Menakar Komitmen Hukum Pemerintah

Publik menaruh harapan besar terhadap Presiden terpilih, Joko Widodo, untuk dapat melaksanakan good governance, termasuk didalamnya komitmen terhadap penegakan hukum.

Pemerintahan sebelumnya, dibawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, telah berhasil mengeluarkan Indonesia dari 10 besar ranking negara terkorup dunia dengan skor persepsi korupsi terakhir berjumlah 34 (data transparency.org tahun 2014).

Adalah sebuah hal yang tidak berlebihan jika publik berharap lebih terhadap pemerintahan yang baru, untuk dapat mempertahankan prestasi pemerintahan sebelumnya, syukur-syukur menjadi lebih baik.
Akan tetapi, belum genap 100 hari, pemerintahan baru ini telah ternodai sebuah insiden hukum: Calon Kapolri (kini telah jadi Kapolri Terpilih) dijadikan tersangka oleh KPK dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.


Belum lekang dari ingatan publik tentang selisih faham Cicak vs Buaya, insiden status tersangka Kapolri terpilih ini mengorek kembali kejadian yang pernah terjadi beberapa tahun silam. Publik yang mulai resah karena disuguhi pertikaian politik yang terjadi selama beberapa bulan terakhir, seakan harus dihadapkan kembali dengan drama pertikaian baru.
Publik sudah lelah.

Kepolisian, sebagai sebuah institusi yang notebene merupakan garda terdepan penanggulangan kejahatan pidana di Indonesia, yang selalu dituntut untuk netral, bukanlah sebuah ajang yang pantas untuk dilibatkan dalam intrik kekuasaan, apalagi dijadikan ajang politisasi pengaruh para tokoh partai.

Ketegasan Seorang Presiden

Sangat lumrah, jika publik selalu membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lain, dan itu manusiawi, selama dalam hal kebaikan. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah memberi contoh baik tentang betapa pejabat publik yang tersangkut perkara Tipikor dituntut untuk mundur dari jabatan yg diemban, dan fokus menghadapi perkara yang menjerat.

Komitmen Susilo Bambang Yudhoyono bukan hanya sekedar lip service belaka, beliau menunjukkan komitmen itu dengan langkah konkrit: Jangankan rekan satu partai, bahkan besan beliau sendiri pun bisa terjerat perkara Tipikor.

Tidak berlebihan jika publik berharap Presiden terpilih saat ini, Joko Widodo, meneruskan komitmen yang telah dilaksanakan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Terkait dengan pemilihan Calon Kapolri, maka Presiden Joko Widodo tidak boleh lagi sembarangan mengusulkan sebuah nama untuk menduduki jabatan publik.

Publik tidak akan melihat bahwa nama tersebut telah disetujui oleh DPR untuk menduduki jabatan tertentu, akan tetapi lebih melihat kepada siapa yang mengusulkan nama tersebut.

Publik kini sudah cukup cerdas menilai, bahwa segala proses yang terjadi di DPR adalah proses politik, yang pasti penuh intrik dan lobi politik, dan bukan sebuah sebuah fit & proper test dalam arti mencari seorang profesional, dengan cara yang profesional pula.

Alih-alih mendengarkan segala tekanan politis dari kiri-kanan, Presiden Joko Widodo seyogyanya menjadikan saran KPK & PPATK sebagai pegangan utama dalam proses seleksi nama-nama para pejabat publik. Bukan karena KPK & PPATK itu dewa yang tidak pernah salah, akan tetapi karena data yang dimiliki oleh KPK & PPATK adalah sebuah data obyektif yang pasti bisa dipertanggung jawabkan secara hukum & dapat diaudit.

Memang benar bahwa insiden pergantian pucuk pimpinan POLRI kemaren telah dilalui dengan baik, tegas dan smooth oleh Presiden, sehingga menuai pujian dari berbagai pihak, akan tetapi sikap preventif agar hal yang sama jangan sampai terulang tentu harus dijalankan.

Ada beberapa isu sensitif yang bisa memicu gelombang reaksi keras publik: isu Agama dan isu Hukum (korupsi termasuk). Zero tolerance terhadap korupsi adalah sebuah hal yang tidak bisa ditawar, oleh siapapun.

Banyak catatan positif yang telah ditorehkan oleh pemerintahan Joko Widodo selama nyaris 100 hari terakhir, jangan sampai itu ternoda oleh sebuah insiden hukum, hanya karena kesalahan teknis yang tidak penting, yang akhirnya akan membuat publik mempertanyakan kembali komitmen hukum pemerintahan baru ini.

(Still) A New Hope

Penolakan 68 grasi terpidana mati oleh Presiden, ketegasan terhadap pelaku Illegal Fishing, penataan kembali carut-marut regulasi penerbangan, reaksi cepat terhadap bencana alam yang menerpa, penghematan anggaran di berbagai lini pemerintahan, perhatian terhadap bidang kehutanan dan pertanian, adalah beberapa contoh catatan positif pemerintahan baru dibawah pimpinan Joko Widodo.

Penulis kira tidak ada yang meragukan kinerja pemerintahan dalam hal komitmen good governance, akan tetapi komitmen dalam hal penegakan hukum masih patut kita tunggu bersama.

Banyak PR sisa pemerintahan lalu yang bisa dilanjutkan. Proyek legislasi, terutama yang berkaitan dalam bidang hukum banyak yang mangkrak. Ambil contoh RKUHP, RKUHAP dan RUU Materiil Peradilan Agama sejak tahun 2004 hingga sekarang seakan hilang tertiup angin.

Dinamika hukum yang selalu berkembang secara dinamis memerlukan banyak revisi nomenklatur untuk dapat mengimbanginya. Kita tidak selamanya bisa berharap kepada terobosan aparat penegak hukum (termasuk hakim) dengan cara menyimpangi undang-undang hanya untuk memberikan rasa keadilan, jika sarana perundang-undangan yang menjadi dasar berpijak langkah penegak hukum tadi tidak segera diperbaharui.
Mahkamah Agung telah beberapa kali mengeluarkan nomenklatur pembaharuan hukum, mulai dari Batasan Tindak Pidana Ringan (PERMA No. 2 tahun 2012), penegasan aturan pengajuan PK hanya bisa sekali (SEMA No. 6 tahun 2014), dan beberapa aturan lain. Bukan berarti bahwa Mahkamah Agung mengambil alih tugas Legislatif, tapi lebih kepada mengisi kekosongan hukum dan/atau pembaharuan hukum, yang itupun hanya mengikat kedalam institusi Mahkamah Agung sendiri.

Indeks persepsi korupsi Indonesia yang membaik akan bisa lebih ditingkatkan lagi, jangan sampai turun, apalagi kembali terjerembab ke dasar, yang pasti memerlukan extraordinary treatment, dengan komitmen tinggi dari semua pihak.

Insiden pengusulan Sekretaris Daerah Terpilih Sumatera Utara yang ternyata berstatus terdakwa dalam perkara Tipikor adalah sebuah contoh konkrit, bahwa komitmen terhadap penegakan hukum, tidak bisa tidak, harus dilakukan oleh semua pejabat pemerintahan, mulai level pusat hingga daerah.

Komisi Pemilihan Umum beberapa waktu yang lalu telah melaksanakan tugas itu dengan baik, dengan tidak melantik legislator terpilih yang tersandung perkara korupsi, tidak peduli dari partai mana sang legislator berasal.

Lembaga Peradilan kadang dilambangkan dengan patung Dewi Keadilan, dengan matanya yang tertutup kain hitam sambil membawa timbangan, sehingga dapat diartikan bahwa obyek penegakan hukum tidak mengenal strata sosial, jenis kelamin, status agama, partai, dan ideologi. Semua mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum.

Abraham Lincoln pernah berkata: “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins”, loyalitasku terhadap partai berakhir ketika loyalitas terhadap negara dimulai. Pak Presiden Joko Widodo, kami percaya bahwa bapak bisa melakukan itu, dan karena itu kami memilih bapak sebagai presiden kami.

0 Response to "Menakar Komitmen Hukum Pemerintah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel