"Aku"
Chapter 1
Awal mula kisah ini
Aku adalah lelaki pemalu, usia ku masih muda baru 19 tahun tapi semangat ku tinggi. Aku kuliah di salah satu kampus negeri islam di pontianak ibu kota kalimantan barat. Aku mengambil konsentrasi perbankan. Aku anak daerah yang mencoba meraih masa depan di kota tempat setiap anak muda sepertiku menaruh harapan tinggi untuk menggapai asa yang lebih baik. Jadilah aku meninggalkan kedua orang tua ku dan adik ku untuk melanjutkan pendidikan, sebelumnya aku adalah “anak gunung” tinggal di daerah yang sekitar wilayahnya ditumbuhi pohan karet dan kelapa sawit yang penduduknya mengais rejeki dari menoreh karet dan menambang emas. Kedua orangtua ku adalah pedagang yang ulet, mereka tidak punya banyak keahlian tapi berani mengambil setiap resiko untuk bertahan hidup. Jadilah aku dibesarkan dilingkungan yang punya etos kerja yang tinggi, sudah buka warung dari pukul 04.30 sampailah tutup pukul 21.00 tidak ada hari libur apalagi tanggal merah.
Kisah perjalanan hidupku yang seperti dideskripsikan diatas berlangsung dari kuberusia 5 tahun hingga ku menamatkan jenjang pendidikan SMA, tak ada keluh kesah apalagi menyerah semua ku jalani dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Tapi setiap cerita itu ada masanya dan setiap masa ada akhirnya maka kisah itu kututup dengan manis, lulus sma dengan predikat terbaik di sekolah. Awal yang baru didepan mata yaitu menghadap masa kedewasaan dimana harus ditempa dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan, jauh dari keluarga sudah pasti namun itulah resiko, resiko yang harus aku ambil demi mengangkat derajat hidup. Kutinggalkan suka cita dibangku sekolah dengan menatap masa depan yang cerah dibangku perkuliahan, awalnya itu yang kubayangkan.
Dengan membawa bekal doa dan harapan dari kedua orang tua serta keluarga kukencangkan keyakinan bahwa kubisa menjalani masa baru ini. Kutinggalkan rumah toko –ruko- yang sudah kudiami selama 9 tahun. Aku tinggal di pontianak di tempat bibiku tepatnya dia saudara perempuan ayahku. Bibiku ini janda punya anak dua yang semuanya sudah menikah, di rumah sederhanannya dia tinggal dengan anak keduanya yang sudah menikah dengan seorang brigadir polisi dan hasil pernikahan itu bibiku sudah memiliki cucu. Jadilah aku anggota keluarga baru di keluarga tersebut, jujur saja ini baru pertama kalinya aku tinggal dengan orang lain alias bukan dengan kedua orangtua ku, tapi terus terang saja semangatku waktu itu tetap sama, tetap optimis meraih masa depan yang lebih baik tak peduli dengan bagaimana keadaan nantinya tak peduli dengan bagaimana hari-hari kedepan yang sudah menunggu. Jadi masa-masa awal perkuliahan itu aku tinggal dirumah bibi ini, bibi ini ku panggil UMI. Umi adalah seorang juru masak yang handal hampir semua masakan yang dia buat enak jadilah selera makan ku tidak berkurang sungguh makan dengan lauk yang apa adanya, perlu pembaca tau kedua orang tua ku mempunyai usaha rumah makan dan sebuah cafe dan resto di daerah “gunung”, jadi makan enak sudah hal lumrah dalam keseharianku.
Masa-masa orientasi pengenalan siswa baru di kampus kujalani dengan mulus berkat bantuan umiku ini yang begitu sabar dan tangkas menyiapkan semua kebutuhan dan keperluan ku mulai dari bekal, pakaian, papan nama mahasiswa sampai lah mengantar ku pergi, sungguh aku sangat berterimakasih atas jasa umiku ini dan kedua anaknya yang sudah berbaik hati membantuku.
Selanjutnya dimasa awal studi ku dikampus ku lalui dengan penuh antusias, menjadi orang pertama yang hadir di kelas sudah bukan pemandangan langka bagi teman-temanku. Sama seperti dulu waktu dibangku SMA kebiasaan datang pagi-pagi dan menyiapkan kelas pelajaran menjadi sebuah rutinitas yang berulang dibangku perkuliahan ini. Mulailah ku mengenal kawan-kawan ku dibangku kuliah, kebanyakan mereka juga dari daerah sekitaran kalimantan barat tapi ada juga yang dari luar kalimantan. Kesanku pertama adalah takjub melihat semangat kawan-kawan ku yang mungkin ceritanya sama dengan kisahku pergi meninggalkan kampung halaman untuk menggantungkan nasib di ibukota melalui jalur pendidikan. Tapi ada juga yang berasal dari daerah sekitaran kota pontianak dan jumlahnya juga tidak sedikit mungkin jika kuhitung-hitung ada 1/3 dari jumlah total kawanku di kelas. Mereka tentunya sudah paham betul dengan kondisi dan situasi yang ada di kota pontianak, gaya bicara mereka saja sudah berbeda sangat kental dengan logat melayu khas pontianak, hal yang lumayan asing ditelinga ku, mengingat ku berasal dari “daerah gunung” yang bahasanya kebanyakan dicampur dengan bahasa dayak khas suku lokal dan bernada agak cepat serta kalau didengarkan sedikit kasar itu persepsiku saja ya.
Nah mulailah masa masa perkuliahan ini, awalnya kurasa agak berat karena sangat berbeda dengan apa yang kutemui semasa bangku sekolah. Istilah-istilah baru juga harus cepat ku kuasai seperti dosen pembimbing, mata kuliah, sks, krs, khs, silabus, persentasi, makalah, jurnal dsbnya. Bagaimana tanggapanku atas hal tersebut? Jawabannya optimis, semangat yang tiada tandingnya dan menggebu-gebu, tidak ada hari yang kulewati selain memikirkan tentang tugas kuliah seperti makalah dan persentasi, waktu senggang yang ada ku isi dengan membantu kawan-kawan lain untuk mengerjakan tugas kuliahnya, jujur saja aku juga mencari rejeki dari hal tersebut jadilah aku ini seperti makelar tugas di kelas. Masa-masa itu berlangsung hingga III semester. Tapi tunggu dulu III semester dibangku kuliah tidak kujalani dengan mulus, ada masa di semester I kukuliah kuminta dengan orangtua ku untuk berhenti masalahnya kecil ada dosen killer yang mewajibkan mahasiswanya fasih membaca Al-Qur’an hingga ke pelafasan dan tajwidnya belum lagi harus pandai juga menulis bahasa arab. Sebagai orang islam seyogyanya aku mampu memahami maksud dosen tersebut, tapi sebagai anak dari kedua orang tua yang islamnya cuma sebatas mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerti tentang sholat maka aku jadi ragu lebih tepatnya sudah takut dahulu. Permintaanku berhenti kuliah mengguncang sanubari perasaan kedua orangtua ku, mengapa fachri? Apa yang terjadi? Mengapa sampai abg berpikiran seperti itu? Ada masalah apa? Mungkin itulah hal yang ada dibenak mereka ketika ku mengucapkan kata mau berhenti kuliah. Ayahku sampai datang jauh-jauh untuk menasehatiku, dia datang dengan membawa sebekal nasehat “nak ayahmu ini tidak kuliah, STM saja sampai kelas dua, jadi tolonglah pertahankan kuliahmu, mau dipasang dimana muka ayah dan ibu jika abg nanti berhenti kuliah? Tetangga kita, kawan-kawan ayah dan ibu semua menggangap abg adalah anak yang cerdas, berprestasi ketika dibangku SMA bahkan kalau bukan karena abg bapak tidak mungkin banyak dikenal orang, yang bapak tau anak bapak itu cepat memahami pelajaran dan punya kesabaran yang tinggi, jadi tolonglah bersabar dulu, ayah dan ibu akan pindah jika itu membuat abg merasa lebih baik.” Kata-kata itu menguatkan ku, sebenarnya pintaku sederhana aku hanya ingin berhenti kuliah dan melanjutkan tradisi keluarga kami yaitu menjalankan usaha, didalam benakku waktu itu kuingin buka usaha warung percetakan di ruko kedua orangtua, kupikir lebih baik untuk berusaha saja dimana tidak ada tekanan dari dosen yang killer tadi lalu punya kesempatan untuk menghasilkan uang. Rupanya hal tersebut tidak disetujui oleh kedua orangtuaku, akupun beralih dengan menyiapkan bacaan Al-Qur’an ku dan melatih tulisan bahasa Arabku. Ayahku pun kembali dengan bahagia anaknya tidak jadi berhenti kuliah.
BERSAMBUNG . . . . . .
0 Response to ""Aku""
Post a Comment