Membangun Kembali Hubungan Komisi Yudisial Dan Mahkamah Agung

Hubungan KY dan MA akhir-akhir ini (kembali) memanas karena KY menganggap bahwa MA gagal dalam mengawasi tingkah laku para Hakim. Saking gemasnya, Taufiqurrahman Syahuri, Komisioner KY, dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Trijaya FM mengatakan bahwa Hakim itu ndableg,
karena walaupun sudah 16 orang Hakim yang diberhentikan karena bertingkah laku tercela, ternyata masih saja tetap ada masih hakim-hakim yang “nakal”, ini terbukti dari ditangkapnya Hakim Syarifuddin karena menerima suap.
Lebih jauh, Taufiqurrahman Syahuri juga mengungkapkan bahwa KY harus diberi kewenangan dalam Undang-Undang yang baru untuk menyeleksi Hakim, sehingga calon hakim yang akan diterima benar-benar bersih dan berintegritas, dan praktek yang selama ini berjalan bahwa calon Hakim yang lolos seleksi adalah hasil nepotisme bisa dihilangkan.
Belum lagi terjadi pertempuran yang alot dalam perumusan Rancangan Undang-undang KY yang baru di DPR dimana terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya dimasukkannya pasal kewenangan KY untuk menyadap Hakim dan untuk menjatuhkan sanksi kepada Hakim demi mencegah adanya Hakim-hakim yang “nakal”.
Panasnya hubungan ini, seakan semakin “tersiram bensin” dengan penolakan MA terhadap pemanggilan Majelis Hakim pemeriksa perkara Antasari dan Abu Bakar Baasyir oleh KY untuk diperiksa dengan dugaan pelanggaraan kode etik. Terakhir, KY menyatakan bahwa 214 Calon Hakim yang telah diterima oleh MA medio 2009 yg lalu terancam illegal dan tidak sah karena tidak melibatkan KY dalam proses seleksi terbsebut. Hubungan antara MA dan KY pun berada di puncak pertikaiannya.
Antara Seharusnya dan Sebaiknya
Denny Indrayana (2008:20) berpendapat bahwa ada tiga macam relasi antara KY  dan MA: Konstruktif, Kolutif, dan Konfrontatif. Relasi yang konstruktif adalah hubungan yang berjalan di atas kesepahaman untuk saling kontrol dan saling imbang (check and balances) guna menciptakan peradilan yang lebih bersih dan berwibawa. Relasi yang kolutif menunjukkan bahwa KY tidak berfungsi sebagai lembaga pengawas hakim, melainkan hanya menjadi pemberi stempel bersih kepada apapun keputusan para hakim. Relasi ketiga, konfrontatif, adalah hubungan KY dan MA yang selalu berseteru, dengan akibatnya tertinggalnya agenda bersama untuk memerangi judicial corruption.
Dari ketiga relasi tersebut, yang seharusnya terjadi antara KY dan MA adalah relasi yang konstruktif, hubungan yang saling membangun dan bekerjasa sama antar lembaga negara menuju sebuah penegakan hukum yang adil dan bermartabat, juga Hakim yang terhormat dan berperilaku luhur. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi sekarang adalah relasi yang konfrontatif, saling menyerang satu sama lain, tidak tergambar sama sekali sebuah keharmonisan hubungan antara lembaga negara.
Salah satu faktor pendukung relasi yang konstruktif adalah ketika KY dan MA dapat bertindak sesuai dengan porsi kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing, apa hal yang “seharusnya” dilakukan, dan apa yang “tidak seharusnya” dilakukan terkait kewenangan.
Kewenangan yang “seharusnya” dilakukan oleh KY selain melakukan pendaftaran, seleksi, menetapkan calon Hakim Agung, dan mengajukan calon Hakim Agung tersebut ke DPR, adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (UUD Pasal 24B dan UU No 22 tahun 2004 Pasal 13).
Kewenangan “seharusnya” dari KY terhadap MA (Hakim), dalam kalimat “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” itu berarti KY bukanlah semata menjadi lembaga penghukum, lembaga penyadap dan lembaga penyeleksi bagi Hakim, akan tetapi lebih luas dari itu.
“Menjaga dan menegakkan kehormatan” itu berlaku dalam setiap sendi kedinasan seorang Hakim, dalam khidmatnya proses persidangan, dalam ketertiban dan keamanan proses persidangan, dalam keselamatan dan ketenangan seorang Hakim dalam mengambil putusan untuk perkara apapun tanpa harus mengalami ancaman dan tekanan dari pihak manapun, dan tidak semata tergambar hanya dalam sebuah amar putusan. Sehingga tidak tepat apabila kehormatan itu hanya dinilai dari benar/tidak atau adil/tidaknya sebuah putusan, tapi tidak melihat kepada bagaimana proses dijatuhkannya amar tersebut.
Dalam kalimat itu pula, tergambar bahwa KY “seharusnya” lebih berfungsi untuk mencegah terjadinya contempt of court dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan Hakim, berusaha bersama MA agar semua orang dapat menghormati proses persidangan dan putusan, mengusahakan agar tidak ada ancaman dan tekanan kepada Hakim untuk menjamin independensi seorang Hakim dalam memutus perkara, daripada hanya sekedar berfungsi sebagai pengawas dan pemeriksa Hakim.
Adapun kalimat selanjutnya berbunyi “Keluhuran martabat serta perilaku Hakim” berlaku dalam setiap sendi kehidupan sehari-hari seorang Hakim, dalam pergaulan sehari-hari seorang Hakim, dalam fasilitas yg diberikan kepada Hakim untuk menunjang nama baik serta martabat Hakim tersebut, termasuk bagaimana seorang Hakim bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya dengan layak untuk mewujudkan keluarga Hakim yang harmonis dan berperilaku luhur. Sehingga tidak tepat jika keluhuran martabat dan perilaku tersebut hanya dinilai dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi tanpa menganalisa apa akar dan sebab terjadinya penyimpangan tersebut. Tidak hanya sekedar mencari kesalahan, tapi juga mencari jalan keluar agar kesalahan itu tidak kembali terulang.
Namun ada kalanya, ketika pendekatan apa “yang seharusnya” tidak dapat menyelesaikan masalah, patut dikedepankan pendekatan “yang sebaiknya”, dimana ketika pendekatan “yang sebaiknya” dipakai maka akan sangat berkaitan dengan norma dan etika.
Ketika etika diartikan sebagai sesuatu yang dibatasi dengan dasar nilal moral menyangkut apa yang diperbolehkan atau tidak, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku manusia, maka setiap tingkah laku yang dilakukan baik oleh KY dan MA untuk kebaikan bersama harus berlandaskan kepada nilai dasar etika.
Ditilik dari pendekatan “seharusnya”, maka KY tidak dapat memaksa untuk memeriksa seorang Hakim berdasarkan putusan yang telah Hakim tersebut jatuhkan, dan Hakim (juga MA) berhak untuk menolak itu. Akan tetapi ketika pendekatan “sebaiknya” dipakai, maka KY bisa saja memeriksa seorang Hakim, tapi tidak dengan cara memaksa, akan tetapi dengan membina hubungan baik dengan MA agar bisa menghasilkan kesepakatan bersama yang berisi bahwa KY dapat memeriksa seorang Hakim (yang sampai saat ini belum ada), lengkap dengan rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar dan teknis pelaksanaannya.
Secara kelembagaan, KY dan MA “sebaiknya” tidak berkonflik secara institusional, bahkan sampai saling menyerang lewat media, melainkan mengarahkan secara bersama-sama konflik tersebut ke ranah personal, kepada oknum-oknum hakim yang berpraktik menyimpang, dan ini memerlukan kerjasama antar kedua lembaga tersebut untuk membentuk satu visi yang sama demi membumi hanguskan praktik mafia peradilan, yang tentu saja tidak akan pernah terwujud jika pendekatan etika antar institusi tidak dilakukan.
Pendekatan “sebaiknya” juga tidak akan pernah dapat membenarkan pernyataan-pernyataan seperti yang telah disebutkan di awal tulisan ini, karena kalimat-kalimat yang terlontar itu sangat rawan konflik, debatable, dan tanpa ada dasar yang jelas. Pendekatan “sebaiknya” mensyaratkan pemilihan kalimat yang santun dan elegan, yang tidak berpotensi untuk menjadi api dalam sekam bagi kedua belah pihak, yang dapat mendinginkan dan meredakan tensi suasana konflik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada ribuan laporan dari masyarakat kepada KY tentang Hakim yang diduga melanggar kode etik ataupun bermain api perkara, namun akan sangat bijak jika “sebaiknya” KY dalam menindak lanjuti semua laporan yang ada dengan tetap menempatkan laporan tersebut sebagai “dugaan”, dan bukan “vonis”. Seorang terdakwa di persidangan pun tetap mempunyai hak praduga tak bersalah, apalagi laporan tentang Hakim yang diduga/disinyalir melanggar kode etik atau berbuat nakal.
Bersekutu atau Berseteru
Bruce Ackerman menyatakan bahwa sistem checks and balances dalam sebuah pemerintahan (di Amerika Serikat) tidak lagi dilakukan tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), akan tetapi lima cabang: Presiden, DPR, Senat, MA dan komisi-komisi independen, sehingga teori check and balance yang hanya berlaku diantara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif ala montesquieu pun mulai menjadi usang, sehingga pembentukan KY, sebagai check and balance terhadap MA, adalah salah satu bentuk dari penerapan teori ini.
Lembaga-lembaga negara yang telah ada, termasuk di dalamnya antara KY dan MA, harus bisa membangun hubungan baik dan saling bersekutu untuk menegakkan hukum dan keadilan demi menuju sebuah negara yang baik dan sehat. Bersekutu disini tidak diartikan dengan hubungan yang kolutif yang penuh basa-basi dan saling pengertian, akan tetapi dalam arti hubungan yang konstruktif dengan menghindari adanya relasi yang konfrontatif.
Untuk membayangkan relasi KY dan MA yang kolutif dapat dianalogikan dengan relasi presiden dan DPR. Hubungan presiden dengan DPR yang terlalu mesra akan menghadirkan relasi yang kolutif yang dapat menyebabkan DPR tidak akan kritis, fungsi pengawasan DPR menjadi mandul dan setiap kebijakan keliru sekalipun akan mendapatkan pemakluman dan persetujuan DPR. Adapun relasi yang konfrontotatif akan menyebabkan kehidupan bernegara akan terus berkonflik dan terganggu, yang muaranya hanya akan melahirkan kelelahan serta kejenuhan politik yang luar biasa.
Sama halnya dengan relasi presiden dengan DPR, hubungan ideal KY dan MA adalah hubungan check and balance yang konstruktif, yang berarti konfrontasi yang sekarang terjadi harus segera diakhiri, dan kemudian segera bekerja sama menyusun agenda kerja bersama menegakkan dunia hukum yang adil peradilan yang agung dan bermartabat.
KY tidak berada di depan MA sebagai pemimpin dan guru, KY tidak berada di belakang MA sebagai pengikut dan tukang cap stempel, KY tidak berada di atas MA sebagai pengawas dan penghukum, KY juga tidak berada di bawah MA sebagai seorang bawahan, akan tetapi KY berada di samping MA untuk berjalan seiring, untuk saling bekerjasama memecahkan permasalahan, dan untuk mengingatkan ketika ada kesalahan.
Jika hubungan konfrontatif antara KY dan MA ini tetap diteruskan, niscaya tidak akan ada pihak, baik itu KY atau MA, yang muncul menjadi pemenang, semuanya pasti kalah. Karena satu-satunya pihak yang menari-nari dan bersenang-senang di atas konfrontasi ini adalah para koruptor, para terdakwa, dan semua orang yang tidak menginginkan adanya peradilan yang agung dan bermartabat, juga Hakim yang profesional, adil, berintegritas dan berbudi luhur.
Apabila hubungan antara KY dan MA yang konstruktif telah terbangun, entah itu menggunakan pendekatan “seharusnya” atau “sebaiknya”, maka cita-cita dan relasi ideal KY dan MA yang bersama-sama dan berjalan seiring dalam membasmi mafia peradilan bisa terwujud.

0 Response to "Membangun Kembali Hubungan Komisi Yudisial Dan Mahkamah Agung"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel