Cerita hukum di balik perkara-perkara “Nenek Minah”

Dalam agama Islam, ada hadist yang berbunyi: “Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka.

Dengan kata lain, seorang Hakim harus memutus sebuah perkara berdasarkan pengetahuan yang telah ia miliki, bukan berdasarkan ketidaktahuan, apalagi berdasarkan nafsu belaka. Seorang Hakim harus bisa menegakkan legal justice, sebagai penerapan hukum formil, dengan tanpa mengabaikan social justice, sebagai penerapan rasa keadilan.
Satu hal yang kadang dilupakan, bahwa Asas dasar dalam sebuah proses peradilan adalah Hakim Bersifat Menunggu (iudex ne procedat ex officio), dgn kata lain inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak atau penuntutan bukanlah pada Hakim, akan tetapi pada pihak yang berpentingan (Penggugat/JPU). Apabila Hakim sudah menerima sebuah perkara, maka hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas (Pasal 10 UU no. 48 tahun 2009) karena hakim dianggap tahu akan hukum (ius curia novit).
Kalau seorang Hakim tidak menemukan hukum tertulis tentang perkara tersebut, maka ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 UU no. 48 tahun 2009). Dengan demikian dituntut keterampilan dan intelektualitas dari Hakim untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono, silahkan klik disini untuk membaca pembahasan lengkap tentang ex aequo et bono)
Tanpa bermaksud untuk menyalahkan siapapun, dalam setiap perkara “sensitif” yang diperiksa dalam sebuah persidangan Majelis, media massa (baik cetak ataupun elektronik) langsung mengekspos perkara tersebut habis-habisan. Yang patut disesalkan, kadang-kadang berita yang diekspos tersebut hanya setengah dan sepotong, tidak menyeluruh, dan tidak memberikan gambaran obyektif tentang perkara yang sedang berjalan. Itu kadang masih dilengkapi dengan narasi sang pembawa acara yang terlihat sama sekali tidak paham hukum (baik itu formil maupun meteriil) akan tetapi dengan gampang menjatuhkan vonis “sesat” atau “mafia” kepada Majelis yang bersangkutan.
Contoh-contoh perkara sensitif ini misalnya perkara Nenek Minah, perkara Kakek Sardjo, perkara Petani Aspuri, dan perkara David Dwi Yusuf. Kesan yang timbul dari berita tersebut adalah dengan adanya fakta bahwa pengadilan telah mengadili para terdakwa diatas, telahlah nyata bahwa pengadilan ini sangat tidak adil, berat sebelah, berisi mafia, dan semua tuduhan sesat lain. Saya ndak tahu entah ada keselip atau kesalahan atau kekhilafan, mereka lupa bahwa “Hakim itu Menunggu”, dan seperti yang telah dijelas diatas, Hakim itu tidak boleh menolak perkara yang masuk.
Sebagai gambaran sederhana, jika Hakim melihat seorang pencuri di jalan, Hakim tersebut tidak bisa langsung menangkap dan menyidangkan pencuri tersebut, hanya JPU yang bisa membawa pencuri tersebut ke persidangan, Hakim hanya menunggu tidak boleh menolak jika perkara tersebut masuk. Juga apabila ada Hakim yang melihat tetangganya bersengketa akan sesuatu, Hakim tidak boleh berinisiatif memasukkan masalah tersebut ke pengadilan dan mengadilinya, hanya tetangga yg bersangkutan yang bisa membawa perkara tersebut ke pengadilan, dan Hakim tidak boleh menolak mengadili apabila perkara tersebut telah masuk ke persidangan.
Mungkin pemaparan beberapa perkara dibawah ini akan memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana teknis hukum, baik itu hukum formil maupun materiil, dan kaitannya dengan social justice/keadilan sosial itu telah dilaksanakan oleh Hakim Majelis pemeriksa perkara yang bersangkutan:
1.  Perkara Nenek Minah
Nenek Minah disidang di PN Purwokerto dengan dakwaan pencurian  3 (tiga) butir kakao dari kebun milik suatu perusahaan. Ketua Majelis Hakim Muslih Luqmono, Ketua Majelis terlihat menangis saat membacakan putusan. Dalam pembacaan putusan tersebut, beliau menilai bahwa kasus seperti ini tidak perlu dibawa ke pengadilan, dan menyatakan bahwa kasus ini kecil namun sudah melukai banyak orang. Majelis Hakim memutuskan, Nenek Minah bersalah dan dihukum penjara 1 bulan 15 hari dgn masa percobaan masa percobaan tiga bulan.
Yang patut menjadi catatan, Majelis Hakim pemeriksa perkara ini tidak dapat dijadikan pihak yang sangat bersalah karena menyidangkan Nenek Minah. Memang benar bahwa perkara ini telah melukai rasa keadilan banyak orang, sebagaimana yang telah Hakim pemeriksa perkara juga akui di persidangan, akan tetapi sebagai Hakim ia tidak dapat menolak perkara yang telah diberikan kepadanya.
Sedikit kembali kepada hadist diatas, Hakim terikat dengan pengetahuan bahwa mencuri, apapun bentuknya, adalah salah, dan oleh karena itu dalam amar putusan pertama tetap diputuskan bahwa terdakwa bersalah, ini adalah legal justice-nya. Tapi tidak berhenti sampai disini, pada amar kedua Hakim menerapkan social justice, dengan menghukum Nenek Minah penjara 1 bulan 15 hari dgn masa percobaan tiga bulan, dengan kata lain Nenek Minah tidak perlu masuk penjara (dengan asumsi selama 3 bulan berikutnya Nenek Minah tidak melakukan tindak pidana).
Dalam ranah ideal, seharusnya perkara seperti ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan antara Nenek Minah dengan Perusahaan Kakao tersebut tanpa harus dilaporkan ke kepolisian. Sehingga yang harus dipertanyakan lebih lanjut apakah ada itikad tertentu dari sang pelapor sehingga Nenek Minah dilaporkan ke Polisi hanya gara-gara mengambil 3 buah Kakao tersebut, dan bukan malah menghujat pengadilan karena telah menyidangkan perkara ini.

2.  Perkara Kakek Sardjo.
Sardjo bin Raswad (77) disidang di PN Sumber dgn dakwaan mencuri dua sabun mandi dan kacang hijau 500 gram di sebuah minimarket total senilai Rp 13.450,-. Ketua majelis hakim Sulasdyanto didampingi hakim anggota Immanuel dan Ika Lusiana Riyanti menjatuhkan vonis bahwa terdakwa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 362 KUHP dan dihukum hukuman dua belas hari penjara dengn masa percobaan satu bulan, dengan kata lain Kakek Sardjo tidak perlu masuk penjara karena perbuatannya tersebut (dgn asumsi selama 1 bulan berikutnya Kakek Sardjo tidak melakukan tindak pidana).
Dalam pemeriksaan perkara tersebut, Ketua Majelis juga menyarankan kepada pemilik supermarket tersebut untuk mengembalikan uang sejumlah Rp. 134.450,- yang ternyata telah dibayarkan oleh keluarga Kakek Sardjo sebagai untuk membayar denda 10 kali lipat dari harga barang yang diambil Kakek Sardjo. Ketua Majelis memerintahkan pengembalian uang tersebut dengan nasehat bahwa jika tidak dikembalikan maka pemilik supermarket dapat dikenai tindak pidana pemerasan.
Dengan analisa yang hampir sama dengan kasus Nenek Minah, karena memang Hakim tidak bisa menolak perkara yang masuk, sekecil apapun perkaranya, maka putusan ini adalah pemenuhan rasa keadilan terbaik yang dapat diputuskan oleh Majelis. Menyatakan terdakwa tetap bersalah (legal justice terpenuhi), dan membebaskan terdakwa “dengan syarat tertentu/masa percobaan” (social justice terpenuhi), juga masih ditambah dengan saran pengembalian denda 10 kali lipat yang telah dibayarkan oleh Kakek Sardjo.
3.  Perkara Petani Aspuri
Petani Aspuri disidang di PN Serang dengan dakwaan mengambil kaus bekas dari halaman tetangganya tanpa hak. Namun sedikit berbeda dengan dua kasus terdahulu, dalam perkara ini Petani Aspuri tidak berada dalam tahanan luar, akan tetapi telah menjalani masa tahanan selama 3 bulan (sampai ketika vonis dijatuhkan).
Ketua Majelis Hakim Sabarudin menjatuhkan vonis Petani Aspuri dinyatakan bersalah dan diberi hukuman yang persis sama dengan masa tahanan yang telah dijalani Aspuri sehingga ia langsung bebas begitu vonis dijatuhkan.
Sedikit jalan ceritanya, bahwa dalam persidangan terungkap kalau Aspuri mengambil kaus itu sepulang dari menyiram timun suri di ladang, dekat rumah Dewi karena mengira kaus yang tergeletak di pagar rumah Dewi itu sudah tak dipakai sehingga sayang kalau tidak di manfaatkan. Bahkan Aspuri tidak memakai sendiri karena kaus hasil memungut di pagar itu karena dia berikan kepada Juheli yang dianggap Aspuri sebagai paman angkat. Dewi yang tidak bisa menerima hal tersebut langsung melaporkan Aspuri ke kepolisian.
Hakim dalam perkara ini sudah menerapkan legal justice dan social justice dengan semaksimal mungkin. Dengan tidak menafikan bahwa pencurian itu pasti salah apapun alasannya, akan tetapi mungkin Dewi sebagai pemilik kaus bekas tersebut seharusnya bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik secara kekeluargaan, tanpa perlu melaporkan ke pihak kepolisian. Akan tetapi, dengan berprasangka baik bahwa yang bersangkutan adalah seorang yang menjunjung tinggi hukum, maka kita hanya bisa berharap bahwa pribadi seorang Dewi juga akan melakukan hal yang sama ketika dia melihat ada penyimpangan hukum lain yang level-nya lebih besar dari hanya sekedar “pengambilan kaus bekas”.
4.  Perkara David Dwi Yusuf
David Dwi Yusuf, seorang siswa Kelas 3 SDN dr Sutomo VIII Surabaya disidang di PN Surabaya dengan dakwaan penganiayaan karena David telah menyengatkan lebah kepada temannya. Dian Nirmalasari, anak seorang polisi di Surabaya. Hakim Yahya Sutriadi menjatuhkan vonis bersalah kepada David (legal justice), dan David dihukum dengan hukuman dikembalikan kepada orang tuanya untuk dibina dan dijaga sebagaimana selayaknya seorang anak (social justice).
Hakim Yahya Sutriadi dalam proses persidangan pernah mengatakan bahwa kasus ini tak layak masuk di persidangan, karena melibatkan anak kecil, dan tingkat kenakalannya pun masih dalam taraf kenakalan anak-anak. Namun, sebagaimana telah diterangkan diawal tulisan ini, karena Hakim tidak boleh menolak perkara dan harus menyelesaikan perkara yang telah ia terima, maka akhirnya beliau tetap memeriksa perkara ini dan menjatuhkan putusan sebagaimana disebut diatas. Tidak mungkin Hakim Yahya Sutriadi memutuskan bahwa David Dwi Yusuf tidak bersalah, karena berdasarkan pengetahuan yang ia miliki David memang terbukti bersalah dan harus dinyatakan bersalah. Namun tetap ini tidak berhenti sampai disini, legal justice tersebut harus diikuti dengan social justice, untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan agar seorang Hakim benar-benar berfungsi menjadi selayaknya seorang Hakim.
Saya yakin masih banyak perkara-perkara “nenek minah” yang lain, yang tidak sempat terekspos di media dan mendapatkan perhatian yang cukup dari masyarakat. Dalam perkara-perkara tersebut, hukum telah ditegakkan, prosedur beracara telah dipatuhi, namun bagaimana dengan keadilannya? Inilah yang belum tergambar secara utuh dalam ekspos media.
Lawrence Friedman, pakar hukum Amerika Serikat, menyatakan bahwa masyarakat pada umumnya merujuk “keadilan” sebagai suatu rasa tentang sesuatu yang benar yang terkandung didalam nilai-nilai yang mereka junjung tinggi. Rasa keadilan itu bersifat universal. Walaupun tidak ada satu definisi yang disepakati mengenai apa itu “keadilan” namun tidak terdapat masyarakat dimana konsep keadilan sama sekali tidak dikenal.
Keadilan merupakan roh dan esensi dari hukum. Melayani keadilan adalah tujuan tertinggi dari penegakan hukum. Hukum tidak dapat dikerdilkan menjadi hanya sekadar alat pengatur dan penjaga ketertiban masyarakat. Walaupun keadilan dan hukum adalah unsur yang berbeda mereka adalah satu dan tidak terpisahkan, yang satu dengan yang lain saling terkait agar keduanya dapat berfungsi dengan baik.
Disisi lain, kepada para Hakim dan penegak hukum lain, walaupun hukum telah ditegakkan, prosedur beracara telah dipatuhi, ada kalanya segala aturan yang tertera pada kitab-kitab hukum bisa disimpangi, karena Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 UU no. 48 tahun 2009), sebagaimana para Hakim dalam perkara-perkara diatas telah melaksanakan hal yang sama.
Juga jangan sampai muncul kesan bahwa pendekatan legalistik dalam penanganan perkara hanya sekedar untuk menjamin kepastian hukum (legal justice) semata, dan semua hukum acara adalah sebuah kitab suci yang harus diikuti tanpa boleh disimpangi sedikitpun sehingga muncul ironi kontradiktif bahwa penegakan hukum malah menghambat keadilan.
Yang jelas, harapan akan perlindungan hukum dan keadilan itu selalu ada....

0 Response to "Cerita hukum di balik perkara-perkara “Nenek Minah”"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel