Dasar Hukum Memperingati Maulid Nabi

Dasar Hukum Memperingati Maulid Nabi SAW

Sahabat syariatkita, banyak orang yang berdebat kusir mengenai perihal diperbolehkannya melaksanakan mauid Nabi. Jika diamati di forum-forum yang ada, para penganut aliran Islam salafiyah konservatif tentunya dengan suara lantangnya menyerukan bid’ah zolalahnya peringatan tersebut. Akan tetapi saya tidak melihat bahwa dalam peringatan tersebut terdapat unsur yang diharamkan, melainkan yang ada dalam acara tersebut hanyalah bacaan maulid, tahmid, asma’ muadzom dan pujian lain yang ditujukan kepada Allah serta Rasul-Nya, dimana dalam berkenaan dengan hal tersbut Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an Surah al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللهَ وَمَلَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabidan ucapkanlah salamdengan penuh penghormatan kepadanya.

Berdasarkan hal di atas, maka yang terjadi dalam rangkaian acara maulid tidaklah bertentangan dengan apa yang di ajarkan oleh syariat. Mengapa demikian, jelas bahwa membacakan shalawat kepada Rasulullah merupakan perintah Allah, membaca tahmid dan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkandung dalam serangkaian acara tersebut juga merupakan perintah agama, karena merupakan suatu bentuk ibadah. Yang menjadi perdebatan selama ini yaitu terlatak pada masalah tata cara atau interpretasi pelaksanaan kegiatan tersebut, dimana mereka yang atidak sependapat mengenai mengenai perayaan maulid mengangap bid’ah dan setiap bid ah adalah sesat. Tapi tunggu dulu Anda mungkin perlu mencermati pengertian dan hukum bid’ah itu sendiri, karena bid’ah yang tidak diperbolehkan hanya pada tataran permasalahan ibadah mahdzoh (ibadah yang murni dan langsung berkaitan dengan Allah) seperti, shalat, puasa haji dan lain sebagainya.

Sebagai satu contoh dalam ibadah mahdzoh, Allah memerintahkan kita melakukan shalat dalam sehari semalam sebanyak 5 kali. Dalam hal ini dikatakan bid’ah zolalah atau sesat dan tidak akan dapat dibenarkan manakala kita solat hanya 3 kali sehari, karena hal tersebut jelas bertentangan dengan perintah Allah yang mana dalil mengenai kewajibannya telah di atur dan dijelaskan secara detail dengan dalil yang bersifat qat’iy langsung dari Allah. Melaksanakan shalat 3 kali sehari tersebut itulah yang dinamakan bad’ah zolalah yang jelas sesatnya. Begitu pula Allah mewajibkan puasa di bulan Ramadhan, perintah tersebut merupakan hal yang bersifat qat’iy dengan dalail definitif yang langsung dijelaskan dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita dikatakan bid’ah manakala melaksanakan puasa wajib Ramadhan di bulan selain yang telah ditentukan oleh Allah tersebut.

Dari apa yang saya jelaskan di atas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud oleh golongan yang suka membid’ah-bid’ahkan golongan lain yang tidak sependapat dengan mereka dengan mengatakan dalil dari hadis:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang membuat pembaharuan (sesuatu yang baru/perubahan) dalam urusan kami ini (yakni agama Isam), berupa sesuatu yang tidak termasuk darinya, maka sesuatu tersebut tertolak (tidak diterima) ”

Berkaitan dengan hadis di atas, yang dimaksud tertolak dapat dijelaskan dalam syarah hadis sebagai berikut:

وَعَلَى هَذَا فَمَنْ بَاعَ بَيْعًا مُحَرَّمًا فَبَيْعُهُ بَاطِلٌ , وَمَنْ صَلَّى صَلَاةَ تَطَوُّعٍ لِغَيْرِ سَبَبٍ فِيْ وَقْتِ النَّهْيِ فَصَلاَتُهُ بَاطِلَةٌ وَمَنْ صَامَ يَوْمَ الْعِيْدِ فَصَوْمُهُ باطِلٌ وَهَلُمَّ جَرَّا , لِأَنَّ هَذِهِ كُلِّهَا لَيْسَ عَلَيْهَا أَمْرُ اللهِ وَرسَوُلِهِ فَتَكُونَ بَاطِلَةً مَرْدُوْدَةً

“Berdasarkan hal ini maka barang siapa yang melakukan akad jual beli yang haram, maka jual belinya jelas batal, barangsiapa yang melakukan shalat sunah tapi tanpa ada suatu sebab, sedangkan pelaksanaan shalat tersebut di waktu yang diharamkan maka sgolatnya batal (tidak sah), dan barangsiapa yang puasa di Hari Raya, maka puasanya juga batal begitu juga seterusnya. Karena semua hal-hal tersebut bertentangan dengan (syariaat) Allah dan Rasul-Nya, maka jelas batal dan tertolak.”


Apa yang terdapat dalam penjelasan hadis di atas yaitu pada masalah syariat yang ketentuannya sudah diatur secara jelas, sehingga barangsiapa yang menyelisihi aturan yang telah ditetapkan tersebut, maka apa jelas batalnya. Sedangkan perselisihan dalam masalah pelaksanaan maulid, terletak pada interpretasi dari masing-masing golongan saja,tepatnya yaitu pada masalah bagaimana cara membaca shalawat kepada nabi, karena jelas ulama yang ilmunya sudah mutabahhir-pun turut melakukan mauled, bahkan karangan siapa kitab-kitab mauled yang membahas riwayat hidup dan pujian kepada baginda Nabi Muhammad SAW selain dari mereka.

Pertanyaan yang menggelitik hati kita juga, apakah jikalau kita berpegangan langsung dengan keterangan Al-Qur’an atau hadis kira-kira kita mampu tidak? Apakah imu kita sudah cukup untuk menelaah apa yang dimaksud dalam kitab yang merupakan warisan Rasulullah tersebut? Apakah ilmu kita kiranya sudah bisa menandingi ilmu para A’immah (imam-imam) mazhab yang mana beliau telah jelas alimnya? Lawong ilmu nahwu shorof saja kita tidak paham, gramatikal bahasa Arab saja kita juga tidak mudeng. Maka dari itu kita perlu memahami bagaimanakah hukum mengambil dalil langsung dari Al-Qur’an dan hadis dengan mengabaikan kitab fikih yang ada. Karena dalam kitab dalam Kitab Tarsyihul Mustafidin (salah satu syarah kitab Fathul Muin) dijelasken mengenai diperbolehkannya melakukan peringatan maulid. Adapun dalam redaksi kitab tersebut dijelaskan:

(تنبيه) مِنْ فَتَاوِي السُّيُوْطِيْ سُئِلَ عَمَّنْ عَمِلَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ فِيْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ مَا حُكْمُهُ، وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ؟...... الى قوله: مِنَ الْبِدَعِ الحْسَنََةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا

“(Redaksi tambahan) Diantara fatwa-fatwa Imam Suyuti, beliau ditanya tentang orang yang melakukan acara Mauid pada Bulan Rabiul Awal, bagaimana hukumnya, apakah pelakunya mendapatkan pahala?...... (sampai jawaban beliau) yang demikian itu tersmasuk bid’ah hasanan yang mana pelakunya jelas mendapatkan pahala”

Kesimpulan yang dapat diambil mengenai peaksanaan maulid nabi adalah boleh karena tidak ada unsur-unsur yang diharamkan dalam peringatan tersebut. Hanya saja naluri manusia, ketika telah terjerumus ke dalam paham cauvinisme (taassub) atau fanatisme goongan, maka apa yang dilakukan oleh golongan lain yang berbeda dengan mereka selalu saja dianggap salah. (و الله أعلم باالصواب)

dasar hukum memperingati maulid Nabi

Demikian semoga bermanfaat, mungkin Anda juga tertarik dengan artikel kami yang lain:

0 Response to "Dasar Hukum Memperingati Maulid Nabi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel