Perkembangan Filsafat Ilmu

Perkembangan Filsafat Ilmu 
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak perang dunia ke 2, yang telah menghancurkan kehidupan manusia, para Ilmuwan makin menyadari bahwa perkembangan ilmu dan pencapaiannya telah mengakibatkan banyak penderitaan manusia , ini tidak terlepas dari pengembangan ilmu dan teknologi yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai moral serta komitmen etis dan agamis pada nasib manusia , padahal Albert Einstein pada tahun 1938 dalam pesannya pada Mahasiswa California Institute of Technology mengatakan “ Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan perhatian pada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda, agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan (Jujun S Suriasumantri, 1999 : 249 ).
Akan tetapi penjatuhan bom di Hirosima dan Nagasaki tahun 1945 menunjukan bahwa perkembangan iptek telah mengakibatkan kesengsaraan manusia , meski disadari tidak semua hasil pencapaian iptek demikian, namun hal itu telah mencoreng ilmu dan menyimpang dari pesan Albert Einstein, sehingga hal itu telah menimbulkan keprihatinan filosof tentang arah kemajuan peradaban manusia sebagai akibat perkembangan ilmu (Iptek) .
Untuk itu nampaknya para filosof dan ilmuan perlu merenungi apa yang dikemukakan Harold H Titus dalam bukunya Living Issues in Pilosophy (1959), beliau mengutif beberapa pendapat cendikiawan seperti Northrop yang mengatakan “ it would seem that the more civilized we become , the more incapable of maintaining civilization we are”, demikian juga pernyataan Lewis Mumford yang berbicara tentang “the invisible breakdown in our civiliozation : erosion of value, the dissipation of human purpose, the denial of any dictinction between good and bad, right or wrong, the reversion to sub human conduct” (Harold H Titus, 1959 : 3)

Ungkapan tersebut di atas hanya untuk menunjukan bahwa memasuki dasawarsa 1960-an kecenderungan mempertanyakan manfaat ilmu menjadi hal yang penting, sehingga pada periode ini (1960-1970) dimensi aksiologis menjadi perhatian para filosof, hal ini tak lain untuk meniupkan ruh etis dan agamis pada ilmu, agar pemanfaatannya dapat menjadi berkah bagi manusia dan kemanusiaan , sehingga telaah pada fakta empiris berkembang ke pencarian makna dibaliknya atau seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Ismaun, M.Pd (2000 : 131) dari telaah positivistik ke telaah meta-science yang dimulai sejak tahun 1965.

Memasuki tahun 1970-an , pencarian makna ilmu mulai berkembang khususnya di kalangan pemikir muslim , bahkan pada dasawarsa ini lahir gerakan islamisasi ilmu, hal ini tidak terlepas dari sikap apologetik umat islam terhadap kemajuan barat, sampai-sampai ada ide untuk melakukan sekularisasi, seperti yang dilontarkan oleh Nurcholis Majid pada tahun 1974 yang kemudian banyak mendapat reaksi keras dari pemikir-pemikir Islam seperti dari Prof. H.M Rasyidi dan Endang Saifudin Anshori.

Mulai awal tahun 1980-an, makin banyak karya cendekiawan muslim yang berbicara tentang integrasi ilmu dan agama atau islamisasi ilmu, seperti terlihat dari berbagai karya mereka yang mencakup variasi ilmu seperti karya Ilyas Ba Yunus tentang Sosiologi Islam, serta karya-karya dibidang ekonomi, seperti karya Syed Haider Naqvi Etika dan Ilmu Ekonomi, karya Umar Chapra Al Qur’an, menuju sistem moneter yang adil, dan karya-karya lainnya , yang pada intinya semua itu merupakan upaya penulisnya untuk menjadikan ilmu-ilmu tersebut mempunyai landasan nilai islam.

Memasuki tahun 1990-an , khususnya di Indosesia perbincangan filsafat diramaikan dengan wacana post modernisme, sebagai suatu kritik terhadap modernisme yang berbasis positivisme yang sering mengklaim universalitas ilmu, juga diskursus post modernisme memasuki kajian-kajian agama.

Post modernisme yang sering dihubungkan dengan Michael Foccault dan Derrida dengan beberapa konsep/paradigma yang kontradiktif dengan modernisme seperti dekonstruksi, desentralisasi, nihilisme dsb, yang pada dasarnya ingin menempatkan narasi-narasi kecil ketimbang narasi-narasi besar, namun post modernisme mendapat kritik keras dari Ernest Gellner dalam bukunya Post modernism, Reason and Religion yang terbit pada tahun1992. Dia menyatakan bahwa post modernisme akan menjurus pada relativisme dan untuk itu dia mengajukan konsep fundamentalisme rasionalis, karena rasionalitas merupakan standar yang berlaku lintas budaya.

Disamping itu gerakan meniupkan nilai-nilai agama pada ilmu makin berkembang, bahkan untuk Indonesia disambut hangat oleh ulama dan masyarakat terlihat dari berdirinya BMI, yang pada dasarnya hal ini tidak terlepas dari gerakan islamisasi ilmu, khususnya dalam bidang ilmu ekonomi.

Dan pada periode ini pula teknologi informasi sangat luar biasa , berakibat pada makin pluralnya perbincangan/diskursus filsafat, sehingga sulit menentukan diskursus mana yang paling menonjol, hal ini mungkin sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Alvin Tofler sebagai The third Wave, dimana informasi makin cepat memasuki berbagai belahan dunia yang pada gilirannya akan mengakibatkan kejutan-kejutan budaya tak terkecuali bidang pemikiran filsafat.

Meskipun nampaknya prkembangan Filsafat ilmu erat kaitan dengan dimensi axiologi atau nilai-nilai pemanfaatan ilmu, namun dalam perkembangannya keadaan tersebut telah juga mendorong para akhli untuk lebih mencermati apa sebenarnya ilmu itu atau apa hakekat ilmu, mengingat dimensi ontologis sebenarnya punya kaitan dengan dimensi-dimensi lainnya seperti ontologi dan epistemologi, sehingga dua dimensi yang terakhir pun mendapat evaluasi ulang dan pengkajian yang serius. 

Diantara tonggak penting dalam bidang kajian ilmu (filsafat ilmu) adalah terbitnya Buku The Structure of Scientific Revolution yang ditulis oleh Thomas S Kuhn, yang untuk pertama kalinya terbit tahun 1962, buku ini merupakan sebuah karya yang monumental mengenai perkembangan sejarah dan filsafat sains, dimana didalamnya paradigma menjadi konsep sentral, disamping konsep sains/ilmu normal. Dalam pandangan Kuhn ilmu pengetahuan tidak hanya pengumpulan fakta untuk membuktikan suatu teori, sebab selalu ada anomali yang dapat mematahkan teori yang telah dominan. 

Pencapaian-pencapaian manusia dalam bidang pemikiran ilmiah telah menghasilkan teori-teori, kemudian teori-teori terspesifikasikan berdasarkan karakteristik tertentu ke daLam suatu Ilmu. Ilmu (teori) tersebut kemudian dikembangkan , diuji sehingga menjadi mapan dan menjadi dasar bagi riset-riset selanjutnya , maka Ilmu (sains) tersebut menjadi sains normal yaitu riset yang dengan teguh berdasar atas suatu pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek (riset) selanjutnya ( Thomas S Kuhn, 2000 :10 ) .

Pencapaian pemikiran ilmiah tersebut dan terbentuknya sains yang normal kemudian menjadi paradigma, yang berarti “apa yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat sains dan sebaliknya masyarakat sains terdiri atas orang yang memiliki suatu paradigma tertentu ( Thomas S Kuhn, 2000 : 171 ). Paradigma dari sains yang normal kemudian mendorong riset normal yang cenderung sedikit sekali ditujukan untuk menghasilkan penemuan baru yang konseptual atau yang hebat (. Thomas S Kuhn, 2000 : 134 ). Ini berakibat bahwa sains yang normal, kegunaannya sangat bermanfaat dan bersifat kumulatif. Teori yang memperoleh pengakuan sosial akan menjadi paradigma, dan kondisi ini merupakan periode ilmu normal. Kemajuan ilmu berawal dari perjuangan kompetisi berbagai teori untuk mendapat pengakuan intersubjektif dari suatu masyarakat ilmu. Dalam periode sain normal ilmu hanyalah merupakan pembenaran-pembenaran sesuai dengan asumsi-asumsi paaradigma yang dianut masyarakat tersebut, ini tidak lain dikarenakan paradigma yang berlaku telah menjadi patokan bagi ilmu untuk melakukan penelitian, memecahkan masalah, atau bahkan menyeleksi masalah-masalah yang layak dibicarakan dan dikaji

Akan tetapi didalam perkembangan selanjutnya ilmuwan banyak menemukan hal-hal baru yang sering mengejutkan, semua ini diawali dengan kesadaran akan anomali atas prediksi-prediksi paradigma sains normal, kemudian pandangan yang anomali ini dikembangkan sampai akhirnya ditemukan paradigma baru yang mana perubahan ini sering sangat revolusioner. Paradigma baru tersebut kemudian melahirkan sain normal yang baru sampai ditemukan lagi paradigma baru berikutnya. Bila digambarkan nampak sebagai berikut :

Paradigma Baru 
Pencapaian sain normal dan paradigma baru bukanlah akhir , tapi menjadi awal bagi proses perubahan paradigma dan revolusi sains berikutnya, bila terdapat anomali atas prediksi sains normal yang baru tersebut. Pendapat Kuhn tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa secara substansial kebenaran ilmu bukanlah sesuatu yang tak tergoyahkan, suatu paradigma yang berlaku pada suatu saat, pada saat yang lain bisa tergantikan dengan paradigma baru yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat ilmiah, itu berarti suatu teori sifatnya sangat tentatif sekali. 

Ciri-Ciri Ilmu Modern
Dalam bab terdahulu telah dikemukakan ciri-ciri dari suatu ilmu, ciri-ciri tersebut pada prinsipnya merupakan suatu yang normatif dalam suatu disiplin keilmuan. Namun dalam perkembangannya ilmu khususnya teknologi sebagai aplikasi dari ilmu telah banyak mengalami perubahan yang sangata cepat, perubahan ini berdampak pada pandangan masyarakat tentang hakekat ilmu, perolehan ilmu, serta manfaatnya bagi masyarakat, sehingga ilmu cenderung dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dalam mendasari berbagai kebijakan kemasyarakatan, serta telah menjadi dasar penting yang mempengaruhi penentuan prilaku manusia. Keadaan ini berakibat pada karakterisasi ciri ilmu modern, adapun ciri-ciri tersebut adalah :

  1. Bertumpu pada paradigma positivisme. Ciri ini terlihat dari pengembangan ilmu dan teknologi yang kurang memperhatikan aspek nilai baik etis maupun agamis, karena memang salah satu aksioma positivisme adalah value free yang mendorong tumbuhnya prinsip science for science.
  2. Mendorong pada tumbuhnya sikap hedonisme dan konsumerisme. Berbagai pengembangan ilmu dan teknologi selalu mengacu pada upaya untuk meningkatkan kenikmatan hidup , meskipun hal itu dapat mendorong gersangnya ruhani manusia akibat makin memasyarakatnya budaya konsumerisme yang terus dipupuk oleh media teknologi modern seperti iklan besar-besaran yang dapat menciptakan kebutuhan semu yang oleh Herbert Marcuse didefinisikan sebagai kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya (M. Sastrapatedja, 1982 : 125)
  3. Perkembangannya sangat cepat . Pencapaian sain ddan teknologi modern menunjukan percepatan yang menakjubkan , berubah tidak dalam waktu tahunan lagi bahkan mungkin dalam hitungan hari, ini jelas sangat berbeda denngan perkembangan iptek sebelumnya yang kalau menurut Alfin Tofler dari gelombang pertama (revolusi pertanian) memerlukan waktu ribuan tahun untuk mencapai gelombang ke dua (revolusi industri, dimana sebagaimana diketahui gelombang tersebut terjadi akibat pencapaian sains dan teknologi.
  4. Bersifat eksploitatif terhadap lingkungan. Berbagai kerusakan lingkungan hidupdewasa ini tidak terlepas dari pencapaian iptek yang kurang memperhatikan dampak lingkungan.
Paradigma Ilmu Modern Menurut Beberapa Aliran
Secara historis paradigma sains telah mengalami tahapan-tahapan perubahan sebagaimana dikemukakan oleh S Nasution dalam bukunya “Metode penelitian naturalistik kualitatif (1996 : 3). Tahap pertama disebut masa pra-positivisme, yang diawali dari jaman Aristiteles sampai David Hume, dimana aplikasinya dalam penelitian adalah mengamati secara pasif, tidak ada upaya memanipulasi lingkungan dan melakukan eksperimen terhadap lingkungan . Tahapan ini kemudian berganti dengan tahapan positivisme, dimana paradigma ini menjadi dasar bagi metode ilmiah dengan bentuk penelitian kuantitatif , yang mencoba mencari prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum tentang dunia kenyataan . Paradigma berikutnya yang muncul adalah paradigma post positivisme sebagai reaksi atas pendirian positivisme, dimana dalam pandangan ini, kebenaran bukan sesuatu yang tunggal (it is an increasing complexity) sebagaimana diyakini positivisme.

Namun demikian paradigma yang paling menonjol di jaman modern ini nampaknya adalah positivisme, meskipun ada beberapa sempalan dalam positivisme itu (Ahmad Sanusi, Majalah Matahari : 12). Untuk lebih mengetahuiberbagai paradigma sains modern, penulis sajikan tabel berikut yang dikutip oleh Ahmad Sanusi dalam Majalah Matahari halaman 12 sebagai berikut : 

Realitas yang memisah 
Paradigma-paradigma yang tercantum dalam tabel tersebut masih dapat dikelompokan pada kategori yang sama atau mendekati. Dilihat dari esensi ontologisnya paradigma positivistik sama dengan pengamat partisipan yakni bahwa realitas itu terpisah, paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis, sedang paradigma formalistik strukturalis sama dengan paradigma interpretatif. Dilihat dari sumber, positivistik sama dengan pengamat partisipan dan mendekati paradigma interpretatif serta formalistik strukturalis, sedangkan paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis.

Dari segi bentuk pengetahuan, positivistik sama dengan formalistik, interpretatif sama dengan teoritis, sedangkan paradigma kritis sama dengan paradigma pengamat partisipan , demikian juga dilihat dari segi model verifikasi banyak kesamaannya, hanya dari tugas dan titik berat keenam paradigma itu berbeda.

Namun demikian paradigma yang paling menonjol sekarang ini adalah paradigma positivistik, dimana kenyataan menunjukan paradigma ini banyak memberikan sumbangan bagi perkembangan teknologi dewasa ini , akan tetapi tidak berarti paradigma lainnya tidak berperan , peranannya tetap ada terutama dalam hal-hal yang tak dapat dijelaskan oleh paradigma positivistik , hal ini terlihat dengan berkembangnya paradigma naturalistik yang telah mendorong berkembangnya penelitian kualitatif . oleh karena itu nampaknya paradigma-paradigma tersebut tidak bersifat saling menghilangkan tapi lebih bersipat saling melengkapi , hal ini didasari keyakinan betapa kompleksnya realitas dunia dan kehidupan di dalamnya.

Bidang Kajian Dan Masalah-Masalah Dalam Filsafat Ilmu 
Bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus mengalami perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan ilmu yang makin intens. Bidang kajian yang menjadi telaahan filsafat ilmu pun berkembang dan diantara para akhli terlihat perbedaan dalam menentukan lingkup kajian filsafat ilmu, meskipun bidang kajian iduknya cenderung sama, sedang perbedaan lebih terlihat dalam perincian topik telaahan. Berikut ini beberapa pendapat akhli tentang lingkup kajian filsafat ilmu :
1. Edward Madden menyatakan bahwa lingkup/bidang kajian filsafat ilmu adalah:

  • Probabilitas
  • Induksi
  • Hipotesis
2. Ernest Nagel

  • Logical pattern exhibited by explanation in the sciences
  • Construction of scientific concepts
  • Validation of scientific conclusions
3. Scheffer

  • The role of science in society
  • The world pictured by science
  • The foundations of science
Dari beberapa pendapat di atas nampak bahwa semua itu lebih bersifat menambah terhadap lingkup kajian filsafat ilmu, sementara itu Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu. Dalam bentuk pertanyaan, pada dasar filsafat ilmu merupakan telahaan berkaitan dengan objek apa yang ditelaah oleh ilmu (ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistemologi), dan bagaimana manfaat ilmu (axiologi), oleh karena itu lingkup induk telaahan filsafat ilmu adalah :

  1. ontologi
  2. epistemologi
  3. axiologi
ontologi berkaitan tentang apa obyek yang ditelaah ilmu, dalam kajian ini mencakup masalah realitas dan penampakan (reality and appearance), serta bagaimana hubungan ke dua hal tersebut dengan subjek/manusia. Epistemologi berkaitan dengan bagaimana proses diperolehnya ilmu, bagaimana prosedurnya untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang benar. Axiologi berkaitan dengan apa manfaat ilmu, bagaimana hubungan etika dengan ilmu, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan.

Ruang lingkup telaahan filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan di atas di dalamnya sebenarnya menunjukan masalah-masalah yang dikaji dalam filsafat ilmu, masalah-masalah dalam filsafat ilmu pada dasarnya menunjukan topik-topik kajian yang pastinya dapat masuk ke dalam salahsatu lingkup filsafat ilmu. Adapun masalah-masalah yang berada dalam lingkup filsafat ilmu adalah (Ismaun) :

  1. masalah-masalah metafisis tentang ilmu
  2. masalah-masalah epistemologis tentang ilmu
  3. masalah-masalah metodologis tentang ilmu
  4. masalah-masalah logis tentang ilmu
  5. masalah-masalah etis tentang ilmu
  6. masalah-masalah tentang estetika
metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, karena sebenarnya metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti adanya Tuhan. Epistemologi merupakan teori pengetahuan dalam arti umum baik itu kajian mengenai pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, maupun pengetahuan filosofis, metodologi ilmu adalah telaahan atas metode yang dipergunakan oleh suatu ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun dalam hal validitas metodenya. Masalah logis berkaitan dengan telaahan mengenai kaidah-kaidah berfikir benar, terutama berkenaan dengan metode deduksi. Problem etis berkaitan dengan aspek-aspek moral dari suatu ilmu, apakah ilmu itu hanya untuk ilmu, ataukah ilmu juga perlu memperhatikan kemanfaatannya dan kaidah-kaidah moral masyarakat. Sementara itu masalah estetis berkaitan dengan dimensi keindahan atau nilai-nilai keindahan dari suatu ilmu, terutama bila berkaitan dengan aspek aplikasinya dalam kehidupan masyarakat.

Kebenaran Ilmu
Ilmu pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk menjelaskan berbagai fenomena empiris yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut adalah untuk memperoleh suatu pemahaman yang benar atas fenomena tersebut. Terdapat kecenderungan yang kuat sejak berjayanya kembali akal pemikiran manusia adalah keyakinan bahwa ilmu merupakan satu-satunya sumber kebanaran, segala sesuatu penjelasan yang tidak dapat atau tidak mungkin diuji, diteliti, atau diobservasi adalah sesuatu yang tidak benar, dan karena itu tidak patut dipercayai.

Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah dapat dijawab dengan ilmu, banyak sekali hal-hal yang merupakan konsern manusia, sulit, atau bahkan tidak mungkin dijelaskan oleh ilmu seperti masalah Tuhan, Hidup sesudah mati, dan hal-hal lain yang bersifat non – empiris. Oleh karena itu bila manusia hanya mempercayai kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, maka dia telah mempersempit kehidupan dengan hanya mengikatkan diri dengan dunia empiris, untuk itu diperlukan pemahaman tentang apa itu kebenaran baik dilihat dari jalurnya (gradasi berfikir) maupun macamnya.

Bila dilihat dari gradasi berfikir kebenaran dapat dikelompokan kedalam empat gradasi berfikir yaitu :

  1. kebenaran biasa. Yaitu kebenaran yang dasarnya adalah common sense atau akal sehat. Kebenaran ini biasanya mengacu pada pengalaman individual tidak tertata dan sporadis sehingga cenderung sangat subjektif sesuai dengan variasi pengalaman yang dialaminya. Namun demikian seseorang bisa menganggapnya sebagai kebenaran apabila telah dirasakan manfaat praktisnya bagi kehidupan individu/orang tersebut.
  2. Kebenaran Ilmu. Yaitu kebenaran yang sifatnya positif karena mengacu pada fakta-fakta empiris, serta memungkinkan semua orang untuk mengujinya dengan metode tertentu dengan hasil yang sama atau paling tidak relatif sama.
  3. Kebenaran Filsafat. Kebenaran model ini sifatnya spekulatif, mengingat sulit/tidak mungkin dibuktikan secara empiris, namun bila metode berfikirnya difahami maka seseorang akan mengakui kebenarannya. Satu hal yang sulit adalah bagaimana setiap orang dapat mempercayainya, karena cara berfikir dilingkungan filsafatpun sangat bervariasi.
  4. kebenaran Agama. Yaitu kebenaran yang didasarkan kepada informasi yang datangnya dari Tuhan melalui utusannya, kebenaran ini sifatnya dogmatis, artinya ketika tidak ada kefahaman atas sesuatu hal yang berkaitan dengan agama, maka orang tersebut tetap harus mempercayainya sebagai suatu kebenaran. 
Dari uraian di atas nampak bahwa maslah kebenaran tidaklah sederhana, tingkatan-tingkatan/gradasi berfikir akan menentukan kebenaran apa yang dimiliki atau diyakininya, demikian juga sifat kebenarannya juga berbeda. Hal ini menunjukan bahwa bila seseorang berbicara mengenai sesuatu hal, dan apakah hal itu benar atau tidak, maka pertama-tama perlu dianalisis tentang tataran berfikirnya, sehingga tidak serta merta menyalahkan atas sesuatu pernyataan, kecuali apabila pembicaraannya memang sudah mengacu pada tataran berfikir tertentu.

Dalam konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan perhatian yang srius, pembicaraan masalah ini berkaitan dengan validitas pengetahuan/ilmu, apakah pengetahuan yang diliki seseorang itu benar/valid atau tidak, untuk itu para akhli mengemukakan berbagai teori kebenaran (Theory of Truth), yang dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis teori kebenaran yaitu :

  1. Teori korespondensi (The Correspondence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran, atau sesuatu itu dikatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara suatu pernyataan dengan faktanya (a proposition - or meaning - is true if there is a fact to which it correspond, if it expresses what is the case). Menurut White Patrick “truth is that which conforms to fact, which agrees with reality, which corresponds to the actual situation. Truth, then can be defined as fidelity to objective reality”. Sementara itu menurut Rogers, keadaan benar (kebenaran) terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang terdapat di dalam objeknya. Contoh : kalau seseorang menyatakan bahwa Kualalumpur adalah ibukota Malayasia, maka pernyataan itu benar kalu dalam kenyataannya memang ibukota Malayasia itu Kualalumpur. 
  2. Teori Konsistensi (The coherence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah keajegan antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah diakui kebenarannya, jadi suatu proposisi itu benar jika sesuai/ajeg atau koheren dengan proposisi lainnya yang benar. Kebenaran jenis ini biasanya mengacu pada hukum-hukum berfikir yang benar. Misalnya Semua manusia pasti mati, Uhar adalah Manusia, maka Uhar pasti mati, kesimpulan uhar pasti mati sangat tergantung pada kebenaran pernyataan pertama (semua manusia pasti mati).
  3. Teori Pragmatis (The Pragmatic theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah sesuatu yang dapat berlaku, atau dapat memberikan kepuasan, dengan kata lain sesuatu pernyataan atau proposisi dikatakan benar apabila dapat memberi manfaat praktis bagi kehidupan, sesuatu itu benar bila berguna.
Teori-teori kebenaran tersebut pada dasarnya menunjukan titik berat kriteria yang berbeda, teori korespondensi menggunakan kriteria fakta, oleh karena itu teori ini bisa disebut teori kebenaran empiris, teori koherensi menggunakan dasar fikiran sebagai kriteria, sehingga bisa disebut sebagai kebenaran rasional, sedangkan teori pragmatis menggunakan kegunaan sebagai kriteria, sehingga bisa disebut teori kebenaran praktis. 

Keterbatasan Ilmu
Hubungan antara filsafat dengan ilmu yang dapat terintegrasi dalam filsafat ilmu, dimana filsafat mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ilmu, menunjukan adanya keterbatasan ilmu dalam menjelaskan berbagai fenomena kehidupan. Disamping itu dilingkungan wilayah ilmu itu sendiri sering terjadi sesuatu yang dianggap benar pada satu saat ternyata disaat lain terbukti salah, sehingga timbul pertanyaan apakan kebenaran ilmu itu sesuatu yang mutlak ?, dan apakah seluruh persoalan manusia dapat dijelaskan oleh ilmu ?. pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya menggambarkan betapa terbatasnya ilmu dalam mengungkap misteri kehidupan serta betapa tentatifnya kebenaran ilmu.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya diungkapkan pendapat para akhli berkaitan dengan keterbatasan ilmu, para akhli tersebut antara lain adalah :

  1. Jean Paul Sartre menyatakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian dan percobaan baru yang dilakukan dengan metode-metode baru atau karena adanya perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna, dan penemuan baru tiu akan disisihkan pula oleh akhli-akhli lainnya.
  2. D.C Mulder menyatakan bahwa tiap-tiap akhli ilmu menghadapi soal-soal yang tak dapat dipecahkan dengan melulu memakai ilmu itu sendiri, ada soal-soal pokok atau soal-soal dasar yang melampaui kompetensi ilmu, misalnya apakah hukum sebab akibat itu ?, dimanakah batas-batas lapangan yang saya selidiki ini?, dimanakah tempatnya dalam kenyataan seluruhnya ini?, sampai dimana keberlakuan metode yang digunakan?. Jelaslah bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ilmu memerlukan instansi lain yang melebihi ilmu yakni filsafat.
  3. Harsoyo menyatakan bahwa ilmu yang dimiliki umat manusia dewasa ini belumlah seberapa dibandingkan dengan rahasia alam semesta yang melindungi manusia. Ilmuwan-ilmuwan besar biasanya diganggu oleh perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak, bahwa yang diketahui itu masih meragu-ragukan, serba tidak pasti yang menyebabkan lebih gelisah lagi, dan biasanya mereka adalah orang-orang rendah hati yang makin berisi makin menunduk. Selain itu Harsoyo juga mengemukakan bahwa kebenaran ilmiah itu tidaklah absolut dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang sebelumnya tidak diketahui.
  4. J. Boeke menyatakan bahwa bagaimanapun telitinya kita menyelidiki peristiwa-peristiwa yang dipertunjukan oleh zat hidup itu, bagaimanapunjuga kita mencoba memperoleh pandangan yang jitu tentang keadaan sifatzat hidup itu yang bersama-sama tersusun, namun asas hidup yang sebenarnya adalah rahasiah abadi bagi kita, oleh karena itu kita harus menyerah dengan perasaan saleh dan terharu.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, nampak bahwa ilmu itu tidak dapat dipandang sebagai dasar mutlak bagi pemahaman manusia tentang alam, demikian juga kebenaran ilmu harus dipandang secara tentatif, artinya selalu siap berubah bila ditemukan teori-teori baru yang menyangkalnya. Dengan demikian dpatlah ditarik kesimpulan berkaitan dengan keterbatasan ilmu yaitu :

  1. ilmu hanya mengetahui fenomena bukan realitas, atau mengkaji realitas sebagai suatu fenomena (science can only know the phenomenal, or know the real through and as phenomenal - R. Tennant) 
  2. Ilmu hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena alam/kehidupan manusia dan lingkungannya
  3. kebenaran ilmu bersifat sementara dan tidak mutlak
keterbatasan tersebut sering kurang disadari oleh orang yang mempelajari suatu cabang ilmu tertentu, hal ini disebabkan ilmuwan cenderung bekerja hanya dalam batas wilayahnya sendiri dengan suatu disiplin yang sangat ketat, dan keterbatasan ilmu itu sendiri bukan merupakan konsern utama ilmuwan yang berada dalam wilayah ilmu tertentu. 
II.9 Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu berusaha mengkaji hal tersebut guna menjelaskan hakekat ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang padu mengenai berbagai fenomena alam yang telah menjadi objek ilmu itu sendiri, dan yang cenderung terfragmentasi. Untuk itu filsafat ilmu bermanfaat untuk :

  • Melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu
  • Melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu
  • Menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh kebenaran
  • Menghidarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang lain di luar bidang ilmunya.

0 Response to "Perkembangan Filsafat Ilmu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel