Ketentuan-Ketentuan Dalam Ta’aruf

Ketentuan-Ketentuan Dalam Ta’aruf
a. Ketentuan Umum Syari’at 
Dalam melakukan ta’aruf, baik untuk keperluan umum maupun keperluan khusus (khithbah) ini tetap wajib memperhatikan batasan-batasan syariat, terutama jika interaksi tersebut terjadi antara laki-laki terhadap perempuan serta sebaliknya. Beberapa ketentuan syari’at tersebut menurut an-nabhaniy (2001:26) antara lain:
Pertama, menundukan pandangan. ﷲﺍ Swt berfirman:
’Katakanlah kepada laki-laki mukmin hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Sikap demikian lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya ﷲﺍ SWT Maha Tahu atas apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita mukmin, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya’ (TQS An-Nur [24]:30-31)
Kedua, mengenakan pakaian yang menutup aurat (bagi wanita mengenakan khimar dan jilbab) serta tidak bertabarruj (berhias). Firman ﷲﺍ Swt:
  • ’Janganlah mereka menampakan perhiasannya selain yang biasa tampak padanya. Hendaklah mereka menutupkan kerudung (khimar) ke bagian dada mereka (TQS. An-Nur [24]:31)
  • Wahai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (TQS. Al-Ahzab [33]:59)
Ketiga, jangan berkhalwat (berdua-duaan) kecuali disertai mahramnya ataupun berikhtilath (campur-baur). Aktifitas yang terkategori berkhalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang perempuan baik di tempat yang khusus/ umum tanpa disertai mahram ataupun tanpa adanya keperluan yang syar’i. Sedangkan beikhtilath adalah berkumpulnya laki-laki dan perempuan baik di tempat yang khusus/ umum baik disertai mahram/ tidak, namun tanpa adanya keperluan yang syar’i. Rasulullah Saw bersabda

Tidak diperbolehkan seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahramnya

Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
  • Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita kecuali jika wanita itu disertai dengan seorang mahramnya. Tidak boleh pula seorang wanita melakukan perjalanan kecuali disertai mahramnya.
  • Dalam hal ini perlu difahami lebih dalam mengenai pengertian tempat (kehidupan) khusus dan tempat (kehidupan) umum.
Keempat, hubungan kerjasama antara laki-laki dan perempuan hendaknya bersifat umum/muamalat seperti dalam urusan transaksi jual-beli, pendidikan dan kesehatan, bukan untuk aktifitas yang khusus seperti saling mengunjungi atau jalan-jalan bersama antara pria dan wanita yang bukan mahram. Adapun dalam rangka khithbah maka boleh saling mengunjungi tempat tinggal masing-masing, dan boleh berkomunikasi langsung, namun tetap ditemani mahramnya.

b. Hal-Hal Apa Saja Yang Boleh Diketahui
Kepentingan untuk mengenal seseorang yang dikehendaki agar menjadi pasangan hidup tentu berbeda dengan kepentingan untuk mengenal seseorang sebagai teman biasa atau untuk keperluan biasa, seperti mengenal teman sekelas, teman satu kost-an/ lingkungan tempat tinggal, ataupun mengenal seseorang terkait dengan kepentingan muamalah sehari-hari (transaksi jual-beli, kesehatan, pendidikan). Dalam mengenal seseorang untuk kepentingan yang biasa/umum maka seorang muslim diperbolehkan untuk mengetahui seseorang yang lain sebatas pada keperluan interaksi tersebut, misalnya sekedar mengetahui nama, nomor telpon, alamat rumah, dan lainnya asalkan sebatas pada keperluan umum (yang syar’i) tersebut saja, apapun jenisnya. Atau boleh juga mengetahui hal-hal yang lebih rinci asalkan kedua belah pihak telah saling meridhai dan bukan dimaksudkan untuk perbuatan maksiat, misalnya meminta data identitas seseorang tetapi untuk melakukan penipuan, pencurian, fitnah, dll. Maka hal ini tidak diperbolehkan.

Adapun dalam rangka khithbah, maka ta’aruf yang dilakukan adalah untuk mengenal sisi kehidupan yang lebih luas antara satu sama lainnya. Hal-hal yang boleh diketahui pun bukan hanya nama ataupun wajahnya saja, tetapi juga sisi kepribadiannya (cara berfikir dan berperilaku), keluarganya, lingkungannya, aktifitasnya, bahkan untuk hal-hal yang mubah sekalipun, seperti: warna kesenangan, makanan kesenangan, hobi, dsb. Baik secara langsung maupun melalui mahram atau orang lain yang dipercayakan. Semuanya itu dilakukan dalam rangka untuk saling menguatkan perasaan menyukai, mencintai dan menyayangi sehingga semakin kuat pula keinginan diantara mereka untuk segera beranjak kepada aqad pernikahan.

Memahami Ta’aruf Dalam Suatu Proses Khithbah

Yang perlu difahami juga adalah perlu adanya kesadaran tentang keikhklasan dan keridhaan hati untuk menerima karunia yang ﷲﺍ Swt tunjukan, sehingga senantiasa bersyukur atas apa-apa yang ﷲﺍ SWT berikan baginya. Permasalahan menetapkan kriteria yang unggul (high level) bagi calon pasangan hidup yang diharapkannya merupakan hal yang mubah, namun memahami realitas terhadap fitrah manusia yang jauh dari kesempurnaan dalam banyak hal, juga merupakan keharusan. Apabila semata-mata kriteria fisik, materi, pendidikan, dan lainnya ternyata dijadikan kriteria utama, maka tentu hal ini tentu tidak tepat. Karena bagi seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan senantiasa harus menjadikan kriteria keimanan dan ketakwaan kepada Alloh SWT swt sebagai kriteria utama. Oleh karenanya di sinilah kematangan ilmu dan sikap seorang muslim ditantang untuk berperan, yaitu bagaimana ia dapat mengambil sikap terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di hadapannya agar dikaitkan pula dengan pemahaman yang ia miliki. Dalam hal ini Rasulullah telah menuntun kita bahwa Beliau Saw bersabda:

”Barang siapa yang menikahi wanita karena semata kemuliaannya, niscaya ﷲﺍ Swt tidak akan menambahkan sesuatu kepadanya selain kehinaan. Barang siapa yang menikahi wanita hanya karena hartanya semata, niscaya ﷲﺍ Swt tidak akan menambahkan sesuatu kepadanya selain kefakiran. Barang siapa yang menikahi wanita karena keturunannya semata, niscaya ﷲﺍ Swt tidak akan menambahkan sesuatu kepadanya selain kerendahan. Barang siapa yang menikahi wanita karena hendak menundukan pandangannya atau untuk menjaga kehormatannya (kemaluannya) atau karena hendak menyambung tali persaudaraan, niscaya ﷲﺍ Swt akan memberkatinya di hadapan istrinya dan memberkati istrinya di hadapan suaminya” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i) 

Demikian pula kepada kaum wanita, Rasulullah pun telah memberikan pesan yang sama, agar jangan terpukau oleh hal-hal yang bersifat fisik dan materi dalam menetapkan pilihan pasangan hidup. Namun kriteria agama lah yang harus menjadi pertimbangan. Beliau saw mengingatkan:

Ika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridhai agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah, jika kalian tidak melakukannya maka akan datang kerusakan di muka bumi dan fitnah yang luas (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Dengan demikian, apabila dalam berta’aruf ternyata menemukan kekurangan-kekurangan dari calon pasangannya maka itu merupakan hal yang wajar, karena tentu kita pun memiliki kekurangan-kekurangan pula bagi dirinya, (selain tentunya bagi satu sama lain, kita pun dapat saling memberikan kelebihan yang kita miliki). Pandanglah kekurangan-kekurangan itu sebagai celah dan peluang ibadah yang dapat kita optimalkan melalui upaya dapat saling melengkapi dan memperbaiki nantinya. Namun apabila hal yang menjadi kekurangan tersebut bersifat prinsip/ mendasar seperti gemar bermaksiat, murtad, berkhlak buruk, berpenyakit berbahaya, dan lainnya yang dianggap sulit diperbaiki serta akan menghambat terwujudnya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warrahmah maka keputusan untuk membatalkan khithbah tentu merupakan hak (sekaligus bisa menjadi kewajiban) bagi masing-masing.

c. Akhlak Dalam Berta’aruf
Selain secara keseluruhan harus memperhatikan ketentuan umum syari’at sebagaimana disebutkan di atas, maka dalam melakukan ta’aruf dalam rangka khithbah juga harus menampakan kemuliaan akhlak satu sama lain. Misalnya: 
  1. Tidak mengungkapkan perkataan/ungkapan yang kurang baik, yang mengarah pada syahwat, tidak sopan, tidak santun, menghina, merendahkan dsb; 
  2. Saling mendo’akan; saling mengingatkan untuk bertakwa dan berbuat kebaikan; saling menyapa dengan panggilan yang disukai; jujur dan terbuka dalam menjelaskan keingintahuan salah satu calon pasangan (baik yang menjelaskan itu calonnya langsung, maupun mahramnya) bahkan saling memberi hadiah.
  3. Merahasiakan kepada orang lain (yang tidak berkepentingan) terhadap berbagai informasi yang didapat tentang calon yang dikhithbahnya. Hal ini semata-mata untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan satu sama lain.
  4. Tidak menyebarluaskan kepada orang lain perihal proses khithbah dan ta’aruf yang sedang dijalaninya, kecuali untuk kepentingan yang syar’i. Karena, dalam proses khithbah dan ta’aruf masih memungkinkan adanya pembatalan. Sehingga bagi kedua belah pihak akan terasa menambah beban psikologis ketika informasi khithbah ini telah sampai kemana-mana, sedangkan khithbahnya sendiri ternyata dibatalkan.
  5. Saling mengingatkan dan memperbaiki diri jika dalam berta’aruf dikhawatirkan melakukan perbuatan yang keliru atau kurang baik.
  6. Menjalin komunikasi dan silaturrahim yang baik terhadap satu sama lain (termasuk terhadap keluarganya),
  7. Mampu menempatkan permsalahan yang dihadapi ketika berta’aruf secara wajar. Artinya perlu adanya kedewasaan berfikir dan bersikap yang didasarkan pada hukum syara’, sehingga ketika ada masalah yang kecil jangan dibesar-besarkan apalagi atas dasar emosional, sebaliknya masalah yang besar jangan dianggap sepele, karena tertutupi oleh hawa nafsu (cinta buta).
  8. Memperhatikan berbagai hal lainnya yang menurut syara’ merupakan kebaikan-kebaikan yang dianjurkan ataupun keburukan-keburukan yang harus ditinggalkan sepanjang dalam rangka untuk menguatkan pilihan terhadap satu sama lainnya.
d. Media/ Sarana Dalam Berta’aruf
Menggunakan suatu media/ sarana yang menjadi wasilah (perantara) dalam melakukan ta’aruf hukumnya terkait dengan hukum perbuatan, yaitu adanya kaidah Syara’ yang menyatakan :
Al ashlu fil af’al attaqayidu bi hukmi syar’i

Hukum asal dari suatu perbuatan terikat oleh hukum syara’ (apakah termasuk Wajib, Mandub, Mubah, Makruh, Haram ?)

Sedangkan media/ sarana yang digunakan dalam berta’aruf itu terkait dengan hukum suatu benda, sebagaimana kaidah syara’ menyatakan:

Al ashlu fil asya’ al ibaha laa ..........
Hukum asal dari suatu benda adalah mubah, sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya (apakah Halal, Mubah Makruh, dan Haram?)

Oleh karena itu, aktifitas ta’aruf sebagai bagian dari proses khithbah yang jika sebelumnya dilakukan dengan bertemu langsung (yang disertai mahramnya), bisa juga dilakukan dengan menggunakan media komunikasi yang memungkinkan. Media tersebut hukumnya mubah seperti melalui: surat, e-mail, chatting, sms, mms, suara via telpon, dsb. Yang merupakan output dari penggunaan media kertas, hp, faximile, komputer/internet, pesawat telpon, dll. Hanya saja ketika menggunakan media tersebut untuk berta’aruf jangan sampai melakukan hal-hal yang cenderung sebagai pelanggaran syari’at seperti mengirimkan ungkapan, gambar, kata-kata,, ucapan yang dapat menimbulkan syahwat, penghinaan, merendahkan, atau mengajak pada kemaksiatan. Yang terpenting adalah kalau ta’arufnya menggunakan jasa warnet atau wartel jangan sampai lupa bayar pulsanya juga.... J

Khatimah
Demikian sekilas pandangan tentang melakukan proses ta’aruf sebagai bagian dari aktifitas yang dilakukan manusia baik untuk keperluan umum maupun keperluan khusus. Untuk keperluan khusus (khitbah), aktifitas ta’aruf jangan disamakan dengan aktifitas pacaran ataupun aktifitas setengah pernikahan, karena antara keduanya telah nampak perbedaan yang jelas, yaitu ta’aruf sebagai aktifitas yang dianjurkan (sunnah/mandub) sedangkan pacaran/ sejenisnya merupakan aktifitas yang diharamkan oleh ﷲﺍ swt karena menjadi pintu gerbang menuju perzinahan. Sebagaimana firmannya dalam al-qur’an:

Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk (TQS. Al-Israa:32)

Sementara itu Jabir menuturkan riwayat sebagai berikut:
Rasulullah saw bersabda ’jika salah seorang diantara kalian ingin melamar seorang wanita, sementara ia mampu untuk melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya, hendaklah ia melakukannya’. Jabir kemudian berkata, ’aku lantas melamar seorang wanita yang sebelumnya secara sembunyi-sembunyi aku lihat hingga aku memandang apa yang mendorong aku menikahinya’

’Siapa saja yang beriman kepada Alloh SWT Swt dan hari akhir, janganlah sekali-kali ia berkhalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya, karena yang ketiga diantara keduanya adalah syetan’.

ﷲﺍ Swt telah menegaskan:
Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Alloh SWT (TQS. Al-Hasyr :7)



Dan janganlah kamu mencampuradukan antara yang haq dan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu padahal kamu mengetahui nya. (TQS. Al-Baqarah [2]:42)

SUMBER;

0 Response to "Ketentuan-Ketentuan Dalam Ta’aruf"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel