Makalah Pengertian Penghapusan Pidana - Hukum Pidana

A.    Pengertian Penghapusan Pidana
Alasan penghapus pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda strafuitsluitingsgrond, yang dapat diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan ….. tetapi tidak dibuktikan oleh terdakwa) yang jika dipenuhi menyebabkan ….. meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi …. dijatuhi pidana. KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan alasan penghapus pidana dan perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf. KUHP hanya menyebutkan hal-hal yang dapat menghapuskan pidana saja. Pembahasan mengenai hal tersebut berkembang melalui doktrin dan yurispridensi.
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Meskipun KUHPidana yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan tetapi KUHPidana sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang alasan penghapus pidana tersebut.
Pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, ada istilah “gugurnya hak penuntutan” atau hapusnya hak penuntutan dan hapusnya pidana. Pembentuk undang-undang telah membuat sejumlah ketentuan yang bersifat khusus, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun di dalam perundang-undangan lainnya, di dalam keadaaan mana ketentuan-ketentuan pidana yang ada itu dianggap sebagai tidak dapat diberlakukan, hingga penuntut umum pun tidak dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana tersebut, dan apabila penuntut umum telah melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana termaksud di atas, maka hakim pun tidak dapat mengadili pelaku tersebut, oleh karena di disitu terdapat sejumlah keadaan-keadaan yang telah membuat tindakan dari pelaku itu menjadi tidak bersifat melawan hukum ataupun yang telah membuat pelakunya itu menjadi tidak dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakannya.
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.
Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan, alasan penghapus pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat.

B.     Alasan Penghapusan Pidana
Dalam hukum pidana, seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dapat dipidana bila memenuhi dua hal, yaitu:
1.      perbuatannya bersifat melawan hukum.
Perbuatan yang didakwakan tersebut harus terbukti memenuhi rumusan tindak pidana yang didakwakan (melawan hukum formal), bertentangan dengan tata nilai atau norma-norma hukum yang berlaku umum dalam masyarakat (melawan hukum materiil) dan tidak ada alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan tersebut (alasan pembenar).
2.      Pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan (adanya kesalahan pelaku) atau perbuatan tersebut dapat dicelakan kepada pelakunya dan tidak ada alasan pemaaf.
Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, dapat mengajukan alasan pembelaan atau alasan penghapusan pidana. Alasan dapat bersifat umum (disebut general defence), artinya dapat diajukan untuk kejahatan atau tindak pidana pada umumnya, dan dapat pula bersifat khusus (disebut special defence) yang hanya dapat diajukan untuk kejahatan atau tindak pidana tertentu.
Yang termasuk general defences antara lain:
a.       Compulsion (Paksaan).
b.      Intoxication (Keracunan/mabuk alkohol).
c.       Automatism (Gerakan refkleks).
d.      Insanity (Kegilaan/ ketidakwarasan).
e.       Infancy (anak dibawah umur).
f.       Consent of the victim (Persetujuan korban).[1]
Yang termasuk special defence antara lain:
a.       Dalam hal delik abortus, apabila hal itu dilakukan berdasarkan alasan-alasan, antara lain:
1.      kehamilan itu (apabila diteruskan) akan membahayakan keselamatan jiwa si ibu.
2.      kemungkinan anak yang lahir akan menderita cacat fisik atau cacat mental yang cukup serius.
b.      Dalam hal menerbitkan atau mempublikasikan tulisan-tulisan cabul, apabila hal itu dibenarkan demi kebaikan umum, demi kepentingan ilmu pengetahuan, seni dan sebagainya.[2]

C.    Dasar Penghapus Pidana
Harus dibedakan antara dasar peniadaan pidana, seperti penulis diuraikan dengan dasar peniadaan penuntutan. Dasar peniadaan ditujukan kepada hakim, sedangkan dasar peniadaan penuntutan ditujukan kepada penuntut umum. Seperti telah diuraikan, bahwa dasar peniadaan pidana terbagi atas dua bagian, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf. Ditinjau dari pandangan dualistis maka dasar pembenar meniadakan sifat melawan hukumnya perbuatan, dan terdakwa seharusnya dibebaskan, sedangkan bilaman terdapat dasar pemaaf berarti perbuatan kriminal terdakwa terbukti, tetapi pembuat delik dimaafkan.[3]
Suatu contoh tentang dasar penghapusan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan telah lewat waktu. Dalam hal lewat waktu ini, penuntut umum tidak dapat lagi melakukan penuntutan: seandainya penuntut umum mengadakan penuntutan, maka akan ditolak oleh hakim atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
Hilangnya hak menuntut karena lewat waktu diatur dalam pasal 78 KUHP sedangkan hapusnya hak menuntut karena diatur didalam pasal 76 KUHP. Di situ dikatakan “kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah, maka orang tidak dapat dituntut sekali lagi sebab perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim Indonesia dengan keputusan yang telah tetap.[4]

D.    Pembagian Alasan Penghapus pidana
Di dalam titel ketiga dari buku pertama KUHP, terdapat hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pidana, yaitu:
1.      Tak mampu bertanggung jawab, dalam Pasal 44 (1) yaitu:
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dpertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana”.
2.      Belum berumur 16 tahun  , dalam Pasal 45 yaitu:
“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, pemeliharanya, tanpa pidana apapun: atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun”.
3.      Daya Paksa (overmacht), dalam Pasal 48 yaitu:
“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
4.      Pembelaan terpaksa, dalam Pasal 49 (1) dan (2) yaitu:
Ayat (1) “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kahormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
Ayat (2) “pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.
5.      Ketentuan Udang-undang, dalam Pasal 50 yaitu:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”.
6.      Perintah jabatan, dalam Pasal 51 (1) dan (2) yaitu:
Ayat (1) “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksakan perintah jabatan yang di berikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”
Ayat (2) “perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira perintah diberikan dengan wewenang dan pelksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.
7.      Pemberatan karena jabatan, dalam Pasal 52 yaitu:
“bila seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekkuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat di tambah sepertiga”.[5]
Selain itu, terdapat pula didalam buku ke dua KUHP yaitu Pasal 310 ayat 3. Menurut Prof. Moeljatno, S.H alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi:
1.      Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar, yang termasuk alasan pembenar yaitu :
a.       Keadaan darurat, diatur dala Pasal 48 KUHP
Dalam keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan jika (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan) ;
1.      tidak ada jalan lain.
2.      kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan.
Contohnya ; seseorang terjun ke dalam sungai untuk menolong seorang anak kecil yang terhanyut, sementara di sungai tersebut terdapat tulisan dilarang berenang.
b.      Pembelaan terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.
Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan) yaitu:
1.      Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan, kesusilaan atau harta benda;
2.      Serangan itu bersifat melawan hukum;
3.      Pembelaan merupakan keharusan;
4.      Cara pembelaan adalah patut.
c.       Melaksanakan ketentuan undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP.
Dalam hal ini, terdapat hal dimana ada perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seseorang harus melanggar kewajiban hukum lainnya. Dalam melaksanakan ketentuan UU tersebut, kewajiban yang terbesar yang harus diutamakan.
Contohnya; seorang juru sita yang mengosongkan sebuah rumah dengan menaruh isi rumah dijalan, dimana pada dasarnya menyimpan prabot di jalan adalah dilarang, namun karena ketentuan dari pengadilan atau putusan pengadilan, sehingga perbuatannya tersebut tidak dapa dipidana.
2.      Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum. Jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak di pidana, yang termasuk dalam alasan pemaaf yaitu:
a.       Tidak mampu bertanggungjawab, diatur dalam Pasal 44 KUHP;
Dalam Pasal 44 KUHP, membedakan pertanggungjawaban dalam dua kategori yaitu cacat dalam pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.
Yang dimaksud gangguan adalah gangguan sejak lahir atau sejak remaja tumbuh dengan normal namun dikemudian hari muncul kelainan jiwa. Pada dasarnya cacat atau gangguan penyakit muncul pada saat perbuatan atau tindak pidana, dan ketika perbuatan itu dilakukan ada hubungan antara gangguan jiwanya dengan perbuatannya.
b.      Daya paksa, diatur dalam Pasal 48 KUHP;
Dalam memori penjelasan Pasal 48 KUHP (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 61), daya paksa adalah “setiap daya, setiap dorongan, atau setiap paksaan yang tidak dapat dilawan”.
Contoh : sebuah kapal tenggelam, ada dua penumpang yang berpegang pada papan yang sama, dimana papan tersebut hanya kuat menahan 1 orang. Karena takut akan mati tenggelam, maka salah seorang mendorong yang lainnya.
c.       Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP.
Pasal 49 ayat (2) KUHP berbunyi : “orang yang melampaui batas pembelaan yang perlu jika perbuatan tersebut dilakukannya karena sangat panas hatinya disebabkan oleh serang itu, tidak dipidana”. yang dimaksud dengan melampaui  pembelaan yang perlu ialah tidak seimbang antara pembelaan yang diberikan dengan akibat yang timbul. Hal ini disebabkan antara lain alat yang digunakan untuk membela diri tidak seimbang dengan alat yang digunakan lawannya. (misalnya; mempergunakan sepotong besi sedangkan lawannya rotan). Pembelaan melampaui batas (Noodweer exces) adalah suatu alasan pemaaf (schulduitluitingsgrond) karena perbuatan yang melampaui batas pembelaan itu tetap melawan hukum hanya pembuat yang tidak mempunyai kesalahan.
d.      Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak wewenang.
Pasal 51 ayat (2) KUHP berbunyi: “Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiabn pegawai yang dibawah perintah tadi”.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) menerangkan melaksanakan  Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak wenang tidak dipidana, asalkan oleh pembuat yang melaksanakan perintah jabatan itu dipenuhi syarat:
a.       Secara subyektif yang diperintah itu tegoedertrouw yaitu dalam batin yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah itu tidak sah, jadi ada salah kira dari pihak yang diperintah dan,
b.      Secara obyektif adalah masuk akal karena perintah jabatan yang tidak sah itu masih dalam lingkungan pekerjaannya.
3.      Alasan penuntutan, disini masalahnya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Jadi, tidak ada pikiran mengenai sifat perbuatan maupun sifat orang yang melakukan perbuatan. Yang menjadi pertimbangan disini ialah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak di tuntut, tentunya yang melakukan perbuatan tak dapat dijatuhi pidana. Contoh: Pasal 53 kalau terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya untuk melakukan suatu kejahatan.[6]
Alasan-alasan yang dimuat dalam perundang-undangan untuk hapusnya hak penuntutan adalah:
1.      Adanya suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Hal ini diatur dalam pasal 76 KUHP yang berbunyi : “kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah,orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim di Indonesia dengan putusan yang telah tetap”.
Apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap, upaya hukum tidak dapat digunakan lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut,dapat berupa:
a.       Putusan bebas.
b.      Putusan lepas dari segala tuntutan hokum.
c.       Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum.
d.      Putusan pemidanaan.
2.      Kematian orang yang melakukan delik
Hal ini diatur dalam pasal 77 KUHP yang berbunyi: “hak menuntut hilang oleh karena meninggalnya  si tersangka.”
3.      Daluwarsa
Hal ini diatur dalam pasal 78 KUHP yang berbunyi: hak untuk penuntutan pidana hapus karena daluwarsa :
a.       Dalam satu tahun bagi semua pelanggaran dan bagi kejahatan yang    dilakukan dengan percetakan.
b.      Dalam enam tahun bagi kejahatan-kejahatan yang diancam dengan denda, hukuman kurungan atau hukuman penjara, yang lamanya tidak lebih dari tiga tahun.
c.       Dalam dua belas tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara sementara yang lamanya lebih dari tiga tahun.
d.      Dalam delapan belas tahun bagi semua kejahatan, yang diancam dengan hukuman mati  atau hukuman penjara seumur hidup.
Untuk orang,yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup delapan belas tahun,tenggang daluwarsa yang tersebut diatas itu, dikurangi sepertiga.”
4.      Penyelesaian perkara di luar pengadilan
Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 1 KUHP yang berbunyi antara lain sebagai berikut:
“Hak penuntutan pidana kerena pelanggaran,yang atasnya tidak ditentukan hukuman pokok lain daripada denda, hilang kalau dengan rela hati sudah dibayar maksimum denda serta juga biaya perkara.”
Ketentuan diatas secara rasional adalah hal yang logis demi efisiensi.hal ini diatur demikian untuk memberi kepastian hukum bagi pelaku pelanggaran maupun bagi aparat penuntut.


















BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana.
2.      Dalam hukum pidana, seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dapat dipidana bila memenuhi dua hal, yaitu:
a.       perbuatannya bersifat melawan hukum.
b.      Pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan (adanya kesalahan pelaku) atau perbuatan tersebut dapat dicelakan kepada pelakunya dan tidak ada alasan pemaaf.
3.      Di dalam titel ketiga dari buku pertama KUHP, terdapat hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pidana, yaitu:
a.       Tak mampu bertanggung jawab.
b.      Belum berumur 16 tahun.
c.       Daya Paksa.
d.      Pembelaan terpaksa.
e.       Ketentuan Udang-undang.
f.       Perintah jabatan.
g.      Pemberatan karena jabatan.

B.     Saran-Saran
1.Makalah Hukum Pidana ini diharapkan menjadi masukan dan bahan tambahan dalam memahami perkara-perkara Demokrasi.  Penulis juga mengharapkan makalah ini dapat dikembangkan oleh para pembaca.






DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Andi Hamzah,  Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Ismu Gunawan, dkk, Hukum Pidana, Jakarta: Kencana Pranata Group, 2014.
Zainal Abidin Farid,  Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika, 1995.




[1]Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal, 50-51.
[2]Barda Nawawi Arief.…, hal, 51.
[3] Zainal Abidin Farid,  Hukum Pidana I, (Jakarta, Sinar Grafika, 1995), hal, 401.
[4] Andi Hamzah,  Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994),  hal, 139.
[5] Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal, 69-70.
[6]Pipin Syarifin…., hal, 70

0 Response to "Makalah Pengertian Penghapusan Pidana - Hukum Pidana"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel