Cinta dalam Perspektif Tasawuf
Cinta Dalam Perpektif Sufi
Pandangan Sufi Tentang Cinta
Sahabat syariatkita, sekilas terasa janggal di teleinga kita mendengar istilah cinta sufi. Hal tersebut tiada lain karena sufi merupakan ajaran yang identik dengan pemfokusannya terhadap kehidupan akhirat, sehingga mereka dalam menjalani kehidupan dunia hanya sekedarnya saja. Sehingga terasa aneh manakala sufi kok mengenal term “cinta”. Dari itu tentu kita penasaran kan? apakan dunia sufi mengenal juga istilah cinta. Bagi Anda yang merasa sufi, atau Anda seorang yang belum tahu tentang hal itu, baiklah untuk menjawab penasaran Anda, berikut akan saya jelaskan secara detail mengenai pemaknaan cinta dalampandangan para sufi.
Pernahkan Anda mendengar istilah mahabbah, istilah tersebut tentunya tidak asing lagi di telinga kita, apa lagi bagi mereka yang sedang dirundung galau asmara sedangkan cintanya di tolak oleh sang kekasaih, pastilah akal negatif mereka akan melakukan segala macam daya dan upaya agar cintanya diterima. Dalam hal ini, mereka biasanya menggunakan istilah “pelet atau mahabbah”. Istilah mahabbah itulah yang sering terlaku dalam pandangan para sufi mengenai arti sebuah cinta. Akan tetapi perlu diingat, yang dimaksud bukan berarti orang sufi suka mengguna-guna cinta terhadap lawan jenisnya, tapi pengistilahan tersebut sebatas pada nama saja, karen kata mahabbah sendiri yaitu diambil dari bahasa Arab yang berarti cinta.
Mahabbah sejatinya merupakan ungkaan dari sebuah perasaan ruhaniyah yang mengandung kedalaman makna dan syarat akan pengalaman mistisyang terjadi oleh para sufi. Pemaknaan tersebut senantiasa mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan zaman, terutama setelah munculnya sejumlah tokoh besar sufi, seperti Imam al-Ghozali, Ibn Arabi, Rabi’ah al-Adawiyah dan lain sebagainya.
Dalam kacamata para sufi, cinta merupakansuatu konsep yang sulit untuk dipahami. Menurut mereka, cinta sejatinya tidak dapat disifati dengan suatu gambaran yang seolah-olah mengasikkan. Cinta hanya dapat ditemukan dan dihayatidalam lubuk sanubari yang terdalam saja. Kendatipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang pasti mampu merasakan indahnya cinta sekalipun mereka tidak dapat menganalogikan hakikatnya. Ibnu Arabi menjelaskan, jika ada orang mengaku bahwa ia dapat mendefinisikan cinta, maka dapat dipastikan bahwa sesungguhnya ia belum mengenal apa itu arti cinta sejati. Jika seseorang mengatakan “Aku kenyang dengan cinta”,maka perkataan tersebut tentu jauh dengan makna cinta yang diharapkan, karena tidak ada seorang pun yang kenyang karena cinta. Saking begitu dahsyatnya mengenai pemaknaan sebuah cinta, sampai-sampai dalam dunia para sufi terdapat istilah “Tiada Tuhan Selain Cinta”. Bagi mereka, Tuhan merupakan manivestasi dari sebuah cinta dan cinta adalah Tuhan, seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Arabi, bahwa Islam adalah agama cinta, sebagaimana Rasulullahsaw. adalah seorang Rasul yang dikasihi oleh Allah (Nicholson, 2000: 86)
Imam al-Ghazali menjelaskan, mahabbah merupakan tingkatan tertinggi dalam suatu pencapaian hidup. Ia tidak dapat dicapai kecuali dengan jalanmensucikan diri, menjauhi diri dari sesuatu yang kotor, melakukan tobat, zuhud dan sabar dalam menghadapi musibah dan berbagai cobaan hidup. Dalam pengertian ini,perasaan cinta kepada Allah dalam pandangan mereka merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Selanjutnya, Imam Al-Ghazali mendefinisikan cinta dengan suatu pohon yang baik, akarnya kokoh, dan batangnya menjulang tinggi ke langit. Selain itu, buahnya juga nampak segar dan dapat dirasakan di dalam hati, lidah dan olehseluruh anggota tubuh. Buah dari cinta itu tiada lain hanyalah ketaatan kepada semua perintah Allah. (Schimmel, 2000: 171)
Pernahkan Anda mendengar istilah mahabbah, istilah tersebut tentunya tidak asing lagi di telinga kita, apa lagi bagi mereka yang sedang dirundung galau asmara sedangkan cintanya di tolak oleh sang kekasaih, pastilah akal negatif mereka akan melakukan segala macam daya dan upaya agar cintanya diterima. Dalam hal ini, mereka biasanya menggunakan istilah “pelet atau mahabbah”. Istilah mahabbah itulah yang sering terlaku dalam pandangan para sufi mengenai arti sebuah cinta. Akan tetapi perlu diingat, yang dimaksud bukan berarti orang sufi suka mengguna-guna cinta terhadap lawan jenisnya, tapi pengistilahan tersebut sebatas pada nama saja, karen kata mahabbah sendiri yaitu diambil dari bahasa Arab yang berarti cinta.
Mahabbah sejatinya merupakan ungkaan dari sebuah perasaan ruhaniyah yang mengandung kedalaman makna dan syarat akan pengalaman mistisyang terjadi oleh para sufi. Pemaknaan tersebut senantiasa mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan zaman, terutama setelah munculnya sejumlah tokoh besar sufi, seperti Imam al-Ghozali, Ibn Arabi, Rabi’ah al-Adawiyah dan lain sebagainya.
Dalam kacamata para sufi, cinta merupakansuatu konsep yang sulit untuk dipahami. Menurut mereka, cinta sejatinya tidak dapat disifati dengan suatu gambaran yang seolah-olah mengasikkan. Cinta hanya dapat ditemukan dan dihayatidalam lubuk sanubari yang terdalam saja. Kendatipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang pasti mampu merasakan indahnya cinta sekalipun mereka tidak dapat menganalogikan hakikatnya. Ibnu Arabi menjelaskan, jika ada orang mengaku bahwa ia dapat mendefinisikan cinta, maka dapat dipastikan bahwa sesungguhnya ia belum mengenal apa itu arti cinta sejati. Jika seseorang mengatakan “Aku kenyang dengan cinta”,maka perkataan tersebut tentu jauh dengan makna cinta yang diharapkan, karena tidak ada seorang pun yang kenyang karena cinta. Saking begitu dahsyatnya mengenai pemaknaan sebuah cinta, sampai-sampai dalam dunia para sufi terdapat istilah “Tiada Tuhan Selain Cinta”. Bagi mereka, Tuhan merupakan manivestasi dari sebuah cinta dan cinta adalah Tuhan, seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Arabi, bahwa Islam adalah agama cinta, sebagaimana Rasulullahsaw. adalah seorang Rasul yang dikasihi oleh Allah (Nicholson, 2000: 86)
Imam al-Ghazali menjelaskan, mahabbah merupakan tingkatan tertinggi dalam suatu pencapaian hidup. Ia tidak dapat dicapai kecuali dengan jalanmensucikan diri, menjauhi diri dari sesuatu yang kotor, melakukan tobat, zuhud dan sabar dalam menghadapi musibah dan berbagai cobaan hidup. Dalam pengertian ini,perasaan cinta kepada Allah dalam pandangan mereka merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Selanjutnya, Imam Al-Ghazali mendefinisikan cinta dengan suatu pohon yang baik, akarnya kokoh, dan batangnya menjulang tinggi ke langit. Selain itu, buahnya juga nampak segar dan dapat dirasakan di dalam hati, lidah dan olehseluruh anggota tubuh. Buah dari cinta itu tiada lain hanyalah ketaatan kepada semua perintah Allah. (Schimmel, 2000: 171)
Pengertian dan Istilah Cinta dalam Terminologi Sufi
Dalam artikel Cintadalam Perspektif Psikologi, saya telah menyinggung mengenai cinta dari berbagai gejala kejiwaan yang timbul dari dalam diri seseorang, akan tetapi dalam terminologi para sufi, ternyata dikenal pula beberapa istilah tentang cinta yang mengandung kedalaman makna yang sangat luas. Dalam term sufi, cinta tidak sekedar merupakan suatu gejala suka dengan lain jenis saja, akan tetapi cinta lebih mengarah pada suatu keadaan dimana seseorang dapat mencapai tingkatan ruhani dan pengalaman mistik ketuhanan dalam kehidupan yang dijalaninya. Oleh karena itu, kita sering mendapati beberapa istilah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita mengenai istilah-istilah yang berkaitan dengan pemaknaan cinta. Di antara istilah-istilah tersebut antara lain adalah:
Mahabbah
Dari segi etimologi, kata mahabbah yaitu berasal dari kata “al-hubb”yang berarti cinta. Dijelaskan oleh Al-Hujwiri, bahwa kata mahabbahyaitu berasal dari kata “habbah”yang memiliki arti “benih-benih yang jatuh di padang pasir”. Menurutnya pengertian teresebut tiada lain karena cinta merupakan benih-benih hati yang dapat mendorong seseorang semangat dalam menjalani hidup dan juga merupakan sumber kehidupan. (Muhyidin: 100) Ada pula yang berpendapat bahwa mahabbah sebenarnya berasal dari kata hubbyang berarti “tempayan yang berisi penuh dan tenang”. Hal tersebut didasarkan pada makna hakikat cinta itu sendiri yang biasanya senantiasa memenuhi dan mengisi hati seseorang dengan sesuatu dicintai dan diidam-idamkan, sehingga dengan datangnya pujaan hati tersebut hati dapat menjadi tenang dan tenteram.
Salah satu tokoh lain; Imam Al-Qusyairi mejelaskan bahwa cintaatau mahabbah merupakan term dari pengistilahan kata hubab yang berarti gelembung-gelembung yang berada di atas permukaan air ketika tuyraun hujan yang deras. Menurutnya, gelembung-gelembung yang nampak di atas air karena curahan hujan lebat irtulah yang dikiaskan dengan cinta. Dengan kata lain, cinta yang tumbu dalam sanubari seseorang senantiasa membawa angan-angan seseorang melambung dan menggelembung tak ubahnya bulatan buai yang jernih, akan tetapi ketika seseorang ingin menyentuh dan menggapainya, ia akan meletus. Begitulah penggambaran makna cinta karena begitu sulitnya di dapat, sehingga cinta senantiasa membuat haus dan menimbulkan keputusasaan pelakunya untuk bertemu dengan kekasih yang dicintainya.
Al-Qusyairi juga berpendapat bahwa cinta berasal dari kata hibbyang beraarti kendi air. Menurutya, hal tersebut didaarkan dari sifat kendi yang manakala telah enuh terisi air, ia sudah tidak dapat lagi menampung yang lain, sehingga manakala jika hati seseorang telah terisi dengan perasaan cinta, maka dapat dipastikan bahwa sudah tidak ada lagi tempat di dalam hatinya untuk menampung apapun selain harapan dari seorang kekasih yang dicintainya. (Asfari dan Otto, 2005: 58) Ada lagi yang berpendapat, bahwa mahabbahmerupakan pesaraan dari dalam hati yang tiada hentinya mengingat sang kekasih yang diidamkannya, sehingga perasaan tersebut akan nampak tenang manakalaia telah bersanding dengan kekasih yang dicintainya.
Salah satu tokoh lain; Imam Al-Qusyairi mejelaskan bahwa cintaatau mahabbah merupakan term dari pengistilahan kata hubab yang berarti gelembung-gelembung yang berada di atas permukaan air ketika tuyraun hujan yang deras. Menurutnya, gelembung-gelembung yang nampak di atas air karena curahan hujan lebat irtulah yang dikiaskan dengan cinta. Dengan kata lain, cinta yang tumbu dalam sanubari seseorang senantiasa membawa angan-angan seseorang melambung dan menggelembung tak ubahnya bulatan buai yang jernih, akan tetapi ketika seseorang ingin menyentuh dan menggapainya, ia akan meletus. Begitulah penggambaran makna cinta karena begitu sulitnya di dapat, sehingga cinta senantiasa membuat haus dan menimbulkan keputusasaan pelakunya untuk bertemu dengan kekasih yang dicintainya.
Al-Qusyairi juga berpendapat bahwa cinta berasal dari kata hibbyang beraarti kendi air. Menurutya, hal tersebut didaarkan dari sifat kendi yang manakala telah enuh terisi air, ia sudah tidak dapat lagi menampung yang lain, sehingga manakala jika hati seseorang telah terisi dengan perasaan cinta, maka dapat dipastikan bahwa sudah tidak ada lagi tempat di dalam hatinya untuk menampung apapun selain harapan dari seorang kekasih yang dicintainya. (Asfari dan Otto, 2005: 58) Ada lagi yang berpendapat, bahwa mahabbahmerupakan pesaraan dari dalam hati yang tiada hentinya mengingat sang kekasih yang diidamkannya, sehingga perasaan tersebut akan nampak tenang manakalaia telah bersanding dengan kekasih yang dicintainya.
‘Isyq
Orang jawa mengistilahkan kata ‘isyq dengan arti “beronto” atau kecenderungan hati yang teramat sangat dengan kekasih yang didambakannya. Menurut Jalaludin ar-Rumi, ‘isyq menurut perwujudan dari rasa cinta kasih dan mahabbah yang begitu banyak, sehingga keberadaannya tidak dapat dihitung jumlahnya. Dalam pandangan tasawuf, ‘isyqmerupakan manifestasi dari “cinta majazi” yang dalam praktiknya dapat menjelma menjadi perasaan cinta yang begitu digandrungi dan dapat membawa pengaruh yang sangat luar biasa atau yang sering dikenal dengan istilah cinta sejati. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Arabi dalam pembahasan ebelumnya, bahwa‘isyq merupakan tahapan tertinggi dari kecenderungan perasaan jiwa manusia, yang sekaligus merupakan pencapaian awal kesempurnaan sebuah cinta, yang lama kelamaan perasaan tersebut akan sirna dan melebur menjadi kecenderungan dalam daya tarik kepada Tuhan (Labib: 30)
Mawaddah
Term lain dari cinta yang terlaku di kalangan para sufi adalah kata mawaddah. Istilah ini diambil dari kata wudd yang berarti cinta yang banyak. Istilah ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian mahabbah, hanya saja mawaddah memiliki pengetian yang jauh lebih mendalam dari sekedar istilah mawaddah. Dengan kata lain, tingkatan cinta yang terkandung dalam mawaddah memiliki eksistensi kepekatan makna yang lebih dibandingkan mahabbah (Muhsin: 32)
Rahmah
Banyak dijumpai penggunaan istilah rahmah yang berbarengan dengan kata mahabbah. Term ini berasal dari kata rahm yang berarti rasa kasih sayang yang dapat mememicu munculnya efek baik berupa perbuatan atau tindakan orang yang dikasihinya (Muhsin: 33). Rahmah mengandung derajat yang lebih tinggi dibandingkan mawaddaw, sehingga banyak yang mengartikan bahwa mawaddah adalah cinta karena sedangkan rahmah adalah cinta walaupun. Seseorang akan tercengang melihat kecantikan watina muda yang berparas ideal, tinggi semampai dan kulit yang begitu langsat. Dalam hal ini perasaan cinta orang tersebut merupakan sebuah ungkapan rasa cinta karena; yaitu karena kecantikan dan kemolekan organ tubuh yang ditaksir oleh subjek pecinta, sehingga hal ini dinamakan mawaddah. Aka tetapi berbeda dengan kasih sayang seorang kakek-kakek terhadap nenek-nenek yang merupakan istrinya. Ia cinta walaupun kondisi fisiknya sudah tidak lagi seanggun ia waktu masih muda. Kecintaan semacam inilah yang disebut denga rahmah (cinta walaupun), sehingga amat jelas Al-Qur’an mengajarkan tujuan pernikahan yaitu untuk membentuk rasa kasih dan sayang yang dituangkan dalam ungkapan “mawaddah wa rahmah”.
Ulfah
Ulfah atau yang sering diartikan dengan kecondongan hati, merupakan term cinta yang dikutip dari kata kerja alifa yang memiliki arti diantaranya adalah mencintai. Dalam hal ini, biasanya orang yang dirindung rasa cinta, pastilah tertanam dalam benak sanubarinya akan rasa rindu terhadap orang yang dicintainya. mempunyai rasa cinta pasti punya rasa rindu. Kerinduan untuk berjumpa dan kehendak melepaskan rasa kangen selalu hidup di dalam hati manusia. Sudah dijelaskan di atas bagaimana rasa rindu itu mendorong untuk cepat berjumpa dalam keadaan tenang dan damai di dalam hati seseorang ingin menyampaikan perasaan hatinya dan keluh kesah atau rasa gembira kepada yang dirindukannya. Tak jauh beda dengan seorang sufi yang sedang rindu dengan Tuhannya. Sehingga langkah yang ditempuh dalam hidupnya selalu tertuju pada sesuatu yang dapat mendatangkan kepada tujuannya yaitu Allah Ta‘ala, sehingga wajar jika ketika kita melihat kehidupan sufi sangatlah sederhana.
Beberapa Pandangan Tokoh Sufi Tentang Cinta
Jika kita menelaah makna mahabbah, sebagaimana terminologi di atas kita mendapatkan berbagai macam istilah yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi manakala kita telusuri lebih jauh, sejatinya perbedaan tersebut terletak dari segi penggunaan istilah saja, sedangkan substansinya hanya satu yaitu keinginan menuju pada apa yang dicintai, dengan melakukan berbagai cara untuk dapat mencapainya. Dalam hal ini, terdapat, pemaknaan kata mahabbah atau cinta sebagaimana dijelaskan oleh Harianto dalam “mencari cinta sejati; hakikat, makna, dan pencari jati diri” (2005: 37) memiliki tiga esensi inti yaitu: kesenantiasaan dan ketetapan, cinta terhadap sesuatu, dan sifat berkecukupan. Menurutnya, mahabbah merupakan suatu wujud tentang ketetapan sebuah hati yang tidak mau berpisah dengan yang dicintainya, sehingga memunculkan rasa kepuasaan dalam hati untuk tidak lagi mencintai yang lainnya. Dalam pandangan para tokoh sufi dikenal beberapa istilah mahabbah atau cinta, di antara mereka yang menjelaskan mengenai hal tersebut antara lain lain yaitu:
Al-Junaid
Menurutnya, cinta merupakan proses masuknya sifat-sifat yang berasal orang atau sesuatu yang dicintai kedalam diriorang yang mencintai (Hamdani, 1995: 75). Dalam perspektif ini, maka jika seorang sufi telah benar-benar memfokuskan segala jiwa dan raganya untuk mencintai Allah, maka seluruh apa yang diperhatikannya semua hanya tertuju hanya kepada dan untuk Allah semata. Dengan kata lain ungkapan semua apa yang ada di dalam dirinya hanyalah ditujukan untuk Allah, bukan untuk hal lain.
Jalaludin Ar- Rumi
Menurutnya cinta adalah totalitas dari perwujudan cinta kasih seorang terhadap yang dicintainya (Tuhan), sehingga perasaan cinta yang dimiliki pecinta dapat mengalahkan segala rasa yang timbul dalam hatinya. Ketika perasaan tersebut telah tertuang dalam diri seseorang, maka terpancarlah cahaya ilahi dari dalam dirinya. Hal tersebut tiada lain dikarenakan Tuhan adalah tuhuan puncak, yang merupakan akhir dari segala cintanya. Oleh karena itu, seorang sufi yang sudah memang benar-benar menfokuskan diri dalam mencintai Tuhannya, maka sepenuhnya apa yang menjadi tujuan dalam hidupnya hanyalah Tuhan semata.
Syaikh Abul-Hasan Kharqani
Beliau merupakan salah seorang tokoh besar tariqat cinta. Menurutnya cinta tak ubahnya seperti air samudera yang mana tidak akan dapat diarungi oleh makhluk-Nya, cinta tak seperti halnya lautan api, dimana tidak ada seorang pun yang dapat selamat darinya. Selain itu, cinta juga dapat mendatangkan keyakinan bagi pelakunya keyakinan. Orang yang telah berada dalam samudera cinta, maka ia tidak memiliki perasaan lain kecuali rasa sedih dan butuh. Sedih manakala tidak dapat berjumpa yang dikasihi dan sedih manakala ditinggalkannya. Dalam hal ini, Tuhan adalah tujuan cinta hakiki dari pada sufi, dengan mencintai Tuhan maka ia telah menemukan cinta sejati yang diidamkannya.
Al-Qusyairi
Beliau mendefinisikan cinta dengan ungkapan mengenai kecenderungan hati yang telah diracuni oleh perasaan cinta itu sendiri. Dengan rasa yang telah begitu bercampur dan meracuni akan dan pikiran jiwa tersebut itulah maka terjalinlah cinta tersebut dapat terwujud dengan kehendak da bimbingan Tuhan. Dalam hal ini seorang tokoh sufi ternama; Rabi’ah al-Adawiyah dalam sebuah syair mengungkapkan bait-bait perasaan cintanya sebagai berikut:
Kucintai Kau dengan dua cinta
Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut untuk dicinta
Cinta untuk diriku ialah karena aku karam
Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain
Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu
Segala pujian tidak perlu lagi bagiku
Sebab semua pujian untuk-Mu semata
Al-Ghazali menjelaskan, yang dimaksudkan oleh Rabi’ah dengan “cinta untuk diriku” ialah cinta kepada Allah yang disebabkan oleh kebaikan dan keindahan serta keagungan yang dimiliki-Nya, yang mana cinta tersebut yang menyingkap rahasia diri-Nya. Kedua cinta yang dimaksud sejatinya merupakan buah cinta yang paling luhur dan mendalam.cinta tersebut merupakan buah kelezatan yang didapat manakala melihat Tuhan kelak di akhirat. Sekian semoga bermanfaat.
Mungkin Anda juga tertarik dengan artikel kami yang lain:
Referensi:
Reynold A. Nicholson, Mistik dalam Islam, Jakarta:BumiAksara
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus
Otto Sukatno CR, dan Asfari MS., Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah, Yogyakarta: Logung Pustaka
Ibnu Qayyim Al-jauziyyah, Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Jakarta: Darul Falah
Eko Harianto, Mencari Cinta Sejati;Hakikat, Makna, dan Pencari Jati Diri, Yogyakarta: Saujana
Hamdani Anwar, Sufi Al-Junayd, Jakarta: Fikahati Aneska
0 Response to "Cinta dalam Perspektif Tasawuf"
Post a Comment