HUKUM INVESTASI SYARIAH MENURUT FATWA MUI
Dalam hukum Islam,kegiatan berinvestasi dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi yang termasuk dalam kegiatan muamalah yaitu suatu kegiatan yang mengatur hubungan antar manusia.
Sementara itu menurut kaidah Fikih, hukum asal kegiatan muamalah itu adalah mubah (boleh) yang berarti semua kegiatan dalam hubungan antar manusia adalah mubah (boleh) kecuali yang memang jelas ada larangannya (haram).
Ini berarti ketika suatu kegiatan muamalah yang baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam ajaran Islam maka kegiatan tersebut dianggap dapat diperbolehkan kecuali yang memang terdapat implikasi dari Al Qur’an dan Hadist yang melarangnya secara implisit maupun eksplisit.
Dalam beberapa literatur Islam klasik memang tidak ditemukan adanya terminologi investasi maupun pasar modal, akan tetapi sebagai suatu kegiatan ekonomi, kegiatan tersebut dapat diketegorikan sebagai kegiatan jual beli (al Bay).
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),sampai dengan tahun 2004 ,telah diterbitkan sebanyak 6 (enam) yang berkaitan dengan industri pasar modal. Adapun ke enam fatwa dimaksud adalah :
1. No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Saham
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 05/DSN-MUI/IV/2000
Tentang JUAL BELI SAHAM Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI SALAM
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran: Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang: Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. Penyerahannya dilakukan kemudian. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel (????? ???????): Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat:
a. Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan
b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya: Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon). Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan: a. membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
b. menunggu sampai barang tersedia.
Kelima : Pembatalan Kontrak: Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.
Keenam : Perselisihan: Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M
2. No.20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksadana Syariah
Menimbang | : |
|
Mengingat | : |
|
Memperhatikan | : |
|
MEMUTUSKAN
Menetapkan | : | FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH IJARAH |
Pertama | : | Ketentuan Umum
|
Kedua | : | Ketentuan Khusus
|
Ketiga | : | Penyelesaian Perselisihan Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. |
Keempat | : | Ketentuan Penutup Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. |
3. No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah;
Menimbang :
bahwa salah satu bentuk instrumen investasi pada pasar modal (konvensional) adalah obligasi yang selama ini didefinisikan sebagai suatu surat berharga jangka panjang yang bersifat utang yang dikeluarkan oleh Emiten kepada Pemegang Obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo kepada pemegang obligasi;
bahwa obligasi sebagaimana pengertian butir a. tersebut di atas, yang telah diterbitkan selama ini, masih belum sesuai dengan ketentuan syariah sehingga belum dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat akan obligasi yang sesuai dengan syariah;
bahwa agar obligasi dapat diterbitkan sesuai dengan prinsip syariah, Dewan Syari'ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
Firman Allah SWT, QS. al-Ma'idah [5]:1:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …
"Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu …"
Firman Allah SWT, QS. al-Isra' [17]: 34:
… وَأَوْفُوْا بِالْعَهْدِ، إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
"… Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabannya."
Firman Allah SWT, QS. al-Baqarah [2]: 275:
… وَأَحَلَّ اللهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرَّبَا …
"... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …"
Hadits Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ (رواه ابن ماجه والدارقطني وغيرهما) .
"Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain."
Kaidah Fiqh:
الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
الـمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
"Kesulitan dapat menarik kemudahan."
الحَاجَةُ قَدْ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
"Keperluan dapat menduduki posisi darurat."
الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالشَّرْعِ
"Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syari'at)."
Memperhatikan :
Pendapat para ulama tentang keharaman bunga;
Pendapat para ulama tentang keharaman obligasi konvensional yang berbasis bunga;
Pendapat para ulama tentang obligasi syariah yang meliputi obligasi yang menggunakan prinsip mudharabah, murabahah, musyarakah, istishna', ijarah dan salam;
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional MUI tentang Murabahah, Mudharabah, Musyarakah, Istishna', Jual Beli Salam, dan Ijarah;
Surat dari PT. AAA Sekuritas No. Ref:08/IB/VII/02 tanggal 5 Juli 2002 tentang Permohonan Fatwa Obligasi Syariah;
Pendapat para peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional MUI tanggal 14 September 2002 tentang obligasi syariah.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH
Pertama : Ketentuan Umum
Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat utang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga;
Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah;
Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Kedua : Ketentuan Khusus
Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh
Musyarakah
Murabahah
Salam
Istishna
Ijarah;
Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;
Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat : Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
4. No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah;
Menimbang | : |
|
Mengingat | : |
|
Memperhatikan | : |
|
MEMUTUSKAN
Menetapkan | : | FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH MUDHARABAH |
Pertama | : | Ketentuan Umum
|
Kedua | : | Ketentuan Khusus
|
Ketiga | : | Penyelesaian Perselisihan Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. |
Keempat | : | Ketentuan Penutup Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. |
5. No.40/DSN-MUI/IX/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip syariah di Bidang Pasar Modal;
6. No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.
Menimbang | : |
|
Mengingat | : |
|
Memperhatikan | : |
|
MEMUTUSKAN
Menetapkan | : | FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH IJARAH |
Pertama | : | Ketentuan Umum
|
Kedua | : | Ketentuan Khusus
|
Ketiga | : | Penyelesaian Perselisihan Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. |
Keempat | : | Ketentuan Penutup Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. SUMBER http://www.dsnmui.or.id/ |
Fatwa-fatwa tersebut di atas mengatur prinsip-prinsip syariah di bidang pasar modal yang meliputi bahwa suatu efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh pernyataan kesesuaian syariah secara tertulis dari DSN-MUI.
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh sertifikat/ predikat syariah dari DSN-MUI yaitu bahwa calon emiten terlebih dahulu harus mempresentasikan terutama struktur bagi hasilnya dengan nasabah/ investor,struktur transaksinya, bentuk perjanjiannya seperti perjanjian perwali amanatan dll.
0 Response to "HUKUM INVESTASI SYARIAH MENURUT FATWA MUI"
Post a Comment