Mampukah Mahkamah Agung Kuburkan Esprit De Corps
Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, mengatakan: "Sekarang kalau ada kejadian yang menghilangkan integritas, tidak ada toleransi lagi. Ini arahan Ketua. Tidak boleh ada Esprit de Corps menjadi alasan menutup-nutupi keburukan lembaga." (29/12/2012).
Hal ini beliau sampaikan ketika menanggapi pengakuan seorang Hakim tentang penyimpangan yang ia lakukan di masa lalu dengan seorang pejabat Mahkamah Agung di sebuah portal berita online. (detik.com, 29/12/2012).
Hal ini beliau sampaikan ketika menanggapi pengakuan seorang Hakim tentang penyimpangan yang ia lakukan di masa lalu dengan seorang pejabat Mahkamah Agung di sebuah portal berita online. (detik.com, 29/12/2012).
Kalimat tentang Esprit de Corps ala Mahkamah Agung yang disampaikan oleh Ridwan Mansyur bukanlah sekedar basa-basi. Ridwan Mansyur hanya sekedar mengulangi apa yang disampaikan oleh Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam pidatonya ketika melantik beberapa Ketua Pengadilan Tingkat Banding di Mahkamah Agung (27/12/2012).
Dalam pidato tersebut, Hatta Ali menyorot tajam tentang masih adanya aparat pengadilan yang tertangkap karena melakukan perbuatan yang tidak terpuji, yang sangat merusak citra dan wibawa Mahkamah Agung.
Esprit de corps.
Rapl Linton mengatakan esprit de corps adalah semangat keakraban dalam korps. Perasaan ini akan menimbulkan kesadaran korps, perasaan kesatuan, perasaan kekitaan, dan kecintaan terhadap perhimpunan atau organisasi.
Secara positif, esprit de corps menekankan kepada rasa hormat terhadap pribadi, lingkungan dan organisasi/korps. Tapi jika diartikan secara negatif, semangat esprit de corps biasa dipakai untuk menutup-nutupi tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh kolega: “Right or wrong, this is my corps”.
Hatta Ali menyatakan bahwa sudah tidak lagi zamannya semangat esprit de corps dipakai untuk menutup-nutupi tindakan tidak terpuji. Semangat ini hendaknya diarahkan ke hal-hal yang lebih positif, produktif dan proporsional sesuai dengan fungsi lembaga peradilan.
Itikad ini telah terealisir dengan di-Mahkamah Kehormatan Hakim-kan salah seorang Hakim Agung dalam kasus pemalsuan amar putusan, yang berujung kepada pemberhentian dengan tidak hormat tanpa hak pensiun terhadap Hakim Agung tersebut.
Hakim Agung yang diberhentikan secara tidak hormat, baru terjadi pertama kali di Indonesia, sebuah sinyal kuat dari Mahkamah Agung untuk menghilangkan dan memproses segala penyimpangan yang terjadi, dengan tanpa membela dan menutup-nutupi.
Selama tahun 2012 ini sudah ada beberapa Hakim yang dikenai sanksi diberhentikan, atau di nonpalu karena berbagai sebab penyimpangan. Naiknya jumlah Hakim yang diberi sanksi tidaklah bermakna bahwa moral para Hakim semakin merosot, akan tetapi justru memberikan sinyal bahwa jargon bersih-bersih ke dalam institusi dan semangat esprit de corps yang positif semakin menguat.
Sejak Indonesia merdeka, sepertinya belum pernah ada mimpi bahwa Hukum akan tegak terhadap aparat peradilan, terutama Hakim, apalagi melihat Hakim yang mendapat sanksi diberhentikan adalah sebuah utopia.
Janji yang Harus Dipenuhi.
Saat ini kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan berada di titik nadir. Sebuah itikad saja mungkin tidak cukup, masih diperlukan usaha yang kuat untuk meraih kembali kepercayaan masyarakat dan memulihkan keagungan lembaga peradilan.
Keterbukaan dan tranparansi perkara yang sudah lama digembar-gemborkan oleh Mahkamah Agung ternyata tersendat di pengadilan tingkat pertama. Ketika perkara Kasasi dan Peninjuan Kembali dapat dengan mudah diakses di website Mahkamah Agung, tidak demikian halnya yang terjadi dengan putusan pengadilan-pengadilan tingkat pertama.
Sampai saat ini masih banyak ditemui cerita tentang sulitnya pihak berperkara mengakses informasi tentang perkara yang mereka cari, dan minimnya publikasi putusan. Program Mahkamah Agung untuk mempublikasikan seluruh putusan Pengadilan dalam satu portal (putusan.mahkamahagung.go.id), tidak berjalan dengan baik.
Mahkamah Agung seakan berpacu dengan waktu yang tidak mau berhenti. Hatta Ali menyampaikan dalam pidato tersebut agar seluruh aparat peradilan untuk rajin mengupdate dan memeriksa informasi di website Mahkamah Agung, demi transparansi dan keterbukaan. Alasan masih gaptek, atau terhambat akses karena buruknya infrastruktur, bukanlah lagi sebuah alasan yang dapat diterima.
Harapan masyarakat semakin membumbung tinggi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2012 tentang kesejahteraan Hakim. Alasan ekonomi sebagai pembenar tindakan tercela suap dan kongkalikong dengan pihak berperkara menjadi sirna.
Modus operandi terselubung yang harus diwaspadai oleh semua aparat peradilan adalah, meminjam istilah Achmad Fauzi, Deposit Suap: Jika seorang Hakim menerima pemberian, walaupun tidak berkaitan dengan perkara apapun, tidak menutup kemungkinan suatu saat sang pemberi akan menagih kompensasi dari pemberian yang pernah ia berikan. Hal inilah yang terjadi terhadap seorang Ketua Pengadilan di Kalimantan Tengah.
Menerima pemberian ucapan terimakasih setelah perkara selesai pun tidak dapat dibenarkan, karena itu adalah suap yang tertunda. Semua aparat peradilan harus mengingat istilah tidak ada makan siang gratis.
Praktek korup lain yang harus musnah adalah pungli di setiap lini peradilan. Biaya pendaftaran perkara siluman, sisa panjar perkara perdata yang tidak dikembalikan, kongkalikong pencabutan status tahanan, pungli peminjaman alat bukti, dan banyak praktek penyimpangan lain juga harus menjadi prioritas perbaikan.
Amanat Hatta Ali bahwa tidak boleh ada toleransi terhadap tindakan-tindakan tidak terpuji yang mencederai reputasi dan integritas badan peradilan adalah sebuah harapan bagi terciptanya lembaga peradilan yang bersih, profesional, dan berintegritas, sekaligus sebuah amanat yang menjadi janji yang harus dipenuhi dan dilaksanakan secara konsekuen, dengan pengawalan dan pengawasan dari media dan masyarakat.
Sunset Policy ala Mahkamah Agung.
Pada tahun 2008, Dirjen Pajak memperkenalkan Sunset Policy, sebuah kebijakan pengampunan sanksi administrasi perpajakan, dalam rangka untuk menggenjot penerimaan pajak dari wajib pajak kepada pemerintah.
Pidato Hatta Ali tersebut, penulis artikan sebagai Sunset Policy-nya Mahkamah Agung: sebuah cara berfikir yang out the box, untuk meluruskan, memperbaiki, dan memperkuat dunia peradilan. Seakan tersirat disana kalimat: “Kita tutup semua cerita lama, dan mari kita buka lembaran baru yang lebih baik, dan melakukannya dengan cara yang benar.”
Birokrasi pada intinya adalah suatu kondisi dimana pelaksanaan tugas dan arahan pimpinan bisa terlaksana secara efisien dan efektif. Itikad dari Hatta Ali tidak akan mungkin terlaksana jika unsur birokrasi di semua tingkat pengadilan tidak mampu mengamankan kebijakan dan prioritas Mahkamah Agung, artinya birokrasi organisasi telah gagal. Jika ada satu unsur birokrasi yang ternyata menghambat, maka perlu ditinjau kembali amanah jabatan birokrat tersebut.
Dalam matematika, plus x plus = plus, sedangkan minus x minus = plus. Dengan bahasa sehari-hari, rumus diatas dapat diartikan bahwa menyatakan benar terhadap tindakan yang benar adalah benar, seperti halnya menyatakan salah terhadap tindakan yang salah adalah juga benar.
Saat ini kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan berada di titik nadir. Sebuah itikad saja mungkin tidak cukup, masih diperlukan usaha yang kuat untuk meraih kembali kepercayaan masyarakat dan memulihkan keagungan lembaga peradilan.
Keterbukaan dan tranparansi perkara yang sudah lama digembar-gemborkan oleh Mahkamah Agung ternyata tersendat di pengadilan tingkat pertama. Ketika perkara Kasasi dan Peninjuan Kembali dapat dengan mudah diakses di website Mahkamah Agung, tidak demikian halnya yang terjadi dengan putusan pengadilan-pengadilan tingkat pertama.
Sampai saat ini masih banyak ditemui cerita tentang sulitnya pihak berperkara mengakses informasi tentang perkara yang mereka cari, dan minimnya publikasi putusan. Program Mahkamah Agung untuk mempublikasikan seluruh putusan Pengadilan dalam satu portal (putusan.mahkamahagung.go.id), tidak berjalan dengan baik.
Mahkamah Agung seakan berpacu dengan waktu yang tidak mau berhenti. Hatta Ali menyampaikan dalam pidato tersebut agar seluruh aparat peradilan untuk rajin mengupdate dan memeriksa informasi di website Mahkamah Agung, demi transparansi dan keterbukaan. Alasan masih gaptek, atau terhambat akses karena buruknya infrastruktur, bukanlah lagi sebuah alasan yang dapat diterima.
Harapan masyarakat semakin membumbung tinggi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2012 tentang kesejahteraan Hakim. Alasan ekonomi sebagai pembenar tindakan tercela suap dan kongkalikong dengan pihak berperkara menjadi sirna.
Modus operandi terselubung yang harus diwaspadai oleh semua aparat peradilan adalah, meminjam istilah Achmad Fauzi, Deposit Suap: Jika seorang Hakim menerima pemberian, walaupun tidak berkaitan dengan perkara apapun, tidak menutup kemungkinan suatu saat sang pemberi akan menagih kompensasi dari pemberian yang pernah ia berikan. Hal inilah yang terjadi terhadap seorang Ketua Pengadilan di Kalimantan Tengah.
Menerima pemberian ucapan terimakasih setelah perkara selesai pun tidak dapat dibenarkan, karena itu adalah suap yang tertunda. Semua aparat peradilan harus mengingat istilah tidak ada makan siang gratis.
Praktek korup lain yang harus musnah adalah pungli di setiap lini peradilan. Biaya pendaftaran perkara siluman, sisa panjar perkara perdata yang tidak dikembalikan, kongkalikong pencabutan status tahanan, pungli peminjaman alat bukti, dan banyak praktek penyimpangan lain juga harus menjadi prioritas perbaikan.
Amanat Hatta Ali bahwa tidak boleh ada toleransi terhadap tindakan-tindakan tidak terpuji yang mencederai reputasi dan integritas badan peradilan adalah sebuah harapan bagi terciptanya lembaga peradilan yang bersih, profesional, dan berintegritas, sekaligus sebuah amanat yang menjadi janji yang harus dipenuhi dan dilaksanakan secara konsekuen, dengan pengawalan dan pengawasan dari media dan masyarakat.
Sunset Policy ala Mahkamah Agung.
Pada tahun 2008, Dirjen Pajak memperkenalkan Sunset Policy, sebuah kebijakan pengampunan sanksi administrasi perpajakan, dalam rangka untuk menggenjot penerimaan pajak dari wajib pajak kepada pemerintah.
Pidato Hatta Ali tersebut, penulis artikan sebagai Sunset Policy-nya Mahkamah Agung: sebuah cara berfikir yang out the box, untuk meluruskan, memperbaiki, dan memperkuat dunia peradilan. Seakan tersirat disana kalimat: “Kita tutup semua cerita lama, dan mari kita buka lembaran baru yang lebih baik, dan melakukannya dengan cara yang benar.”
Birokrasi pada intinya adalah suatu kondisi dimana pelaksanaan tugas dan arahan pimpinan bisa terlaksana secara efisien dan efektif. Itikad dari Hatta Ali tidak akan mungkin terlaksana jika unsur birokrasi di semua tingkat pengadilan tidak mampu mengamankan kebijakan dan prioritas Mahkamah Agung, artinya birokrasi organisasi telah gagal. Jika ada satu unsur birokrasi yang ternyata menghambat, maka perlu ditinjau kembali amanah jabatan birokrat tersebut.
Dalam matematika, plus x plus = plus, sedangkan minus x minus = plus. Dengan bahasa sehari-hari, rumus diatas dapat diartikan bahwa menyatakan benar terhadap tindakan yang benar adalah benar, seperti halnya menyatakan salah terhadap tindakan yang salah adalah juga benar.
(Tulisan ini juga dimuat di Koran Banjarmasin Post, Selasa 1 Januari 2013)
0 Response to "Mampukah Mahkamah Agung Kuburkan Esprit De Corps"
Post a Comment