Fiqh Muamalah : Makalah tentang Istishna
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atsa harga serta sistem pembayaran di lakukan di muka, melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang manufaktur dan konstruksi. Dengan demikian ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan dan aturan bai’ as-salam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Istishna?
2. Apa landasan hukum Istishna?
3. Bagaimana rukun dan syarakt Istishna?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Istishna
2. Untuk mengetahui landasan hukum Istishna
3. Untuk mengetahui rukun dan syarakt Istishna
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISTHISNA
Berasal dari kata ﺻﻧﻊ (shana’a) yang artinya membuat kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi ﺍ ﺴﺗﺻﻧﻊ (istashna’a) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu.
Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Secara istilah ialah akad jual beli antara pemesan dengan penerima pesanan atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu.
Menurut pandangan ulama :
Mazhab Hanafi
عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل
Sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.
Mazhab Hambali
بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم
Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).
Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah
الشيء المسلم للغير من الصناعات
Suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.
Bai’ al-istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli) dan penjual/Shani’. Shani akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dimana ia dapat menyiapkan sendiri atau melalui pihak lain. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. [1]
Akad istishna' juga identik dengan akad ijarah, ketika bahan baku untuk produksi berasal dari pemesan, sehingga produsen (shani') hanya memberikan jasa pembuatan, dan ini identik dengan akad ijarah. Berbeda ketika jasa pembuatan dan bahan bakunya dari produsen (shani'), maka ini dinamakan dengan akad istishna'
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu:
1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
2. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.
[1] Muhammad syafi’i antonio, Bank Syariah dari teori ke Praktik., ( jakarta: Gema Insani 2001 ) hlm 159
SUBJEK | SALAM | ISTISHNA | ATURAN DAN KETERANGAN |
Pokok Kontrak | Muslam Fiihi | Mashnu’ | Barang di tangguhkan dengan spesifikasi. |
Harga | Di bayar saat kontrak | Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari | Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’. |
Sifat Kontrak | Mengikat secara asli (thabi’i) | Mengikat secara ikutan (taba’i) | Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab. |
Kontrak Pararel | Salam Pararel | Istishna’ Pararel | Baik salam pararel maupun istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah. |
B. LANDASAN SYARI’AH
Mengingat bai’ al-istishna’ merupakan lanjutan dari bai’ as-salam maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’.
Bai‟ salam merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandasakan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Diantara dalil (landasan syariah) yang memperbolehkan praktik akad jual beli salam adalah sebagai berikut:
1. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ
“Hai orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...” QS. Al Baqarah (2): 282
Merujuk pada keabsahan praktik jual beli salam. Ayat ini merupakan ayat terpanjang dalam Al Qur'an. Ayat ini memberikan petunjuk bahwa ketika kaum muslimin melakukan transaksi muamalah secara tempo, maka hendaknya dilakukan pencatatan untuk menghindari terjadinya perselisihan di kemudian hari, serta guna menjaga akad/ transaksi yang telah dilakukan.
Mujahid dan Ibnu Abbas berkata, ayat ini diturunkan oleh Allah untuk memberikan legalisasi akad salam yang dilakukan secara tempo, Allah telah memberikan izin dan menghalalkannya, kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat tersebut (Ibnu Katsir, jilid I, hal. 500). Berdasarkan pernyataan Ibnu Abbas ini, jelas sekali bahwa jual beli salam telah mendapatkan pengakuan dan legalitas syara', sehingga operasionalnya sah untuk dilakukan.
2. “Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui”
Hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas merupakan dalil yang secara sharih menjelaskan tentang keabsahan jual beli salam.
Menurut riwayat Ibnu Abbas, suatu ketika Rasulullah datang ke Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah melakukan jual beli salam atas kurma untuk jangka waktu satu tahun, dua tahun, dan bahkan tiga tahun. Melihat praktik ini, kemudian Rasulullah bersabda seperti yang terdapat dalam matan hadits ini (Zuhaili, 2002, hal. 296).
Berdasarkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual beli salam harus ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya (delivery), sehingga nantinya tidak terdapat perselisihan.
Berdasarkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual beli salam harus ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya (delivery), sehingga nantinya tidak terdapat perselisihan.
3. Kesepakatan ulama (ijma') akan bolehnya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Pemilik lahan pertanian, perkebunan ataupun perniagaan (manufaktur) terkadang membutuhkan modal untuk mengelola usaha mereka hingga siap dipasarkan, maka jual beli salam diperbolehkan untuk mengakomodir kebutuhan mereka (Zuhaili, 1989, hal. 598). Ketentuan ijma' ini secara jelas memberikan legalisasi praktik pembiayaan/ jual beli salam.
Dasar Hukum Istishna’
Dasar Hukum transaksibai’ as-salam terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a. Al-Qur’an
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”(al-Baqarah:282)
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut tentang transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang di jamin untuk jangka waktu tertentu telah di halalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan di izinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut diatas.
b. Al-hadits
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang di ketahui”
Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk di jual.”(HR Ibnu Majah)
Mengingat Bai’ Al-Istishna merupakan lanjutan dari Bai’ as-salam maka secara umum dasar hukum yang berlaku pada Bai’ as-salam juga berlaku pada Bai’ al-Istishna’.Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut “keabsahan” Bai’ al-Istishna’ dengan penjelasan berikut.
Menurut Mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’termasuk akad yang di larang karena bertentangan dengan semangat bai’secara qiyas. Mereka mendasarkan kepada argumentasi bahwa pokok kontrak penjual harus ada dan dimiliki oleh penjual, Sedangkan dalam Istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak di miliki penjual. Meskipun demikian, Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini.
1. Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
2. Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama,
3. Keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.
4. Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat di minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.
C. RUKUN DAN SYARAT ISTISHNA
Dalam jual beli istishna, terdapat rukun yang harus dipenuhi yakni, pemesan (mustashni’), penjual/pembuat (shani’). Barang/objek (mashnu’), dan sighat (ijab qabul).
Syarat yang diajukan ulama untuk diperbolehkan transaksi jual beli istishna’adalah:
1. Adanya kejelasan jenis, macam, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan objek transaksi yang harus diketahui spesifikasinya.
2. Merupakan barang yang biasa ditransaksikan/berlaku dakam hubungan antar manusia.
3. Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang ditetapkan, maka kontak ini akan berubah menjadi akad salam. [2]
Aplikasi Istishna’ di Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya adalah jual beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah produsen , sedangkan pembeli adalah konsumen konsumen. Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang yang belum di hasilkan sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam perbankan syariah, jual beli Istishna’ lazim di tetapkan pada bidang konstruksi dan manufaktur.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bai’ Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya meminta di buatkan. Menurut terminologi artinya perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Daftar Pustaka
Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
0 Response to "Fiqh Muamalah : Makalah tentang Istishna"
Post a Comment