Murabahah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan Fatwa Bunga Bank Haram dari MUI Tahun 2003 menjadi momentum bermunculan banyak bank yang menjalankan prinsip syariah. Untuk mengakomodir sengketa perbankan syariah, maka Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa sengketa Ekonomi Syariah menjadi kompetensi
absolut Peradilan Agama. Sebagai pelengkap, Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan payung hukum kepada praktek perbankan syariah di Indonesia.
absolut Peradilan Agama. Sebagai pelengkap, Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan payung hukum kepada praktek perbankan syariah di Indonesia.
Banyak produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah dalam melayani masyarakat, seperti mudharabah (Kerja sama antara dua pihak dalam suatu jenis usaha tertentu, di mana pihak pertama sebagai penyandang dana dan pihak kedua sebagai pengelola usaha, segala keuntungan dan kerugian yang terjadi ditanggung bersama oleh kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan), murabahah, musyarakah (kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek di mana masing-masing pihak berhak atas keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing), wadiah (titipan, dalam perbankan konvensional lebih dikenal dengan nama giro), salam (Pembelian barang yang penyerahannya dikemudian hari dan pembayarannya dilakukan di awal atau ketika transaksi), istishna (jual beli dengan pemesanan, mirip salam, akan tetapi pembayarannya bisa dilakukan di muka, dicicil, atau di belakang), dll (Veithzal Rivai dkk, 2007: hal. 781).
Sebenarnya, ada banyak bentuk-bentuk akad jual beli dalam hukum Islam, akan tetapi dalam perbankan syariah hanya mengakomodasi tiga jenis jual beli dalam pembiayaan modal kerja dan investasi, yaitu murabahah, istishna’ dan salam. Dari tiga produk tersebut, penyaluran dana dengan prinsip murabahah adalah yang paling banyak dan mencapai bilangan 70.4% dari jumlah total pembiayaan (Laporan BNI Syariah tahun 2007).
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam jual beli jenis ini, penjual harus memberitahu harga barang yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya (M. Syafi’i Antonio, 2001: 101.) Dengan kata lain, transaksi murabahah adalah jual beli dengan harga awal ditambah dengan keuntungan tertentu (Wahbah Az Zuhaili, 1997: 3765). Secara sederhana, murabahah dapat diartikan dengan jual beli yang dilakukan dengan cara memberitahukan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai keuntungan.
Pada praktek perbankan syariah, dalam produk murabahah, Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.
Yang harus diberikan penekanan dalam murabahah adalah penjual harus memberi tahu kepada pembeli harga asli barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang akan ia dapatkan. Karena apabila seorang penjual tidak memberi tahu kepada pembeli nlai asli barang tersebut, dan pembayaran dilakukan dengan cara cicilan (lump sum) bukanlah murabahah, akan tetapi disebut musawamah (jual beli mirip murabahah, akan tetapi penjual tidak memberi tahu pembeli berapa jumlah keuntungan yang diambil).
Murabahah dalam Hukum Islam dan Landasan Hukumnya
Dalam Islam dikenal transaksi jual beli amanah (adanya keterbukaan dari si penjual tentang harga awal dan keuntungan yang ia terima), dan murabahah termasuk dalam jenis transaksi amanah ini. Transaksi jual beli amanah yang lain adalah tauliyah (penjual menjual barang dagangannya sesuai dengan harga awal tanpa mengambil keuntungan sedikitpun), wadh’iyah (penjual menjual sesuai dengan harga modal, tetapi si penjual memberitahu pembeli bahwa ia mengambil sebagian dari barang yang ia dijual.) dan isyrak (mirip tauliyah, akan tetapi si penjual menjual kembali sebagian barang dagangananya dengan keuntungan tertentu.).
Murabahah tidak dikenal pada masa Nabi saw. dan sahabatnya, dan mulai muncul pertama kali pada abad kedua Hijriah. Walaupun tidak ada dasar Hadist dan Al-qur’an (karena memang belum dikenal pada masa Nabi) untuk akad ini, akan tetapi Imam Syafi’i dan Malik berpendapat bahwa jual beli secara murabahah adalah halal.
Wahbah Zuhaili (dalam Al-Fiqhu wa Adillatuhu) menjelaskan panjang lebar tentang murabahah dan menyatakan bahwa ada beberapa ayat tentang jual beli dan dan perdagangan dalam Al Qur'an yang dapat dijadikan dasar murabahah, seperti Al-baqarah: 275 (...dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba), dan An-nisa: 29 (Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian makan harta di antara kalian, kecuali dengan cara perdagangan yang berdasarkan atas saling merelakan di antara kalian”).
Dia menjelaskan bahwa menurut Imam Malik, ada suatu ijma’ ulama Madinah tentang kebolehan seseorang yang membeli pakaian di suatu kota dan kemudian menjaulnya di kota yang lain dengan keuntungan yang disepakati. Imam Syafi’i juga menyampaikan pendapatnya bahwa jika seseorang mengatakan kepada yang lain, “Belikan suatu barang untukku dan kemudian aku akan memberikan keuntungan kepadamu sekian” adalah diperbolehkan. Marghinani (ulama mazhab Hanafi) juga berpendapat bahwa syarat-syarat pokok dalam jual beli yang dianggap sah terdapat dalam murabahah, dan akad ini sangat diperlukan oleh masyarakat, oleh karena itu akad jual beli murabahah ini adalah boleh. Terakhir, dalam konferensi perbankan Islam ke II (Kuwait, 1403 H/1983) dinyatakan bahwa murabahah hanya diperbolehkan jika pembeli (nasabah) sudah menerima dan memiliki barang.
Di Indonesia, Murabahah telah diperbolehkan (halal) dengan keluarnya Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa salah satu alasan dihalalkannya murabahah adalah karena masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank syari'ah berdasarkan prinsip jual beli. Masyarakat juga memerlukan bantuan guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan diberbagai kegiatan, maka bank syari'ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya.
Dalam perbankan syariah, pembayaran murabahah dapat dilakukan dengan tunai atau dicicil. Murabahah pada awalnya tidak ada hubungannya dengan pembiayaan, akan tetapi pada perkembangannya digunakan oleh perbankan syari'ah dengan menambahkan beberapa konsep lain sehingga menjadi salah satu bentuk produk pembiayaan. Ada beberapa ciri dari murabahah dalam perbankan syariah, yang paling utama adalah barang dagangan harus tetap dalam tanggungan bank selama transaksi antara bank dan nasabah belum selesai.
Murabahah dalam Hukum Positif dan Landasan Hukumnya.
Kedudukan Perbankan Syariah di Indonesia telah mendapatkan payung hukum yang jelas dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Pada Pasal 1 ayat 25 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembiayaan dalam sistem perbankan syariah adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;\
b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
d. istishna’;Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
Semua akad diatas, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Lebih lanjut, dalam Pasal 19 huruf (c) disebutkan bahwa Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi penyaluran pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Apabila terjadi sengketa perbankan syariah, maka berdasarkan Pasal 55, penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama atau dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa dalam kontrak perjanjian/akad, maka penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad, dan penyelesaian sengketa tersebut tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Dalam penjelasan lanjutan pasal 55, sengketa bisa diajukan apabila memang sudah diperjanjikan dalam kontrak/akad (pacta sun servanda), bisa Musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), lembaga arbitrase lain, atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Untuk satu hal ini, sampai sekarang masih terjadi perdebatan dikalangan hukum dan praktisi ekonomi syariah karena ada kontradiksi hukum yang terjadi. Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Pasal 49 huruf (i) disebutkan bahwa Ekonomi Syariah (termasuk didalamnya perbankan syariah) adalah kompetensi absolut Peradilan Agama. Bagaimana bila dalam perjanjian disebutkan bahwa apabila terjadi sengketa maka diselesaikan di Peradilan Umum? Dalam hal ini, penulis walaupun perjanjian itu merupakan undang-undang bagi para pihak yang mengikat diri dalam perjanjian tersebut (pacta sun servanda), namun perjanjian yang dibuat harus tetap berdasar hukum dan tidak boleh melawan hukum. Sehingga apabila ada klausula hak opsi masalah penyelesaian sengketa, maka secara otomatis itu menjadi gugur dan kembali ke peraturan umum (ekonomi syariah adalah kompetensi absolut peradilan agama).
Apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui Arbitrase Syariah, dan ada salah satu pihak yang tidak mau melaksanakan hasil putusan Arbitrase tersebut, maka berdasarkan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 59 ayat 3 disebutkan bahwa dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Sebagai pegangan pedoman teknis masalah Ekonomi Syariah, maka Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini, Murabahah diatur secara tegas dan rinci di pasal 116 -133.
Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah
Agar produk murabahah sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari'ah, maka ada beberapa hal yang harus dipenuhi:
a. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
b. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
g. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
h. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
i. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank. (Fatwa DNS MUI NO: 04/DSN-MUI/IV/2000)
Secara garis besar, ada beberapa aspek utama dalam produk pembiayaan murabahah:
1. Urbun (Uang Muka)
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 121 menjelaskan bahwa penjual boleh meminta pembeli untuk membayar uang muka saat menandatangi kesepakatan awal pelesanan dalam jual beli murabahah. Pasal 122 dinyatakan bahwa jika pembeli kemudian menolak untuk membeli barang tersebut, biaya riil penjual harus dibayar dari uang muka tersebut. Kemudian pada pasal 123 disebutkan jika nilai uang muka dari pembeli kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh penjual, penjual dapat menuntut pembeli untuk mengganti sisa kerugiannya.
(Urbun) adalah uang muka yang dibayarkan oleh pembeli kepada penjual dalam sebuah perjanjian jual beli murabahah. Jika pembeli tetap melanjutkan perjanjian tersebut, maka uang muka menjadi bagian dari pembayaran, apabila tidak maka uang itu secara otomatis menjadi milik penjual. Urbun dibayarkan setelah (bukan sebelum) terjadinya akad.
Ada perbedaan pendapat tentang urbun, mayoritas ulama berpendapat bahwa urbun dilarang karena ada Hadist yang melarang urbun dalam jual beli, juga tidak dibenarkan seseorang menerima sesuatu yang tidak ada gantinya. Akan tetapi ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa urbun dalam jual beli boleh dengan alasan Hadist yang melarang urbun adalah hadist dha’if, juga dengan pertimbangan kemaslahatan bahwa penjual akan mengalami kerugian jika pembeli yang sudah melakukan perjanjian jual beli secara tiba-tiba membatalkan perjanjian tersebut.
2. Jaminan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 127 menyebutkan bahwa penjual dapat meminta pembeli untuk menyediakan jaminan atas benda yang dijualnya dalam akad murabahah. Walaupun begitu, jaminan tidak termasuk rukun atau syarat murabahah. Jaminan ada semata agar si pemesan barang serius dengan pesanannya, dan merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh bank syari'ah untuk mengurangi resiko jika nasabah tidak memenuhi kewajibannya dengan menjual jaminan tersebut untuk memenuhi kewajiban nasabah tersebut.
Jaminan diperbolehkan dalam Islam, berdasarkan hadist: “perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamainan yang mengharamkan yang halal atau menghalal-kan yang haram. Dan, kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram”.
3. Teknis pelunasan akad murabahah
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 124 ayat (1) menyebutkan bahwa sistem pembayaran dalam akad murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan dalam kurun waktu yang disepakati, kemudian dalam ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal pembeli mengalami penurunan kemampuan dalam pembayaran cicilan, maka ia dapat diberi keringanan, keringanan tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk konversi dengan membuat akad baru dalam penyelesaian kewajiban (ayat 3).
Apabila teknis pembayaran yang disepakati adalah cicilan, kemudian pembeli bermaksud untuk melunasi sebelum waktu yang telah ditentukan, maka bank dapat memberikan potongan kepada nasabah atas pelunasan awal tersebut. Jumlah yang harus dilunasi oleh pembeli adalah sebesar harga barang yang telah disepakati dikurangi angsuran yang telah dibayarkan. Untuk besar potongan yang diberikan adalah mutlak kebijaksanaan bank syariah yang bersangkutan.
4. Sanksi.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 128 menyebutkan bahwa Lembaga Keuangan Syariah boleh melakukan konversi dengan membuat akad baru bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan syarat yang bersangkutan masih prospektif. Pada pasal 129 kemudian dijelaskan bahwa akad murabahah dapat diselesaikan dengan cara menjual obyek akad kepada Lembaga Keuangan Syariah dengan harga pasar, atau nasabah melunasi sisa hutangnya kepada Lembaga Keuangan Syariah dari hasil oenjualan obyek akad, dan apabila ternyata hasil penjualan obyek akad tersebut melebihi sisa hutang maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada nasabah (pasal 130), sedangkan apabila hasil penjualan ternyata lebih kecil dari sisa hutang, maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang harus dilunasi berdasarkan kesepakatan (Pasal 131). Terakhir, jika salah satu pihak konversi murabahah tidak dapat menunaikan kewajibannya, atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui perdamaian/shulh, dan atau pengadilan (Pasal 133).
Dewan Syari'ah Nasional MUI dalam fatwanya membolehkan bank syari'ah mengenakan denda kepada nasabah yang dianggap mampu tapi tidak membayar kewajibannya terhadap bank syari'ah. Denda tersebut dianggap sebagai dana kebajikan dan bukan merupakan pendapatan bank syari'ah. Denda dibuat dengan pendekatan ta’zir, yaitu untuk membuat nasabah lebih disiplin terhadap kewajibannya, dan berbentuk sejumlah uang yang besarnya ditentukan sesuai kesepakatan antara bank syari'ah dan nasabah.
Apabila nasabah tidak mampu membayar kewajibannya karena bangkrut atau benar-benar tidak mampu secara ekonomi (bukan karena lalai), maka pihak bank syari'ah harus menunda penagihan hutang sampai nasabah tersebut mampu untuk membayar dan tidak diperkenankan untuk menerapkan denda atau sangsi, berdasarkan QS. Al-Baqarah: 280 “Dan jika (orang yang berhutang) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai berkelapangan…”.
Untuk mengetahui apakah seorang nasabah termasuk mampu atau tidak mampu, dapat dilakukan jika bank syari'ah dengan nasabah mempunyai hubungan kemitraan. Bank syari'ah dapat mengetahui keadaan nasabah yang sebenaranya dengan melakukan interaksi, melakukan kunjungan silaturahmi, dan menciptakan suasana keterbukaan dengan pihak nasabah.
Di dalam rumahnya juga ada salah seorang anggota keluarga yang sedang mengalami sakit parah. Dengan gambaran seperti ini, diketahui bahwa nasabah benar-benar dalam keadaan tidak mempu melakukan angsuran motor. Karena tidak mampu, maka tidak diperkenakan denda terhadapnya. Bahkan, seharusnya ia diberi kelonggaran waktu atas pembayaran angsuran yang lain.37
Penutup
Transaksi murabahah merupakan pembiayaan mayoritas dari total penyaluran dana bank syari'ah, hingga ada kesan bahwa semua transaksi penyaluran dana dimurabahahkan. Namun, adakalahnya bank syariah tidak mau repot dengan langkah-langkah pembelian barang (berposisi sebagai sebagai penjual), sehingga digunakanlah akad wakalah untuk memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang tersebut. Terhadap praktek ini, MUI dalam fatwanya menetapkan bahwa jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, maka akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank. Dengan kata lain, pemberian kuasa wakalah dari bank kepada nasabah atau pihak ketiga manapun, harus dilakukan sebelum akad Jual beli murabahah terjadi. Hal ini juga dicantumkan dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 pasal 9 ayat 1 butir d yaitu dalam hal bank mewakilkan kepada nasabah wakalah untuk membeli barang, maka akad murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank (dengan bukti kwitansi pembelian), dan dalam bagian penjelasan sebutkan bahwa akad wakalah harus dibuat terpisah dengan akad murabahah.
Aplikasi pembiayaan murabahah yang sangat fleksibel ini dapat digunakan untuk pembelian barang konsumsi maupun barang kebutuhan lain yang pembayarannya dapat dilakukan secara tangguh/mencicil. Selain itu, dibandingkan dengan mekanisme-mekanisme pembiayaan yang lain, murabahah adalah yang paling menguntungkan dan paling sedikit resikonya, mengingat tidak ada standar yang jelas keuntungan yang boleh diambil (oleh bank syariah terhadap nasabah) atas sebuah perjanjian jual beli murabahah.
0 Response to "Murabahah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif"
Post a Comment