ETIKA ISLAM DALAM BIDANG KONSUMSI

ETIKA ISLAM DALAM BIDANG KONSUMSI
GUSHAIRI, S.HI, MCL
Dosen STAI IBNU SINA BATAM
Abstract
Akhir-akhir ini berbagai macam penyakit yang diderita oleh masyarakat yang jarang sekali didengar beberapa puluh tahun yang lalu. Seperti penyakit kanker darah, diabetes, kolestrol tinggi, asam urat, dan berbagai macam penyakit lainnya yang bisa membahayakan nyawa seseorang. Hal ini terjadi disebabkan pola konsumsi yang tidak baik, cara makan yang baik, dan kualitas dari makanan yang dimakan. Tulisan ini melihat bagaimana Islam sebagai agama yang sempurna, memandang etika dalam bidang konsumsi. Penelitian yang dengan metode kualitatif ini, menemukan bahwa jika seseorang mengikuti yang diajarin dalam agama Islam masalah konsumsi maka akan bisa terhindar dari berbagai macam penyakit tersebut, karena Islam disamping memperhatikan kehalalan sebuah makanan, Islam juga memperhatikan kualitas makanan tersebut (baik dan bergizi), serta pola makan yang teratur.

Kata kunci: Konsumsi, Etika, Halal, Baik, dan Islam
Pendahuluan
Menderita sebuah penyakit adalah sesuatu yang ditakuti oleh banyak orang, akan tetapi sesuatu yang harus dijalani. Bagi orang yang beriman, menderita sebuah penyakit bisa saja merupakan sebuah ujian yang diberikan oleh Allah Swt. Namun, menjaga kesehatan adalah sebuah kewajiban di dalam Islam, karena di waktu sehatlah, seseorang bisa memperbanyak ibadah kepada Allah dan berbuat baik dengan sesama.
            Nabi Muhammad Saw menjelaskan untuk memanfaatkan waktu yang sehat sebelum datang waktu sakit.
Dalam sabdanya: “manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, yakni waktu muda sebelum datang waktu tua, waktu sehat sebelum datang waktu sakit, masa kaya sebelum datang masa fakir, waktu luang sebelum datang  waktu sempit/sibuk, dan waktu hidup sebelum datang waktu mati”.
            Akhir-akhir ini, berbagai macam penyakit yang diderita oleh manusia, seperti penyakit diabetes, kolestrol, asam urat, darah tinggi, usus buntu, maag dan berbagai macam penyakit lainnya yang bisa berujung kepada kematian, atau tidak produktif lagi akibat dari penyakit yang di derita.
Penyakit diabetes merupakan penyakit yang ditandai dengan kadar gula darah yang jauh di atas normal. Pada tahun 2013, Indonesia termasuk dalam 10 negara terbesar penderita diabetes yang mencapai 8,5 juta orang. Penyakit kolestrol juga menjadi momok bagi masyarakat, ketika kolestrol naik, maka akan mengakibatkan seseorang pusing dan bisa berimbas kepada sakit jantung, stroke, maupun penyempitan pembuluh darah.
Menurut para dokter, penyakit-penyakit ini berasal dari gaya hidup dan perilaku, seperti kurang memperhatikan berat badan yang berlebih, lingkar perut terlalu besar, sementara itu aktifitas fisik kurang, pengaturan porsi makan, kadang-kadang berlebihan dan terlalu sedikit atau menunda-menunda untuk makan, adanya asupan makan yang banyak mengandung lemak dan gaya hidup yang cenderung tidak teratur dan seimbang.
Sehingga sangat menarik diteliti bagaimana Islam memandang etika dalam konsumsi supaya terhindar dari berbagai macam penyakit yang berujung kepada hidup yang sia-sia dan tidak produktif lagi, bahkan berujung kepada kematian.
Pengertian Konsumsi
Konsumsi, berasal dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[1]
Yusuf Qardhawi mendefenisikan konsumsi adalah salah satu kegiatan utama dalam ekonomi. Konsumsi di dalam Islam tidak bisa lepas dari etika umum tentang norma dan akhlaq dalam ekonomi Islam.[2]
Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka.  Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya (resources) yang dimilikinya.[3]
Pandangan Islam dalam konsumsi
Setiap hari selama hidup, manusia selalu melakukan kegiatan makan dan minum, karena dengan makan dan minum akan memberikan tenaga dan kekuatan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Mengkonsumsi makanan dan minuman sesungguhnya bukan hanya persoalan memindahkan makanan dari piring ke dalam perut, makan dan minum, apabila dilakukan dengan benar, juga merupakan ibadah, tanda syukur kepada Allah swt, dan tentunya untuk menjaga kesehatan dengan baik.
Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Syari’at Islam menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam Shatibi menggunakan istilah ‚mas}lahah‛, yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Mas}lahah merupakan sifat atau kemampuan barang 32 dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan-tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.[4]
Islam telah memberikan petunjuk berupa arahan-arahan positif dalam menkonsumsi makanan dalam kehidupan sehari-hari:
Pertama, seorang muslim harus memperhatikan kehalalan makanan.  Makanan yang baik yang dibolehkan memakannya menurut ajaran Islam , yaitu sesuai dalam AlQur’an dan Al- hadits.[5] Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah Saw dalam sebuah hadisnya,
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
[رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “.(Riwayat Bukhori dan Muslim)[6]
Hadits di atas menjelaskan bahwa yang haram itu telah jelas dan yang haram juga telah jelas. Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu yang akan di konsumsinya.
Para fuqaha' menjadikan memakan hal-hal yang baik ke dalam empat tingkatan. Pertama, wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari kebinasaan dan tidak mengkonsusmsi kadar ini padahal mampu yang berdampak pada dosa. Kedua, sunnah, yaitu mengkonsusmsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan diri dari kebinasaan dan menjadikan seoarang muslim mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa. Ketiga, mubah, yaitu sesuatu yang lebih dari yang sunnah sampai batas kenyang. Keempat, konsusmsi yang melebihi batas kenyang, yang dalam hal ini terdapat dua pendapat, ada yang mengatakan makruh yang satunya mengatakan haram.[7]
Dasar hukum Al- Qur’an tentang makanan halal diantaranya yaitu :
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Artinya: ”dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kammu beriman kepadaNya”. QS. Al- Mai’dah 88)[8]


Juga dalam surat An- Nahl ayat 114
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Artinya : “Makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepadan-Nya menyembah”. (QS. An-Nahl).[9]
 Ayat-ayat diatas bukan saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal hukumnya wajib karena merupakan perintah agama, tetapi menunjukkan juga hal tersebut merupakan salah bentuk perwujudan dari rasa syukur dan keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan.
Dari beberapa ketentuan di atas, terlihat bahwa Kepedulian Allah Swt sangat besar terhadap soal makanan dan aktifitas makan untuk makhluknya. Hal ini tercermin dari firmannya dalam al Qur’an mengenai kata tha’am yang berarti ”makanan” yang terulang sebanyak 48 kali dalam berbagai bentuknya. Ditambah pula dengan kata akala yang berarti ”makan”sebagai kata kerja yang tertulis sebanyak 109 kali dalam berbagai derivasinya, termasuk perintah ”makanlah” sebanyak 27 kali. Sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan makan yaitu ”minum” yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut syariba terulang sebanyak 39 kali.[10]
Kedua, seorang muslim harus peka terhadap sesuatu yang dilarang oleh Islam. Islam tidak hanya mengatur perkara halal saja, tetapi juga menyebutkan beberapa jenis makanan yang diharamkan, seperti menghindari konsumsi minum khamr dan makan daging babi. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Maidah ayat 3,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Artinya: "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai darah daging babi .... (Q.S. al-Maidah/5: 3)

Sebenarnya Dalam Al Qur’an makanan yang di haramkan pada pokoknya hanya ada empat yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 173.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqoroh {2} : 173).[11]
Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa makanan yang diharamkan diantaranya :
1.      bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih ; termasuk didalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya, hanya bangkai ikan dan belalang saja yang boleh kita makan.
2.      Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya adalah darah yang keluar pada waktu penyembelihan (mengalir) sedangkan darah yang tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan. Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan limpa.
3.      Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik darahnya, dagingnya, maupun tulangnya.
4.      Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah
Perkara halal dan haram harus menjadi perhatian khusus bagi orang Islam ketika menkonsumsi makanan, dan jangan sampai seorang muslim langsung makan saja tanpa melihat kehalalan dari makan tersebut, penduduk Indonesia mesti bersukur dengan adanya lembaga yang berhak mengeluarkan kehalalan sebuah produk makanan, namun tidak tertutup kemungkinan masih banyak yang belum bisa mendapatkannya karena produksi makanananya bukan terbuat dari yang halal.
Ketiga, pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi. Makanan yang baik yaitu segala makanan yang dapat membawa kesehatan bagi tubuh, dapat menimbulkan nafsu makan dan tidak ada larangan dalam Al Qur’an maupun hadits.[12]
Berbagai macam penyakit yang diderita mayoritas manusia saat ini disebabkan dengan ukuran pola konsumsi dan ukuran kualitas dari yang dimakan tersebut. Dalam hal ini, Islam sangat melarang umatnya untuk berlaku kikir yakni terlalu menahan-nahan harta, sehingga kualitas makanan yang dimakan sangat rendah, dan di sisi lain, Allah juga melarang umatnya membelanjakan harta mereka secara berlebih-lebihan di luar kewajaran.
Di dalam QS. Al- Furqan ayat 67 Allah mengatakan:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.[13]
Realita di lapangan pada saat sekarang ini, betapa banyak manusia yang menahan-nahan hartanya karena takut habis padahal dia sangat membutuhkannya, dan sebagian besar lainnya terlalu menghambur-hamburkan uangnya kepada sesuatu yang tidak penting dan bahkan dia tidak membutuhkannya sama sekali.
Oleh sebab itu, Islam mengarahkan umatnya untuk memiliki perilaku konsumsi yang baik, pertama, tidak berlebihan. Umat Islam harus bisa menahan hawa nafsunya ketika menginginkan sesuatu yang belum dibutuhkannya. Di dalam QS al-A’raf ayat 31 menjelaskan bahwa,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
Artinya: “Makan dan minumlah kalian, namun jangan berlebih-lebihan (boros) karena Allah tidak mencintai orang-orang yang berlebih-lebihan”.[14]
Sebagai contoh, banyak orang yang makan di malam hari yang padahal sebenarnya mereka tidak terlalu lapar kalau tidak makan, yang pada akhirnya makanannya terbuang begitu saja, atau juga dalam waktu berbuka puasa, betapa banyak makanan yang dihadangkan akan tetapi ketika waktu berbuka datang, banyak makanan yang berlebih atau bahkan banyak yang sakit dalam kekenyangan.
Kedua, memilih makanan yang berkualitas. Memilih makanan yang berkualitas tentu juga akan menentukan kesehatan seseorang, makanan yang penuh dengan gizi alami, akan memberikan kontribusi dalam mengurangi proporsi kolesterol, seperti madu dan susu, dan tentunya yang tidak membahayakan badan, seperti terlalu banyak konsumsi gorengan, makanan yang berpengawet, dan berbagai jenis makanan lainnya yang kurang berkualitas.
Penutup
            Islam adalah sebagai agama yang mengatur segala sendi kehidupan manusia secara sempurna, tidak luput juga bagaimana etika seorang makhluk dalam menkomsumi sebuah makanan atau minuman. Islam telah jauh-jauh hari mengingatkan dan memberikan solusi yang terbaik dalam hal etika konsumsi, yang bisa menghindari atau mencegah penyakit yang akhir-akhir ini memberikan ketakutan yang luar biasa.
            Berbagai macam penyakit seperti penyakit kanker, diabetes, kolestrol tinggi, asam urat, liver dan penyakit lainnya, menurut ilmu kedokteran disebabkan karena pola konsumsi yang tidak baik dan tidak teratur.
            Islam telah menjelaskan bahwa manusia harus memperhatikan kehalalan suatu produk yang mereka konsumsi karena di situ ada kebaikan dan wujud rasa syukur kepada Tuhan sang pemilik alam ini. Tidak hanya dari segi kehalalannnya, akan tetapi dari segi baik atau tidaknya makanan tersebut juga sudah diingatkan dalam Islam. Islam juga telah mengatur tata cara pola konsumsi yang baik dengan tidak berlebihan, tidak mubazir dan memperhatikan kualitas dari makanan yang dimakan tersebut.
            Pada akhirnya, ketika memperhatikan etika konsumsi dalam Islam tersebut, akan terhindar dari berbagai macam penyakit yang menggerogoti manusia pada saat ini, disamping merupakan suatu ketaqwaan kepada Allah swt dengan memperhatikan halal atau haramnya suatu makanan yang dikonsumsi tersebut.
           


Daftar Pustaka
Abdul Aziz. 2008. Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Adiwarman A. Karim. 2014. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta:Rajawali Pers.
AlFitri, “Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan” dalam Majalah Empirika, Vol. XI. No. 01, ( 2007).
Kementerian Agama, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2010.
Mustaq Ahmad. 2003. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Muh. Said. 2008. Pengantar Ekonomi Islam Pekanbaru: Suska Press.
Mawardi. 2007. Ekonomi Islam. Pekanbaru: Alaf Riau.
Mannan. 2005 yang ditulis oleh Muhammad”Ekonomi Mikro Islam”
Suherman Rosyidi. 2000. Pengantar Teori Ekonomi (Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro & Makro). Jakarta : PT Raja Grafindo Perasada.
http://konsultanekonomi.blogspot.com/2012/05/etika-konsumsi-dalam-perspektif-syariah.html





[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumsi
[2] Yusuf Qardhawi. 2001. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Penterjemah: Zainal Arifin, Lc,dkk (Jakarta: Gema Insani Press). hal. 50
[3] Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003
[4] Afzalur al Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 17.
[5] Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal direktorat Jenderal bimbingan masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk teknis pedoman sistem produksi halal, Departemen Agana RI, Jakarta, 2003. hlm. 3.
[6] Muhyiddin Yahya bin syarafa nawasi, Hadis arbai’in, terjemahan oleh Abdullah haidhir,
[7] Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Al-Fiqh AI-Iqtishadi Li Amiril mukminin Umar Ibn Al-Khaththab, diterjemahkan oleh Asmuni Solihan Zamakhsyari (Jakarta: Khalifa, 2006), 140
[8]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit.
[9]ibid
[10]Tiench Tirta winata, Makanan Dalam Perspektif Al Qur’an Dan Ilmu Gizi” Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2006, hlm.1
[11]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit.

[12]Hussein Bahresy, Pedoman Fiqh Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1981, hlm. 303.
[13] QS. AL-Furqan: 67
[14] QS. Al-A’raf: 31

0 Response to "ETIKA ISLAM DALAM BIDANG KONSUMSI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel