Beberapa Permasalahan Perkawinan Campuran Antara WNI & WNA: Tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian (part 1)
Perkawinan Campuran antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing) WNI bukanlah sebuah hal baru dan sudah jamak terjadi sejak jaman dulu. Perkawinan campuran umum dilakukan oleh TKI-TKW, para selebriti, maupun masyarakat umum.
Akad perkawinan campuran antara WNI & WNA bisa dilaksanakan di Indonesia, maupun di luar negeri. Mereka menjalani hidup berumah tangga bertahun-tahun, dikaruniai anak, mempunyai harta bersama (yang berada di Indonesia ataupun di luar negeri), dan tidak menutup kemungkinan juga kadang berujung dengan perceraian.
Perkawinan campuran antara WNA & WNI sejak awal telah dijalani dengan special treatment: mulai dari pencatatan perkawinan dan juga hal-hal lain, dan apabila terjadi perceraian diantara keduanya niscaya berbagai macam akibat hukum perceraian yang juga memerlukan special treatment lain akan muncul: mulai dari hak asuh anak, pembagian harta bersama, status warga negara, dan berbagai macam permasalahan perdata privat.
Apabila pelaku perkawinan campuran telah membuat perjanjian pra nikah (prenumptial agreement), maka perceraian perkawinan campuran tidak akan menimbulkan masalah pada akibat hukum yang ditimbulkan, selama perjanjian pranikah tersebut memuat kesepakatan antara suami istri baik mengenai harta perkawinan (harta bersama & harta bawaan), hak asuh anak, maupun status kewarganegaraan anak dan masing-masing dari mereka. (Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974).
Perjanjian perkawinan dibuat untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap kedua belah pihak, juga dapat dijadikan sarana untuk meminimalkan perceraian, terutama ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap harta dan hak anak.
Apabila pasangan suami istri perkawinan campuran tidak membuat perjanjian perkawinan, maka segala permasalahan hukum yang akan timbul jika terjadi perceraian, mengingat kewarganegaraan mereka berbeda, otomatis hukum mengenai penanganan sengketa berbagai akibat hukum perceraian juga berbeda, dan hal ini sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Perkawinan Campuran Yang Dilaksanakan di Indonesia
Perkawinan campuran adalah perkawinan yang berlangsung antara pihak-pihak yang berbeda domisili atau berbeda kewarganegaraan. Pasal 57 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan campuran yaitu perkawinan yang dilangsungkan antara para pihak yang berbeda kewarganegaraan, dimana salah satu pihak suami/istri harus berkewarganegaraan Indonesia (WNI), dan dilangsungkan di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 18 AB (Algemee Bel Palingen Van Wet Geving), maka segala bentuk peristiwa hukum yang terdapat unsur asing didalamnya dilaksanakan menurut hukum dari tempat dilaksanakannya peristiwa hukum tersebut (locus regit actum), sehingga perkawinan campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974 yang dilakukan di Indonesia dilakukan menurut hukum Indonesia.
Salah satu aturan hukum perkawinan Indonesia adalah perkawinan dilaksanakan dihadapan petugas yang berwenang (Petugas Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil) dan pencatatan perkawinan (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974). Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan di KUA (untuk yang beragama Islam) atau di Kantor Catatan Sipil (untuk selain beragama Islam). Pencatatan perkawinan harus dilaksanakan maksimal 60 hari setelah perkawinan itu dilaksanakan.
Walaupun pasal 16 AB mengatur status dan wewenang seseorang harus dinilai menurut hukum nasionalnya (lex patriae, WNA harus dinilai berdasar hukum nasional negara asalnya), selama WNA tersebut tidak pindah status warga negara menjadi WNI, maka segala aturan hukum yang berlaku di Indonesia otomatis mengikat kedua belah pihak, baik WNI maupun WNA (locus regit actum).
Perkawinan Yang Dilaksanakan di Luar Negeri
Ada dua hal yang bisa terjadi tentang perkawinan yang dilaksanakan diluar negeri, yaitu; Pertama: Perkawinan sesama WNI yang dilaksanakan diluar negeri, dan; Kedua: perkawinan antara WNA-WNI yang dilaksanakan diluar negeri. Kedua hal ini memiliki satu persamaan yang sama, yaitu perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri oleh WNI (baik salah satu pihak, maupun keduanya).
Pasal 16 AB menyebutkan bahwa WNI, dimanapun ia berada akan tunduk pada hukum Indonesia, tapi Pasal 18 AB menyebutkan bahwa WNI tunduk pada hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan (lex loci celebrationis).
Menjelaskan dua pasal diatas yang seperti saling bertentangan dan bertabrakan satu sama lain, Prof. Zulfa Djoko Basuki berpendapat bahwa untuk sahnya perkawinan, diperlukan dua syarat, yatu syarat formal dan syarat material. Syarat formal diatur dalam pasal 18 AB, yakni tunduk pada hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan (lex loci celebrationis), jika perkawinan dilangsungkan di negara yang berlaku perkawinan sipil, maka perkawinan harus dilakukan secara sipil. Sedangkan untuk syarat materiil, berlaku pasal 16 AB, misalnya mengenai batas usia menikah, berlaku hukum nasional (dalam hal ini Indonesia).
Pasal 56 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan, dan bagi WNI yang melaksanakan perkawinan tersebut tidak melanggar ketentuan UU perkawinan.
Berikutnya disebutkan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil mereka berdomisili. (Pasal 56 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Syarat formal dalam pasal 56 UU Perkawinan tadi dirumuskan dalam frase “bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku dinegara dimana perkawinan itu dilangsungkan”. Sedangkan syarat formalnya dirumuskan dalam frase “tidak melanggar ketentuan undang-undang ini”.
Sebagai lex spesialis, UU No. 23 Tahun 2006 yang telah dirubah dengan UU No. 24 tahun 2013 tentang administrasi kependudukan (selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 2006) menempatkan pencatatan peristiwa kependudukan, seperti perkawinan, sebagai kewajiban. Berdasarkan Undang-undang ini, perkawinan WNI yang dilangsungkan di luar negeri wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada perwakilan RI. Jika di negara tersebut tidak dikenal pencatatan perkawinan bagi orang asing, maka pencatatan dilakukan perwakilan RI. Oleh perwakilan RI perkawinan itu dicatatkan dalam Register Akta Perkawinan lalu terbitlah Kutipan Akta Perkawinan. Jika pasangan tadi kembali ke Indonesia, mereka harus melapor ke instansi pelaksana perkawinan di tempat tinggalnya paling lambat 30 hari setelah tiba di Indonesia.
Jika pasangan suami-istri WNI melakukan perceraian di luar negeri, dan kemudian pulang ke Indonesia dengan membawa Akta Cerai negara tempat dia bercerai, apakah akta cerai tersebut berlaku di Indonesia?
Untuk memecahkah masalah tersebut, ada beberapa nomenklatur yang patut kita cermati bersama.
Menilik pasal 20 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan “Dalam hal Tergugat bertempat tinggal di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan tempat kediaman Penggugat”, kemudian di Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 kembali ditekankan “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan mereka” (vide 115 KHI). Pengadilan yang dimaksud dalam 2 pasal diatas adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan negeri bagi yang lainnya (Pasal 63 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 49 UU No 3 tahun 2006).
Khusus untuk mereka yang beragama Islam, UU No. 7 Tahun 1989 menyatakan jika seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon untuk mengadakan sidang ikrar talak (Pasal 66 ayat (1) dan (2)).
Adapun jika yang mengajukan gugatan perceraian adalah istri, maka Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman istri (Pasal 73 ayat (1)). Lebih lanjut diatur dalam Pasal 66 ayat (4) dan pasal 73 ayat (3) UU No. 3 Tahun 1989: “Dalam hal Penggugat dan Tergugat bertempat tinggal kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat”.
Beberapa aturan hukum diatas mengatur dengan jelas bahwa perceraian sesama WNI hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan (Pengadilan Agama untuk mereka yang beragama Islam, dan Pengadilan Negeri untuk yang non Islam). Adapun jika suami (WNI) dan istri (WNI) sama-sama bertempat tinggal diluar negeri, bila terjadi perceraian harus diajukan melalui Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Islam) atau pengadilan tempat mereka melangsungkan perkawinannya (Non Islam).
Sehingga jelas dan dapat difahami bahwa perceraian suami istri WNI harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan (Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri) di Indonesia, dan selain itu maka dianggap tidak sah.
Dengan kata lain, akta cerai yang dikeluarkan oleh negara tempat mereka bercerai dianggap tidak sah, dan mereka harus melakukan cerai ulang di Pengadilan yang mempunyai kompetensi untuk menyidangkan perkara perceraian mereka.
Perceraian Yang Dilakukan Diluar Negeri (Antara WNI dan WNA)
Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab Perceraian Yang Dilakukan Diluar Negeri (Antar Sesama WNI), semua akibat hukum yang terjadi tetaplah sama: surat keterangan (akta) cerai yang dikeluarkan oleh negara tempat mereka bercerai dianggap tidak sah, dan mereka harus melakukan cerai ulang di Pengadilan yang mempunyai kompetensi untuk menyidangkan perkara perceraian mereka.
Masalah yang muncul adalah: Apakah WNA yang menikah dengan WNI tersebut juga tunduk terhadap aturan-aturan aquo atau tunduk terhadap hukum dimana mereka melangsungkan pernikahan atau negara dimana mereka melakukan perceraian?
Untuk masalah ini, ada beberapa aturan hukum yang dapat dipegang:
1. Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974: Yang dimaksud dengan kawin campuran dalam UU ini adalah perkawinan dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganearaan dan salah satu WNI.
2. Pasal 58 UU No. 1 Tahun 1974: Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istri dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya.
3. Pasal 19 UU No. 12 tahun 2006:
a. (ayat 1): WNA yang kawin secara sah dengan WNI dapat memperoleh kewargargaraan RI dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara dihadapan pejabat
b. (ayat 2): Pernyataan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di RI paling singkat 5 tahun berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
c. (ayat 3): Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh kewarganegaraan RI yang diakibatkan oleh kewarganegaran ganda sebagaimana dimaksud ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan perundang-undangan.
Berdasarkan aturan tersebut diatas, maka seorang WNA yang menikah dengan WNI bisa merubah status kewarganegaraannya menjadi WNI, tapi akibat hukum perceraian di luar negeri yang sedang kita bahas ini adalah lain hal.
Mengacu kepada Pasal 66 ayat (4) dan Pasal 73 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, maka perceraian harus dilakukan di Indonesia karena perkawinan mereka dilakukan di Indonesia.
Jika dianalogikan dengan hukum perdata umum, apabila terjadi suatu perikatan yang dibuat oleh dua orang yang berbeda kewarganegaraannya, maka hukum yang dipakai adalah hukum dimana perikatan itu dibuat atau di negara mana mereka saling sepakati untuk menyelesaikan.
Merujuk yurisprudensi Mahkamah Agung No. 22 K/Sip/4 tanggal 6 Juli 1955 dan pendapat Yahya Harahap: “putusan perceraian yang dilakukan oleh negara asing tidak mempunyai daya mengikat dan pembuktian kepada orang lain di Indonesia. Berarti status hukum mereka dianggap masih sah sebagai suami istri, apalagi yang menyangkut hak waris. Kecuali putusan tersebut menyangkut status seseorang seperti kelahiran dan putusan pengangkatan anak, karena hal tesebut menyangkut hak yang paling asasi, sehingga putusan yang demikian pantas dihargai”.
Akan tetapi, jika melihat ketentuan UU No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan pada pasal 41 ayat (1) (2) dan (3), dikatakan bahwa perceraian WNI yang dilakukan di luar negeri wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara tersebut dan dilaporkan pada perwakilan RI. Apabila di negeri tersebut tidak ada pencatatan, maka perwakilan RI mencatat dalam register akta cerai dan menerbitkan kutipan akta cerai. Kemudian bila sudah kembali wajib melaporkan dalam waktu 30 hari setelah pulang ke Indonesia.
Sekilas, terjadi kontradiksi antara pasal 66 ayat (4), pasal 73 ayat 93) UU No. 7 Tahun 1989 dan UU No. 1 Tahun 1974 dengan pasal 41 UU No. 23 Tahun 2006, dimana menurut UU No. 23 Tahun 2006 orang Indonesia diperbolehkan melakukan perceraian di negara asing, sedang menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 7 Tahun 1989 perceraian hanya dapat dilakukan di muka pengadilan Indonesia.
Tapi, ada satu benang merah yang dapat diambil dari konstradiksi tersebut diatas bahwa alat bukti sah perceraian adalah sebuah Akta Cerai, terlepas itu dikeluarkan oleh Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, ataupun Kedutaan Besar RI di suatu negara. Dengan kata lain, putusan perceraian yang dikeluarkan oleh pengadilan negara lain bukanlah sebuah alat bukti perceraian yang sah selama yang bersangkutan tidak memegang Akta Cerai.
Akta cerai tetaplah menjadi satu-satunya bukti sah terjadi perceraian, entah itu didalam negeri, ataupun diluar negeri.
0 Response to "Beberapa Permasalahan Perkawinan Campuran Antara WNI & WNA: Tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian (part 1)"
Post a Comment