Jihad
Pandangan yang keliru terhadap masalah Jihad dalam Islam masih banyak dijumpai dikalangan kaum muslimin sendiri maupun non muslim hingga hari ini. Persoalan mendasar ini begitu penting karena menyangkut aspek didalam rukun Islam. Pandangan yang salah terhadap pemahaman makna jihad mendorong pada sikap radikal dan demikian pula pandangan yang keliru dari kaum non muslim terhadap masalah Jihad ini membawa sikap antipati dan Islamophobia.
Asas Agama Islam yang diwajibkan bagi setiap mukallaf ialah: salat, zakat, puasa, haji dan jihad. Di antara lima kewajiban tersebut yang banyak menimbulkan kesalah-fahaman ialah jihad, baik bagi orang non Islam maupun orang-orang Islam sendiri. Para orientalis berpendapat bahwa jihad sama dengan perang, dan dengan peperangan inilah Islam disiarkan D.B. Macdonald menulis arti kata jihad dalam Encyclopaedia of Islam sebagai berikut: “Penyiaran Islam dengan senjata adalah suatu kewajiban bagi muslim umumnya”. F.A.Klein dalam Religion of Islam juga telah menulis sebagai berikut:”Menyebarkan Islam dengan pedang adalah wajib bagi tiap-tiap orang Islam. Maka dari itu mereka memerangi orang-orang kafir dengan tujuan untuk memaksa mereka memeluk Islam.”
Tuduhan-tuduhan itu memang telah dibantah oleh kaum Muslimin, terutama para ulamanya. Tetapi sayang bantahan itu umumnya tanpa alasan yang kuat, bahkan dalam tulisan-tulisan mereka membenarkan tuduhan para orientalis Barat itu. Dalam buku-buku fiqih yang diajarkan di madrasah, pondok pesantren dan majlis ta’lim, jihad diartikan perang. Jihad fi sabilillah artinya perang untuk menyiarkan agama Allah, agama Islam. H. Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqih Islam menerangkan sebagai berikut:
“Jihad artinya peperangan terhadap kafir yang dipandang musuh, karena membela agama Allah (Li i’lâi kalimâtillâh)” (Fiqh Islam, Penerbit At Tahiriyah Jakarta, cet. ke-15, hlm. 422)
Drs. Budi Abdullah dalam bukunya Taktis Jihad dalam Islam, mengakhiri keterangannya tentang jihad sebagai berikut:
“Secara singkat kekuatan yang ada dapat ditujukan untuk dua kepentingan: Interen dan extern. Interen untuk menolak kekuatan yang merintangi, mengurangi atau menghancurkan kekuatan Islam. Di sini tidak saja berlaku jihadun-nafsi, jihad mâl, mujahadisy-syaithan tetapi juga jihad bin nafsi. Tujuan khusus tahap ini ialah:”mempertahankan dan mengusahakan agar kekuatan Islam lebih tinggi dari kekuatan aliran manapun” (Taktis Jihad dalam Islam, PT. Al-Ma’rif bandung, cet. pertama, 1980, hlm. 57)
Dari uraian tersebut terang sekali bahwa kekuatan senjata itu dianggap sebagai suatu syarat mutlak untuk menyiarkan dan mempertahankan Islam. Dan ini dipandang sebagai jihad yang terbesar (jihad akbar) yang sifatnya ekstern, sedang yang sifatnya intern adalah memancung kepala orang-orang yang murtad, yakni orang yang meninggalkan Islam. Hal ini akan lebih terang lagi jika diperhatikan tulisan alm. Prof. Dr. Hamka yang menerangkan sebagai berikut:
“Maka kalau hukum Islam berdiri, penguasa Islam wajib menghukum bunuh orang yang murtad dari Islam. Cara pelaksanaan hukum tersebut di dalam kitab-kitab hadits dan fiqh, bahwa kalau ada orang Islam murtad, hendaklah orang itu diperiksa dan ditanya lebih dahulu, apa alasannya, tersebab apa Islam ditinggalkannya. Tersebut lagi dalam kitab-kitab fiqh, orang yang diajak berunding dan bertaubat, ialah yang keluar dari Islam dengan kesadaran, hendaklah ia disadarkan kembali: Tetapi kalau dia berkeras kepala juga, dibunuh! (Hak-Hak Azasi Manusia antara Deklarasi PBB dan Syariat Islam, Penerbit Panjimas, cet. I, 1971, hlm. 18)
Na’ûdzubillâhi min-dzâlik, lâ khaula walâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil-‘azîm. Akibat dari kesalah-fahaman para alim ulama Islam itu timbullah dua sikap ummat Islam yang merugikan yaitu :
fanatisme yang menimbulkan intoleransi yang sejatinya menodai Islam itu sendiri, seperti diucapkan oleh Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir, bahwa al-islâmu mahjûbun bil-muslimîn, Islam ditutup oleh kaum Muslimin sendiri.
acuh tak acuh terhadap perjuangan membela dan menyiarkan Islam secara damai yang sangat ditekankan oleh Quran Suci, Sunnah Nabi dan tuntutan zaman di era globalisasi.
BAB - 1. PENGERTIAN JIHAD
ARTI KATA JIHAD
Kata jihâd berasal dari akar kata jahada, yajhudu, jahd au juhd artinya sungguh-sungguh atau berusaha keras. Kata jahd atau juhd artinya tenaga, usaha atau kekuatan. Dari akar kata jahada (bentuk tsulatsi mujarrad) dibentuk tsulatsi mazid dengan menambahkan alif sesudah fâ’ fi’il (suku pertama) sehingga menjadi jâhada, yujâhidu, mujâhadah wa jihâd.
Menurut Imam Raghib, kata mujâhadah dan jihâd artinya berjuang sekuat tenaga untuk menangkis serangan musuh. Selanjutnya beliau menerangkan bahwa jihad terdiri dari tiga macam: berjuang melawan musuh yang kelihatan, berjuang melawan setan, dan berjuang melawan hawa nafsu.
Menurut Imam Al-Mubarak bin Muhammad bin Muhammad Jazari dalam kitab An-Nihâyah, jihad berarti bertempur melawan kaum kafir, dan ini adalah perjuangan secara intensif (mubâlaghah), dan berarti pula berjuang dengan segala tenaga dan kekuatan, baik dengan lisan (qaul) ataupun dengan perbuatan (fi’il). Sedangkan menurut E. W. Lane dalam Arabic English lexicon diterangkan bahwa jihad artinya menggunakan atau mengeluarkan tenaga, daya usaha atau kekuatan untuk melawan obyek yang tercela; dan obyek yang tercela itu tiga macam: musuh yang kelihatan, setan, dan nafsu.
Atas dasar arti harfiah di atas, kata jihad dalam arti istilah berarti “usaha atau berjuang sekeras-kerasnya dan sungguh-sungguh untuk: (1) melawan dan menghadapi musuh yang menggunakan kekerasan untuk menyerang agama dan umatnya; (2) melawan setan dan ajarannya; dan (3) melawan hawa nafsu yang bersarang dalam dirinya.
Dari uraian tersebut di atas terang sekali bahwa jihad tidak sama dengan perang. Jihad ialah berjuang sekuat tenaga dan sungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsu, setan, dan musuh. Boleh jadi perang termasuk jihad, akan tetapi bom bunuh diri seperti yang dilakukan oleh sementara orang di negeri ini atau di negara lain bukanlah jihad fi sabilillah, sebab:
Korban bom bunuh diri bukan musuh umat Islam yang kelihatan. Faktanya, korban bunuh diri antara lain dari umat Islam sendiri dan simpatisannya.
Cara membunuh setan bukan melalui bom bunuh diri.
Hawa nafsu memang terus dilawan untuk ditaklukkan, tetapi bukan untuk dibunuh.
Jihad dapat berarti perang keagamaan hanya secara metafor atau majazi, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Mirza Ghulam Ahmad dalam Government Angrezi aur Jihad: “Haruslah diketahui bahwa kata jihad berasal dari kata juhd yang berarti berjuang. Kata ini kemudian diartikan secara metafora, yang berarti perang keagamaan.” (hlm. 3).
JIHAD MENURUT QUR’AN SUCI
Di dalam Qur’an Suci terdapat banyak ayat yang menggunakan kata jihad. Sekurang-kurangnya ada 40 ayat yang menggunakan kata-kata yang berasal dari kata jahada. Kata-kata itu misalnya: jâhada (4 ayat), jâhadû (1 ayat), yujâhidû (2 ayat), dan sebagainya. Semua kata itu artinya ialah berjuang sekuat tenaga atau berusaha keras. Jadi, jihad yang diperintahkan oleh Quran Suci adalah berusaha keras untuk menegakkan Kebenaran dan untuk mencapai tujuan suci yang diridhai Ilahi. Misalnya: perjuangan ruhani untuk mendekat Allah; mengorbankan harta benda dan jiwa di jalan Allah; mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk menuntut dan atau menyebarluaskan ilmu, dan sebagainya.
Ayat-ayat yang menyangkut jihad ada yang turun di Mekah dan ada pula yang turun di Madinah. Baik dalam wahyu Makiyah maupun wahyu Madaniyah, jihad artinya ialah berjuang sekuat tenaga baik dengan lisan ataupun dengan perbuatan apa saja. Perjuangan dengan mengangkat senjata untuk membela diri juga dinamakan jihad, tetapi perjuangan semacam itu oleh Qur’an Suci sering dinyatakan dengan kata: qital, harb dan ghazw.
Ayat-ayat tentang jihad yang turun di Mekah adalah:
1. Firman Ilahi dalam surat Al-Ankabut 29:69
“Dan orang-orang yang berjuang (jâhadû) untuk Kami, Kami pasti akan memimpin mereka di jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah itu menyertai orang yang berbuat baik”.
Ditambahkannya kata untuk Kami (fînâ) menunjukan bahwa yang dimaksud jihad (berjuang) dalam ayat tersebut ialah perjuangan ruhani untuk mendekat kepada Allah, dan sebagai hasil perjuangan dinyatakan dalam akhir ayat tersebut ialah bahwa Allah akan memimpin mereka.
2. Firman Ilahi dalam surat Al-Ankabut 29:6
“Dan barang siapa yang berjuang (jâhada), maka ia berjuang untuk diri sendiri. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha Mencukupi Sendiri, lepas dari (bantuan) serta sekalian alam”
Maksud ayat itu selaras dengan ayat tersebut di atas. Kaum Muslimin yang menderita penganiayaan dan perlakuan sewenang-wenang oleh tangan-tangan musuh di Mekkah, demi agama mereka dianjurkan bersabar. Perlu diketahui bahwa surat Al Ankabut diturunkan pada zaman Mekkah permulaan (tahun kelima dan keenam) ketika kaum Muslimin mendapat perlawanan hebat dari kaum Musyrik Mekkah.
3. Firman Ilahi dalam surat An-Nahl 16:110
“Lalu, sesungguhnya Tuhan dikau (melilndungi) orang yang berhijrah setelah mereka difitnah, lalu mereka berjuang (jâhadû) dan bersabar; sesungguhnya Tuhan dikau setelah itu adalah Yang Maha-pengampun, Yang Maha Pengasih.”
Jihad dalam ayat tersebut juga tak ada hubungannya dengan perang, tetapi berhubungan erat dengan perjuangan para sahabat yang berupa pengorbanan, yaitu hijrah dan berjuang mengorbankan harta, kekuatan dan jiwa untuk menegakkan Kebenaran.
4. Firman Ilahi dalam surat Al-Hajj 22:78
“Dan berjuanglah (jâhidû) di (jalan) Allah dengan perjuangan (jihâd) yang benar. Ia telah memilih kamu, dan Ia tak membuat kesukaran kepada kamu dalam hal agama-agama ayah kamu Ibrahim. Ia menamakan kamu kaum Muslimin, sebelumnya dalam hal ini. Agar Utusan menjadi saksi terhadap kamu. Dan agar kamu menjadi saksi terhadap manusia. Maka tepatila salat dan bayarlah zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Ia adalah pelindung kamu; baik sekali Pelindung itu dan baik pula Penolong itu,”
Jihad yang diperintahkan dalam ayat tersebut bukan berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi berjuang untuk mendekat kepada Allah dengan menaklukan hawa nafsu. Yang dimaksud oleh kata sebelumnya ialah wahyu Nabi Ibrahim, yang berdoa agar di antara keturunan beliau timbul suatu ummat yang Muslim (Al-Baqarah 2:128); adapun yang dimaksud oleh kalimat dalam ini ialah Qur’an Suci. Kata Muslim, berasal dari akar kata salm atau silm, yang dua-duanya berarti damai. Jadi Muslim ialah orang yang menempuh hidup damai, yaitu damai dengan Allah yang artinya berserah diri sepenuhnya pada kehendak Allah, dan damai dengan manusia yang artinya tak berbuat bencana kepada sesama manusia. Hal ini dapat dicapai jika seseorang dapat jihad menaklukkan dirinya sendiri atau hawa nafsunya yang senantiasa mendorong manusia melakukan berbagai macam kejahatan.
5. Firman Ilahi dalam surat Al-Furqan 25:52
“Maka janganlah engkau menuruti kaum kafir, dan berjuanglah (jâhid) melawan mereka dengan (Qur’an) ini, dengan perjuangan yang hebat (jihâdan kabîra)”
Perjuangan yang hebat (jihâdan kabîra) dalam ayat tersebut bukanlah dalam arti perang, tetapi dalam arti berjuang sekuat tenaga untuk menyebarluaskan kebenaran Islam dengan senjata Al Quranul Kariim. Jihad inilah yang wajib dilakukan oleh setiap orang Islam dalam segala keadaan yang oleh Allah SWT dilukiskan sebagai berikut:
“Demi (kuda) yang berlari cepat dengan terengah-engah, dan demi (kuda) yang mencetuskan api dengan pukulan! Dan demi (kuda) yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, lalu dengan demikian (kuda itu) menerbangkan debu lalu (kuda itu) menyerbu ke tengah-tengah barisan (musuh).” (Al-‘Adiyat 100:1-5).
Lukisan ini tetap berlaku sampai masa kini, yakni yang diperagakan oleh para musafir rohani yang berlari cepat di jalan Allah, sebagaimana dilukiskan oleh para sahabat yang mencontoh panutannya, Nabi Suci Muhammad saw.
Adapun ayat-ayat Madaniyah yang menerangkan tentang jihad lebih dari 25 ayat, misalnya:
1. Firman Ilahi dalam surat At-Taubah 9:19-20
“Apakah orang yang memberi minum kepada orang-orang haji, dan merawat (dan memakmurkan) masjid Suci kamu anggap sebagai orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berjuang di jalan Allah (jâhada fî sabîlillâh)? Mereka adalah tak sama menurut penglihatan Allah. Dan Allah tak memberi petunjuk kepada kaum lalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah dan berjuang di jalan Allah (jâhadu fî sabîlillâh) dengan harta mereka dan jiwa mereka, ini lebih besar derajatnya di sisi Allah. Dan inilah orang-orang yang jaya”.
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa orang-orang yang beriman yang berjuang (jihâd) di jalan Allah (fî sabîlillâh) dengan harta dan jiwa lebih besar derajatnya di sisi Allah. Jihad dalam ayat tersebut dalam arti luas, yaitu perjuangan dengan lisan ataupun dengan perbuatan dan mengangkat senjata demi tegaknya kebenaran. Maksud kata fî sabîlillâh – yang selaras dengan kata fînâ (untuk Kami/Allah) yang terdapat dalam surat Al-Ankabut 29:69 atau fillâh (di jalan Allah) dalam surat Al-Hajj 22:78 – yang mengandung arti setiap perjuangan untuk menegakkan Kedaulatan Tuhan di muka bumi ini adalah jihâd fî sabîlillâh. Pedang boleh digunakan jika syarat-syaratnya telah terpenuhi. Syarat-syarat itu antara lain seperti dijelaskan dalam ayat 2:190-191; 22:39-40, dll. yang intinya bahwa menangkat pedang dilakukan hanyal untuk membela diri, bukan untuk menyiarkan Islam.
2. Firman Ilahi dalam surat At-Taubah 9:73 dan At-Tahrim 66:9
“Wahai Nabi, berjuanglah sehebat-hebatnya (jâhid) melawan kaum kafir dan kaum munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Dan tempat tinggal mereka ialah Neraka, dan buruk sekali tempat yang dituju”
Perintah berjuang (jihâd) sehebat-hebatnya terhadap kaum kafir dan munafik dalam ayat tersebut bukanlah perang yang dilancarkan terhadap mereka, tetapi yang dimaksud ialah berjuang menyampaikan risalah Qur’an Suci terhadap mereka sebagaimana yang telah diterangkan dalam surat Al Furqan 25:52, dan sejarah pun menjadi saksi bahwa kaum kafir dan munafik tak pernah diperangi oleh Nabi Suci saw dan para sahabatnya karena kekafiran dan atau kemunafikannya.
3. Firman Ilahi dalam surat Al-Anfal 8:72, 74-75
“Sesungguhnya orang yang beriman dan berhijrah dan berjuang (jâhadû) di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka dan orang-orang yang memberi perlindungan dan memberi pertolongan – mereka satu sama lain adalah kawan … adapun orang-orang yang beriman dan berhijrah dan berjuang di jalan Allah (jâhadû fî sabîlillâh) dan orang-orang yang memberi perlindungan dan memberi pertolongan, mereka adalah kaum mukmin sejati. Mereka memperoleh pengampunan dan rezeki yang mulia. Adapun orang-orang yang beriman sesudah itu dan berhijrah dan berjuang (jâhadû) bersama kamu, mereka adalah golongan kamu”.
Jihad dalam ayat-ayat tersebut memang dapat diartikan berperang, tetapi peperangan yang dilakukan oleh Nabi Suci dan para sahabat adalah karena mereka diperangi, dianiaya dan diusir dari rumah mereka karena agama. Maka dari itu kata jihad dalam konteks ini artinya yang lebih tepat adalah berjuang membasmi kekafiran dan kejahatan atau kemungkaran dengan cara yang ma’ruf, bukan dengan cara munkar. Orang-orang yang melakukan itu adalah kaum mukmin sejati dan “golongan kamu” (Nabi dan sahabat).
4. Firman Ilahi dalam surat Ali Imran 3:141
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, pada hal Allah belum melihat bukti, siapa di antara kamu yang berjuang (jâhadû), dan belum melihat pula orang yang sabar”
Maksud ayat tersebut sama dengan firman Ilahi dalam surat An-Nahl 16:110 bahwa bersabar itu berdampingan dengan berjuang. Kaum Mukmin sejati ialah orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang di jalan Allah dan sabar menghadapi percobaan.
5. Firman Ilahi dalam surat Al-Khajj 22:39
“Perang (yuqâtalûna) diizinkan kepada orang-orang yang diperangi, karena mereka dianiaya. Dan sesungguhnya Allah itu Kuasa untuk menolong mereka, (yaitu) orang-orang yang diusir dari rumah mereka tanpa alasan yang benar, kecuali hanya karena mereka berkata: Tuhan kami ialah Allah. Dan sekiranya tak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, niscaya akan ditumbangkan biara-biara, dan gereja-gereja, dan kanisah-kanisah, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak diingat nama Allah. Dan sesungguhnya Allah akan menolong orang yang menolong Dia. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha-kuat, Yang Maha-perkasa.”.
Menurut ayat-ayat tersebut di atas perang (qitâl) diizinkan kepada kaum Mukmin, karena:
Diperangi oleh orang-orang kafir
Dianiaya oleh orang-orang kafir
Diusir dari rumah tanpa alasan yang benar, kecuali karena berkata bahwaTuhan kami ialah Allah.
Merajalelanya penindasan dan fitnah karena agama.
Empat hal itulah yang menjadi syarat diizinkannya mengangkat senjata. Jika syarat-syarat itu belum lengkap, mengangkat senjata belum diizinkan. Di Mekah fitnah dan penganiayaan kaum kafir terhadap kaum Mukmin hanyalah dilancarkan oleh orang-seorang, tetapi setelah hijrah, fitnah tak lagi dilancarkan secara perorangan oleh kaum Quraisy, karena kaum Mukmin berada di luar jangkauan mereka. Mereka bertekat menghancurkan kaum Muslimin atau memaksa kaum Muslimin agar meninggalkan agamanya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat:
“Dan mereka tak henti-hentinya memerangi kamu (yuqâtilûnakum), sampai mereka dapat membalikkan kamu dari agama kamu jika mereka dapat” (Al-Baqarah 2:217)
Inilah perang suci dalam arti yang sebenarnya. Jika perang semacam ini tak diizinkan, niscaya di muka bumi ini tak ada perdamaian dan tak ada kebebasan beragama dan semua tempat suci untuk memuja Allah akan dihancurkan. Sungguh tak ada perang yang lebih suci daripada perang untuk kebebasan agama baik bagi umat Islam, baik untuk menyelamatkan masjid maupun biara-biara, gereja-gereja, sinagog/kanisah umat Yahudi, candi umat Hindu, vihara umat Budha, dan kelenteng kaum Konfusius.[1] Perang semacam inilah yang oleh Quran Suci disebut sebagai jihad (jihâd fi sabîlillah) atau qital (qitâl fi sabîlillâh) yang dalam Hadits dinyatakan sebagai jihad ashghar, artinya jihad kecil.
6. Firman Ilahi dalam surat Al-Baqarah 2:190-194
“Dan berperanglah (yuqâtilû) di jalan Allah melawan mereka yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melanggar batas. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang yang melanggar batas. Bunuhlah mereka dimana saja kamu berjumpa dengan mereka, dan usirlah mereka darimana mereka mengusir kamu, dan penindasan (fitnah) itu lebih jahat daripada pembunuhan. Dan janganlah bertempur melawan mereka di masjid Suci sampai mereka memerangi kamu di dalamnya apabila mereka memerangi kamu di dalamnya bunuhlah mereka. Demikianlah pembalasan terhadap kaum kafir. Akan tetapi jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah itu Yang Maha pengampun Yang Maha pengasih. Dan perangilah mereka sampai tak ada lagi penindasan, dan (sampai)agama itu kepunyaan Allah semata-mata”.
Dari ayat-ayat tersebut terang sekali bahwa umat Islam di izinkan berperang karena diserang. Peperangan kaum Mukmin hanyalah ditujukan terhadap musuh yang melancarkan serangan terlebih dahulu dan mereka dilarang menyerang lebih dahulu. Jika peperangan semacam ini tak diizinkan ummat Islam akan punah dan di muka bumi tak ada lagi orang yang akan menegakkan Kedaulatan Tuhan. Nabi Suci Muhammad saw di medan perang Badar berdoa:
“Wahai Allah! Aku bermohon kepada Engkau sukalah memenuhi janji Engkau; wahai Allah! Jika Engkau menghendaki (sebaliknya) niscaya Engkau tak akan disembah lagi” (Bu. 56:89).
Diakhirinya ayat ini dengan kalimat sampai agama itu kepunyaan Allah semata-mata, menunjukan bahwa agama itu merupakan perkara manusia dan Allah semata-mata, perkara kejiwaan, yang tak seorang pun berhak mencampurinya. Jadi terang sekali bahwa kaum musyrik dan kafir tak dipaksa masuk Islam, kebebasan tetap diberikan kepada mereka dalam hal agama.
Jadi jihad menurut Quran Suci dalam periode Mekah artinya berjuang keras menyebarluaskan Islam dengan damai atau berdakwah, meski para musuh Islam senantiasa menganiaya, bahkan beberapa orang telah dibunuh secara kejam. Ketika beberapa sahabat meminta berperang, Nabi Suci bersabda: “Saya telah memerintahkan untuk memâfkan, jangan berperang” (Kumpulan Hadits Nasa’i, Kitab Jihad). Tetapi setelah hijrah ke Madinah, selain berdakwah tetap ditekankan, berjuang dengan cara baru diizinkan karena Islam dan umatnya terancam. Inilah asbabun-nuzul turunnya ayat izin perang, sebagaimana tersirat dalam surat ancaman orang-orang Mekah kepada Abdullah bin Ubay, pemimpin Madinah: “Wahai masyarakat Madinah, kalian telah memberi perlindungan kepada musuh-musuh kami. Kami bersumpah bahwa apabila kalian tidak melawan mereka atau mengusirnya, maka kami akan datang melawan kalian dan kami akan membunuh para pejuang kalian dan kami akan menangkap wanita-wanita kalian” (Abu Daud Jilid 2:495).
Mengenai kewajiban jihad dengan pedang yang disebut qital – yang pada dasarnya kaum mukmin tidak suka (2:216) – Sayid Abul A’la Al-Maududi, pakar teologi Muslim Pakistan, menjelaskan:
“Dalam terminologi syariat, qitâl dan jihâd merupakan dua hal yang berbeda. Qital diterapkan pada suatu tindakan militer terhadap pasukan musuh. Jihad diterapkan pada usaha menyeluruh yang dilakukan oleh seluruh bangsa demi keberhasilan tujuan perang. Selama perjuangan ini, qital dapat berhenti sewaktu-waktu dan dapat juga ditunda. Akan tetapi, jihad terus berlangsung sampai pada suatu waktu ketika tujuan tercapai.” (Harian Mashriq Lahore, 12 Oktober 1965).
Sebelumnya, Al-Maududi telah menerangkan arti kata jihad sebagai berikut:
“Jihad tidak hanya berarti berperang dengan senjata, tetapi diterapkan secara kolektif kepada seluruh perjuangan yang dilakukan demi keberhasilan dalam perang.” (Harian Kohistan Lahore, 18 September 1965).
Akhirnya pendapat Imam Mirza Ghulam Ahmad perlu kita renungkan:
“Menyangkut arti yang dipakai, apakah perang fisik atau perang spiritual, apakah perang dengan menggunakan pedang atau dengan pena, ayat berikut ini cukup menjadi petunjuk kita: “Bersiaplah menghadapi mereka (musuh) dengan segenap kemampuanmu” (8:60). Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk mengerahkan segenap kemampuan dalam melawan musuh, dan menggunakan cara yang kita anggap sebagai cara terbaik dan paling efektif” (Majmu’a Ishtiharat, jilid 1:360).
Tentang perang (qitâl) beliau menjelaskan:
“Haruslah diketahui bahwa Quran Suci tidaklah semena-mena memberikan perintah perang. Quran memerintahkan berperang hanya melawan orang-orang yang menghalangi orang lain untuk beriman kepada Allah, mengikuti perintah-Nya dan memuja-Nya. Quran memberikan perintah berperang terhadap orang-orang yang menyerang kaum Muslim tanpa sebab dan mengusir mereka dari rumah dan negara mereka serta menghalangi mereka menjadi muslim. Orang-orang tersebutlah yang dimurkai oleh Allah dan orang-orang muslim haruslah memerangi mereka apabila mereka tidak menghentikan perbuatannya.” (Nurul-Haqq, jilid 1:46).
Berdasarkan ajaran Quran Suci, tindak kekerasan yang brutal dan anarkhis atas nama agama dengan dalih jihad tidak dibenarkan. Haram hukumnya, karena melanggar syariat Islam!
Jihad menurut Hadits Nabi
Dalam kitab-kitab Hadits, kata jihad juga mengandung arti yang luas, tidak khusus digunakan dalam arti perang. Imam Bukhari misalnya, dalam bab jihad menulis berbagai judul tentang ajaran (dakwah) memeluk Islam sebagai berikut:
“Hendaklah orang Islam memberi petunjuk kepada kaum Ahli Kitab pada jalan yang benar, atau hendaklah orang Islam mengajarkan Kitab kepada mereka” (Bu 56:99)
“Memohonkan petunjuk bagi kaum musyrik, agar orang Islam dapat meningkatkan persahabatan dengan mereka” (Buk 56:100)
“Ajakan Nabi Suci (kepada kaum musyrik) untuk memeluk Islam dan kenabian, dan agar mereka tak mengambil orang lain sebagai Tuhan selain Allah” (Bu 56:102)
“Keunggulan seseorang yang masuk Islam dari kalangan kaum Ahli Kitab (Bu 56:143)
“Keunggulan seseorang ialah yang orang lain masuk Islam di bawah tangannya” (Bu 56:145)
“Bagaimana caranya memasukkan Islam kepada anak-anak” (Bu. 56:178)
Dari judul-judul tersebut di atas terang sekali bahwa dakwah Islam dengan lisan dan pena serta dengan harta atau bilhâl dipandang sebagai jihad, selaras dengan firman Ilahi dalam surat Al Furqan 25-52.
Imam Abu Daud pun meriwayatkan Hadits-Hadits yang semacam itu. Dalam bab Jihad terus-menerus, ada sebuah Hadits yang intinya sebagai berikut:”Sebagian umatku tak henti-hentinya memperjuangkan kebenaran, dan mereka akan keluar sebagai pemenang mengalahkan musuh mereka”. Hadits ini ditafsiri oleh Imam Nawawi sebagai berikut:
“Yang dimaksud sebagian umat Islam dalam Hadits tersebut ialah berbagai golongan kaum mukmin yang terdiri dari prajurit yang berani, kaum ahli fiqih (ahli hukum), muhadditsûn (penulis Hadits), dan zahid (orang yang menjauhkan diri dari kesenangan duniawi dan hanya beribadah kepada Allah), dan orang yang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat), dan lain-lain yang mengerjakan perbuatan baik” (Aunul Ma’bud).
Dari keterangan tersebut di atas, terang sekali bahwa jihad menurut Hadits mencakup semua perbuatan mengabdi kepada Islam dalam bentuk apapun, tentu saja bom bunuh diri tidak termasuk di dalamnya.
Imam Baihaqi meriwayatkan suatu Hadits yang menceritakan bahwa pada suatu hari ketika Nabi Suci dan para sahabat kembali dari peperangan, Nabi bersabda:”Kita kembali dari jihad kecil (jihâdil asHghar) menuju jihad terbesar (jihâdil akbar)”. Sahabat bertanya:”Ya Rasulullah, apakah jihad terbesar itu?” Beliau menjawab: “Jihad melawan nafsu (jihâdun-nafs)”.
Nafsu itu ada dua macam, yaitu:
Nafsu tinggi, yang menyadarkan manusia akan kehidupan yang tinggi atau kehidupan ruhani, dan
Nafsu rendah, yang berhubungan dengan kehidupan jasmani di dunia.
Nafsu rendah inilah yang oleh Quran disebut hawâ terjemahannya hawa nafsu (53:3). Hawa Nafsu adalah penting sekali bagi kehidupan jasmani manusia, tetapi ini merintangi manusia mencapai tingkat kehidupan yang tinggi, selama hawa nafsu tak dikendalikan. Mengendalikan hawa nafsu inilah yang disebut jihad akbar. Dinamakan jihad akbar karena manusia itu kuat menghadapi apa saja dan dapat menaklukan alam dengan akal, ilmu pengetahuan dan kekuatan yang diberikan kepadanya, tetapi manusia itu lemah menaklukan hawa nafsunya, karena iblis yang tak mau sujud kepada manusia selalu menggoda dan membangkit-bangkitkan hawa nafsu. Menaklukkah hawa nafsu dan iblis itu sangat berat, karena tidak kelihatan dan bersarang dalam diri manusia sendiri. Jika manusia dapat menaklulkannya, hawa nafsu dan iblis itu bukan lagi menjadi perintang, malahan menjadi pembantu dalam meningkatkan kehidupan ruhani manusia, sebagaimana yang dimaksud oleh Nabi Suci pada waktu menjawab pertanyaan salah seorang sahabat, apakah nabi Suci juga mempunyai setan? “Ya” jawab beliau “tetapi Allah menolongku mengalahkan dia, sehingga dia tunduk kepadaku dan tak menyuruh aku selain kebaikan.”
Selanjutnya Nabi Suci Muhammad saw menjelaskan bahwa tujuan jihad ashghar atau qital ialah untuk menjunjung tinggi kalimah Allah (li i’lâ’i kalimâtillâh), maka niatnya harus bersih dari mencari untung atau ingin dipuji atau mencari nama. Suatu hadits meriwayatkan:
“Seorang laki-laki menghadap Nabi Suci dan berkata sebagai berikut: Ada kalanya orang berperang untuk mencari ghanimah (harta rampasan perang) dan ada kalanya orang berperang untuk mencari nama baik; dan ada kalanya orang berperang untuk dilihat keberaniannya; perang yang manakah yang di jalan Allah? Nabi Suci menjawab: Orang yang berperang agar kalimah Allah dijunjung tinggi itulah perang di jalan Allah” (Bu 56:15)
Maksud Hadits tersebut di atas selaras dengan firman Ilahi dalam Qur’an Suci bahwa keselamatan hijrah Nabi Suci ke Madinah adalah sebagai “membuat rendah kalimah kaum kafir, dan menjunjung tinggi kalimah Allah” [2]. Jika demikian perang yang diizinkan oleh Islam adalah benar-benar perbuatan mulia dan suci. Orang mengorbankan harta dan jiwanya demi tegaknya kebenaran dan kedilan serta lenyapnya penindasan. Oleh karena itu Nabi Suci menerangkan betapa mulianya orang yang memelihara kuda (Bu 56:45), atau memelihara kuda yang siap diberangkatkan ke medan perang (Bu 56:73), Nabi Suci menganjurkan belajar memanah (Bu. 56:78), atau belajar menggunakan alat perang (Bu 56:79).
Ini semuanya bukanlah menunjukan bahwa kaum Muslimin menyiarkan Islam dengan kekerasan atau agar kaum Muslimin melancarkan perang (agresi) terhadap tetangga, melainkan hanya menunjukkan bahwa kaum Muslimin harus bertempur, dan untuk mensukseskan pertempuran itu kaum Muslimin dianjurkan supaya mengadakan persiapan yang baik. Mereka yang maju ke medan perang demi li i’lâ’i kalimâtillâh (menjunjung tinggi kalimah Allah) dijamin masuk surga. Dalam konteks inilah Nabi Suci bersabda: “Surga (jannah) itu di bawah bayang-bayang pedang” (Bu 56:22).
Hadits-hadits tentang manfât qital (perang) itu janganlah disalah-tafsirkan sebagai perintah agar kaum Muslimin selalu memerangi kaum non-Muslim. Itu adalah keliru. Perang itu sendiri bukanlah barang baik atau barang buruk; perang adalah kesempatan yang menjadikan itu suatu perbuatan yang amat baik atau amat buruk. Yang jelas menurut Hadits Nabi, orang Islam adalah “orang lain akan selamat dari tangan dan lisannya” atau ”yang orang-orang akan merasa aman” (Bu 2:4)
Senada dengan hadits-hadits tersebut Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan: “Singkatnya, terdapat tiga kategori perang yang Islami: untuk melindungi diri sendiri, untuk menghukum, yaitu darah dibayar dengan darah, dan untuk menciptakan perdamaian, yakni memerangi kekuatan yang menghalangi orang memeluk agama Islam. Karena tidak ada perintah untuk memaksa seseorang masuk ke dalam agama Islam dengan ancaman pembunuhan, maka tidak perlu ada pertumpahan darah dalam menunggu Masih dan Mahdi. Tidaklah mungkin Masih atau Mahdi datang dengan ajaran yang berbeda dengan Quran dan memerintahkan orang masuk Islam dengan pedang” (Masih Hindustan Main, hlm. 18-19).
Dalam kitabnya yang lain beliau menjelaskan: “Kita diperintahkan untuk menghadapi orang-orang kafir dengan cara yang sama seperti mereka menghadapi kita. Atau kita harus memperlakukan mereka sama seperti mereka memperlakukan kita. Selama mereka tidak mengangkat senjata dalam menghadapi kita, kita juga tidak diperbolehkan mengangkat senjata dalam menghadapi mereka” (Haqiqatul-Mahdi, hlm. 28).
JIHAD MENURUT ULAMA
Para ulama Islam ahli fiqih umumnya mengemukakan pengertian yang salah tentang jihad dan menjunjung tinggi kalimah Allah. Kesalahan mereka telah berlangsung lama, sejak zaman dahulu pasca Nabi Suci dan sahabat sampai sekarang. Imam Mirza Ghulam Ahmad mengungkapkan realitas tersebut:
“Haruslah diingat bahwa konsep dalam pikiran ulama sekarang dan cara para ulama menjelaskan permasalahan jihad kepada masyarakat jelas tidak benar. Akibatnya, para ulama tersebut membuat masyarakat mempunyai karakteristik seperti binatang dengan khotbahnya berapi-api mereka menghilangkan nilai-nilai baik kemanusiaan. Jadi, apabila terjadi demikian, maka saya mengetahui dengan pasti bahwa dosa dari semua pembunuh keji dilakukan oleh orang-orang yang bodoh dan bersemangat, yang tidak menyadari mengapa Islam harus berperang pada zaman dahulu. Para ulama tersebutlah yang harus bertanggung jawab terhadap ajaran-ajaran yang menyebabkan pertumpahan darah” (Government Angrezi aur Jihad, hlm. 7).
Tatkala terjadi pembunuhan dua orang Inggris yang dilakukan oleh orang Muslim fanatik, beliau berkomentar:
“Apakah pembunuhan terhadap dua orang Inggris ini disebut jihad? Apabila demikian, pembunuh tersebut merusak nama baik Islam. Hal yang seharusnya kita lakukan adalah menjalin hubungan dengan mereka dengan cara yang baik, sehingga mereka dapat menjadi Muslim karena melihat perbuatan baiknya[3] …. Sewaktu saya mendengar tentang orang-orang tersebut, saya benar-benar sedih karena mereka telah berada jauh dari Quran Suci, dan meyakini bahwa pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak bersalah merupakan perbuatan baik” (Malfuzat, bab II, hlm. 49-50).[4]
Dalam kesempatan yang lain beliau menyatakan sebagai berikut:
“Di sini kami juga harus menyesalkan dua hal, yaitu: di satu pihak para ulama yang bodoh menyembunyikan arti jihad yang sebenarnya dan mengajarkan masyarakat untuk membunuh dan mengistilahkan pembunuhan itu dengan jihad; di lain pihak para pendeta Kristen juga melakukan hal yang sama. Mereka menerbitkan beribu-ribu buku dalam bahasa Urdu, bahasa Fasko dan sebagainya yang mengatakan bahwa Islam disiarkan dengan pedang. Buku-buku ini disebarkan ke seluruh India, Punjab dan tempat-tempat lain. Akibatnya, masyarakat mendapatkan dua pernyataan yang sama yaitu pendapat para ulama dan pendapat pendeta Kristen mengembangkan nafsu primitif mereka” (Government Angrezi aur Jihad, hlm. 9).
Kesalahan para ulama tentang doktrin jihad dalam Islam sehingga sejajar dengan pendapat para pendeta Kristen itu disebabkan karena:
Salah mengartikan kata jihad. Jihad yang artinya luas, digunakan dalam arti sempit, yaitu perang (qitâl). Kesalahan itu terus berkembang, jihad ialah bertempur melawan bangsa atau negara kafir, baik mereka diserang atau tidak, seperti tersirat dalam definisi Sulaiman Rasyid yang telah dikutip dalam kata Pengantar buku ini. Pengertian ini tak dikenal sama sekali oleh Qur’an Suci dan Sunnah Nabi.
Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang jihad atau qital, mereka tidak memperhatikan hubungan ayat itu dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, juga karena mengabaikan asbabun-nuzul ayat dan implementasinya pada zaman Nabi Suci Muhammad saw. Misalnya dalam menafsirkan firman Ilahi dalam surat At-Taubah 9:5 sebagai berikut:
“Maka apabila bulan-bulan suci telah berlalu, bunuhlah kaum musyrik, di mana saja kamu berjumpa dengan mereka, dan tawanlah mereka dan kepunglah mereka dan hadanglah meeka di tiap tempat pengadangan. Tetapi jika mereka bertobat dan menegakkan salat dan membayar zakat, bebaskanlah jalan mereka”.
Ayat ini disebut âyatus-saif (ayat pedang), yang difahami seakan-akan ayat itu mengandung perintah pembunuhan besar-besaran secara serampangan terhadap kaum musyrik. Kesalah-fahaman ini disebabkan karena tak melihat ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Ayat sebelumnya (ayat ke empat) menjelaskan kaum musyrik yang memutuskan perjanjian dan menyerang kaum Muslimin; jadi bukan sembarang kaum Musyrik yang tersebar di dunia. Maka kepada mereka itulah serangan wajib dilancarkannya. Ayat berikutnya (ayat ke enam) menerangkan bahwa orang-orang musyrik perorangan, meskipun ia termasuk golongan kabilah yang memusuhi kaum Muslimin, tetap dijamin keamanannya. Jadi terang sekali bahwa serangan kaum Muslimin itu hanya ditujukan kepada kaum musyrik atau kafir yang melancarkan serangan terlebih dahulu, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Baqarah 2:190 dan Al-Hajj 22:39-40.
Berdasarkan pengertian yang keliru tentang jihad, ulama ahli fiqih berkhayal membagi dunia ini menjadi tiga macam yaitu: Dârul-harb, Dârul-Islâm dan Dârush-shulk. Dârul-harb arti aslinya rumah atau tempat pertempuran, yang dimaksud ialah tempat yang diperintah oleh non Muslim; sedangkan kata dârul-Islâm arti aslinya ialah tempat tinggal Islam; selanjutnya kata dârul-sulh arti aslinya ialah tempat perdamaian, yakni negara non-Islam yang mengadakan perdamaian dengan kaum Muslimin. Pembagian semacam ini tak ada dalilnya satupun dari Qur’an Suci dan Hadits Nabi, maka wajib ditolak karena tak selaras dengan prinsip dasar agama Islam yang sifatnya fitriah.
Kepercayaan bahwa pada zaman akhir akan turun Al-Masih dan Imam Mahdi, keduanya akan bekerja sama bahu-membahu menyiarkan Islam ke seluruh dunia dan barang siapa tak mau memeluk Islam akan dipenggal lehernya dengan pedang. Kepercayan ini jelas bertentangan dengan ajaran Qur’an Suci, bahwa tak ada paksaan dalam agama (Al-Baqarah 2:256).
Kesalahpahaman tentang hukum bunuh orang yang murtad juga mempengaruhi pada pola pikir para ulama Islam. Berdasarkan petunjuk Quran Suci dan peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi, yakni yang berhubungan dengan kasus kabilah ‘Uqul, orang-orang yang murtad dihukum bunuh bukan karena kemurtadannya, tetapi karena permusuhannya terhadap kaum Muslimin.
Demikianlah pendapat para ulama ahli fiqih pada umumnya, tetapi ada pula ulama ahli fiqih dan pujangga yang membantah pengertian yang keliru tentang jihad itu. Misalnya:
1. Abul Hasan Ali bin Abi Bakar Al-MarghHinani dalam kitab Al Hidâyah, hal. 537 menulis sebagai berikut:
“Jihad bukanlah diwajibkan karena keadaan jihad itu sendiri (li’amihi), karena jihad itu menyebabkan kerusakan (ifsad), tetapi jihad itu diwajibkan karena jihad itu meneguhkan agama Allah dan menangkis kejahatan (daf’usy-syarri) dari hamba-hamba-Nya”
Digunakan kata daf’usy-syarri itu menunjukan bahwa, jihad itu asal mulanya untuk menangkis kejahatan: oleh karena itu jihad adalah perbuatan membela diri bukan perbuatan menyerang.
2. Imam Ghazali, Mujaddid Islam abad ke lima Hijriah dalam kitab Mukasyafatul-Qulûb menulis sebagai berikut:
Diutarakan oleh beberapa ahl-ma’rifah bahwa meerka mengatakan jihad itu ada tiga macam: (1) jihad terhadap orang kafir. Jihad ini dinamakan jihâd dzahir yang di dalam Quran disebut “yujâhidûna fî sabiliillâh (mereka yang berjihad di jalan Allah). (2) jihad dengan dalil-dalil dan ilmu untuk menghadapi orang-orang dhalim. Ini disebutkan oleh ayat Quran “adakanlah diskusi dengan mereka dengan jalan yang sebaik-baiknya: (3) jihad dengan nafsu amarah (hawa nafsu). Ini disebutkan oleh ayat Qur’an “ orang yang berjihad di jalan Kami dan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami”. Sama halnya dengan Hadits Nabi mengatakan jihad yang paling baik ialah jihad terhadap diri sendiri….”
3. Maulana Abul Kalam Asad, pujangga, ulama dan negarawan India yang terkenal telah mengatakan sebagai berikut:
“Mengenai pengertian jihad telah terjadi kesalah fahaman yang serius. Banyak orang mengartikan jihad itu ialah berperang (kekerasan). Orang-orang yang memusuhi Islam juga terlibat dalam kesalah fahaman ini. Padahal dengan pengertian ini berarti membatasi arti dari hukum yang amat luas lagi suci dan luhur. Dalam istilah Quran dan Sunnah, jihad artinya usaha keras untuk mengatasi kepentingan pribadi guna kepentingan kebenaran. Usaha ini dilakukan dengan lisan, dengan harta, dengan membelanjakan waktu, umur dan sebagainya dengan memikul macam-macam kesukaran dan juga dengan menghadapi pasukan musuh menumpahkan darah juga. Untuk menghadapi pasukan musuh diperlukan waktu tertentu, tetapi untuk menghadapi diri pribadi bagi seorang mukmin ialah usaha seumur hdiup, jihad pagi dan sore…” (Masalah Khalifah)
4. Ibrahim Al Bajuri dalam kitabnya telah menulis sebagai berikut:
“Jihad atau peperangan di jalan Allah, diambil dari perkataan mujâhadah yang artinya perjuangan untuk menegakkan agama, dan ini disebut jihad ashghar, sedangkan jihad akbar ialah memerangi hawa nafsu. Karena itulah Nabi Suci saw bersabda ketika kembali dari peperangan: Kita kembali dari jihad ashghar menuju jihad akbar.”
5. Dr. Sir Muhammad Iqbal, filsuf dan pujangga Muslim terkenal ini dicatat dalam berita mingguan seperti diungkapkan berikut:
“(Dokter Iqbal mengatakan) ‘Islam tidaklah akan pernah ditaklukkan, dia akan menang’. Seseorang menyangkal pertanyaannya tersebut dan bertanya bagaimana Islam akan menang apabila diperbudak oleh Inggris? Dokter Iqbal menjawab, ‘Tidakkah kaum yang disamakan dengan Tartar telah dibangkitkan sekarang ini? Bangsa yang mempunyai hukum-hukum tempat kita hidup akan menjadi Muslim. Bukti hidup dari hal ini adalah Lord Headly yang masih hidup di antara kita semua. Kekuatan Islam tidaklah terbatas. Ada zaman pedang. Sekarang adalah zaman pena. Islam menyerang dari dalam dan dapat membuat kamu menerimanya” (Paigham Sulh, 4 Januari 1928).
6. Maulvi Muhammad Husain Batala, pemimpin golongan ahli Hadits dan editor majalah Isha’atis-Sunnah, pernah menulis sebagai berikut:
“Beberapa saudara Muslim kami percaya bahwa kemalangan para pengikut Islam sekarang tidaklah dapat dihilangkan tanpa pedang. Mendapatkan pendidikan keduniawian tidaklah berguna. Meskipun demikian, kepercayaan tersebut di atas kelihatannya tidak mungkin apabila melihat kondisi Muslim saat ini. Wahai saudaraku! Zaman menggunakan pedang tidak ada lagi. Sekarang daripada menggunakan pedang lebih baik kita pentingkan untuk menggunakan pena. Bagaimana pedang dapat berada dalam genggaman orang-orang Muslim apabila mereka sendiri tidak mempunyai tangan. Mereka tidak mempunyai identitas nasional, juga tidak mempunyai eksistensi nasional … dalam kondisi yang lemah tersebut, menganggap mereka sebagai suatu bangsa adalah melampaui imajinasi Shaikh Chilli (figur manusia lucu dalam fiksi Urdu)” (Isha’atus-Sunnah, jilid vi, hlm. 364, Desember 1883).
7. Maulvi Sanaullah, salah seorang ulama penentang Imam Mirza Ghulam Ahmad mengatakan:
“Karena ulama kita ketika itu mengumumkan jihad dengan pedang merupakan pemberontakan dan diharamkan serta lawan-lawan Islam mengumandangkan perang dengan pena, maka yang dibutuhkan kemudian adalah berjihad dengan pena” (Majalah Iman, 1948)
8. Sayyid Ahmad Barelvi, Mujaddid abad ke-13 H yang syahid melawan kaum Sikh di Barat Laut India pada tahun 1831, memiliki pendapat tentang jihad sebagaimana kutipan berikut:
“Ketika dia (Sayyid Ahmad Barelvi) melakukan jihad melawan Sikh, seseorang bertanya kepadanya: “Mengapa kamu pergi jauh-jauh untuk berjihad melawan Sikh, padahal orang Inggris sedang menjajah menguasai negara ini dan orang-orang Inggris itu tidak mengetahui Islam. Melakukan jihad melawan mereka di setiap rumah dan berjuang mendapatkan India dari mereka, akan didukung dan dibantu berjuta-juta orang….” Dia menjawab: pemerintah Inggris mungkin menolak Islam, tetapi mereka tidak menindas orang-orang Muslim, mereka juga tidak melarang orang-orang Muslim untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Dengan alasan tersebut, apakah kita akan berperang melawan mereka dan menumpahkan darah yang tidak perlu dari kedua belah pihak. Hal ini berlawanan dengan prinsip-prinsip agama.” (Musalmanon Ka Roshan Mstaqbil, oleh Sayid Tufail Ahmad, edisi ketiga, 1940).
9. Sir Sayyid Ahmad Khan, pemimpin Muhammadan Anglo Oriental College, pandangannya tentang jihad terhadap Inggris sebagai berikut:
“Umat Muslim yang hidup dengan damai di bawah pemerintahan mereka, tidak boleh melakukan jihad menentang pemerintah dengan jalan apapun” (Asbab Baghawati Hind, hlm. 105)
Jika demikian halnya, di kalangan alim ulama Islam secara garis besar ada dua pendapat tentang jihad, yaitu: yang pertama berpendapat bahwa jihad identik dengan qital, oleh karena itu Islam disiarkan dan dipertahankan dengan pedang; sedang yang lain berpendapat bahwa jihad tak identik dengan qitâl. Qital adalah salah satu bentuk jihad, yaitu jihad ashghar.
[1] Jadi Ummat Islam tidak hanya diwajibkan menjaga kesucian masjid saja, tetapi juga wajib menjaga kesucian tempat ibadah agama lain, seperti biara, gereja, kanisah, candi dan lain-lain
[2] Selengkapnya ayat itu berarti sebagai berikut:”…..dan membuat rendah kalimah kaum kafir. Dan kalimah Allah adalah yang amat luhur” (Qs At Taubah 9:40)
[3] Kodrat manusia itu baik (30:30), maka tertarik kepada hal-hal yang baik. Pada zaman permulaan Islam – dan ini akan terulang kembali pada zaman akhir atau sekarang ini – banyak orang-orang kafir yang masuk Islam karena tertarik kepada kebaikan budi pekerti umat Islam, sebagaimana diungkapkan Ilahi, “Kerapkali orang-orang kafir menginginkan agar mereka menjadi orang-orang Islam” (15:2)
[4] Bom bunuh diri yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia jauh lebih buruk dari kasus pembunuhan dua orang kafir Inggris tersebut.
sumber : redaksistudiislam
0 Response to "Jihad"
Post a Comment