Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Rokok Masyarakat di Kota Makassar (PM-41)
Rokok adalah jenis barang yang unik terutama cara mengkonsumsinya. Setiap tahunnya dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 Indonesia menempati urutan kelima konsumsi rokok terbesar setelah China, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang.
Dalam suatu perekonomian pasar bebas, pemerintah pada umumnya membiarkan rakyat memutuskan apa yang akan mereka beli dengan uangnya dan demi kepentingan kebebasan pribadi pemerintah harus menghormati preferensi-preferensi mereka. Dalam beberapa hal, secara hati-hati dan dengan keraguan yang besar, pemerintah memutuskan untuk mengesampingkan keputusan-keputusan pribadi orang dewasa. Hal ini menyangkut merit goods, yaitu barang yang konsumsinya dianggap bermanfaat secara intrinsik, dan demerit goods yaitu barang yang konsumsinya dianggap membahayakan. (Samuelson dan Nordhaus, 2001).
Salah satu hal paling kontroversial mengenai demerit goods berkenaan dengan kecanduan. Rokok adalah jenis barang yang mengandung zat adiktif. Perokok berat yang kecanduan mungkin sangat menyesali kebiasaan yang diperoleh itu; namun, seperti itulah tabiat kecanduan, sulit untuk menghilangkan kebiasaan itu jika sudah menjadi mapan.
Pasar untuk zat-zat adiktif adalah bisnis besar. Dan setiap tahunnya permintaan akan barang yang mengandung zat tersebut seperti rokok senantiasa meningkat.
Konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2002 sempat mengalami penurunan karena adanya peraturan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang batasan penyiaran produksi rokok. Akan tetapi konsumsi rokok di Indonesia kembali meningkat pada tahun 2003 dan mencapai 240 milyar batang tahun 2008. Tingkat konsumsi rokok yang tinggi di masyarakat ini menunjukkan bahwa rokok merupakan produk yang permintaannya tinggi dan sudah menjadi salah satu kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan Data Kementerian Kesehatan tahun 2010, pada 2001 tercatat perokok aktif berjumlah 31,5 persen dari penduduk, sedang pada tahun 2010 angkanya sudah melonjak menjadi 34,7 persen. Artinya, sepertiga orang Indonesia adalah perokok aktif. (Artikel: “Persentase Jumlah Perokok Usia Muda Meningkat Tajam, 2011).
Merokok merupakan salah satu bentuk perilaku manusia, yang dalam teorinya dikenal sebagai teori perilaku konsumen (the theory of consumer behavior). Menurut Olson (1999) dalam Arios (2011), salah satu konsep penting dalam studi perilaku konsumen adalah sikap konsumen. Sikap konsumen akan menentukan perilaku pembeliannya, sehingga untuk mempengaruhi perilaku ini, dilakukan terlebih dahulu pengaruh kepada sikapnya. Sikap merupakan ekspresi yang menunjukkan apakah seseorang menginginkan atau tidak terhadap suatu obyek, seperti produk, kategori produk, dan merek. Sikap terbentuk dari pengalaman langsung terhadap produk, informasi yang diperoleh dari orang lain, dan pengenalan melalui media massa (iklan). Perilaku merokok yang terbentuk juga berawal dari persepsi konsumen terhadap rokok, di mana persepsi tersebut berupa kesan (image) dan informasi tentang rokok.
Selain itu, perilaku konsumen juga menjelaskan bagaimana konsumen mengalokasikan pendapatan mereka untuk membeli berbagai macam barang dan jasa.
Konsumen memilih barang-barang yang dapat memaksimalkan kepuasan mereka. Di mana barang tersebut bergantung pada pendapatan dan harga barang itu sendiri. Selain pendapatan dan harga barang itu sendiri, harga barang substitusi dan komplementer juga ikut mempengaruhi jumlah barang yang diminta. Dalam teori ekonomi mikro, apabila hubungan antara harga barang dengan permintaannya negatif maka barang itu disebut dengan barang normal (normal good). Namun jika hubungan tersebut positif maka barang tersebut dinamakan dengan barang inferior (inferior good). Komoditas rokok menurut Ahsan (2006) merupakan barang normal karena semakin tinggi harga barang tersebut maka jumlah permintaannya akan semakin berkurang, akan tetapi pengaruh kenaikan harga terhadap permintaan rokok diperkirakan kecil, artinya elastisitas permintaan karena harga (price elasticity of demand)-nya kecil, karena barang tersebut bersifat adiktif
Pendapatan konsumen akan menentukan besarnya daya beli yang dimilikinya. Sehingga untuk barang normal, peningkatan pendapatan konsumen akan meningkatkan permintaan barang tersebut. Sebaliknya untuk barang inferior, peningkatan pendapatan konsumen justru akan menurunkan permintaan terhadap barang tersebut.
Merokok merupakan salah satu bentuk perilaku yang kurang baik karena masyarakat sudah mengetahui dengan jelas bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan merokok antara lain jantung, gangguan pembuluh darah, kanker mulut, kanker paru-paru, kanker laring, kanker osefagus, kanker pankreas, bronchitis, tekanan darah tinggi, impotensi serta gangguan kehamilan hingga cacat pada janin. Penyakit yang semakin parah memerlukan biaya penyembuhan yang semakin besar. Berdasarkan hasil survei Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia tahun 2007, sebanyak 1.127 orang meninggal setiap hari akibat rokok. Dari 1.127 orang yang meninggal itu, 67 persennya merupakan laki-laki (Prabandari, 2009).
Dalam mencapai tujuan Pembangunan Kesehatan Indonesia yakni penduduk yang memiliki derajat kesehatan yang optimal, pemerintah telah mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang bahaya merokok. Selain itu, peraturan pemerintah mengenai larangan merokok juga telah dikeluarkan dalam Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2003 (PP No.19 Tahun 2003) tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. PP No.19 Tahun 2003 mengatur kandungan nikotin dan tar, persyaratan produksi dan penjualan rokok, persyaratan iklan dan promosi rokok, serta penetapan kawasan tanpa rokok. Bahkan demi mengurangi tingkat konsumsi rokok di masyarakat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa haram merokok pada tahun 2009. (Arios, 2011).
Di Provinsi Sulawesi Selatan, Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, diperoleh jumlah prevalensi penduduk umur > 15 tahun menurut jumlah permintaan rokok (jumlah batang yang dihisap perhari yaitu 47,3% mengkonsumsi rokok 1 – 10 batang/hari, 46% (11 – 20 batang/hari), 2% (21 – 30 batang/hari) dan 4,6% (31+ batang/hari).
Sementara, data jumlah perokok di kota Makassar yaitu 22,1% atau ±287.300 orang dengan rata-rata konsumsi 10,6 batang/hari atau sekitar 3 juta batang rokok mengepul di udara tiap hari di kota metropolitan tersebut. Dari jumlah perokok tersebut, sebanyak 2,2% berusia 10-14 tahun, dengan rata konsumsi rokok 5,2 batang perhari, sedangkan berdasarkan frekuensi merokok sebanyak 0,8% mulai merokok tiap hari pada usia 5 – 9 tahun dan 7,7% pada usia 10 – 14 tahun (Maidin, 2011).
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti “Analisis Faktor yangMempengaruhi Permintaan Rokok Masyarakat Di Kota Makassar Tahun 2012”.
Judul : Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Rokok Masyarakat di Kota Makassar (PM-41)
0 Response to "Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Rokok Masyarakat di Kota Makassar (PM-41)"
Post a Comment