Makalah Ushul Fiqh: Fatwa Sahabat dan Syar'u Man Qablana



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Ushul fiqh sebagai disiplin ilmu mandiri adalah ilmu yang menerangkan tentang kaidah-kaidah dan pembahasan–pembahasan yang dapat mengantarkan pada penggalian hukum syari’ah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci. Salah satu objek kajian Ushul fiqh adalah sumber dan dalil hukum syar’I.
            Al Qur’an dan As Sunnah merupakan sumber hukum syar’i dan juga disebut pula dalil (petunjuk) utama hukum Islam. Selain Al Qur’an dan As Sunnah adapun dalil-dalil pendukung seperti Ijmak, Qiyas, Istihsan, Mashlahah mursalah, Saddudz-dzari’ah, ‘Urf, Istishhab, Fatwa Sahabat, dan Syar’u man qablana.
            Sumber dan dalil hukum islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih diperselisihkan oleh Jumhur ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al-qur’an dan Sunnah, serta Ijma’ dan qiyas sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan Jumhur ulama yaitu: Mashalihul Mursalah, Istihsan, Saddudz Dzari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi/ Fatwa Sahabat dan Syar’u Man Qablana.
            Adanya sumber hukum yang masih diperdebatkan karena perbedaan metode atau tata cara merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan, terutama pada perbuatan atau masalah yang tidak disebutkan dan/atau diatur secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadits.
            Dalam makalah ini pembahasan lebih terfokus kepada Fatwa Sahabat dan Syar’u Man Qoblana

B.     Rumusan Masalah
a.                   Apa yang dimaksud dengan Fatwa Sahabat?
b.                  Apa saja macam-macam dari Fatwa Sahabat?
c.                   Apa yang dimaksud dengan Syar’u Man Qablana?
d.                  Bagaimana kedudukan Syar’u Man Qablana?



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Fatwa Sahabat / Pendapat Sahabat / Qaulush Shahabi

A.    Pengertian

Fatwa sahabat yaitu pendapat sahabat nabi mengenai ketentuan hukum suatu kasus yang tidak diatur secara tegas dalam Qur’an maupun Sunnah.
Pendapat sahabat yang kita maksudkan yang kita pandang pendapatnya hujjah (beralasan), ialah sahabat yang turut berperang bersama Nabi SAW dalam suatu peperangan atau terkenal dan masyur dalam bidang fatwa dan fiqh serta bergaul lama dengan Nabi SAW. Misalnya Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Aisyah, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Umar.
Walaupun pada dasarnya para sahabat sama dengan umat Islam dari generasi lainnya, namun dalam banyak hal mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan Rasulullah SAW. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa yang benar-benar mereka kenal dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka banyak mengetahui kasus, peristiwa atau kondisi sosial yang melatarbelakangi turunnya (asbab an-nuzul) ayat-ayat tertentu. Mereka pun menyaksikan tindakan serta mendengar dan melaksanakan secara langsung titah atau pengarahan Rasulullah SAW dalam berbagai kaitannya. Hal ini semua membuat mereka lebih mampu memahami kandungan makna Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, dengan berkat pergaulan (shuhbah)-nya dengan Nabi SAW, kualitas akhlak mereka sangat tinggi sehingga para ulama sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil.
Perkataan sahabat yang tidak mendapat reaksi (tantangan) dari sahabat yang lain menjadi hujjah bagi orang Islam. Sebab persesuaian mereka dalam suatu masalah pada masa mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW serta pengetahuan mereka yang mendalam mengenai rahasia-rahasia syari’at itu adalah menjadi bukti bahwa ucapan mereka yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang qath’i dari Rasulullah SAW.

B.     Macam-Macam Fatwa Sahabat

Fatwa-fatwa sahabat ini dapat dikelompokan dalam empat kategori yaitu:
·         Pendapat sahabat mengenai suatu persoalan yang bukan medan ijhtihad, disepakati sebagai hujjah karena dikategorikan sebagai sunnah yang berasal dari Nabi. Misalnya fatwa ibnu Mas’ud dan Anas bahwa batas minimal haid selama tiga hari, fatwa Aisyah bahwa masa kehamilan paling panjang selama dua tahun.
·         Pendapat sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka masuk kategori ijmak sahabat yang disepakati kehujjahannya. Seperti penetapan hak waris nenek sebanyak seperenam.
·         Pendapat sahabat perorangan tidak mengikat sahabat yang lain. Buktinya dalam banyak kasus terjadi perbedaan pendapat dikalangan mereka.
·         Yang diperselisihkan oleh ulama adalah apakah fatwa secara perseorangan mengikat ulama Islam sesudahnya atau tidak.

Pendapat ulama’ tentang Qaul Shahabi / Fatwa Sahabat

Adapun yang masih diperselisihkan oleh para ulama ialah perkataan sahabat  yang semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri dan para sahabat tidak dalam satu pendirian.
Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan sahabat itu adalah hujjah. Kata Imam Abu Hanifah: “Apabila aku tidak mendapatkan ketentuan dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW maka aku mengambil pendapat dari sahabat beliau yang kukehendaki dan meninggalkan pendapat yang tidak ku kehendaki. Aku tidak mau keluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain sahabat.” Perkataan Imam Abu Hanifah ini dapat dipahami bahwa beliau tidak menetapkan perkataan sahabat tertentu itu adalah sebagai hujjah. Beliau membolehkan mengambil pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki akan tetapi tidak boleh melawan pendapat keseluruhan sahabat. Oleh karena itu, mengambil qiyas tidak diperkenankan selama masih ada fatwa dari sahabat, biarpun yang diambil hanya pendapat salah seorang sahabat saja yang dikehendaki. Jika hukum suatu peristiwa terdapat dua macam pendapat, maka yang demikian itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang ketiga dan bila ada tiga macam pendapat, maka yang demikian itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang keempat. Jadi, keluar dari pendapat mereka keseluruhan berarti keluar dari ijma’ para sahabat
Dengan memandang jenis masalahnya, qaul shahabi seperti ini sebenarnya masih dapat dibagi kepada dua golongan, yaitu yang tidak merupakan lapangan ijtihad, dan yang termasuk lapangan ijtihad.
Mengenai ini, ditemukan beberapa pernyataan Al-Syafi’i yang tidak sama sehingga para ulama ushul fiqh masih berbeda pendapat tentang pendirian al-Syafi’i yang sebenarnya mengenai kehujjahan qaul shahabi, khususnya yang menyangkut masalah-masalah ijtihady.
Al-Ghazali mengutip bahwa pada kitab Ikhtilaf al-Hadits al-Syafi’i mengemukakan adanya riwayat bahwa pada suatu malam Ali melakukan salat enam raka’at dengan enam kali sujud pada tiap-tiap raka’atnya. Kemudian al-Syafi’i berkata,” Kalau saja riwayat tentang perbuatan ‘Ali itu shahih, niscaya saya akan mengamalkannya, sebab masalahnya tidak termasuk lapangan qiyas. Jadi, tentu ia melakukan hal itu berdasarkan tauqif (penetapan) dari Nabi SAW.”
Dengan ini, al-Syafi’i jelas menyatakan pendiriannya bahwa dalam masalah-masalah yang tidak termasuk lapangan qiyas atau ijtihad, qaul shahabi dianggap sebagai hujjah. Adapun mengenai masalah yang termasuk lapangan ijtihad, telah disepakati bahwa pendapat seorang sahabat tidak mengikat bagi sahabat lainnya. Mereka yang mampu berijtihad bebas mengeluarkan pendapatnya masing-masing dan yang tidak mujtahid bebas pula mengikuti salah satu dari pendapat yang ada.

2.      Syar’u Man Qablana

A.    Pengertian 


Syar’u Man Qablana maksudnya adalah syari’ah yang diturunkan Allah pada para Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Syari’ah dalam bidang akidah tidak dinasakh oleh syari’at Islam. Semua syari’at para Nabi pada dasarnya mengajarkan iman dan melarang kufur dan syirik.
Syar’u Man Qablana yang dimaksudkan disini yaitu hukum-hukum yang berlaku pada umat para nabi sebelum Nabi Muhammad. 

B.     Kedudukan Syar’u Man Qablana

Kedudukan hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad SAW dalam syariat Islam dibedakan menjadi 4 kategori:
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat para nabi sebelum Nabi Muhammad yang tidak disebutkan dalam Qur’an dan Sunnah tidak berlaku pada umat islam. Seandainya berlaku, tentu Nabi Muhammad akan menyuruh umat Islam untuk mempelajari kitab suci sebelum Al Qur’an.
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad yang disebut dalam Al Qur’an atau Sunnah yang telah dinasakh oleh syariat Islam tidak berlaku pada umat Islam. Seperti taubat dengan cara bunuh diri, haramnya binatang ternak bagi bani israil, dll.
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat para nabi sebelum Nabi Muhammad yang diakui sebagai syariat Islam berlaku bagi umat Islam karena telah menjadi syariat Islam, bukan karena Syar’u Man Qoblana. Seperti Haji, Qurban, Puasa, dan Khitan,
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad yang disebutkan dalam Qur’an atau sunnah, syariat Islam tidak secara tegas mengakuinya maupun menghapusnya, diperselisihkan oleh ulama. 

Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana

Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama itu ialah bila hukum yang diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya itu tidak ada nash yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana halnya diwajibkan juga bagi mereka atau bahwa hukum itu telah dihapuskan.
Dalam masalah semacam itu jumhur ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah memandangnya sebagai syari’at yang harus diikuti oleh orang Islam, sepanjang tidak ada dalil yang membatalkannya. Sebab hukum itu merupakan hukum Ilahi yang telah disyariatkan melalui para Rasul-Nya  dan tidak ada dalil yang menasakhkannya. Atas dasar itu, menurut pendapat jumhur Hanafiyah, orang Islam yang membunuh orang dzimmi atau orang laki-laki yang membunuh orang perempuan harus dihukum qishash, berdasarkan hukum yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT kepada kaum Bani Israil. Yaitu siapa yang membunuh seorang manusia harus dibunuh pula, dengan tidak membedakan antara dzimmi atau bukan dan antara laki-laki atau perempuan. Syari’at yang berlaku pada orang-orang Bani Israil tersebut masih tetap berlaku bagi ummat Islam, karena Al-Qur’an menyebutkannya secara mutlak “annannafsa bin-nafsi” (jiwa dengan jiwa) dan tidak ada dalil yang membatalkan atau mengkhususkannya.
Sebagian ulama menyatakannya bukan sebagai syari’at bagi ummat Islam. Sebab syari’at kita adalah menasakh (membatalkan) syari’at yang telah ditetapkan kepada  ummat  sebelum kita. Kecuali ada dalil yang menetapkannya sebagai syari’at kita.

Pendapat lain:
1.      Madzhab Hanafi, Maliki, mayoritas madzhab Syafi’i dan sebagian madzhab Hanbali: Masih berlaku bagi umat Islam.
Dasar dan Argumentasi:
a.         Pada dasarnya syariat itu adalah satu kesatuan yang datang dari Allah Swt. Oleh karena itu apa yang disyariatkan kepada para Nabi dahulu dan disebut di dalam Nash, maka berlaku pula bagi umat Islam. Hal ini ditunjukkan di dalam surat al-Syura ayat 13.
b.        Terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti Nabi terdahulu, sebagaimana yang tercantum di dalam surat al-Nahl ayat 123

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
2.   Madzhab Mu’tazilah, Syiah, sebagian kecil madzhab Syafi’i dan sebagian Hanbali: Tidak berlaku lagi bagi umat Islam.
Dasar dan argumentasi:
a.    Setiap umat itu mempunyai syariat tersendiri, sebagaimana yang ditunjukkan di dalam surat al-Maidah ayat 48. Itu berarti syariat para Nabi terdahulu tidak berlaku lagi.
b.    Ketika Nabi mengutus Muadz bin Jabbal ke Yaman, Beliau bertanya kepadanya, tentang dengan apa ia memutuskan perkara. Ia jawab dengan al-Quran, Hadis dan Ijtihad. Dalam dialog tersebut tidak terdapat petunjuk Rasul untuk merujuk kepada Syar’u Man Qoblana. Jika hal ini berlaku pasti Nabi akan mewasiatinya.
            Dari dua pendapat di atas, menurut salah seorang ulama Ushul –Abdul Wahab Kholaf- yang terkuat adalah pendapat pertama yang mengata-kan bahwa syariat para Nabi dahulu yang tercantum di dalam Nash dan tidak ada ketegasan pemberlakuannya adalah masih berlaku bagi umat Islam. Alasannya: Syariat Islam hanya menghapus syariat yang berbeda dengan syariat Islam. Dengan demikian syariat terebut masih berlaku bagi umat islam. Selain itu hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran bertujuan untuk memberi petunjuk kepada umat Islam, hal ini menunjukkan bahwa syariat para Nabi terdahulupun masih tetap berlaku, sampai ada dalil yang menghapuskannya.
Apabila Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih mengkisahkan suatu hukum dan ada dalil syar’i yang menunjukkan penghapusan hukum tersebut dan mengangkatnya dari kita, maka juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa hukum itu bukanlah syari’at bagi kita berdasarkan dalil yang menghapuskannya dari kita





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pengertian lain dari Fatwa sahabat adalah pendapat para sahabat Rasulullah SAW, yaitu pendapat para sahabat atas suatu permasalahan yang dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tersebut.
Yang dimaksud Syar’u Man Qablanaoleh para ahli usul ialah syari’at yang diturunkan oleh Allah Swt melalui Nabi-nabi atau Rasul-rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad SAW.

Fatwa-fatwa sahabat ini dapat dikelompokan dalam empat kategori yaitu:
·         Pendapat sahabat mengenai suatu persoalan yang bukan medan ijhtihad, disepakati sebagai hujjah karena dikategorikan sebagai sunnah tang berasal dari Nabi. Misalnya fatwa ibnu Mas’ud dan Anas bahwa batas minimal haid selama tiga hari, fatwa Aisyah bahwa masa kehamilan paling panjang selama dua tahun.
·         Pendapat sahabat yang disepakai secara tegas dikalangan mereka masuk kategori ijmak sahabat yang disepakati kehujjahannya. Seperti penetapan hak waris nenek sebanyak seperenam.
·         Pendapat sahabat perorangan tidak mengikat sahabat yang lain. Buktinya dalam banyak kasus terjadi perbedaan pendapat dikalangan mereka.
·         Yang diperselisihkan oleh ulama adalah apakah fatwa secara perseorangan mengikat ulama Islam sesudahnya atau tidak.

Kedudukan hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad SAW dalam syariat Islam dibedakan menjadi 4 kategori:
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat para nabi sebelum Nabi Muhammad yang tidak disebutkan dalam Qur’an dan Sunnah tidak berlaku pada umat islam.
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad yang disebut dalam Al Qur’an atau Sunnah yang telah dinasakh oleh syariat Islam tidak berlaku pada umat Islam. Seperti taubat dengan cara bunuh diri, haramnya binatang ternak bagi bani israil, dll.
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat para nabi sebelum Nabi Muhammad yang diakui sebagai syariat Islam berlaku bagi umat Islam karena telah menjadi syariat Islam, bukan karena Syar’u Man Qoblana. Seperti Haji, Qurban, Puasa, dan Khitan,
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad yang disebutkan dalam Qur’an atau sunnah, syariat Islam tidak secara tegas mengakuinya maupun menghapusnya, diperselisihkan oleh ulama.




DAFTAR PUSTAKA

Hamid, Homaidi, Ushul Fiqh. Yogyakarta: Q-Media, 2013
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Yusuf Al Qaradhawi, Fikih Taysir Metode Praktis Mempelajari Fikih.Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001


0 Response to "Makalah Ushul Fiqh: Fatwa Sahabat dan Syar'u Man Qablana"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel