mereka sendiri. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk menundukkan masyarakat jajahannya pada hukum dan badan peradilan yang mereka bentuk. Namun pada kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat berjalan, maka akhirnya Belanda membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat terus berjalan, sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya.
Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun1800- 1811. Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C. Van Den Berg bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yaitu Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori “Recepcio in Complex” yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2).
Dalam perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak sependapat dengan teori ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan nama teori “Receptie”.
Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi mengakui hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan hukum adatlah yang diakui. Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis :”sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat”[8]. Pada saat itu walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun dengan lahirnya peraturan ini jelas sangat merugikan umat Islam Indonesia. Seandainya ajaran Islam telah menjadi adat kebiasaan di suatu daerah, maka tentu tidak terlalu banyak menjadi persoalan. Seorang Muslim juga masih bisa melangsungkan pernikahan melalui Penghoeluegerecht. Namun bagimana dengan seorang muslim atau muslimah yang tinggal di lingkungan yang tidak agamis atau tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya non muslim, maka apakah juga harus melangsungkan pernikahan menurut adat daerah tersebut yang mungkin bertentangan dengan hukum Islam?
Dalam Indesche Staatsregeling (IS) pasal 131 ayat 2 ditulis; ”Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan...”.
Jika di amati secara seksama sebenarnya dari dua pasal di atas nampak jelas bagaimana upaya kolonoal Belanda berupaya menundukkan masyarakat dengan hukum mereka, tidak bisa secara paksa karena dikhawatirkan pemberontakan yang besar maka diupayakan jalan halus.
Walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun tidak ada peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa bahwa umat Islam harus mengurus masalah pernikahannya melalui penghoeluegerecht. Yang ada malah kelonggaran untuk menundukan diri pada hukum Belanda/BW/ KUH Perdata sendiri adalah kitab undang-undang yang secara asal dibuat untuk golongan warga negara bukan asli (Indonesia), yaitu untuk golongan warga yang berasal dari Tionghoa dan Eropa yang mana perundang-undangannya disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda.
2.3. Masa Setelah Kemerdekaan.
2.3.1.   Masa Orde Lama
Pemerintahan dimasa pasca kemerdekaan adalah pemerintahan dalam kepemimpinan orde lama (1945 – 1965), di era orde lama ini keinginan memiliki undang-undang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, ternyata belum juga terwujud. Beberapa peraturan hukum perkawinan peninggalan pemerintah Kolonial Belanda masih tetap diberlakukan bagi bangsa Indonesia menurut golongannya masing-masing. Hukum perkawinan yang berlaku adalah sebagai berikut :
1.      Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat.
2.      Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam.
3.      Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI).
4.      Bagi warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW).
5.      Bagi perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR.
Karena golongan Kristen dan warga Negara keturunan (Eropa dan Cina) telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan, maka dalam peraktik, jarang dijumpai permasalahan-permaslahan yang sulit. Ini berbeda dengan golongan Islam yang belum memiliki kodofikasi hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang dipedomani oleh ummat Islam masih tersebar dalam beberapa kitab fikih munakahat karya mujtahid dari Timur Tengah seperti imam Syafi’I misalnya. Pemahaman ummat Islam Indonesia terhadap kitab-kitab fikih munakahat tersebut sering tidak seragam, sehingga muncul kasus-kasus perkawinan seperti misalnya, perkawinan anak-anak, kawin paksa, serta penyalah gunaan hak talak dan poligami.
Keadaan demikian rupanya mendapat perhatian dari pemerintah Republik Indonesia, sehingga pada tahun 1946 atau tepatnya satu tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kemudian oleh Pemerintah Darurat RI di Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1946 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. Kemudian pada tahun 1954 melalui undaang-undang No. 32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Oleh karena desakan tersebut akhirnya pemerintah RI, pada akhir tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam[9]. Panitia ini menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Karena keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Tengku Hasan.
Tahun 1952 akhir, panitia membuat Rancangan Undang- Undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan memberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953. Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :
1.      Perkawinan didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksa ditetapkan batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan
2.      Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2.      Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur  hingga dapat memenuhi syarat keadilan.
3.      Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama.
4.      Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam.
5.      Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.
Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam rapatnya bulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-Undang Perkawinan menurut sistem yang berlaku :
1.      Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama.
2.      Undang-Undang Organik, yang mengatur soal perkawinan menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen Protestan;
3.      Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk suatu golongan agama agama.
Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat Rancangan Undang- Undang tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Kabinet akhir bulan September 1957 dengan penjelasan masih akan ada amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintah mengenai soal undang-undang perkawinan itu.
Pemerintah juga selama bertahun-tahun tidak memberikan tanggapan sampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita parlemen di bawah pimpinan Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting diantaranya, setidak-tidaknya bagi dunia Islam Indonesia sebuah masalah yang menggemparkan bahwa didalam usul inisiatif itu telah ditetapkan suatu keharusan untuk menjalankan monogami. Pemerintah pada waktu itu sudah memberikan reaksi dengan mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam.
Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, bulan Oktober 1959, Rancangan Undang-Undang Soemari tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah anggota DPR, Rancangan tersebut sepertinya tidak bepeluang untuk dibicarakan. Para anggota Partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami yang dikandung dalam Rancangan tersebut. Sudah barang tentu sebagai organisasi kaum perempuan memprotes argumentasi yang dipergunakan untuk membenarkan poligami. Hal tersebutlah sebagai faktor internal yang menyebabkan gagalnya RUU tersebut untuk diundangkan. Selain faktor tersebut, ada pula faktor ekternal yang kemudian muncul, yaitu terjadinya perubahan system ketatanegaraan RI akibat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sampai pemerintahan orde lama berakhir, undang-undang perkawinan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga terbentuk, kendatipun tuntutan untuk segera dibentuk undang-undang perkawainan terus bermunculan, baik yang datang dari pihak pemerintah maupun dari organisasi kemasyarakatan seperti misalnya dari Kongres Wanita Indonesia, Musyawarah Nasional Untuk Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), dan Konferensi BP4 Pusat (1962).
2.3.2.   Masa Orde Baru
Pada periode orde baru, dalam masa sidang 1967-1971 Parlemen (DPR-GR) membahas kembali RUU perkawinan, yaitu :
1.      RUU Perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama, yang diajukan kepada DPR-GR bulan Mei 1967.
2.      RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman, yang diajukan kepada DPR-GR bulan September 1968.
Pembahasan kedua RUU inipun pada akhirnya mengalami kemacetan, karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang menyangkut hukum agama. Menurut fraksi Katolik dalam “pokok-pokok pikirannya mengenai RUU Perkawinan”
Pada bulan Juli 1973, pemerintah melalui Departemen Kehakiman yang telah merumuskan RUU Perkawinan, mengajukan kembali RUU tersebut kepada DPR hasil pemilu tahun 1971, yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. Kemudian Presiden Soeharto dengan Amanatnya menarik kembali kedua RUU perkawinan yang disampaikan kepada DPR-GR dalam tahun 1967 tersebut di atas.
RUU perkawinan 1973 mendapat perlawanan dari kalangan Islam,  berpendapat bahwa RUU Perkawinan itu bertentangan dengan agama dan karenanya bertentangan pula dengan Pancasila dan UUD 1945. Menurut Amak FZ, kalau dinilai dari segi komposisi kekuatan fraksi-fraksi di DPR, dimana fraksi PPP yang merupakan satu-satunya fraksi yang menentang RUU karena bertentangan dengan ajaran Islam[10].
Gelombang penolakan dan reaksi terhadap RUU Perkawinan berdatangan dari berbagai komunitas, baik masyarakat, ulama dan pemerintah sendiri. Reaksi yang menjadi sorotan datang dari ketua fraksi PPP KH. Yusuf Hasyim yang telah mencatat berbagai kekeliruan dalam RUU Perkawinan dan bertentangan dengan Hukum Perkawinan, yaitu dalam negara yang berdasarkan pancasila yang berketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan unsur-unsur keagamaan dan kerohanian.
Apa yang disampaikan KH. Yusuf Hasyim tersebut bukan tanpa alasan, justru penolakan tersebut bersumber dari amanat Presiden RI Nomor R.02/P.U/VII/1973 perihal penarikan draf RUU Perkawinan dari DPR yang tujuannya lebih memperhatikan kemaslahatan umat. Sejalan dengan pendapat KH. Yusuf Hasyim, Buya HAMKA juga menolak tegas draf RUU Perkawinan tersebut yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. HAMKA menilai, pokok ajaran tasyriul Islamy bahwa yang dipelihara dalam syariat itu lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Dalam konteks pemeliharaan keturunan, memelihara agar jenis manusia tetap berkembang dan berketurunan, jangan sampai musnah karena kesia-siaan manusia. Oleh sebab itu, nikah adalah sunah rasul dan zina adalah perbuatan yang sangat keji. Meskipun dalam syariat Islam diharamkan kawin dengan saudara sesusuan, tetapi kalau di dalam draf RUU Perkawinan disahkan, maka perkawinan semacam itu disahkan negara. Anak yang dikandung di luar nikah gara-gara pertunangan dan pacaran sebelum nikah, dengan draf RUU tersebut boleh menjadi anak yang sah, walaupun Islam memandang anak itu adalah anak zina.
Dari 73 Pasal RUU Perkawinan, terdapat sejumlah Pasal yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut sebagian Ulama pada masa itu, sebenarnya secara hukum negara tidak bertentangan mutlak karena masih melihat kemaslahatan umat, antara lain penulis nukilkan pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan yang sekarang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat Indonesia, pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.
Dalam pandangan para ulama, sahnya perkawinan adalah pada saat akad nikah yang berupa ijab kabul oleh wali mempelai wanita dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, Islam tidak menolak adanya pencatat pernikahan yang fungsinya tidak lebih dari sekedar menuruti kebutuhan administratif pemerintahan dan tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Kemudian, yang menarik untuk disimak adalah ketentuan Pasal 49 ayat (1), (2), dan (3) RUU Perkawinan yang berbunyi :"1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. 2) Anak yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, dapat diakui oleh ayahnya. 3) Anak yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini, dapat disyahkan dengan perkawinan”. Menyikapi draf RUU Perkawinan inisiatif pemerintah tersebut, dalam musyawarah para ulama tanggal 24 Rajab 1393 H/22 Agustus 1973 di Denanyar Jombang atas prakarsa KH. M. Bisri Sjansuri, memutuskan usulan perubahan RUU Perkawinan.
Suatu RUU yang sudah nyata bertentangan dengan hukum Islam apabila tetap dipaksakan juga menjdi undang-undang, resikonya adalah undang-undang tersebut sulit untuk bisa berlaku efektif dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam, sebab bagi ummat Islam menaati suatu undang-undang yang bertentangan dengan hukm Islam, sama artinya dengan melakukan perbuatan haram. Selain itu bila dilihat dari segi huk ketatanegaraan, suatu undang-undang yang bertentangan dengan hukum (agama) Islam, merupakan pengingkaran atas jaminan yang telah diberikan oleh UUD 1945.
Jika dilihat dari sejarahnya pada waktu pembicaraan RUU perkawinan 1973 di DPR sesuai dengan tata tertib, dilakukan melalui empat tingkat. Tingakat pertama, merupakan penjelasan pemerintah atas RUU tersebut. Tingkat kedua, merupakan pandangan umum masing-masing Fraksi atas RUU tersebut dan tanggapan Pemerintah atas pandangan umum itu. Tingakat tiga, berupa rapat Komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX) ntuk membahas RUU tersebut, yang dalam hal ini diserahkan kepada suatu panitia yang diberi nama panitia kerja RUU perkawinan. Tingkat empat, pengambilan keputusan (pengesahan RUU perkawinan) dengan didahului pendapat terakhir (stemmotivering) dari masing-masing Fraksi.
Setelah mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang masuk dalam panitia kerja maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 tersebut diteruskan dalam Sidang Paripurna DPR-RI, sebagaimana pembicaraan tingkat empat di atas, untuk disahkan menjadi undang-undang. Dalam sidang tersebut semua Fraksi mengemukakan pendapatnya, demikian juga pemerintah yang diwakili menteri Kehakiman memberikan kata akhirnya. Pada hari itu juga RUU tentang perkawinan itu disahkan oleh DPR-RI setelah memakan waktu pembahasan tiga bulan lamanya. Pada tangga 2 Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. LN Nomor 1 tahun 1974, tambahan LN Nomor 3019/1974.
Untuk terlaksananya UU tersebut maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari UU perkawinan tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya ternyata Pengadilan Agama sebagai lembaga yuridis yang menangani masalah perkawinan antara orang-orang Islam ternyata dalam putusannya banyak yang disparitas dalam menerapkan hukum, oleh karena ada hal-hal yang tidak tercover dalam UU perkawinan dan PP peraturan pelaksananya, untuk menghendel hal tersebut maka melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan baku bagi para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara.
2.3.3.   Masa Reformasi
Pada tahun 1998 Rezim Orde Baru berakhir, dengan mundurnya Presiden Soeharto sebagai Presiden, akibat desakan dari mahasiswa. Dari sejak lengsernya pemerintahan orde lama tersebut maka pemerintahan berikutnya mendapat istilah dengan “era reformasi” sampai dengan sekarang ini.
Pada era reformasi hukum perkawinan mendapat suatu perubahan yang sangat fenomenal dengan diubahnya bunyi pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 oleh Mahkamah Konstitusi.
Tepatnya Jumat 17 Februari 2012 Masehi, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1433 Hijriah, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang revolusioner sepanjang sejarah MK di Republik ini. Sebagaimana dilangsir vivanews.com, Mahfud menilai putusan MK ini sangat penting dan revolusioner. Sejak MK mengetok palu, semua anak yang lahir di luar perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka. Di luar pernikahan resmi yang dimaksud Mahfud ini termasuk kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.
Sebelumnya, pihak Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono) juga mengajukan uji materil terhadap Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Namun, MK hanya mengabulkan sebagian dari permohonan Pemohon tersebut.
Dalam pandangan Prof. Mahfud MD, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Putusan ini lantas mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, bahkan masyarakat. Putusan MK mengenai pengakuan anak di luar perkawinan begitu “mengejutkan”. Walaupun melegakan sejumlah pihak, tapi akan ada permasalahan baru yang timbul dari putusan mahkamah konstitusi tersebut. Ditambah lagi pernyataan Mahfud MD di media massa sebagai mana yang utarakan di atas.
Permaslahan perkawinan yang fenomenal berikutnya adalah dengan menikahnya Bupati Garut “Aceng Fikri” secara di bawah tangan atau nikah sirri dan menceraikan isterinya tersebut dengan SMS, yang berakibat dipecatnya Aceng Fikri dari kursi Bupati. Permasalahan tersebut menurut sebahagian ahli hukum bukan merupakan perbuatan pidana karena tidak unsur zina didalamnya sebagaimana yang diatur KUHP, akan tetapi mengapa Aceng Fikri tetap juga dipecat dari jabatan Bupati.
Dari masalah-maslah yang muncul seperti di atas menurut para penulis, undang-undang perkawinan yang telah ada sekarang ini sudah sesuai dengan perkembangan zaman di Negara ini.
3.      KONSEP HUKUM KELUARGA DI INDONESIA
Pembentukan hukum keluarga di Indonesia, dalam arti pembangunan hukum Nasional sesungguhnya telah berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini belum dilakukan evaluasi secara mendasar dan komprehensif terhadap kinerja model hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Selama ini ukuran keberhasilan pembangunan hukum selalu dilihat dari segi jumlah produk hukum yang telah dihasilkan oleh lembaga yang berhak mengesahkan Undang-undang.
Dari perjalanan sejarah Indonesia, ia senantiasa berada dalam pengaruh kekuatan politik. Oleh karena itu, kongfigurasi pembentukan hukum islam di Indonesia selalu diiringi dengan verted interest politik. Di Indonesia, proses pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasinonal ditandai dengan masuknya beberapa aspek Islam ke dalam Undang-undang, baik yang langsung menyebutkan dengan istilah hukum Islam, maupun yang tidak menyebutkan langsung. Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional memang menimbulkan masalah baru, artinya harus ada unifikasi hukum meskipun memiliki sisi positif dalam hal memenuhi kebutuhan hukum bagi umat Islam. Untuk itu, dibutuhkan unifikasi dan ini tidak bisa terjadi dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan kekuatan politik. Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional tidak perlu seluruhnya dilakukan. Ketentuan hukum Islam yang perlu dijadikan hukum nasional adalah hukum yang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuatan negara dan berkorelasi dengan ketertiban hukum.
Dasar pertimbangan yang digunakan dalam menggunakan metode-metode tersebut di atas ada minimal 2 yakni : mashlahah mursalah dan konsep yang lebih sejalan dengan tuntutan dan perubahan zaman.
Adapun produk hukum nasional yang bersumber dari hukum Islam di bidang keluarga :
1.      Undang-Undang No 1/1974 tentang perkawinan  
Peranan hukum Islam dalam persoalan perkawinan bagi muslim Indonesia dengan jelas tercantum pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Bagi orang Islam di Indonesia, sahnya perkawinan adalah dilaksanakan sejalan dengan prinsip-prinsip hukum dalam Islam. Perkawinan yang merupakan perjanjian suci antara seorang pria dengan seorang wanita, menurut Islam seharusnya didasarkan atas asas :
a.       Kesuka-relaan,
b.      Persetujuan kedua belah pihak,
c.       Kebebasan memilih,
d.      Kemitraan suami dan isteri,
e.       Untuk selamanya.
2.      Kompilasi Hukum Islam.
Kompilasi hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini dari masa ke masa.
Pada umumnya, setiap aturan mengenai pernikahan terdapat di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) dan apabila adanya hukum yang belum tercantumkan didalam UU dan KHI, maka disitu dibutuhkan kejelian hakim untuk menafsirkan UU dn KHI untuk mendapatkan keadilan yang diinginkan oleh pihak pihak yang berpekara.
Adapun tujuan dari pernikahan adalah untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 21. Dan dengan adanya UU dan KHI maka tujuan dari pernikahan itu lebih terjaga dengan adanya konsekuensi-konsekuensi apabila terjadinya pelanggaran dalam pernikahan tersebut.
Undang-undang perkawinan juga mengatur hal ihwal tentang perkawinan dengan norma, kaidah, dan prinsip hukum Islam, seperti dalam masalah menentukan calon, khitbah, akad nikah, nafkah, perceraian, rujuk, dan sebagainya.



BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Hukum keluarga Indonesia terbagi dalam dua masa yaitu hukum keluarga prakemerdekaan dan hukum keluarga pascakemerdekaan. Hukum keluarga prakemerdekaan dibagi dua yaitu hukum keluarga prapenjajahan (prakolonial), dan hukum keluarga zaman penjajahan (kolonial). Dan hukum keluarga pascakemerdekaan dibagi dalam tiga yaitu hukum keluarga awal kemerdekaan, hukum keluarga sesudah tahun 1950, dan terbentuknya undang-undang perkawinan baru, dalam redaksi yang berbeda Prof. Khoiruddin Nasution membagi dengan sebutan Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Sehingga secara keseluruhan dibagi dalam lima bagian.
Di Indonesia, proses pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasinonal ditandai dengan masuknya beberapa aspek Islam ke dalam Undang-undang, baik yang langsung menyebutkan dengan istilah hukum Islam, maupun yang tidak, Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional memang menimbulkan masalah baru, artinya harus ada unifikasi hukum meskipun memiliki sisi positif dalam hal memenuhi kebutuhan hukum bagi umat Islam. Untuk itu, dibutuhkan unifikasi dan ini tidak bisa terjadi dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan kekuatan politik.
berdasarkan tulisan diatas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang dilakukan tanpa memenuhi persyaratan yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disahkan oleh badan pemerintahan maka dianggap tidak sah oleh Negara serta berdampak negatif bagi istri dan anak di kemudian hari apabila suami meninggal dunia.

DAFTAR PUSTAKA
Abd Shomat, “Hukum Islam Penoraman Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Goup, 2010).
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
  Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Khairul Bayan, 2004).
Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata , (Jakarta: PT. Intermasa), 1987
Amak FZ. "Proses Undang-Undang Perkawinan." 1976. (Bandung: PT Al-Ma’arif)


[1] Abd Shomat, “Hukum Islam Penoraman Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta
Prenada Media Goup, 2010), hlm 272.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan), hlm 37.
[3] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
[4] Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Khairul Bayan, 2004), hlm. 202.
[5] Ibid, hlm. 203.
[6] Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang), 1976, hlm. 53.
[7] Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982, hlm. 101.
[8] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata , (Jakarta: PT. Intermasa), 1987. hlm. 11
[9] Asro Soisroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang), 1978, hlm. 9
[10] Amak FZ. "Proses Undang-Undang Perkawinan." 1976. (Bandung: PT Al-Ma’arif), hlm. 7

0 Response to "Makalah Hukum Keluarga Islam di Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel