Dampak Penerapan Sistem Suara Terbanyak Terhadap Polarisasi Elit Dalam Partai Politik (PLT-7)
Sejak berakhirnya Orde Baru, Indonesia memasuki era baru yang ditandai dengan reformasi di berbagai bidang, yang tujuannya adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat seutuhnya melalui proses demokrasi. Demikian halnya dengan sistem pemilu yang berubah setiap tahun dengan tujuan untuk membangun sistem demokrasi untuk menuju ke arah yang lebih baik. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem pemilu secara jelas dapat kita lihat dalam Undang-Undang Pemilu yang mengalami amandemen dari tahun ke tahun.
Indonesia tercatat mengalami perubahan sistem kepartaian sebanyak tiga kali, dimulai pada era Pemerintahan Soekarno yang menggunakan sistem multi partai, kemudian Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto menerapkan sistem dua partai di tambah dengan satu partai dominan (Partai Golkar), dan pada era reformasi hingga sekarang kembali menerapkan sistem multipartai.
Pemilu yang merupakan ujung tombak demokrasi membutuhkan institusi yang menjadi pelaku pemilu. Institusi yang formal sebagai peserta pemilu adalah partai politik sebagai suatu pilar demokrasi merupakan tempat penyaluran aspirasi rakyat dan elit-elit partai politik sebagai representasi wakil rakyat untuk mewakili kepentingan rakyat di lembaga legislatif. Hasil pemilu tahun 1955 untuk Dewan Perwakilan Rakyat ada 28 partai politik dan untuk anggota konstituante ada 34 partai, pemilu 1971 ada 10 partai, pemilu 1977-1997 ada 3 partai, dan pada pemilu 1999 ada 48 partai, pemilu 2004 ada 24 parpol dan pemilu yang terakhir pada tahun 2009 ini 38 partai politik tambah 4 partai lokal di NAD ikut serta dalam pesta demokrasi di Indonesia (Kpu.go.id).
Partai politik merupakan salah satu institusi inti pelaksana demokrasi modern dimana mengandaikan sebuah sistem keterwakilan, baik itu keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti Parlemen/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun keterwakilan aspirasi masyarakat dalam institusi kepartaian.[1] Perwakilan/representation adalah konsep bahwa seseorang atau sesuatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas nama rakyat atau suatu kelompok yang lebih besar sehingga anggota DPR/DPRD pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik.
Isu penting dalam setiap penyelenggaraan pemilu adalah bagaimana menghasilkan calon anggota legislatif berkualitas yang berasal dari kader-kader partai politik dengan tingkat keterwakilan rakyat yang tinggi, itulah esensi pemilu sekaligus alasan mengapa kualitas pemilu perlu terus diperjuangkan. Pemilu dikatakan berkualitas, salah satunya ditandai dengan tercerminkannya keterwakilan masyarakat di dalam lembaga legislatif yang benar-benar mengerti kondisi rakyatnya namun semua itu dapat terealisasikan dengan sistem pemilu yang digunakan dalam pelaksanaannya.
Prinsip keterwakilan masyarakat dalam pemilu dipengaruhi oleh sistem pemilihan yang digunakan. Sistem pemilihan bisa diartikan sebagai suatu kumpulan metode atau cara masyarakat untuk memilih wakil rakyat.
Arend Lijphart (1995) berpendapat, sistem pemilihan merupakan sesuatu yang penting dalam sebuah negara demokrasi perwakilan karena membawa konsekuensi sangat besar terhadap proporsionalitas hasil pemilu.
Pemilu Legislatif Tahun 2004 dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut menentukan dua cara penetapan calon legislatif terpilih, yaitu: Berdasarkan angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dimana calon yang memperoleh suara melebihi atau sama dengan BPP terlebih dahulu ditetapkan sebagai calon terpilih, dan berdasarkan nomor urut dari daftar calon yang diajukan parpol peserta pemilu di daerah pemilihan masing-masing.[2] Berdasarkan Undang-Undang tersebut, mekanisme penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana tertulis dalam Pasal 107 ayat 2b menyatakan bahwa penetapan nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa calon dengan nomor urut kecil lebih memiliki peluang untuk duduk dalam lembaga legislatif dibanding calon dengan nomor urut besar, meskipun calon dengan nomor urut kecil mendapatkan suara yang lebih sedikit dari pada calon dengan nomor urut besar.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tertanggal 23 Desember 2008 mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait uji materi UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, salah satunya adalah Pasal 214 ayat 2b, sehingga penetapan caleg terpilih untuk pemilu Tahun 2009, apabila jumlah suara yang diperoleh tidak mencapai angka BPP akan ditentukan dengan sistem suara terbanyak. Lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai sistem perolehan suara terbanyak berawal dari gugatan uji materi atas pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu 2009 oleh caleg Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pertimbangan dari putusan ini di antaranya, ketentuan pasal 214 huruf a,b,c,d, dan e UU No 10/2008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagian pemilu (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangan dengan makna substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 d ayat 1 UUD 1945.[3]
Pemilu Tahun 2009 dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perubahan sistem pemilu dari sistem nomor urut menjadi sistem suara terbanyak merupakan suatu babakan baru dalam proses demokrasi. Sistem nomor urut dianggap kurang demokratis karena calon terpilih ditentukan oleh nomor urut. Nomor urut lebih memungkinkan calon terpilih dibandingkan suara dari pemilih.
Sistem suara terbanyak sebagai aturan main dalam pemilu 2009 sebagai pengganti sistem nomor urut tentunya memiliki kelebihan dan kelemahan dimana sebuah sistem tidak memiliki sisi sempurna atau dengan kata lain selalu mendapat celah dari elemen yang menjalankannya secara tidak sehat. Kelebihan sistem suara terbanyak, elit yang terpilih merupakan representasi nyata dari pilihan rakyat karena tidak memandang nomor urut lagi, terciptanya iklim yang lebih demokratis dalam internal partai mengingat pada sistem nomor urut peranan petinggi partai sangat dominan dalam proses penyusunan daftar caleg dan peluang keterwakilan perempuan sangat terbuka walaupun hanya dalam tahap pencalonan. Disamping itu sistem suara terbanyak juga memiliki kelemahan diantaranya sangat membuka peluang terjadinya politik uang dengan kondisi banyaknya calon untuk mendapatkan dukungan konstituen, dan sikap individualitas dalam internal partai antara caleg akan meningkat seiring untuk mendapatkan suara terbanyak persaingan akan lebih kuat antara internal partai dibandingkan elit dengan partai lain.
Perubahan sistem nomor urut menjadi sistem suara terbanyak melahirkan optimisme para calon yang maju dalam pemilihan. Nomor urut bukan lagi menjadi patokan terpilihnya seorang calon. Calon yang tampil akan lebih semangat dalam melakukan kampanye karena memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih. Sistem suara terbanyak merupakan sistem yang membawa sisi demokratis dalam internal partai, dalam hal ini pada elit-elit partai yang bersaing dalam pemilu.
Pada pemilu caleg tahun 2009 di Kabupaten Bone diramaikan oleh figur- figur baru dalam partai politik khususnya pada Partai Golkar dan PDIP. Figur baru bisa juga dikatakan sebagai kader instan partai dalam pemilu untuk menjadi calon, berbeda dengan pengurus partai atau elit lama dan ada juga yang sudah menjabat sebagai anggota legislatif dan mencalonkan untuk terpilih kembali.
Sistem suara terbanyak diterapkan oleh MK setelah penyusunan daftar calon tetap partai politik khusunya partai Golkar dan PDIP Kabupaten Bone sebelum pemilu dilaksanakan. Namun kenyataannya, banyak figur-figur baru yang tampil dalam list daftar calon tetap anggota legislatif kedua partai tersebut. Dengan adanya sistem suara terbanyak figur-figur baru yang tampil bersikap ortimis dengan tidak memandang nomor urut untuk terpilih, begitupun juga dengan elit lama partai akan berjuang untuk memperoleh dukungan.
Hadirnya figur-figur baru dalam partai Golkar dan PDIP dalam pencalonan pada pemilu caleg 2009 akan mengakibatkan polarisasi dengan elit lama/pengurus partai karena dengan sistem suara terbanyak melahirkan optimisme masing-masing calon untuk bekerja lebih keras untuk mendapatkan suara. Persaingan elit internal partai lebih kuat dibandingkan dengan elit lintas partai politik. Disatu sisi elit lama yang mengandalkan nomor urut sebelumnya merasa harus berjuang lebih untuk terpilih karena sistem nomor urut telah tergantikan oleh sistem suara terbanyak dan disisi lain figur-figur baru dengan rasa percaya diri mengandalkan popularitas untuk terpilih dengan adanya sistem suara terbanyak.
Penulis tertarik untuk meneliti mengenai dampak penerapan sistem suara terbanyak terhadap polarisasi elit khusunya pada Partai Golkar dan PDIP di Kabupaten Bone. Alasan penulis memilih kedua partai politik tersebut, pertama Partai Golkar merupakan partai politik relatif mendominasi elit-elitnya yang lolos dalam setiap pemilihan umum di Kabupaten Bone dan khususnya Partai Golkar yang telah lama eksis di Kabupaten Bone hingga berakar pada masyarakat serta eksistensinya dengan elit-elit politik yang mapan. Golkar Kabupaten Bone partai yang sangat diminati oleh elit-elit politik setiap ajang pemilu. Serta banyaknya figure-figur baru dalam daftar pencalonan pada pemilu Tahun 2009. Kedua, penulis memilih partai PDIP Kabupaten Bone sebagai partai lama di Kabupaten Bone yang tersaingi oleh semakin mapannya partai-partai baru yang hadir di Kabupaten Bone dalam setiap pemilu sehingga terus berebenah untuk meloloskan calonnya. Disamping itu dalam list daftar calon PDIP Kabupaten Bone pada pemilu 2009 diramaikan oleh figur-figur baru.
Penulis akan meneliti mengenai gambaran polarisasi elit partai politik terkhusus pada Partai Golkar dan PDIP Kabupaten Bone setelah diterapkan sistem suara terbanyak dan bagaimana dampak yang timbul akibat polarisasi elit. Berdasarkan penjabaran perubahan sistem pemilu perolehan suara terbanyak tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Dampak Penerapan Sistem Suara Terbanyak Terhadap Polarisasi Elit Dalam Partai Politik (Studi Terhadap Partai Golkar dan PDIP di Kabupaten Bone)”
0 Response to "Dampak Penerapan Sistem Suara Terbanyak Terhadap Polarisasi Elit Dalam Partai Politik (PLT-7)"
Post a Comment