Studi Penerapan Nilai-Nilai Islam dalam Sistem Perpajakan di Indonesia (AK-53)

Untuk menunjang dan menjalankan pembangunan nasional tentunya pemerintah Indonesia membutuhkan anggaran yang tidak sedikit dan bersifat kontinu. Pemerintah Indonesia mendapatkan dana tersebut dari berbagai macam pemasukan negara. Pemasukan terbesar negara adalah berasal dari sektor perpajakan. Menurut data  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2010, peranan penerimaan perpajakan sudah mencapai 80% dari penerimaan dalam negeri.

Pajak erat hubungannya dengan pembangunan nasional. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta warga negara sebagai wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah,

rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan. Fungsi semacam itu disebut dengan fungsi budgetair dari pajak.


Indonesia merupakan negara dengan mayoritas masyarakat muslim terbesar di dunia, persentase nya mencapai 88% . Inilah yang menjadi salah satu pemicu perkembangan nilai-nilai syariah Islam di Indonesia.

Dewasa ini sudah mulai banyak dilaksanakan penerapan sistem syariah di Indonesia, terutama dalam sistem perekonomian. Perkembangan praktik bisnis syariah ini seiring dengan semakin besarnya keinginan dan harapan masyarakat Muslim di Indonesia untuk menerapkan nilai-nilai syariah Islam di berbagai sistem atau praktik bisnis yang dijalankan di Indonesia. Upaya pemahaman mengenai kegiatan ekonomi dan praktik bisnis yang berdasarkan syariah Islam mulai terlihat di awal tahun 1990-an.

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dimulai dengan pembentukan perbankan syariah yang ditandai dengan berdirinya Bank syariah pertama, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Bank ini pada awal berdirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta mendapat dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Walaupun di awal pembentukannya Bank Muamalat sempat mengalami kesulitan sehingga harus mendapatkan suntikan dana dari IDB sehingga pada tahun 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba.

Hingga tahun 2007 sudah terdapat tiga institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah terdapat 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.

Perkembangan sistem perbankan syariah yang sangat pesat dalam kurun waktu yang cukup singkat dikarenakan semakin tingginya minat dan kepercayaan masyarakat Indonesia terutama kaum Muslim untuk menggunakan produk dari perbankan syariah. Pertumbuhan minat masyarakat terhadap bank-bank syariah bahkan mencapai 70% dan sudah dapat bersaing dengan bank-bank konvensional yang dari awal telah diterapkan di Indonesia.

Dengan semakin berkembangnya praktik perbankan syariah di Indonesia, menyebabkan semakin banyaknya institusi-institusi keuangan yang gencar mengkaji lebih dalam dan menerapkan produk syariah lainnya seperti pembiayaan syariah, lembaga keuangan syariah non bank, reksa dana syariah, obligasi syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, dan sebagainya.

Namun demikian, walaupun praktik bisnis syariah sudah sangat berkembang di Indonesia, perekonomian syariah masih hanya dianggap sebagai salah satu solusi alternatif untuk bisa keluar dari krisis ekonomi yang masih terjadi di Indonesia.

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya umat Islam, seharusnya pemerintah Indonesia dapat melaksanakan sistem ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi yang universal, yang mengedepankan transparansi, keadilan dan good governancedalam pengelolaan usaha dan asset-asset negara. Sehingga  praktik ekonomi yang dijalankan berpihak pada rakyat dan berpihak pada kebenaran.

Maksud dari sistem ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi yang universal adalah walaupun sistem ekonomi syariah bersumber dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasul, namun tetap bersifat universal dan tidak eksklusif sehingga dapat diterapkan di Indonesia sekalipun, yang bukanlah sebuah negara Islam. Sistem ekonomi berbasis syariah bukan hanya diterapkan negara-negara Islam tetapi telah banyak pula diterapkan di negara-negara barat. Hal ini terjadi karena nilai-nilai dan prinsip Islam seperti keadilan, transparansi, dan perlakuan yang sama dalam meraih kesempatan berusaha dapat diterima di semua kalangan.

Salah satu sistem yang belum tersentuh dengan konsep syariah di Indonesia adalah sistem perpajakannya. Padahal sistem perpajakan dalam Islam juga telah ada sejak zaman Rasulullah Saw dan para khalifahnya. Namun seiring dengan menguatnya pengaruh prinsip sosialisme dan kapitalisme yang dibawa negara-negara barat, konsep ini sempat ditinggalkan oleh umat manusia khususnya umat Muslim.

Ekonomi Islam termasuk konsep pajak dalam Islam terdiri dari nilai-nilai filosofis seperti nilai Tauhid, Keadilan, Musyawarah, Kebebasan, dan Amanah atau tanggung jawab (Antonio, 1993: 14). Seharusnya nilai-nilai Islam ini dapat menjadi pedoman, landasan, dan dasar yang harus dipegang oleh umat muslim dalam melaksanakan kegiatan perekonomiannya sehingga senantiasa sesuai dengan syariat Islam yang diperintahkan oleh Allah Swt. Namun seperti diketahui bahwa sistem perpajakan di Indonesia merupakan sistem konvensional yang tentunya berbeda dengan konsep syariah dalam Islam. Sehingga belum tentu dalam sistem perpajakan di Indonesia terdapat nilai-nilai Islam yang seharusnya dijalankan oleh umat Muslim.

Apalagi sampai hari ini belum ada fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa pajak itu halal. Ironisnya bahwa hal sepenting pajak ini belum mendapatkan fatwa dari MUI sedangkan MUI bahkan telah mengeluarkan fatwa tentang rokok, mie instan, aliran sesat Ahmadiyah, dan lain-lain. Ketua MUI, Bapak KH. Ma’ruf Amin pernah ditanyai mengenai hal ini, beliau menjawab bahwa, “ MUI tidak mengeluarkan fatwa, kalau tidak diminta” artinya fatwa harus diminta terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran di kalangan umat Muslim karena ternyata pajak yang selama ini dijalankan di Indonesia belum diketahui haram halalnya.

Sedangkan umat Muslim dituntut untuk menjalankan seluruh kegiatannya di muka bumi ini sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam. Sudah menjadi kewajiban umat Muslim untuk menjalankan seluruh perintah Allah Swt melalui Al-Quran dan Sunnah Rasul yang menjadi pedoman hidup umat Islam. Sebagaimana Firman Allah dan QS An-Nisa [4] ayat 136:



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا﴿١٣٦﴾



Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada kitab (Al-Quran) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh”



Hal ini tentu saja menimbulkan dilema bagi umat Muslim di Indonesia karena sebagai warga negara yang telah memenuhi syarat menjadi wajib pajak, mereka diharuskan membayar pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. sementara umat muslim belum mengetahui dengan jelas apakah perpajakan di Indonesiasudah sesuai dengan syariat islam dan halal untuk dikerjakan sehingga umat muslim tidak harus ragu dalam menjalankan dan membayar kewajiban pajak mereka sebagai warga negara Indonesia.

 Sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk mencari tahu kebenaran dari segala sesuatu yang terdapat keraguan di dalamnya. Berdasarkan hal inilah penulis merasa perlu untuk mencari tahu tentang bagaimana perspektif Islam memandang kewajiban membayar pajak di Indonesia ditinjau dengan menganalisa nilai-nilai Islam apa saja dari kelima nilai filosofis ekonomi Islam yang telah ada dalam sistem perpajakan di Indonesia. hal ini penulis lakukan agar di akhir penelitian,

 penulis dapat mengukur seberapa besar nilai-nilai Islam telah diimplementasikan dalam perpajakan di Indonesia dan menarik kesimpulan apakah pajak tersebut telah sesuai dengan syariat yang diperbolehkan dalam ajaran Islam.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tema ini dengan judul: Studi Penerapan Nilai-Nilai Islam dalam Sistem Perpajakan di Indonesia”






0 Response to "Studi Penerapan Nilai-Nilai Islam dalam Sistem Perpajakan di Indonesia (AK-53)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel